Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103042 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Satrio Abdillah Wirataru
"Skripsi ini membahas peraturan hukum mengenai ketentuan dari tindak pidana syiar kebencian di Indonesia. Pembahasan berdasarkan pada contoh ketentuan pidana perbuatan syiar kebencian di Jerman dan Amerika Serikat. Penelitian ini adalah peneltian kualitatif. Hasil penelitian menyarankan agar pembuat undangundang merevisi ketentuan Pasal 286 dan 287 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana agar lebih sesuai dengan konsep syiar kebencian. Selain itu, disarankan agar jenis delik syiar kebencian di Indonesia berbentuk delik formil dan menjadikan bentuk ketentuan pidana syiar kebencian di Jerman sebagai rujukan.
The focus of this thesis is on the legislation of hate speech as a criminal act in Indonesia. Using the existed criminal law of hate speech in Germany and USA as examples, the qualitative analysis of this thesis sums up with two suggestions. First is to revise the Article 286 and 287 of Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana to be more appropriate with the concept of hate speech. Second is to categorize the hate speech in Indonesia as a formal crime with the German Criminal Law of hate speech as a reference."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54545
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagaol, Ester Josephin Pratiwi
"Ujaran kebencian merupakan perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan, diskriminasi, permusuhan atas dasar suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum terhadap fenomena ujaran kebencian yaitu terletak pada pengaturan mengenai ujaran kebencian itu sendiri, dimana terdapat
ketidakjelasan parameter dalam pengaturannya. Akibat dari ketidakjelasan parameter tersebut, maka kepastian hukum terkait ujaran kebencian akan sulit dicapai selain itu akan semakin besar kemungkinan terjadinya kesewenangwenangan. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah sejarah peraturan tentang ujaran kebencian di Indonesia, apa yang menjadi parameter suatu perbuatan termasuk sebagai ujaran kebencian (hate speech) serta praktik penegakan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) di Indonesia. Melalui penelitian Yuridis-Normatif dengan
pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual, maka penelitian ini menghasilkan tiga kesimpulan yaitu: 1. Sejarah peraturan tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) di Indonesia sesungguhnya berasal dari British Indian Penal Code yang saat itu berlaku di India yang dijajah oleh Inggris. Berdasarkan Traktat London, semua jajahan Perancis diserahkan ke tangan Inggris. Belanda
yang merupakan jajahan Perancis kemudian jatuh ke tangan Inggris, maka Inggrislah yang membawa pasal tersebut ke Belanda, kemudian Belanda menerapkan pasal tersebut ke Indonesia karena dianggap memiliki kesamaan dengan India yang memiliki ragam kultur dan agama. 2. Parameter ujaran
kebencian yaitu perbuatan yang dilakukan di muka umum; bersifat permusuhan, penghinaan atau merendahkan, dan kebencian; dilakukan dengan sengaja baik langsung maupun tidak langsung; menimbulkan terjadinya kerusuhan yang
menyebabkan terjadinya kerugian materiil, immateriil dan jiwa. 3. Penegakan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan analisis dari tujuh putusan ialah bahwa hakim kurang memberikan tafsiran dan argumen terhadap unsur pasal yang tidak jelas tersebut dan ada hakim yang memperluas makna golongan menjadi tidak sesempit pada suku, agama dan ras saja.

Hate speech is a word, behavior, writing, or show that is prohibited because it can trigger acts of violence, discrimination, animosity on the basis of ethnicity,
religion, race and intergroup (SARA). One factor that is weak law enforcement against the phenomenon of hate speech is located in the regulation of the hate speech itself, where there are unclear parameters in the regulation. As a result of the unclear parameters, the legal certainty related to hate speech will be difficult to achieve other than that the greater the possibility of arbitrariness. This research is intended to find out and understand how the history of regulations regarding hate speech in Indonesia, what is the parameter of an act including hate speech and law enforcement practices against hate speech in Indonesia. Through juridical-normative research with historical, legal and conceptual approaches, this research resulted in three conclusions, namely: 1. The history of
hate speech regulations in Indonesia actually originated from the British Indian Penal Code which was then in force in India which was colonized by the British. Based on the London Treaty, all French colonies were handed over to the British. The Netherlands which was a French colony then fell into the hands of the British, then it was England who brought the article to the Netherlands, then the Dutch
applied the article to Indonesia because it was considered to have similarities with India which had a variety of cultures and religions. 2. Parameters of hate speech, namely acts committed in public; hostility, humiliation or humiliation, and hatred; done intentionally both directly and indirectly; lead to riots that cause material, immaterial and life losses. 3. law enforcement against hate speech based on an analysis of the seven decisions is that the judge does not provide interpretations and arguments about the unclear elements of the article and there are judges who expand the meaning of groups to be not as narrow as ethnic, religious and racial only.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Indah Pratiwi
"Saat ini pengguna media sosial semakin kreatif dalam menyampaikan ujaran kebencian. Untuk menghindari peraturan kebijakan di media sosial, pengguna menggunakan kode untuk berinteraksi satu sama lain. Kode tersebut merupakan istilah atau julukan berisi kebencian yang ditargetkan pada suatu pihak untuk menyampaikan ujaran kebencian. Penelitian ini bertujuan untuk menggunakan kode kebencian dalam mengidentifikasi ujaran kebencian pada media sosial. Penelitian ini menggunakan twit berbahasa Indonesia serta menggunakan metode Logistic Regression, Support Vector Machine, Naïve Bayes, dan Random Forest Decision Tree. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fitur kode
kebencian (hate-code HC) yang diusulkan, dapat digunakan sebagai fitur untuk identifikasi
ujaran kebencian. Jika tanpa fitur kode kebencian, F-Measure menghasilkan tidak lebih dari 55%. Namun, performa meningkat jika menggunakan fitur kode kebencian dengan hasil F-Measure sebesar 80.71% yang dikombinasikan dengan metode Logistic Regression Nowadays social media users are increasingly creative in expressing hate speech.

To avoid policy regulations on social media, users use code to interact with each other. The code is a term or nickname containing hatred that is targeted at a individual or groups to convey the utterance of hate. This study aims to use hate codes in identifying hate speech on social media. This study uses twit in Indonesian and uses the Logistic Regression, Support Vector Machine, Naïve Bayes, and Random Forest Decision Tree. The results show the hate code features (HC) that proposed can be used as a feature to identify hate speech. If without the hate code feature, F Measure generates nomore than 55%. However, performance increases if using this feature, with the result of F-Measure of 80.71%
combined with Logistic Regression method.
"
Depok: Fakultas Komputer Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sirulhaq
"Sebagai fenomena politik global, kajian ujaran kebencian sudah banyak dieksplorasi oleh para peneliti terdahulu, tetapi sebagai fenomena kognitif yang terkait dengan ideologi, kajian ujaran kebencian masih sangat terbatas. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, ekspresi ujaran kebencian kerap kali ditemukan, terutama yang disampaikan oleh para elite simbolik. Namun, di Indonesia, hampir tidak ada kajian yang menghubungkan ujaran-ujaran tersebut dengan ideologi kelompok politik tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan dimensi ideologis ujaran kebencian dalam wacana politik di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Data diambil dari ujaran kebencian yang diucapkan oleh enam elite simbolik di Indonesia, yang dipadukan dengan data konteks sosial-politik ujaran tersebut. Dengan menggunakan pendekatan kajian wacana kritis (KWK) sosiokognitif model van Dijk, penelitian ini memperlihatkan bahwa ujaran-ujaran kebencian yang diekspresikan oleh elite-elite simbolik mengandung proposisi makro yang berhubungan dengan model konteks politik dalam wacana politik di Indonesia. Di samping itu, proposisi-proposisi ideologis tersebut memiliki basis kognitif dalam representasi sosial masyarakat indonesia, yang muncul ke permukaan karena didorong oleh faktor politik. Hal ini membentuk model-mental situasi politik Indonesia, terutama terkait dengan polarisasi kelompok prooposisi dan propemerintah, termasuk aktor, aksi, dan relasi di dalamnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ujaran kebencian dalam wacana politik di Indonesia memperlihatkan adanya relasi antara struktur dan makna ujaran kebencian dengan kognisi sosial-politik di Indonesia yang mengarah pada polarisasi berdasarkan dimensi ideologis yang direproduksi oleh kelompok Kami dan Mereka. Secara teoretis, penelitian ini merupakan terobosan baru terkait dengan cara memahami sikap kelompok berdasarkan keberpihakan politik (propemerintah dan prooposisi) yang tidak disinggung dalam teori ideologi van Dijk. Sumbangan teoretis lain yang dapat diberikan penelitian ini adalah kontribusi pada pengembangan disiplin ilmu linguistik forensik, terutama terkait dengan konsep ujaran kebencian dan bagaimana ujaran kebencian tersebut harus ditafsirkan dengan pendekatan sosiokognitif. Hal ini bersandar pada konsep bahwa ujaran kebencian adalah fenomena ideologis, sementara ideologi adalah parameter kognitif yang paling signifikan yang mengontrol sikap dan tindakan aktor dalam suatu kelompok. Selebihnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berharga untuk memahami situasi politik di Indonesia belakangan ini dalam upaya untuk terus mengasah sikap kritis dan mendorong adanya sistem yang mendasar untuk melakukan perubahan sosial.

As a global political phenomenon, the study of hate speech has been widely explored by previous researchers, but as a cognitive phenomenon related to ideology, the study of hate speech is still very limited. During President Joko Widodo's administration, expressions of hate speech were often found, especially those conveyed by symbolic elites. However, in Indonesia, there are almost no studies that link these utterances to the ideology of certain political groups. Therefore, this research aims to discover the ideological dimensions of hate speech in political discourse in Indonesia during the administration of President Joko Widodo. Data was taken from hate speech uttered by six symbolic elites in Indonesia, which was combined with data on the socio-political context of the speech. By using the van Dijk model of the sociocognitive critical discourse study (CDA) approach, this research shows that hate speech expressed by symbolic elites contains macro propositions related to the political context model in political discourse in Indonesia. Apart from that, these ideological propositions have a cognitive basis in the social representation of Indonesian society, which emerges to the surface because political factors drive it. This forms a mental model of the Indonesian political situation, especially related to the polarization of pro-opposition and pro-government groups, including actors, actions and relations within them. Thus, it can be concluded that during the administration of President Joko Widodo, hate speech in political discourse in Indonesia showed a relationship between the structure and meaning of hate speech and socio-political cognition in Indonesia, leading to polarization based on the ideological dimensions reproduced by the group of We and They. Theoretically, this research is a new breakthrough regarding how to understand group attitudes based on political alignments (pro-government and pro-opposition), which are not mentioned in van Dijk's ideological theory. Another theoretical contribution that this research can make is a contribution to the development of the discipline of forensic linguistics, especially related to the concept of hate speech and how hate speech should be interpreted using a sociocognitive approach. This relies on the concept that hate speech is an ideological phenomenon, while ideology is the most significant cognitive parameter that controls the attitudes and actions of actors in a group. Furthermore, it is hoped that this research can provide a valuable contribution to understanding the recent political situation in Indonesia in an effort to continue to hone critical attitudes and encourage the existence of a fundamental system for carrying out social change."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Rahmadini
"Pasca terbitnya UU ITE, kriminalisasi ujaran kebencian di Indonesia semakin marak dan identik dengan penerapan pasal-pasal dalam UU ITE. Ketidakjelasan definisi dari perbuatan ujaran kebencian mengakibatkan terlalu luasnya perbuatan apa yang dimaksud dengan ujaran kebencian sehingga kriminalisasi ujaran kebencian menjadi sangat sumir dan tidak jelas kelompok sasaran apa yang akan dilindungi dengan kriminalisasi tersebut. Hal ini membuat ujaran kebencian menjadi “keranjang sampah”, tidak jelas batasan antara kriminalisasi ujaran kebencian yang dijalankan oleh aparat penegak hukum dengan bentuk kewajiban negara dalam melindungi hak-hak asasi warga negaranya (dalam hal ini adalah kebebasan mengemukakan pendapat). Penelitian ini menganalisis apakah landasan pikir dilakukannya kriminalisasi ujaran kebencian di Indonesia dan bagaimana implementasinya dalam putusan-putusan pengadilan baik dilihat dari teori pemidanaan dan perspektif kebebasan mengemukakan pendapat. Penelitian ini juga mencari tahu cara untuk menentukan batasan kapan suatu perbuatan pernyataan ekspresi berupa ide, gagasan, pendapat atau hasil pemikiran seseorang termasuk ke dalam koridor kebebasan mengemukakan pendapat dan kapan perbuatan pernyataan ekspresi tersebut termasuk ke dalam kualifikasi delik ujaran kebencian. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen yaitu menganalisis ujaran kebencian dari segi aturan hukum dan implementasinya dalam putusan pengadilan, kemudian dikaitkan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia khususnya kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat.

After the publication of the ITE Law, the criminalization of hate speech in Indonesia has become increasingly widespread and is synonymous with the implementation of the articles in the ITE Law. The lack of clarity in the definition of acts of hate speech results in too broad an act of what is meant by hate speech so that the criminalization of hate speech becomes very vague and it is not clear what target groups will be protected by this criminalization. This makes hate speech a "waste basket", the boundaries between the criminalization of hate speech carried out by law enforcement officials and the state's obligation to protect the human rights of its citizens (in this case, freedom of expression) are unclear. This research analyzes the rationale for the criminalization of hate speech in Indonesia and how it is implemented in court decisions both from a criminal theory and a freedom of expression perspective. This research also seeks to find out how to determine the boundaries of when an act of expression in the form of an idea, thought, opinion or result of a person's thinking falls within the corridor of freedom of expression and when an act of expressing expression falls within the qualifications of a hate speech offense. The research method used is document study, namely analyzing hate speech in terms of legal rules and their implementation in court decisions, then linking it to the principles of protecting human rights, especially freedom of expression and expression of opinion."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rizky Adrian
"Salah satu upaya pengendalian konten negatif media sosial seperti ujaran kebencian dan ujaran kasar adalah dengan mengotomasi proses filter dari konten media sosial. Dalam konteks COVID19, proses otomasi ini dapat dimanfaatkan oleh KOMINFO, virtual police, satuan tugas COVID19, ataupun para akademisi. Data dikumpulkan dari Twitter selama bulan Mei sampai Juni 2021. Penelitian memanfaatkan korpus dari penelitian terdahulu untuk mengetahui apakah pengetahuan dari penelitian terdahulu dapat digunakan pada domain COVID19. Dataset dievaluasi menggunakan algoritma Support Vector Machine (SVM), Naïve Bayes, Random Forest Decision Tree (RFDT), Logistic Regression, dan ADABoost, dengan variasi SMOTE dan undersampling. Unigram-bigram kata digunakan sebagai fitur dikombinasikan dengan fitur lexicon dan orthogonal, serta diekstraksi menggunakan Term Frequency-Inverse Document Frequency dan Count Vectorizer. Hasil anotasi menunjukkan perbandingan data imbalance sebesar 1:73 untuk ujaran kebencian dan 1:24 untuk ujaran kasar. Evaluasi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan model klasifikasi dari penelitian terdahulu (2019) dikombinasikan dengan dataset COVID19 memiliki nilai recall dan F1 klasifikasi ujaran kebencian (nilai recall 69.23%) dan ujaran kasar (nilai recall 71.3%) yang lebih baik. Algoritma pembangun model terbaik didominasi oleh algoritma SVM dan ADABoost. Hasil dari penelitian perlu ditindaklanjuti agar dapat dirasakan manfaatnya secara langsung, misalnya dengan membungkus model klasifikasi pada API (application programmable interface).

One of the efforts to control negative aspect of social media like hate speech and abusive language is by automating the filtering process of content on social media. In the context of COVID19, KOMINFO, the virtual police, the COVID19 task force, or academics can benefit from this solution. Data was collected from Twitter in the period of May to June 2021. The study utilizes the corpus from previous studies to find out whether previous research knowledge can be used in the COVID19 domain. The COVID19 dataset uses the Support Vector Machine (SVM), Naïve Bayes, Random Forest Decision Tree (RFDT), Logistic Regression, and ADABoost algorithms, with variations of data imbalances handling (SMOTE and undersampling). Unigram-bigram words, lexicon, and orthogonal are used as features extracted by TF-IDF and Count Vectorizer. The annotation results show a comparison of the imbalanced data of 1:73 for hate speech and 1:24 for abusive language in COVID19 dataset. Results of the study shows that the use of the classification model from previous studies (2019) combined with the COVID19 dataset has a better recall value and F1 classification of hate speech (with recall score of 69.23%) and abusive language (with recall score of 71.3%). The best classifier models mostly built using SVM and ADABoost. The results of this research need to be followed up so that they can be used directly, for example by wrapping the best classifier model on API (application programmable interface)."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nofa Aulia
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2019
T51811
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muammar Nota Reza Ramadhan
"Saat ini media sosial merupakan sarana komunikasi yang tidak terlepas dari penyebaran ujaran kebencian yang cukup meresahkan penggunanya. Sejak tahun 2018 KOMINFO telah menangani sebanyak 3.640 ujaran kebencian yang tersebar di berbagai media sosial. Selain itu SafeNet telah menangani kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pada tahun 2021 sebanyak 677 aduan yang didominasi dengan kasus pelecehan seksual. Disisi lain Sejak tahun 2020 Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan yang terjadi dalam komunitas dan ranah publik Indonesia sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus kekerasan seksual yang paling mendominasi. Banyaknya jenis ujaran kebencian yang berbeda-beda menyebabkan banyak tantangan dalam mendeteksi ujaran kebencian termasuk dalam domain kekerasan seksual. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan model klasifikasi ujaran kebencian kekerasan seksual dengan performa dan tingkat akurasi yang baik sehingga dapat dimanfaatkan secara teori bagi akademisi dan praktikal bagi lembaga seperti KOMINFO, SafeNet, LBH APIK Jakarta, Komnas Perempuan, POLRI. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil crawling media sosial twitter pada bulan Desember 2021 hingga Januari 2022. Dengan menggunakan pendekatan Machine Learning, dataset diolah dengangan teknik ekstraksi fitur Term Frequency-Inverse Document Frequency (TF-IDF), beberapa teknik sampling seperti Random Over Sampling (ROS), Random Under Sampling (RUS), Synthetic Minority Over-sampling Technique (SMOTE), dan Adaptive Synthetic (ADASYN) serta beberapa algoritma klasifikasi seperti Nave bayes (NB), Support Vector Machine (SVM), Logistic Regresion (LR), Decition Tree (DT), Random Forest (RF), Gradient Boosting Machine (GBM) dan Extreme Gradient Boosting (XGBoost). Penelitian ini menghasilkan akurasi tertinggi sebesar 0.9239 dimana Algoritma terbaik didominasi oleh SVM dan RF. Implikasi penelitian ini secara teori adalah perbandingn hasil klasifikasi 35 model klasifikasi dan secara praktik dapat diimplementsikan pada Lembaga yang memiliki sistem pendeteksi ujaran kebencian.  

Currently, social media is a means of communication that cannot be separated from the spread of hate speech which is quite disturbing for its users. Since 2018, KOMINFO has handled 3,640 hate speech spread across various social media. SafeNet has handled cases of Online Gender-Based Violence (KBGO) in 2021 as many as 677 complaints, which were dominated by cases of sexual harassment. In 2020 Komnas Perempuan has recorded 21% of cases of violence occurring in the Indonesian community/public sphere (1,731 cases) with the most prominent case being sexual violence. Different types of hate speech cause many challenges in detecting such hate speech. The purpose of this study is to produce a classification model of sexual violence hate speech with good performance and accuracy so that it can be used theoretically for academics and practically for institutions such as KOMINFO, SafeNet, LBH APIK Jakarta, Komnas Perempuan, and POLRI. The data used in this study is the result of crawling social media twitter from December 2021 to January 2022. By using a Machine Learning approach, the dataset is processed using the Term Frequency-Inverse Document Frequency (TF-IDF) feature extraction technique, several sampling techniques such as Random Over Sampling (ROS), Random Under Sampling (RUS), Synthetic Minority Over-sampling Technique (SMOTE), and Adaptive Synthetic (ADASYN) as well as several classification algorithms such as Nave Bayes (NB), Support Vector Machine (SVM), Logistic Regression (LR), Decision Tree (DT), Random Forest (RF), Gradient Boosting Machine (GBM) and Extreme Gradient Boosting (XGBoost). This research produces the highest accuracy of 0.9239 where the best algorithm is dominated by SVM and RF. The theoretical implication of this research is the comparison of the classification results of 35 classification models and practically it can be implemented in institutions that have a hate speech detection system."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Regita Yuanita Setyohardjo
"Di masa kini, media sosial dimanfaatkan sebagai lapangan pekerjaan. Dengan adanya citra diri dan jumlah engagement (tolak ukur) yang tinggi, seseorang dapat menjadi pemengaruh. Selain mendapat dukungan dan pujian dari masyarakat, beberapa pemengaruh juga mendapat penolakan dan ujaran kebencian. Ujaran kebencian ini dirasakan oleh beberapa pemengaruh di Indonesia. Kasus ini dapat ditelaah lebih dalam dengan ilmu linguistik. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana ujaran kebencian terhadap pemengaruh Indonesia melalui pesan langsung (direct message) Instagram jika diteliti secara semantik dan pragmatik. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil penelitian ini adalah (1) penutur menggunakan konteks linguistik yang lebih sedikit daripada konteks nonlinguistik, (2) penutur menggunakan kata makian yang memiliki makna asosiatif, dan (3) jenis tindak tutur yang digunakan adalah lokusi dalam bentuk pernyataan, pertanyaan, dan perintah, ilokusi pada kategori asertif, direktif, komisif, dan ekspresif, dan perlokusi dalam bentuk meyakinkan, membujuk, menghasut, dan menyesatkan.

Nowadays, social media is used as a job opportunity. With personal branding and a high number of engagements, someone can become an influencer. Apart from receiving support and praise from the public, several influencers also received rejection and hate speech. This hate speech was felt by several influencers in Indonesia. This case can be studied more deeply in linguistics. The formulation of the research problem is how hate speech towards Indonesian influencers via Instagram direct messages is examined semantically and pragmatically. The method used in this research is a qualitative method. The results of this research are (1) speakers use fewer linguistic contexts than non-linguistic contexts, (2) speakers use swear words that have associative meaning, and (3) the types of speech acts used are locutions in the form of statements, questions and commands, illocutionary in the categories of assertive, directive, commissive, and expressive, and perlocution in the form of convincing, persuading, inciting, and misleading."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Khansa
"Ujaran kebencian dan bahasa kasar mempermudah penyebaran kekerasan di kehidupan nyata, sehingga muncul urgensi adanya pendeteksian secara otomatis. Untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dilakukan oleh Ibrohim dan Budi (2019), penelitian ini membahas dua isu terkait deteksi ujaran kebencian dan bahasa kasar pada mikroblog berbahasa Indonesia. Isu pertama adalah kajian terkait effect size fitur dan pengembangan model menggunakan fitur-fitur tersebut. Metode Analysis of Variance f-test, Logistic Regression Analysis, dan nilai Shapley digunakan untuk melakukan kajian effect size pada fitur-fitur yang dirancang secara manual. Kemudian, digunakan beberapa algoritma pemelajaran mesin untuk mengembangkan model prediksi berbasis fitur-fitur tersebut. Isu kedua adalah kajian bias dalam pengembangan model terkait keberadaan kata-kata bersifat netral pada data yang merupakan ujaran kebencian atau bahasa kasar. Kajian terkait bias dilakukan dengan menggunakan dataset uji bias. Dataset ini dikembangkan dengan menggantikan kata-kata yang dideteksi memiliki potensi adanya bias pada model yang dilatih menggunakan dataset hasil pekerjaan Ibrohim dan Budi (2019). Penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan kata-kata tertentu berpengaruh terhadap hasil deteksi ujaran kebencian dan bahasa kasar. Di antara kata-kata tersebut, terdeteksi beberapa kata-kata yang berpotensi bias, karena memiliki pengaruh terhadap pendeteksian padahal secara sendiri kata-kata yang dideteksi sebagai potensi bias tidak memiliki unsur kebencian atau bersifat kasar. Hasil evaluasi pengambilan sampel bootstrap menunjukkan Logistic Regression dan XGBoost sebagai model dengan akurasi terbaik dalam pendeteksian ujaran kebencian dan bahasa kasar. Namun, ketika model yang sudah dikembangkan digunakan untuk memprediksi dataset sintetis, didapatkan penurunan akurasi dalam pendeteksian ujaran kebencian. Hasil ini menandakan adanya bias pada model yang dikembangkan. Hasil tersebut didukung juga oleh hasil prediksi dengan akurasi rendah ketika model digunakan untuk melakukan pendeteksian ujaran kebencian pada dataset yang dikembangkan secara manual, tetapi ketika kata-kata bias digantikan dari data, akurasi model meningkat. Kontribusi yang diberikan oleh penelitian ini adalah pengembangan dataset uji bias secara otomatis dari dataset yang dikembangkan oleh Ibrohim dan Budi (2019) dan juga dataset uji bias yang dikembangkan secara manual.

Hate speech and abusive language facilitate the spread of violence in real life, hence the urgency of automatic detection. To continue the work done by Ibrohim dan Budi (2019), this research addresses two issues related to the detection of hate speech and abusive language on Indonesian-language microblogs. The first issue is a study on the effect size of features and the development of models using these features. Analysis of Variance f-test, Logistic Regression Analysis, and Shapley values are used to investigate the effect size of manually designed features. Several machine learning algorithms are then employed to develop prediction models based on these features. The second issue involves studying bias in model development concerning the presence of neutral words in data that constitute hate speech or abusive language. The study related to bias is conducted by using a bias test dataset. This dataset is developed by replacing words that are detected to have the potential for bias in models trained using the dataset resulting from the work of Ibrohim dan Budi (2019). This research demonstrates that certain words significantly influence the detection of hate speech and abusive language. Among these words, some are identified as potentially biased, as they affect detection despite not inherently containing hate or abusive elements. The results of bootstrap sampling evaluation indicate that Logistic Regression and XGBoost are the models with the highest accuracy in detecting hate speech and abusive language. However, when the developed models are used to predict synthetic datasets, a significant decrease in accuracy is observed in hate speech detection. This finding indicates the presence of bias in the developed models. This result is further supported by low-accuracy predictions when the models are used to detect hate speech in manually developed datasets. However, when biased words are replaced in the data, the model’s accuracy significantly improves. The contributions of this research include the development of an automatically generated bias test dataset from the dataset created by Ibrohim dan Budi (2019), as well as a manually developed bias test dataset."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>