Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104435 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadia Vetta Hamid
"Perfilman Indonesia dikejutkan oleh The Raid (Gareth Evans, 2012) yang didapuk menjadi generasi film laga Asia berikutnya. Film ini telah lebih dulu mendulang sukses di di luar negeri,diantaranya:ditayangkan perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) di tahun 2011, menjadi pilihan utama Sundance Film Festival 2012 dan meraih box office di bioskop terpilih di Amerika Serikat. Kesuksesan The Raid di Indonesia dan di luar negeri menjadi kejutan karena film ini di luar formula film Indonesia bahkan Hollywood pada umumnya, yaitu dengan menggabungkan unsur laga tradisional Indonesia, Pencak Silat dengan sinematografi ala Hollywood. Makalah ini dianalisis dengan dasar argumentasi Hesmondhalgh (2012) dan Miège (1989) yang mengkritik pesimisme budaya Adorno dan Horkheimer (1972 & 1976) mengenai komodifikasi budaya dan standardisasi produk. Makalah ini berargumen bahwa pengenalan industrialisasi dan teknologi baru dalam produksi budaya justru memunculkan arah baru dan inovasi yang menarik.

Indonesian film industry was shocked by The Raid (Gareth Evans, 2012) which was predicted to be the next generation of Asian action/martial arts movies. Before being screened in Indonesia, The Raid had gained success overseas, including: premiered at the Toronto International Film Festival (TIFF) in 2011, became one of the official selections atSundance Film Festival 2012 and became box office in selected theaters in the United States. The unexpected success of The Raid was a surprise because the film is outside the Indonesian and Hollywood movie formula in general, as it combines elements of the traditional Indonesian Pencak Silat with Hollywood-style cinematography. This paper is analyzing the phenomenon based on Hesmondhalgh (2012) and Miège (1989) that argue Adorno and Horkheimer’s cultural pessimism (1972 & 1976) about culture commodification and standardization of products. Furthermore, this paper argues that industrialization and the introduction of new technologies in cultural production led actually led to new directions and innovations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Aisyah Taufiq
"Belakangan ini, jumlah penyelenggaraan festival film meningkat. Festival Film sendiri merupakan sebuah wadah dimana para penikmat film dapat menonton film-film alternatif, yang tidak dapat mereka peroleh di bioskop komersial. Bagi para pembuat film, festival film merupakan tempat dimana mereka dapat memasarkan karya-karya mereka yang tidak dapat diputar di bioskop komersial, dan tentunya juga sebagai ajang bertemunya para pembuat film untuk berbincang dan saling bertukar ide. Oleh karena itu, festival film dapat dikatakan sebagai wadah perkembangan alternatif dunia perfilman. Kendati berpotensi membuka peluang bagi inovasi baru, festival film di Indonesia menghadapi sebuah tantangan utama, yaitu masalah pendanaan, yang sangat mempengaruhi penyelenggaraan festival itu sendiri. Makalah ini beragumen bahwa festival film Indonesia membutuhkan dukungan langsung dari berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun publik, agar terus terselenggara tiap tahunnya.

Recently, the number of film festivals is increasing. Film festival itself is a space where film audience can enjoy alternative films, which they cannot access through commercial cinema. For filmmakers, film festivals provide a place for them to promote their work, which otherwise cannot be played at commercial cinema, and of course as an occasion where filmmakers meet each other, converse and exchange ideas. Due to that, film festivals become a an alternative space for film development. However, despite their potential in opening up opportunities for innovations, film festivals in Indonesia face major challenges; it is financially insecure, and this significantly hinders the festivals’ organization. This paper argues that Indonesian film festivals need direct support from various parties, including the government and also the public, to maintain its routine exhibition each year.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hilmi Putra Abriniado
"Skripsi ini membahas mengenai implementasi Kebijakan Impor Film Asing Cina yang diatur dalam Film Industry Promotion Law sebagai upaya pemerintah Cina dalam mempertahankan ideologi sosialis dari invasi budaya dan ideologi Barat yang masuk melalui film Hollywood. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dengan menggunakan teori Cultural Policy dan konsep Core Value System of Socialist, penelitian ini mencoba mengghubungkan penerapan Film Industry Promotion Law dengan upaya pemerintah Cina dalam mempertahankan ideologi sosialis. Berangkat dari asumsi bahwa terdapat keterkaitan antara Film Industry Promotion Law dengan upaya mempertahankan ideologi sosialis, penelitian ini juga menunjukan bahwa keberhasilan penerapan Film Industry Promotion Law berimplikasi dengan hilangnya budaya dan ideologi Barat yang terkandung dalam film Hollywood dan dominasi nilai-nilai sosialis dalam film-film yang beredar di Cina. Dengan begitu melalui kebijakan ini masyarakat Cina tidak terpapar dengan budaya dan ideologi Barat yang berpotensi menggeser budaya dan ideologi Cina.

This thesis discusses the implementation of the Chinese Foreign Film Import Policy that regulated in the Film Industry Promotion Law as an effort to defend the socialist ideology from the Western cultural and ideology invasion that entered through Hollywood movies. This study used qualitative research methods. Using the Cultural Policy theory and The Core Value system of Socialist concept, this research attempts to link the implementation of the Film Industry Promotion Law to the efforts of the Chinese government in maintaining socialist ideology. Based on the assumption that there is a connection between Film Industry Promotion Law and the effort to maintain socialist ideology, this study also shows that the successful implementation of Film Industry Promotion Law has implications for eliminate Western culture and ideology contained in Hollywood movies and the dominance of socialist values in movies circulating in China. In this way, through this policy, Chinese society not exposed to Western culture and ideology which has the potential to shift Chinese culture and ideology.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Kurnia
"Dari awal kelahirannya hingga fenomena kontemporer, pertumbuhan industri perfilman Indonesia mengalami pasang surut yang tiada henti. Penelitian ini tertarik membahas posisi dan resistensi industri perfilman nasional terhadap industri film dunia dan sudut pandang ekonomi politik yang dimodifikasi dengan penggunaan world-system theory. Mengingat sudah berpuluh tahun industri perfilman global dikuasai Amerika (Hollywood), kajian ini juga akan melihat aspek historisitas perfilman dunia. Selain itu, mengingat Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia yang industri perfilmannya terhegemoni Hollywood, penelitian ini juga melakukan komparasi terhadap industri perfilman India, Thailand, Singapura dan Korea. Untuk itu, sangat relevan jika peneliti mengungkap : Bagaimana karakteristik world film system yang menggiring pada dominasi Hollywood? Bagaimana proses akumulasi kapital terjadi dalam film dunia? Bagaimana relasi industri perfilman Indonesia sebagai periphery terhadap Hollywood sebagai core dibandingkan dengan industri film negara lain di Asia? Bagaimana perubahan kekuasaan dan kepentingan dalam industri perfilman Indonesia? Bagaimana perkembangan industri perfilman Indonesia merubah posisi core-periphery dalam industri film global?
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis dengan tipe penelitian kualitatif. Untuk pengumpulan data di lapangan digunakan tiga teknik : document analysis berupa buku, dokumen resmi, artikel jurnal cetak rnaupun intemet, hasil penelitian terdahulu dan artikel media massa; indepth¬interview dengan regulator perfilman, pekerja film dan pengamat pertilman; dan observasi. Data yang didapat kemudian dianalisa melalui analisa ekonomi politik kritis dengan varian konstruktivisme kerangka berpikir world-system theory.
Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa industri perfilman global lebih banyak berkembang di Amerika terutama ketika Hollywood memasuki masa keemasan sistem studionya. Sejak itu teknologi maupun genre film dunia di negara
dunia ketiga termasuk Asia dipengaruhi oleh Hollywood. Meskipun begitu, kehadiran teknologi televisi yang diikuti perkembangan media global membuat industri pefilman dunia melakukan pertunangan dengan media lain. Tak heran jika kemudian dunia media global sejak 1990-an dikuasai oleh beberapa perusahaan besar (TNCs). Proses akumulasi kapital yang dilakukan perusahaan besar ini membuat struktur pasar industri film dunia bersifat oligopolic. Relasi yang muncul antara core (Hollywood) dengan negara Asia (periferi) adalah kecenderungan ketergantungan mereka terhadap supply film dari Hollywood. Ketergantungan ini sengaja di-maintain oleh pemain-pemain kuat Hollywood didukung oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional serta armada distribusi intemasional yang kuat.
Kuatnya dominasi Hollywood ini tak berarti akan menimbulkan respon dan resistensi yang sama dari negara-negara Asia lainnya. India menunjukkan keberhasilannya melakukan imitasi Hollywod dengan upaya plusnya menumbuhkan sense lokal dalam film-filmya. Thailand mulai maju ke pentas film dunia internasional dengan mengambil wilayah lain baik secara geografis maupun muatan teks film yang ditawarkan sekaligus bekerjasama dengan industri perfilman Hollywood. Singapura dengan sadar menempatkan industri perfilmannya yang masih kecil untuk terbuka terhadap dominasi Hollywood. Sementara Korea menerapkan strategi integratif untuk mengalahkan film Amerika dengan membuat film nasionalnya menguasai pasaran film Korea.
Sementara itu dalam industri perfilman Indonesia, tampak bahwa negara kurang responsif terhadap perkembangan film dunia. Regulasi film yang dibuat pada masa Orde Baru sudah tidak relevan dengan perkembangan konteks sosial politik pasca reformasi. Selain itu, belum ada upaya jelas menumbuhkan produksi film nasional sekaligus melakukan upaya resistensi terhadap gempuran film impor. Pasar film sendiri menunjukkan film nasional hares bersaing ketat dengan meluapnya film impor di pasaran, televisi dan pembajakan cakram VCD dan DVD. Meskipun begitu, langkah awal untuk menuju pertumbuhan status periferi perfilman Indonesia mulai muncul. Terdapat resistensi yang kuat dari segolongan sineas yang mempunyai background keilmuan film untuk memproduksi film yang berkualitas sekaligus memadukan dengan strategi pasar balk nasional maupun intemasional. Mereka menciptakan pasar dan penonton film baru sekaligus memasarkan film nasional melalui ajang-ajang festival intemasional. Hal yang sama juga dilakukan oleh para sineas film independen yang mempunyai pola produksi dan distribusi yang unik.
Kajian di atas menunjukkan bahwa penggunaan world system theory dalam analisis ekonomi politik secara teoritis memberikan sumbangan yang besar terutama dalam menunjukkan konteks makro industri perfilman nasional dalam tatanan film dunia. Di samping ini, perspektif ini juga memungkinkan penggunaan analisis historis materialis untuk melihat ke belakang pertumbuhan industri film nasional dan global yang mempengaruhi fenomena kontemporer industri perfilman Indonesia. Modifikasi world-system theory dan ekonomi politik media dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa cistern film dunia berikut struktur yang memuat relasi core-periphery bersifat dinamis yang tergantung dengan konteks waktu dan geografis. Respon serta resistensi industri film Indonesia dan negara-negara lain di Asia terhadap dominasi film Hollywood tidaklah bersifat sama. Oleh karena itu, sangat relevan jika pada kajian mendatang dilakukan analisis yang lebih mendalam dan mikro terhadap proses konsumsi ataupun resistensi melalui teks film dalam melihat pertumbuhan industri film nasional.
Sedangkan secara praktis, penelitian ini memberikan pemetaan terhadap permasalahan, tantangan dan prospek masa depan industri perfilman Indonesia yang tak hanya dilihat dari level nasional, melainkan juga global, nasional dan intemasional yang membutuhkan komitmen yang tinggi baik dari pemerintah, pekerja film dan khalayak untuk memanfaatkan momentum panting pertumbuhan film nasional era paska reformasi ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kintan Az Zahra
"Penelitian ini membahas tentang kemunculan film independen, khususnya film Prenjak. Film Prenjak adalah salah satu dari sekian banyak film independen yang tidak berada dalam lingkaran industri perfilman arus utama . Penelitian ini melihat tentang apa yang melatarbelakangi kemunculan film Prenjak, bagaimana cara film Prenjak bertahan di luar arus utama, dan apa saja pencapaian yang sudah diperoleh film Prenjak sejauh ini. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa film Prenjak muncul sebagai respon dari agen dalam Teori Strukturasi Giddens terhadap kondisi Cultural Industries di perfilman Indonesia. Kemudian film Prenjak dapat bertahan karena adanya dukungan dari beberapa pihak dank arena film Prenjak memang sudah memiliki pasar, baik di dalam maupun di luar negeri. Penelitian ini juga menjabarkan bahwa film Prenjak berhasil mendapatkan banyak penghargaan di festival film internasional dan nasional.

This study discusses about the emersion of independent films, especially Prenjak movie. Prenjak is one of so many independent films which is not inside the circle of film industry mainstream. This study sees what is the background of the emersion of Prenjak, how Prenjak survive outside the industry, and what are the achievements of Prenjak so far. This study uses constructionism paradigm and qualitative approach with case study as its strategy.
This study shows that Prenjak emerses as a response from agent on Giddens Structuration Theory to Cultural Industries in Indonesian film industry. Also, Prenjak can survive outside the industry because of the support from some parties and also, Prenjak already has markets, both at home and abroad. Lastly, Prenjak has received many awards until now from both international and national film festivals.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcia Audita
"Festival Film Indonesia FFI merupakan sebuah kompetisi antar insan perfilman sebagai wujud apresiasi bangsa kepada para pekerja film dalam rangka membangkitkan sinema Indonesia. Pelaksanaan FFI sempat mengalami masa kekosongan selama lebih dari satu dasawarsa di tahun 1993 mdash;2003. Berakhirnya masa tugas Panitia Tetap FFI serta tingkat penurunan kuantitas dan kualitas film Indonesia telah memengaruhi arus peredaran film dalam hal produksi, distribusi dan eksibisi hingga menjelang era awal masa reformasi. Masa kekosongan tersebut rupanya diisi oleh aktivitas para sineas muda yang mulai berusaha untuk kembali membangitkan produksi perfilman nasional. Keberhasilan para sineas muda dalam mengembalikan penonton Indonesia mendorong FFI untuk hadir kembali di tahun 2004 dengan puncak jumlah produksi film serta prestasi internasional diraih di tahun 2005. Pada akhirnya skripsi ini membuktikan bahwa masa kekosongan berkepanjangan FFI rupanya tidak menyurutkan dan memengaruhi para sineas untuk terus berkarya membangkitkan kembali industri perfilman nasional yang sempat merosot. Skripsi ini menggunakan pendekatan desktiptif naratif melalui 4 tahapan metode sejarah: heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi.

This thesis discusses about the revival of the national film industry in the middle of the emptiness Indonesian Film Festival 1993 mdash 2005. Indonesian Film Festival FFI is a competition between film makers as an appreciation of the nation to film workers in order to raise Indonesian cinema. Implementation of the FFI had experienced a period of vacancy during a decade in the years 1993 mdash 2003. The Expiration of the Standing Committee of FFI and the rate of decline in the quantity and quality of Indonesian films have affected the flow of circulation of the film in terms of production, distribution and exhibition of up ahead of the beginning of the reform era. The vacancy period apparently filled by the activities of the young filmmakers who began trying to re generating national film production. The succeded of the young filmmakers in the audience restore Indonesia encouraged FFI to be present again in 2004 and the peak in the number of international film production and performance achieved in 2005. At the end of this thesis proves that the prolonged vacancy of FFI apparently did not discourage and affect filmmakers to revive the national film industry which had declined before. This thesis uses descriptive narrative approach through 4 stages of the historical method heuristic, verification, interpretation and historiography."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S63558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghea Kinanti Rizadi
"Aljazair memiliki cukup banyak kebudayaan dan sebagiannya mereka rayakan dengan mengadakan festival. Salah satu festival tahunan yang rutin diadakan di Aljazair adalah festival FiSahara. FiSahara didirikan pada 2003 oleh sahrawi bersama dengan aktivis solidaritas Spanyol dan pembuat film dari Spanyol yang mengunjungi kamp Sahrawi di Aljazair. Penelitian ini mengkaji permasalahan tentang isu Hak Asasi Manusia dalam festival FiSahara. Dalam mewujudkan penelitian ini, penulis menggunakan teori hak asasi manusia dan kebudayaan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa festival FiSahara adalah festival film Hak Asasi Manusia di Aljazair. Sahrawi memperjuangkan hak asasi manusia orang-orang Sahara Barat melalui festival FiSahara. Pemutaran film-film karya Sahrawi di festival FiSahara bertujuan untuk meningkatkan kesadaran internasional tentang krisis hak asasi manusia yang terlupakan. Festival FiSahara melatih dan mendukung para aktivis dan orang Sahrawi untuk menggunakan video secara aman, etis, dan efektif untuk mengungkap pelanggaran hak asasi manusia dan memperjuangkan perubahan hak asasi manusia.

Algeria has quite a lot of culture and part of it they celebrate by holding festivals. One of the annual festivals that are regularly held in Algeria is the FiSahara festival. FiSahara was founded in 2003 by sahrawi together with Spanish solidarity activists and filmmakers from Spain who visited the Sahrawi camp in Algeria. This study examines the issue of human rights in the FiSahara festival. In realizing this research, the author uses the theory of human rights and culture. The method used is a qualitative method using a literature study approach. The results showed that the FiSahara festival is a Human Rights film festival in Algeria. Sahrawi fights for the human rights of the Western Sahara people through the FiSahara festival. The screening of Sahrawi's films at the FiSahara festival aims to raise international awareness about the forgotten human rights crisis. The FiSahara Festival trains and supports activists and Sahrawi people to use video safely, ethically and effectively to expose human rights abuses and fight for human rights change."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annur Hanggiro
"ABSTRAK
Pembajakan film menjadi lazim seiring tersebarnya akses Internet yang menjadi semakin umum
di seluruh dunia. Akses pengunduhan film ilegal menjadi lebih mudah bagi pengguna Internet
dengan adanya protokol P2P dan situs online streaming. Oleh sebab itu industry perfilman lah
yang dirugikan atas perkembangan dan maraknya pembajakan film. Penelitian ini sebertujuan
untuk menganalisa Undang-undang (UU) kekayaan intelektual (IP) yang berkaitan dengan film
dan meninjau kemungkinan solusi untuk masalah ini. Ulasan hukum dan tinjauan pustaka
dilakukan beserta dengan pembagian kuesioner. Hal ini ditemukan bahwa ketatnya UU Kekayaan
Intelektual di sebuah negara berkontribusi dalam melindungi industri dari pembajakan serta
inovasi dari perusahaan jasa streaming dapat menyediakan platform baru bagi industri perfilman
untuk mengubah model bisnis mereka

ABSTRACT
Movie piracy becomes prevalent as the Internet becomes common all over the world. Means of
accessing illegal movies are becoming easier for wide population to access such as the P2P
protocols and streaming websites. The developments of the above contribute to incongruences in
the motion picture industry, as they are the ones who bear the disadvantages from movie piracy.
This study thus aims to analyze the Intellectual Property (IP) Law related to motion picture and
review possible solutions to these problems. Reviews of the laws and literature were conducted
and questionnaires were distributed. It is found that stringent Intellectual Property contribute in
protecting the industry from piracy as well as innovation from streaming services company can
provide new platform for the industry to modify their business model."
2016
S65107
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Coelho, Paulo
New York: Harper Collins, 2009
869.342 COE w
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Direktorat Jendral PPG, Departemen Penerangan , 1991
791.43 IND f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>