Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 94837 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia
"Berulang kali tindak pidana terorisme terjadi di Tanah Air. Selain kerugian materil yang dialami korban-korban bahkan negara, nyawa yang direnggut, bahkan nama baik Indonesia sebagai negara yang damai juga dipertaruhkan. Sehingga Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana terorisme ini. Akan tetapi, penghukuman atau pemidanaan saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya kembali tindak pidana serupa, mereka yang dihukum malah dianggap sebagai contoh yang melahirkan kembali teroris-teroris baru karena ideologi mereka yang masih berakar. Hal ini menjadikan perlu bagi pelaku tindak pidana terorisme untuk diberikan suatu rehabilitasi baginya untuk mencabut ideologi mereka tersebut, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran pada mereka, melalui program deradikalisasi.

Many times terrorism occurred in Indonesia. Besides material loss has perceived by the victim and the country, death, even the good name of Indonesia as a peaceful country is also be staked. So that the government takes many ways to prevent and overcome the terrorisms. However, punishment itself is not enough to prevent the recurrence of similar offenses, those convicted even considered as an example that regenerates new terrorists because of the ideologyis still rooted in their mind. This makes necessary for the perpetrators of terrorisme to be given a rehabilitation to revoke their ideology, and instill the values of goodness and truth on them, through the deradicalization programme."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53541
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Fajar Aditya
"Tesis ini membahas upaya kontra narasi yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana terorisme (PTPT) sebagai upaya deradikalisasi di Indonesia. Penulis menilai bahwa PTPT mampu menjadi salah satu pegiat deradikalisasi yang kredibel mengingat mereka pernah menjadi salah satu bagian dari jejaring terorisme dan mengetahui kelemahan dari narasi yang dibangun.
Penulis akan membagi tesis ini ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu: 1) Penyampai kontra narasi yang dispesifikan kepada pelaku tindak pidana terorisme (PTPT) sebagai pegiat deradikalisasi; 2) Dekonstruksi narasi relijius yang disalahpersepsikan untuk melegitimasi kekerasan, yaitu: thâghût, takfÄ«r, hijrah, i’dad, syahîd dan jihâd; 3) Media yang digunakan oleh PTPT dalam menyampaikan konten kontra narasi.
Penulis menilai walaupun masih terdapat keterbatasan dari PTPT untuk membantu merubah pemahaman penerima manfaat deradikalisasi (PMD) hingga ke tahap pemahaman yang moderat namun PTPT masih dapat mengambil peran aktif untuk melakukan deradikalisasi. Mereka mengetahui narasi yang dipahami PMD dan konten kontra narasi yang masih berada dalam rentang penerimaan PMD. Penulis turut menganalisis bahwa media yang paling efektif untuk menyampaikan kontra narasi dilakukan melalui pertemuan secara personal di dalam lembaga pemasyarakatan/ rumah tahanan secara konsisten dibandingkan deradikalisasi melalui media online.
Penelitian dalam tesis ini bersifat kualitatif. Penulis melakukan wawancara semi-terstruktur dengan pertanyaan yang bersifat terbuka. Untuk mendukung data yang didapat dari hasil wawancara, peneliti turut merujuk berbagai sumber sekunder. Peneliti menggunakan sejumlah teori dalam penelitian ini, yaitu teori narasi, kontra narasi, deradikalisasi dan dekonstruksi.

This thesis tries to discuss the efforts of counter-narrative carried out by perpetrators of criminal acts of terrorism (PTPT) as an effort of de-radicalization in Indonesia. The author assessed that PTPT was able to become one of the credible deradicalization agents in Indonesia, considering that they had been part of a terrorist network and knew the weaknesses of the narrative that had been built even though there are limitations to achieve the ideal goal of deradicalisation to change the ideology of beneficiaries of de-radicalization to moderate level.
The author will divide this thesis into 3 (three) sections, namely: 1) Counter-narrative messenger specified to the perpetrators of criminal acts of terrorism (PTPT) as actor of deradicalization; 2) Deconstruction of religious narratives that are mispercepted to legitimize violence, namely: thâghût, takfÄ«r, hijrah, i’dad, martyrdom and jihâd; 3) Media used by PTPT in delivering counter-narrative content.
The researcher assessed that although there were still limitations of PTPT to help change the understanding of beneficiaries of deradicalisation (PMD) to the moderate level of understanding, PTPT could still take an active role in carrying out deradicalization. They know the narrative understood by PMD and counter narrative content which is still within the range of PMD acceptance. Researchers also analyzed that the most effective media for delivering counter narratives was carried out through personal meetings in prisons/ detention centers compared to online deradicalization.
The research in this thesis is qualitative research. The author conducted semi-structured interviews with open-ended questions. To support data obtained from interviews, researchers also quote from various secondary sources. The author used several theories in this study, namely the theory of narrative, counter-narrative, deradicalization, and deconstruction.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T53536
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfredo Benhard Pattiwaellapia
"Ancaman terorisme yang berbasiskan ideologi transnasional telah  masuk melalui penetrasi atau infiltrasi budaya dan agama. Dalam upaya pencegahan radikalisasi, Pemerintah Indonesia mengembangkan program deradikalisasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi deradikkalisasi Densus 88 AT Polri terhadap para mantan pelaku tindak pidana terorisme pada yayasan HWI 19. Program deradikalisasi di Indonesia memiliki empat pendekatan utama, yaitu re-edukasi, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi. Program deradikalisasi yang dilakukan oleh Densus 88 AT Polri pada Yayasan HWI 19 tersebut maka akan berimplikasi pada penurunan angka ancaman terorisme di Indonesia. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan kerjasama seluruh stakeholder terkait guna bisa mewujudkan re-integrasi dan re – sosialisasi kepada eks narapidana terorisme untuk bisa diterima kembali ditengah – tengah masyarakatPenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara terhadap beberapa pihak – pihak yang berkompeten dalam upaya program deradikalisasi oleh Densus 88 AT pada yayasan HWI 19

The threat of transnational ideological-based terrorism has entered through the penetration or infiltration of culture and religion. In an effort to prevent radicalization, the government of Indonesia is assigned to develop deradicalization programs. This research aims to analyze the deradicalization strategies of Densus 88 AT (Special Counterterrorism Unit) of the Indonesian National Police towards former perpetrators of terrorism crimes at the HWI 19 Foundation. Deradicalization programs in Indonesia have four main approaches: re-education, rehabilitation, resocialization, and reintegration. The deradicalization program conducted by Densus 88 AT of the Indonesian National Police at the HWI 19 Foundation will have implications for reducing the threat of terrorism in Indonesia. However, this must be accompanied by the collaboration of all relevant stakeholders in order to achieve reintegration and resocialization of former terrorism convicts to be accepted back into society. This research uses a qualitative research method with data collection techniques such as interviews with several competent parties involved in the deradicalization program by Densus 88 AT at the HWI 19 Foundation"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nazal Fawwaz
"Fenomena terorisme dalam satu dasawarsa terakhir telah menjadi fiturgerakan sosial yang sangat memprihatinkan di berbagai belahan duniaDeradikalisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk memutus hubunganradikal baik secara ideologis maupun tindakan kelompok radikal yangmenjadi binaan di Indonesia. Pentingnya Program DeradikalisasiNarapidana Tindak Pidana Terorisme diharapkan bisa menjadi solusi bagiindoktrinisasi narapidana tindak pidana terorisme. Penelitian inimenggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan studi kasus EksNarapidana Arief Budi Setyawan, pemilihan narasumber dengan teknikpurposive sampling. Lokasi penelitian di BNPT, Densus 88 AT, dan LapasSalemba. Hasil penelitian menunjukkan pertama, Maksud Arief Tubandalam melakukan aksi terornya adalah untuk membantu perjuanganfisabilillah melawan musuh ndash; musuh Islam diluar agama Islam, yangmemerangi umat Muslim dan juga termasuk didalamnya adalahpemerintahan Indonesia yang sah. Kedua, Proses deradikalisasi yangdilakukan terhadap Arif Tuban dimulai dari awal proses penyidikan yangdilakukan oleh pihak Detasemen Khusus 88 Anti Teror, pentingnya 7x24jam masa penangkapan, proses penuntutan dan peradilan sampai di LapasSalemba dan Ketiga, Dampak program deradikalisasi terhadap Arief BudiSetyawan ini meliputi aspek sosial kemasyarakatan dengan adanya interaksisosial dengan pihak ndash; pihak lain, aspek ideologi berbangsa dan bernegarayang ditemukan masih adanya pola pikir dan ideologi yang cukup militant,aspek ekonomi dan kemandirian.

Implementation of deradicalized programs on napi ex criminal action of terrorism case study ex Prisoner Arief Budi Setyawan. The phenomenon of the emergenceof terrorism in the last decade has been a feature of social movements that arevery apprehensive in various parts of the world. Deradicalization is an attemptmade to break the radical relations both ideologically and the actions of radicalgroups that were built in Indonesia. The Importance of the Program for theDeradicalization of Prisoners of Criminal Acts of Terrorism is expected to be asolution for the indoctrination of inmates of criminal acts of terrorism. Thisresearch uses descriptive qualitative approach with case study of Ex PrisonerArief Budi Setyawan, selection of resource by purposive sampling technique.Research location in BNPT, Densus 88 AT, and Salemba Prison. The results showthat first, Arief Tuban 39 s intention in doing the terror act is to help the fisabilillahstruggle against the enemies of Islam outside of Islam, which are fighting theMuslims and also includes the legitimate Indonesian government. Second,Implementation of deradicalization process carried out on Arif Tuban is startedfrom the beginning of the investigation process conducted by the SpecialDetachment 88 Anti Terror, the importance of 7x24 hours of arrest, prosecutionand judicial process until inside Panitentiary of Salemba and Third, the impact ofderadicalization program given to Arief Budi Setyawan this includes socialaspects with the social interaction with other parties, the aspect of the ideology ofthe nation and the state that found still the mindset and ideology that is quitemilitant, the economic aspect and independencenapi arief budi setyawan."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T49476
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rikwan Yuda Pratama
"Alasan penghapus pidana merupakan alasan-alasan yang memungkinkan seseorang tidak dijatuhi hukuman terhadap orang yang melakukan perbuatan pidana. Adanya alasan penghapus pidana dalam KUHP merupakan cara untuk mengubah persepsi pandangan tersebut jika benar memenuhi syarat-syaratnya. Alasan Noetoestand dapat digunakan untuk membantu pasal 48 KUHP sebagai bentuk untuk menjalankan hukum yang tidak kaku agar suatu putusan dapat benar-benar terasa adil. Pada kasus Fidelis seorang yang menggunkan Ganja untuk alsan medis yang merupakan Narkotika Golongan-I untuk mengobati istrinya yang telah didiagnosa mengidap penyakit Syringomyelia. Fidelis dikenakan pasal 116 ayat (1) UU Narkotika divonis hukuman 8 bulan penjara serta dedenda Rp. 1.000.000.000 subsider 1 bulan penjara tanpa menghiraukan adanya noodtoestand (keadaan darurat) yang dialami oleh Fidelis. Kemudian pada kasus serupa yang dialami oleh Rossy dipidana penjara selama 10 bulan karena dianggap melanggar pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika karena mengkonsumsi racikan tanaman ganja untuk mengobati penyakit syaraf terjepit yang dialaminya. Rehabilitasi baik secara medis dan sosial diharapkan dapat dijadikan terobosan hukum yang dapat diterapkan bagi pelaku ganja medis sebagai bentuk hukuman yang bertujuan untuk memberikan manfaat kepada pelaku. Dalam memahami kebijakan penanggulangan kejahatan melihat tujuan pemidanaan dengan berbagai teori yang ada seharusnya dapat membuka pemikiran baru bagi para penegak hukum dalam hal menanggulangi kejahatan. Kemudian tujuan pemidanan pada KUHP Baru juga kedepannya perlu diperhatikan pada pelaksaannanya, karena jika hakim tidak mendalami dalam menggali suatu permasalahan maka pertauran yang ada pada KUHP Baru hanya merupakan tulisan kaku.

The criminal elimination ground is the reason that allows a person not to be convicted of the perpetrator of a crime. The existence of a criminal abolition rationale in the Code of Criminal Procedure is a way of changing the perception of such views if correctly fulfilling the conditions. Noetoestand's argument can be used to help enforce article 48 of the Covenant as a form of enforcing a law that is not rigid so that a judgment can really feel fair. In the case of Fidelis, a man who uses Ganja for medical purposes that are Group I Narcotics to treat his wife who has been diagnosed with Syringomyelia. Fidelis was sentenced to 8 months in prison and a fine of Rp. 1,000,000,000 subsider of 1 month in jail, regardless of the emergency situation experienced by Fidelis. Later in a similar case, Rossy was sentenced to 10 months in prison for allegedly violating article 127, paragraph 1, letter a of the Narcotic Drugs Act for consuming cannabis plants to treat the severe nervous disease he suffered. Rehabilitation, both medically and socially, is expected to be a legal breakthrough that can be applied to medical marijuana perpetrators as a form of punishment (sanctions/acts) aimed at benefiting the perpetrator. In understanding the crime policy, looking at the purposes of mediation with the various existing theories should open up new thoughts for law enforcement in terms of combating crime. Then the purposes of the investigation on the New Covenant should also be taken into account in the prosecution, because if the judge is not thorough in digging a problem then the statements in the New covenant are only rigid writing."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reeza Andi Nova
"Terorisme merupakan salah satu permasalahan yang sangat serius di Indonesia. Apabila tidak ditanggulangi dan dengan reaksi yang cepat (counter reaction) dapat menjadi sebuah ancaman besar bagi stabilitas dan keamanan baik nasional maupun regional. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi terorisme melalui pendekatan lunak salah satunya dengan Program Deradikalisasi. Koordinator Deradikalisasi menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang didukung oleh beberapa Kementerian dan Lembaga lain. Penelitian ini menemukan adanya kekosongan antara pengaturan terkait deradikalisasi yang diatur dalam Undang-undang dan peraturan turunnya dengan pelaksanaan Deradikalisasi di lapangan. Secara faktual, pelaksanaan deradikalisasi untuk para pelaku tindak pidana terorisme dari tahapan pada status tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana hingga mantan narapidana tindak pidana terorisme selama ini dilakukan oleh Densus 88 AT secara intensif. Idealnya, jika pada status tersangka deradikalisasi dilakukan oleh Densus 88 AT, status terdakwa oleh Kejaksaan, terpidana oleh Pengadilan, Narapidana Oleh Lembaga Pemasyarakatan dan mantan narapidana dilakukan oleh BNPT. Selain itu, guna deteksi dini perkembangan jaringan teror didalam maupun diluar Lembaga pemasyarakatan. Sehingga, dipandang penting bahwa personil Densus harus melekat dalam setiap tahapan untuk memberikan rekomendasi yang sesuai. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pemilihan informan secara purposive sampling. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Program Deradikalisasi yang dilakukan oleh densus 88 AT sesuai antara regulasi dan implementasinya. Hal tersebut dilakukan karena adanya kekosongan (gap) antara regulasi dan implementasi Program Deradikalisasi di lapangan dipandang dari sudut pandang normatif, karena Densus 88 AT melakukan pekerjaan melebihi dari yang diamanahi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, namun hal tersebut dianggap baik karena merupakan kebutuhan yang harus dilakukan dalam penanganan terorisme di Indonesia dan mencegah aksi terorisme dimasa depan.

Terrorism is a very serious problem in Indonesia. If not handled and with a quick reaction counter reaction it can become a big threat to stability and security both nationally and regionally. The Indonesian government's policy in tackling terrorism is through a soft approach, one of which is the Deradicalization Program. The Deradicalization Coordinator according to Law Number 5 of 2018 is the National Counter-Terrorism Agency (BNPT) which is supported by several Ministries and other Institutions. This study found a gap between the regulations related to deradicalization regulated in the Act and its regulations and the implementation of deradicalization in the field. Factually, the implementation of deradicalization for perpetrators of criminal acts of terrorism from the stages of the status of suspects, defendants, convicts, convicts to ex-convicts of criminal acts of terrorism has so far been carried out intensively by Densus 88 AT. Ideally, if the status of deradicalization suspect is carried out by Densus 88 AT, the status of defendant is by the Prosecutor's Office, convicted by the Court, Convicts by the Correctional Institution and ex-convicts is carried out by BNPT. In addition, for early detection of the development of terror networks inside and outside prisons. Thus, it is deemed important that Densus personnel must be attached to each stage to provide appropriate recommendations. This study uses a qualitative approach with the selection of informants by purposive sampling. The results of this study explain that the Deradicalization Program carried out by Densus 88 AT is in accordance with the regulation and its implementation. This was done because there was a gap between regulation and the implementation of the Deradicalization Program in the field from a normative point of view, because Densus 88 AT did more work than was mandated by Law Number 5 of 2018, but this was considered good because it was a necessity. that must be done in dealing with terrorism in Indonesia and preventing future acts of terrorism"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Hananta
"ABSTRAK
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah tentang kedudukan dan kekuatan mengikat Perma No. 2 Tahun 2012, serta berlakunya Perma tersebut dalam upaya mencapai tujuan pemidanaan, khususnya dalam perkara pencurian ringan. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode doktrinal/normatif. Perma No. 2 Tahun 2012 termasuk “peraturan perundang-undangan lain” yang bersifat otonom yang dibentuk berdasarkan kewenangan Mahkamah Agung. Agar implementasi Perma tersebut dapat efektif, diperlukan adanya sosialisasi dan koordinasi dengan penyidik dan penuntut umum. Untuk mencapai tujuan pemidanaan tersebut, pidana denda harus dikedepankan dengan membuat ketentuan agar pidana denda tersebut executable dan efektif serta diterapkan secara proporsional antara kemampuan terdakwa dengan kerugian korban.

ABSTRACT
The main issue of this research is the position and binding force of Indonesian Supreme Court Rule No. 02/2012, and the implementation of the rule to achieve the purpose of punishment in petty theft case. This is a descriptive research applying doctrinal/normative method. The rule is an “other descriptive categories of legislation” that have the quality as an autonomy rule which have been formed by the Supreme Court’s authorities. The effective implementation of this rule, requires a socialization and coordination with the investigators and prosecutors also. To achieve the purpose of the punishment, the fine penalties should be considered as important by making provisions that make the fine executable and effective, applied proportionally between the accused ability and the damage he caused to the victim."
Universitas Indonesia, 2013
T32702
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galeh Satriadi
"Terjadinya tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh para mantan narapidana terorisme atau residivis terorisme menjadi sebuah pertanyaan besar tentang keberhasilan program deradikalisasi di Indonesia. Pengawasan dan evaluasi harus menjadi sebuah perhatian yang lebih bagi aparat keamanan maupun pemerintah. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa model deradikalisasi, salah satunya yaitu model deradikalisasi oleh mantan narapidana terorisme itu sendiri terhadap sesama mantan narapidana terorisme yang baru. Biasanya model deradikalisasi tersebut ada di beberapa komunitas mantan narapidana terorisme seperti pada Paguyuban Podomoro di Brebes, Jawa Tengah. Sejauh ini program tersebut dapat dikatakan efektif dikarenakan belum ada dampak negatif yang ditimbulkan oleh Paguyuban Podomoro. Namun, analisa tentang efektivitas model tersebut sangat penting dilakukan untuk mengetahui faktor apa sajakah yang dapat mengancam program deradikalisasi di Paguyuban Podomoro, salah satunya adalah lemahnya monitoring dan evaluasi. Peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Kemudian untuk menentukan sejauh mana efektivitas program deradikalisasi di Paguyuban Podomoro, maka peneliti akan membandingkannya dengan program deradikalisasi hasil penelitian Sukabdi (2022). Analisis SWOT juga akan diterapkan untuk menentukan strategi perbaikan efektivitas program deradikalisasi di Paguyuban Podomoro.

The occurrence of criminal acts of terrorism committed by former terrorism convicts or terrorism recidivists is a big question about the success of the deradicalization program in Indonesia. Monitoring and evaluation must be a greater concern for security forces and the government. In Indonesia itself, there are several models of deradicalization, one of which is the model of deradicalization by former terrorism convicts themselves against new ex-terrorism convicts. Usually, this deradicalization model exists in several communities of former terrorism convicts, such as the Paguyuban Podomoro in Brebes, Central Java. So far this program can be said to be effective because there has been no negative impact caused by Paguyuban Podomoro. However, it is very important to analyze the effectiveness of this model to find out what factors could threaten the deradicalization program in Paguyuban Podomoro, one of which is weak monitoring and evaluation. Researchers will use qualitative research methods with a case study approach. Then, to determine the extent of the effectiveness of the deradicalization program in Paguyuban Podomoro, researchers will compare it with the deradicalization program resulting from Sukabdi's research (2022). SWOT analysis will also be applied to determine strategies for improving the effectiveness of the deradicalization program in Paguyuban Podomoro."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Karolina
"Terorisme di Indonesia saat ini semakin marak terjadi. Meskipun sebelumnya telah terdapat Undang-Undang Anti Terorisme tetapi tidak serta-merta menghentikan para pelaku terorisme. Undang-Undang tersebut tidak mengatur secara tegas dalam hal pencegahan, sehingga aparat penegak hukum tidak bisa bertindak untuk mencegah, menghentikan bahkan menindaklanjuti segala sesuatu yang dicurigai berhubungan dengan aksi terorisme. Pengajuan revisi terhadap UU Anti Terorisme yang tertunda hampir dua tahun lamanya pada akhirnya disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini merupakan sebuah capaian kebijakan strategis dalam sektor keamanan nasional yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dan masyarakat dalam mencegah terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Penelitian ini berfokus pada Implementasi pencegahan terorisme melalui program deradikalisasi dalam rangka early detection dan strategi deradikalisasi yang tepat untuk digunakan sebagai upaya pencegahan terorisme di Indonesia. Penulis melakukan penelitian melalui pendekatan kualitatif dari sumber-sumber data yang berkompeten dengan melakukan wawancara terhadap narasumber dan analisa dokumen dari fenomena yang terjadi. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa deradikalisasi dapat menjadi early detection bagi aparat penegak hukum khususnya fungsi intelijen sebagaimana yang diteorisasikan oleh Hank Prunckun yaitu dapat menjadi sumber informasi dan media untuk mempengaruhi rekan-rekannya yang masih radikal agar kembali tidak radikal. Salah satu strategi deradikalisasi yang tepat dilakukan pemerintah yaitu BNPT dan Kementerian/Lembaga terkait harus menyusun grand strategy nasional deradikalisasi baik strategi maupun target untuk jangka pendek, jangka menengah, dan jangka Panjang karena Kementerian/Lembaga pelaksana saat ini belum dapat melakukan secara integratif dan koordinatif.

Today Terrorism in Indonesia is increasing rapidly. Although there was an Anti-Terrorism law it did not stop the terrorists. This law does not explicitly regulate in terms of prevention, thus law enforcement officials cannot act to prevent, stop or even to investigate any suspicious activity by personal or organization which related to acts of terrorism. Submission of revisions to the Anti-Terrorism Law which has been delayed for almost two years has finally been ratified by the House of Representatives of the Republic of Indonesia into Law No. 5 of 2018 concerning the Eradication of Crime of Terrorism. This is a strategic policy achievement in the national security sector that can be utilized by the government and society in preventing acts of terrorism in Indonesia. This research focuses on the implementation of the prevention of terrorism through deradicalization programs in the framework of early detection and appropriate deradicalization strategies to be used as an effort to prevent terrorism in Indonesia. The author conducts research through a qualitative approach from competent data sources by conducting interview the interviewees and documents analyzing from the phenomena that have occured. In this study, it was found that deradicalization used as early detection for law enforcement officers, especially intelligence functions, as documented by Hank Prunckun, which can be a source of information and media to influence his radical counterparts to return to being not radical. One of the appropriate deradicalization strategies carried out by the government, namely BNPT and related Ministries / Agencies must form a national grand strategy for deradicalization in short-term, medium-term and long-term strategies and targets due to the current Ministries / Implementing Agencies have not been succesfully able to carry out the integrative and coordinative process."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52559
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muji Novrita Surahmi
"Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani merupakan pilot project kehadiran negara dalam penanganan anak dan perempuan terpapar terorisme. Penelitian ini meneliti tentang implementasi program deradikalisasi dengan studi kelembagaan pada pada Balai Handayani. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan subjek penelitian adalah warga binaan sosial ibu dan anak yang terpapar terorisme di Balai Handayani. Awalnya balai ini merupakan Panti Sosial dan bertransformasi menjadi Balai pada awal tahun 2018. Penelitian ini menemukan adanya celah dari tahapan awal deradikalisasi yaitu dari tahap identifikasi menuju tahapan resosialisasi. Teori Implementasi, Manajemen Organisasi Birokrasi dan Kerjasama digunakan dalam mengidentifikasi celah pada proses deradikalisasi yang berfokus pada kelembagaan BRSAMPK Handayani. Komunikasi, keterbatasan sumber daya baik anggaran dan sumber daya manusia, ketidakjelasan disposisi dan struktur birokrasi yang terfragmentasi menjadi hambatan resosialisasi berjalan secara optimal. Kerjasama yang diamati antara BNPT, Balai Handayani di bawah Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri ditemui pola kerjasama yang terjadi hanya setingkat koordinasi dan belum meningkat dalam tahap kolaborasi sehingga menjadi hambatan. Belum optimalnya resosialisasi ini memiliki dampak residivisme bagi mantan warga binaan sosial di BRSAMPK Handayani. 

The Handayani Social Rehabilitation Center for Children with Special Protection Needs (BRSAMPK Handayani) is a pilot project for the states participation in handling radicalized women and children. This thesis research is about the implementation of deradicalization program by institutional studies on Handayani Social Rehab Center. This Research utilizes qualitative method and the subject of the research are the fostered women and children that has been exposed to terrorism that are under Handayanis care. In the beginning, this social rehab center was a Social Home and transformed into a Rehab Center in the beginning of 2018. This research found that there is a gap between the beginning of deradicalization program which is from the identification phase toward resocialization phase. Implementation Theory, bureaucracy Management and Cooperation Theory are used in order to identify the gap in deradicalization process that focus in the institution of BRSAMPK Handayani. Communication, lack of resoursces, the unclear disposition and fragmented bureaucracy structure become a hurdle for the resocialization to optimally implemented. The Cooperation that happened between BNPT, Handayani/The Ministry of Social, The Ministry of Home Affairs only happens in coordination level and hasnt progressed into collaboration and thus it becomes a hurdle. The inoptimal resocialization has recidivism effect for former fostered person in BRSAMPK Handayani."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Kajian Terorisme, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>