Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124351 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Made Ananda Krisna
"Tujuan penelitian skripsi ini adalah mengetahui hambatan pertumbuhan bakteri Haemophilus influenzae dan Streptococcus pyogenes oleh antibiotik senyawa X Penelitian menggunakan metode disc diffusion test sesuai dengan pedoman Clinical Standard Laboratory Institute CSLI Pada kultur H influenzae dan S pyogenes dilakukan intervensi dengan alkohol dan senyawa X dalam tujuh konsentrasi berbeda Diameter zona hambatan yang ditimbulkan senyawa X pada setiap konsentrasi berbeda bermakna dengan kontrol Namun tidak ditemukan hubungan linier antara konsentrasi senyawa X dengan diameter zona hambatan pertumbuhan kedua bakteri tersebut Dengan demikian penambahan dosis senyawa X tidak berhubungan dengan aktivitasnya dalam menghambat pertumbuhan H influenzae dan S pyogenes.

The aim of this research is to find whether H influenzae and S pyogenes rsquo growth can be restricted by giving substance X We used the disc diffusion test method suggested by Clinical Laboratory Standards Institute CSLI On the cultures of the two bacterias we applied alcohol and seven different concentrations of substance X using antibiotic discs For each concentration of substance X given on both bacteries rsquo culture there is a statistically meaningful difference in diameter of growth restriction zone compared to control However we did not find a linear correlations between substance X concentrations and the diameter of growth restrictions on both bacteries Therefore adding substance X concentrations will not be giving a greater growth restriction effect."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Wildan Rabbani Kurniawan
"Pneumonia adalah penyakit ISPB yang mempunyai angka kematian yang masih cukup tinggi di dunia dan juga Indonesia Dua bakteri penyebab utama penyakit ini adalah Klebsiella pneumoniae serta Streptococcus pneumoniae Antibiotik adalah pengobatan utama untuk kasus akibat kedua bakteri tersebut Penggunaan antibiotik yang dilakukan secara luas dan tidak tepat guna menyebabkan munculnya pola peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik yang biasa diberikan sehingga dibutuhkan golongan antibiotik baru yang masih efektif Senyawa X merupakan sebuah senyawa yang mengandung struktur cincin oksazol dan diduga mempunyai potensi untuk menjadi sebuah senyawa antibiotik baru yang masih efektif melawan berbagai bakteri Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bioaktivitas dari Senyawa X terhadap kedua bakteri tersebut serta apakah terdapat hubungan antara penambahan dosis dengan bioaktivitasnya Sebanyak 3 kultur dari masing masing bakteri sebagai ulangan diberikan perlakuan dengan metode disk difussion test Disk kosong ini diisi dengan aquades sebagai baseline alkohol 90 sebagai kontrol negatif serta Senyawa X dengan konsentrasi 2 4 8 16 32 64 dan 128 mg L sebagai perlakuan Indikator bioaktivitas adalah diameter hambatan pertumbuhan dari kedua bakteri Secara deskriptif didapatkan bahwa Senyawa X cenderung mempunyai bioaktivitas terhadap kedua bakteri sedangkan uji hipotesis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan dosis Senyawa X dengan peningkatan bioaktivitasnya pada bakteri Streptococcus pneumoniae p 0 003 Namun pada bakteri Klebsiella pneumoniae tidak ditemukan hubungan yang bermakna p 0 133 Hasil penelitian ini membuktikan Senyawa X memiliki bioaktivitas terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae dan Streptococcus pneumoniae Namun hubungan yang bermakna terhadap peningkatan dosis Senyawa X dan bioktivitasnya hanya terjadi pada bakteri Streptococcus pneumoniae.

Pneumonia is one of the Upper Airways Infections which still has increasing mortality rate in Indonesia Two common pathogens causing this disease are Klebsiella pneumoniae and Streptococcus pneumoniae Antibiotics are the main therapy in this case A wide and irrational usage of those antibiotics brings the increasing antibiotics resistant pattern of both pathogens So that a new and effective antibiotic are needed Substance X an ocsazoles containing substance is now assumed being an effective antibiotic among many pathogens Therefore this study aims to understand the bioactivity of Substance X to both pathogens and to understand the relationship between the increasing dosage and their effect on the Substance X bioactivity There were 3 cultures of both pathogens and each of them is given disk diffusion test method to conduct the experiment The blank disk were then filled with aquades baseline alcohol 90 negative control and Substance X with 2 4 8 16 32 64 And 128 mg L concentration tested group The indicator of bioactivity in this study measured in growth inhibition diameter of both pathogens Descriptively the experiment shows Substance X has bioactivity to both pathogens Another hypothesis then tested using Kruskal Wallis shows a significant relationship between the increasing dosage of Substance X and the increasing bioactivity on Streptococcus pneumoniae p 0 003 but not on Klebsiella pneumoniae p 0 133 This study then can be concluded that Substance X has bioactivity to both Klebsiella pneumoniae and Streptococcus pneumoniae But the significant relationship between increasing dosage and bioactivity of Substance X can only be found on Streptococcus pneumoniae.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanekung Titisari
"Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit yang banyak diderita anak-anak. Sedikitnya 70% anak usia kurang dari I5 tahun pernah mengalami I episode. Kecenderungan menderita OMA berhubungan dengan belum matangnya (Immature) sistem imun dan rnudahnya bakteri masuk ke telinga tengah, karena anatomi tuba eustachius yang masih relatif pendek dari meadataur. Beberapa faktor risiko terjadinya otitis media pada anak-anak adalah lingkungan perokok, anak yang dititipkan ke penitipan anak-anak, penggunaan dot (kempengan) dan minurn susu botol.
Beberapa penelitian melaporkan sebagian besar anak-anak sekurang-kurangnya mengalami satu episode OMA pada masa kanak-kanak. Antara 19-62 % anak mengalami paling sedikit 1 episode pada usia I tahun. Pada usia 3 tahun sekitar 50-84% anak mengalami paling sedikit 1 episode OMA Di Amerika, insiders OMA tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan, dan yang kedua pada waktu berumur 5 tahun, bersamaan dengan anak mulai masuk sekolah.
Puncak usia anak mengalami OMA didapatkan pada pertengahan tahun pertama sekolah, kemudian angka kejadian menurun pada anak usia 7 tahun. Ingvarsson dkk seperti yang dikutip oleh Casselbrant pada tahun 1971-1983 di Swedia mendapatkan 16.611 anak menderita OMA, dengan kejadian OMA terbanyak pada usia 7 tahun. Alho dkk seperti yang dikutip oleh Casselbrant pada tahua 1985-1986 di Finlandia Utara mendapatkan 2431 dan berapa subyek anak menderita OMA, dengan angka kejadian OMA terbanyak pada usia 3 tahun."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Anggraini
"Data pola bakteri yang diisolasi dari sputum penderita penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) eksaserbasi akut di Indonesia yang sangat terbatas, menunjukkan terdapat kecenderungan pola bakteri di Indonesia berbeda dengan yang dilaporkan banyak negara lain. Di kebanyakan negara lain Haemophilus injluenzae dan Moraxella catarrhalis merupakan bakteri terbanyak pertama dan kedua yang diisolasi dari sputum penderita PPOK eksaserbasi, sedangkan di Indonesia kekerapan isolasi kedua bakteri tersebut sangat rendah. H influenzae bersifat fastidious dan M catarrhalis sering terabaikan peranannya sebagai patogen. Ditambah lagi sebagian laboratorium di Indonesia belum dapat mengisolasi kedua bakteri ini. Oleh karena itu diperlukan metode deteksi yang lebih efektif untuk kedua bakteri ini. Pada penelitian ini dikembangkan metode PCR multipleks untuk H injluenzae dan M catarrhalis, serta aplikasinya pada sputum penderita PPOK eksaserbasi akut PCR multipleks ini dapat digunakan untuk mendeteksi H injluenzae dan M catarrhalis dalam sputum masing-masingnya sampai 1,5 x 1ifcFU/ml atau 30 CFU/ reaksi PCR pada uji simulasi. Pemeriksaan PCR multipleks pada 30 sampel sputum penderita PPOK eksaserbasi akut memberikan hasil pita yang sesuai untuk H injluenzae sebanyak 60% dan untuk M catarrhalis 46,7%. Sedangkan dari biakan sputum hanya didapatkan satu sampel positif H injluenzae dan tidak ada sampel yang positif untuk M catarrhalis. Dengan jumlah sampel yang terbatas tersebut pemeriksaan PCR multipleks ini memiliki nilai sensitivitas 100%, spesifisitas 41,38%, nilai prediksi positif 5,56% dan nilai prediksi negatif 100% untuk H injluenzae. Nilai spesifisitas dan nilai prediksi negatif untuk M catarrhalis adalah 53,33% dan 100% .. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan perlu dilakukan peningkatan· sensitivitas metode kultur untuk H injluenzae dan M catarrhalis.

Limited database of bacterial pattern recorded in acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary diseases (COPD) in Indonesia showed that the trend of bacterial pattern that was isolated from the patients with acute exacerbations of COPD is different from that which was reported in many other countries. In many other countries, Haemophilus inj1uenzae and Moraxella catarrhalis are the first and second most common bacteria that were isolated from the sputum of patients with acute exacerbations of COPD while in Indonesia the frequency of isolation of both bacteria is very low. H inj1uenzae is a fastidious bacteria while M catarrhalis' role as pathogen was frequently ignored. Moreover, many laboratories in Indonesia have no capabilities in the isolation of both bacteria. Thus, more effective detection methods are needed. This study is aimed at developing a multiplex PCR assay for H inj/uenzae and M catarrhalis, as well as the method's application on the sputum of patients with acute exacerbations of COPD. The multiplex PCR can be applied for the detection of both H influenzae and M catarrhalis in sputum up to 1.5 x 102 CFU/ml or 30 CFU per PCR reaction in simulation test. The multiplex PCR analysis on 30 sputum samples of patients with acute exacerbations of COPD yielded band that 60% match that of H inj1uenzae and 46.7% that of M catarrhalis. However, analysis of the sputum culture only produced one positive sample for H inj1uenzae and no positive samples for M catarrhalis. With such limited samples, multiplex PCR assay has 100% sensitivity, 41.38% specificity, 5.56% positive predictive value, and 100% negative predictive value for H inj/uenzae. The aassay has 53.33% specificity and 100% negative predictive value for M catarrhalis. Further study with bigger sample size should be carried out as well as the improvement in the sensitivity of the culture method for H inj1uenzae and M catarrhalis.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2008
T59041
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Putu Ayu Sawitri Octavira
"Latar Belakang: Aktifitas fisik seperti berlari dapat mempengaruhi sekresi dan komposisi saliva, termasuk protein saliva di dalam rongga mulut, salah satunya protein SMBP. Protein saliva diketahui dapat memfasilitasi pertumbuhan biofilm bakteri.
Tujuan: Mengetahui pengaruh protein Streptococcus mutans binding salivary protein yang diisolasi dari subjek pelari dan nonpelari terhadap pertumbuhan biofilm P. gingivalis.
Metode: Studi eksperimental ini menggunakan teknik sampling purposive. Pemilihan subjek pelari dan nonpelari didasarkan riwayat lari dan pengukuran VO2max. Streptococcus mutans binding salivary protein diidentifikasi menggunakan SDS-PAGE. Streptococcus mutans binding salivary protein didapatkan melalui interaksi protein saliva pelari dan nonpelari dengan bakteri S. mutans. Uji biofilm pertumbuhan bakteri P. gingivalis ATCC 33277 menggunakan pewarnaan crystal violet. Data yang didapat kemudian dilakukan uji statistik menggunakan uji korelasi.
Hasil: Protein SMBP memfasilitasi pertumbuhan biofilm P. gingivalis pada inkubasi 3 jam maupun 24 jam.
Kesimpulan: Streptococcus mutans binding salivary protein yang diisolasi dari subjek pelari dan nonpelari memfasilitasi perumbuhan biofilm P. gingivalis.

Background: Physical activity such as running can affect salivary secretion and composition, including salivary proteins in the oral cavity, such as salivary protein SMBP. Salivary proteins are known to inhibit or facilitate the growth of bacterial biofilms. Salivary protein can facilitate or inhibit the growth of bacteria.
Objective: To determine the effect of Streptococcus mutans binding salivary protein towards the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm.
Methods: This experimental study used purposive sampling and VO2max test to determine runners and non runners. Protein profile samples were identified using SDS PAGE. S. mutans salivary protein was obtained from binding of salivary protein and S. mutans. Biofilm assay P. gingivalis ATCC 33277 growth towards Streptococcus mutans binding salivary protein salivary protein was conducted using the dye crystal violet assay. The data was statistically analyzed using correlation test.
Results: Salivary protein of Streptococcus facilitate the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm on incubation time 3 and 24 hours.
Conclusion: Salivary protein of Streptococcus mutans collected from runners and non runners facilitate the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Maureen Senjaya
"Latar Belakang: Propolis merupakan bahan alami yang mulai digemari dalam kedokteran gigi. Secara komersial, propolis dapat dijadikan dalam bentuk obat kumur. Sifat anti-bakterial pada propolis memiliki efek kariostatik sehingga mampu untuk mencegah proses terjadinya karies. Bakteri Streptococcus sanguinis adalah bakteri komensal yang ditemukan pada rongga mulut yang dikaitkan dengan biofilm sehat. Sedangkan, bakteri penyebab utama karies adalah Streptococcus mutans. Keduanya berinteraksi secara antagonis, dimana rasio kedua bakteri pada rongga mulut diyakini dapat menentukan tingkat terjadi karies seseorang.
Tujuan: Menetapkan pengaruh pemberian obat kumur propolis 5% terhadap pertumbuhan biofilm dan interkasi pada biofilm dual-spesies Streptococcus mutans dan Streptococcus sanguinis. 
Metode: Digunakan uji Crystal Violet untuk menentukan massa dan persentase pertumbuhan biofilm, serta persentase inhibisi obat kumur propolis 5%. 
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada massa biofilm yang terbentuk antara intervensi obat kumur propolis 5% dibandingkan kontrol negatif.
Kesimpulan: Terdapat interaksi antagonis antara bakteri Streptococcus mutans dan Streptococcus sanguinis, serta tidak adanya pengaruh pemberian obat kumur propolis 5% terhadap interaksi antagonis kedua bakteri. Obat kumur propolis 5% mampu menurunkan massa biofilm dual-spesies Streptococcus mutans dan Streptococcus sanguinis. Akan tetapi, obat kumur propolis 5% tidak dapat menghentikan pertumbuhan biofilm dual-spesies tersebut.

Introduction: Propolis is a natural substance that’s gaining popularity in dentistry. Commercially, propolis can be used in the form of mouthwash. The anti-bacterial properties of propolis have a cariostatic effect to prevent caries. Streptococcus sanguinis bacteria are commensal bacteria found in the oral cavity. Meanwhile, the main cause of caries is Streptococcus mutans. Both of them interact antagonistically, where the ratio of the two in the oral cavity is believed to determine the level of caries occurrence of a person. 
Objective: To determine the effect of 5% propolis mouthwash on biofilm growth and interactions in dual-species Streptococcus mutans and Streptococcus sanguinis biofilms. 
Method: The Crystal Violet Assay was used to determine the mass and proportion of biofilm growth, as well as the percentage of inhibition of 5% propolis mouthwash. 
Results: There was no significant difference in the mass of the biofilm formed between the 5% propolis mouthwash intervention and the negative control. 
Conclusion: There is an antagonistic interaction between Streptococcus mutans and Streptococcus sanguinis bacteria, and there is no effect of 5% propolis mouthwash on this interaction. 5% propolis mouthwash was able to reduce biofilm mass of dual-species Streptococcus mutans and Streptococcus sanguinis biofilms. However, 5% propolis mouthwash could not stop the growth of the dual-species biofilm.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifiya Padmadia
"Olahraga merupakan aktivator stimulus simpatis yang dapat mempengaruhi sekresi saliva sehingga menyebabkan peningkatan viskositas dan konsentrasi protein saliva, salah satunya Streptococcus mutans-binding salivary protein.
Tujuan: Menganalisis pengaruh S. mutans-binding salivary protein yang diisolasi dari subjek pelari dan nonpelari terhadap pertumbuhan biofilm Streptococcus gordonii.
Metode: Pemilihan subjek pelari dan nonpelari ditetapkan berdasarkan metode subjektif melalui riwayat lari dan metode objektif melalui pengukuran VO2max. S. mutans-binding salivary protein didapatkan melalui interaksi protein saliva pelari dan nonpelari dengan bakteri S. mutans. Uji pertumbuhan biofilm bakteri S. gordonii ATCC 10558T dilakukan dengan pewarnaan crystal violet. Data yang didapat kemudian dianalisis dengan uji statistik menggunakan uji One-way ANOVA.
Hasil: Pertumbuhan biofilm S. gordonii pada S. mutans-binding salivary protein pelari meningkat tetapi tidak signifikan p>0.05 baik pada waktu 3 jam maupun 24 jam. Pertumbuhan biofilm S. gordonii pada S. mutans-binding salivary protein nonpelari tidak signifikan p>0.05 pada waktu 3 jam kemudian meningkat signifikan p 0.05 pada waktu 24 jam.
Kesimpulan: S. mutans-binding salivary protein dari subjek pelari tidak memiliki pengaruh dalam menghambat pertumbuhan biofilm S. gordonii, sedangkan protein saliva dari subjek nonpelari efektif memfasilitasi pada fase maturasi.

Physical exercise is a strong activator of sympathetic stimuli which may affect salivary secretion by increasing viscosity and concentration of salivary protein, including Streptococcus mutans binding salivary protein. Salivary protein may act as antimicrobial agent or may facilitate the growth of biofilm.
Objective: to analyze the impact of S. mutans binding salivary protein from runners and from non runners to biofilm growth of S. gordonii.
Methods: Runners and non runners were selected based on running history and VO2max test. S. mutans binding salivary protein was obtained through the interaction of runners and non runners salivary protein with S. mutans. Biofilm growth assay of S. gordonii ATCC 10558T was conducted using crystal violet staining. The data obtained was statistically tested using One way ANOVA test.
Results: Biofilm growth of S. gordonii in runners group is insignificantly increased p 0.05 either in three hour or twenty four hour incubation. Meanwhile, biofilm growth of S. gordonii in non runners group is significantly increased after twenty four hour incubation p 0.05 .
Conclusion: S. mutans binding salivary protein from runners has no inhibition effect on biofilm growth of S. gordonii, while that from non runners facilitates biofilm growth of S. gordonii at maturation phase.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradipta
"Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, dimana salah satu bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pyogenes. Bakteri ini dapat menyebabkan penyakit-penyakit penting mulai dari infeksi kulit hingga penyakit yang dapat membahayakan nyawa seperti glomerulonephritis. Hingga saat ini, penyembuhan untuk bakteri Streptococcus pyogenes masih bergantung dengan antibiotik jenis penicillin maupun ciprofloxacin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ekstrak biji pepaya (Carica papaya L) memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Streptococcus pyogenes dengan melihat konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM). Penelitian ini dilakukan menggunakan uji in-vitro dengan cara mikrodilusi tabung. Ekstrak biji pepaya digunakan dengan variasi konsentrasi 16.5%, 11%, 8.25%, dan 5.5%. KHM ekstrak biji pepaya ditemukan pada konsentrasi 16.5% ditandai dengan larutan yang bening pada tabung dengan konsentrasi ekstrak sebesar 16.5%. Dilain pihak, KBM ekstrak biji pepaya ditemukan pada konsentrasi 5.5%, yang ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan koloni bakteri pada agar darah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak biji pepaya berpotensi sebagai agen antibakteri untuk melawan bakteri Streptococcus pyogenes

Nowadays, infection is still a major problem in Indonesian health management. Streptococcus pyogenes is an example of a bacteria that needs more attention since it can cause a mild infection on skin untill a deadly infection such as glomerulonephritis. In Indonesia, treatment for Streptococcus pyogenes infection is still heavily dependent on the use of penicillin or ciprofloxacin. This reasearch’s objective is to discover if papaya’s seed (Carica papaya L) has an antibacterial activity for Streptococcus pyogenes by measuring the Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and Minimum Bactericidal Concentration (MBC). This reasearch was done by in vitro test using a microdilution tube. Papaya’s seed extracted in varied concentration which is 16.5%, 11%, 8.25%, and 5.5%. The results showed that Minimum Inhibition Concentration (MIC) of papaya’s seed extract concentration is 16.5% shown by a clean solution in tube. On the other hand, Minimum Bactericidal Concentration (MBC) of papaya’s seed extract is 5.5% with no colony growth found in the blood agar specimen. In conclusion, papaya’s seed extract has a good potential to be an antibacterial to treat Sptretococcus pyogenes."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahdi Dewin Marzaini
"Salmonella typhi merupakan etiologi dari demam tifoid dan Shigella flexneri merupakan etiologi dari shigellosis. Kedua bakteri ini menginfeksi manusia melalui jalur fekal-oral dan menginvasi sistem gastrointestinal. Penyebab tersering dari terjadinya infeksi ini adalah konsumsi makanan yang tidak higienis. Infeksi bakteri ini umumnya terjadi di negara berkembang. Bakteri ini sudah mengalami peningkatan resistensi antibiotik, karena itu penemuan antibiotik baru sangat diperlukan. Salah satu substansi yang berpotensi sebagai antibiotik baru adalah senyawa X. Dalam penelitian ini, senyawa X diujikan kepada kedua bakteri tersebut dengan menggunakan metode disk diffusion testing. Bakteri dibagi menjadi 9 kelompok sesuai dengan jenis intervensinya, yaitu akuades, alkohol 98% sebagai kontrol, dan 7 jenis senyawa X berkonsentrasi 2 - 128 mg/l. Masing-masing kelompok berjumlah 3 sampel.
Hasil penelitian berupa diameter hambatan pertumbuhan bakteri tersebut. Uji Post-Hoc pada Salmonella typhi menunjukkan bahwa senyawa X mampu menghambat pertumbuhan (p = 0,000 - 0,002) namun tidak terdapat perbedaan antara intervensi senyawa X dengan berbagai konsentrasinya (p = 0,191 - 0,982). Uji Kruskal-Wallis pada Shigella flexneri antara seluruh jenis intervensi menunjukkan bahwa senyawa X tidak mampu menghambat pertumbuhan dan tidak terdapat perbedaan antara intervensi senyawa X yang berlainan konsentrasi (p = 0,185).

Salmonella typhi and Shigella flexneri are the etiology of typhoid fever and shigellosis respectively. Both infect humans via the fecal-oral route, invade the gastrointestinal system, and are common in developing countries. Antibiotic resistance of these bacteria has been increased. One substance that is potential as a new antibiotic is substance X. In this study, substance X is tested on both bacteria using the disk diffusion testing. Bacteria are divided into 9 groups according to the type of intervention, namely distilled water, 98% alcohol as a control, and 7 types substance X (2-128 mg/l). Each group consists of 3 samples.
The results are the diameters of bacterial growth inhibition. Post-Hoc test on Salmonella typhi shows that substance X is able to inhibit growth (p = 0.000 to 0.002) but there were no differences between the interventions of substance X with various concentrations (p = 0.191 to 0.982). Kruskal-Wallis test in Shigella flexneri between all types of interventions shows that substance X is not able to inhibit the growth and there are no differences between the intervention of substance X with various concentrations (p = 0.185).
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>