Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147024 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sumartini
"Masih tingginya angka kematian neonatal di Indonesia dimana masih mencapai 34/1000 kelahiran hidup. Penyebab kematian neonatal tersebut antara lain adalah disebabkan oleh tetanus neonatorium, diare, pneumoni dan infeksi tali pusat yang mencapai 57,1 % (Djaja, 2003). Dari beberpa penelitian perawatan tali pusat menunjukkan pengaruh metoda terhadap lama puput dan terjadinya infeksi.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain kohort karena melakukan observasi terhadap perawatan tali pusat sampai lepas puput tali pusat yang bertujuan untuk mengetahui hubungan metoda perawatan tali pusat terhadap lama puput tali pusat. Populasi penelitian adalah bayi sehat yang lahir secara spontan di Rumah Sakit Kesdam Jaya Jakarta dibagi tiga populasi untuk masing-masing metoda sebesar 24 bayi. Analisis data meliputi analisa univariat, analisis bivariat dengan uji chi square. Untuk melihat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik untuk melihat faktor yang paling dominan.
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa terdapat 5 variabel yang berhubungan dengan lama puput tali pusat di Rumah Sakit Kesdam Jaya Jakarta yaitu variabel metoda perawatan tali pusat, timbulnya infeksi, cara perawatan, kelembaban tali pusat dan sanitasi lingkungan. Sedangkan berat lahir bayi dan lingkar tali pusat tidak berhubungan. Variabel yang paling dominan berhubungan dengan lama puput tali pusat adalah timbulnya infeksi dan sanitasi lingkungan.
Hasil penelitian menunjukkan rerata waktu pelepasan tali pusat yang dirawat dengan metoda kering terbuka adalah 4,58 hari, kering tertutup 6,58 hari dan alkohol 8,46 hari. Bila dibandingkan perbedaan rata rata lama puput antara metoda alkohol dengan kering terbuka 3,38 hari, antara metoda alkohol dengan kering tertutup 1,88 hari dan antara metoda kering terbuka dengan kering tertutup 2,00 hari (p=0,000) terdapat perbedaan yang bermakna. Sehingga dapat ditarik kesimpulan perawatan tali pusat metoda kering terbuka puput lebih cepat dibandingkan metoda alkohol dan kering tertutup.
Disarankan kepada rumah bersalin dan bidan dapat menerapkan dan dapat memberikan pendidikan kesehatan yang benar kepada ibu yang baru melahirkan agar dapat melaksanakan metoda dan cara perawatan tali pusat yang baik.

Neonatal mortalities in Indonesia are still high reached 34/1000 live births. Some of them are caused by neonatarium tetanus, diarhea, pneumonia and umbilical cord infection that reach 57.1% (Djaja, 2003). Some researches show that there are influences of umbilical cord treatment method to the length of umbilical cord separation and infection occurance.
This study is an observational research using kohort design because it observed the umbilical cord treatment till its separation that aims at knowing the correlation of the umbilcal cord treatment method to the length of its ravelation. The population of this study are normal born healthy babies in Kesdam Jaya Jakarta Hospital which are devided into three populations with 24 babies for each method. The data analysis includes univariat analysis; bivariat analysis with chi square test to see the correlation between independance variable and dependance variable; and multivariat analysis with logistic regression test to see the most dominant factor.
Multivariat analysis results show that there are 5 variables related to the long of umbilical cord separation in kesdam jaya jakarta hospital, that are umbilical cord treatment method, infection occurrence, treatment ways, umbilical cord humidity, and environmental sanitation. While babies? birth weight and the umbilical cord bend are not related. The most dominant variables related to the the long of umbilical cord revelation are the infection occurence and environmental sanitation.
The results show that the time average of umbilical cord ravelation with dry-open treatment method is 4.58 days, 6.58 days with dry-closed method, and 8.46 days with alcohol method. The time average comparation between alcohol and dry-open method is 3.38 days, alcohol and dry-closed method is 1.88 days, and between dry-open and dry-closed method is 2.00 days (p=0.000) which means there is a difference. Therefore, it can be concluded that the umbilical cord ravelation treatment with dry-open method is faster than alcohol and dry-closed method.
It is recommended to the maternity home and the midwife to apply and provide the proper health education to new mothers who give birth in order to implement the proper umbilical cord treatment methods.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T41265
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sumaryani
"Insiden kematian neonatal yang masih tinggi dan mencapai 20/1000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2002). Penyebab utama kematian bayi di Indonesia adalah penyakit infeksi, sedangkan penyebab utama kematian neonatal kelompok umur 8-28 hari adalah infeksi yang disebabkan oleh tetanus neonatorum, diare, pneumoni dan infeksi tali pusat yang mencapai 57,1% (Djaja, 2003).
Penelitian ini merupakan penelitian dengan disain deskriptif `comparative study' yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan waktu pelepasan tali pusat dan kejadian omphalitis pada perawatan tali pusat dengan ASI, alkohol 70%, dan perawatan keying terbuka. Populasi penelitian adalah bayi sehat yang lahir secara spontan di RB Sakina Idaman, RS PKU Muhammadiyah Kota Gede, dan RB Queen Latifa. Sampel daiam penelitian ini adalah 93 bayi baru lahir. PcngambiIan sampel dilakukan dengan quota sampling. Untuk menguji perbedaan rerata waktu pelepasan tali pusat digunakan uji Anova, dan untuk melihat perbedaan jumlah kasus omphalitis digunakan uji Fisher exact.
Hasil penelitian menunjukkan rerata waktu pelepasan tali pusat yang dirawat dengan ASI 5.32, alkohol 70% 6,87 hari, sedangkan kering terbuka 6,65. Waktu pelepasan tali pusat yang dirawat dengan alkohol 70% tidak ada perbedaan yang bermakna bila dibandingkan dengan kering terbuka (p=1,000) dan tidak ada perbedaan yang berrnakna kejadian infeksi lokal tali pusat atau omphalitis antara perawatan tali pusat dengan ASI, alkohol 70% maupun kering terbuka (p=1,000). Kesimpulan penelitian ini adalah waktu pelepasan tali pusat yang dirawat dengan ASI secara signifikan lebih cepat bila dibandingkan tali pusat yang dirawat dengan alkohol 70% maupun kering terbuka (p=4,001). Hasil penelitian ini hendaknya dapat dijadikan masukan untuk mengambil kebijakan dan memilih metode terbaik perawatan tali pusat yang aman, efektif dan efisien.

Incident of neonatal mortality in Indonesia is still high around 20/1000 life birth (Depkes, 2002). Infection disease leads to be the major cause of infants mortality in Indonesia, while infection due to tetanus neonatorum, diarrhea, pneumonia, and umbilical cord infection leads to be the major of neonatal mortality at the age between 8-28 days, which reaches about 57,1% (Djaja, 2003).
This study used `comparative study' descriptive design to identify the different time of umbilical cord separation, between umbilical cord care by using breast milk, alcohol 70%, and dry.care. Population of this study are healthy infants who were delivered spontaniously at Sakina Idaman hospital, PKU Muhammadiyah Kota Gede hospital, Queen Latifa hospital Yogyakarta. A total sample of 93 newborn were taken by quota sampling. The average time of umbilical cord separation was analyzed by Anova test, whereas, the different amount of omphalitis was analyzed by Fisher exact test.
The result of the study shown that the average time of umbilical core separation with breast milk care 5,32 days, alcohol 70% 6,87 days, and dry care is 6,65 days. There is significant different in time of umbilical cord separation between breast milk care and with alcohol 70% care (p=0,001), but there is no significant different in time of umbilical cord separation between alcohol 70% care and dry care (p=1,000). This study result is suggested to be one resource to decide the best umbilical care that very safe, effective and efficien. In another hand there is no significant different of the omphalitis incidens between three group (p=1,000). Conclusion of this study shown that the time of umbilical cord separation with breast milk is more faster than alcohol 70% and dry care.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2006
T17767
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnerita
"Di Indonesia, Angka Kematian Neonatal 25 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian neonatal dini (0-7 hari) 15 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 1997). Menurut survei kesehatan rumah tangga (START) tahun 1995), gangguan perinatal merupakan urutan penyebab kematian bayi di pulau Jawa-Bali (33,5%), diikuti kematian yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut (32,1%). Di luar Jawa-Bali, gangguan perinatal merupakan urutan kedua (26,9%) setelah infeksi saluran pernafasan akut (28%). (Depkes, 2000)
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui lama puput tali pusat bayi baru lahir dengan metode asuhan persalinan normal (APN) dibandingkan dengan metode alkohol.di Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara tahun 2002.
Studi ini menggunakan rancangan cross sectional, responden adalah ibu yang mempunyai bayi dengan menggunakan perawatan tali pusat dengan metode Asuhan Persalinan Normal (APN) di RB Tri TungaI dan ibu yang menggunakan perawatan tali pusat bayinya dengan metode alkohol di Bidan Praktek swasta (BPS) tahun 2003.
Subjek / responden : sebanyak 138 orang , dimana 69 orang menggunakan perawatan tali pusat metode APN dan 69 orang dengan metode Alkohol kemudian ditanyakan lama puput tali pusat pada saat kunjngan pertarna neonatal dan dicatat lama puputtali pusat kedua metode.
Hasil penelitian pada kedua metode tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal umur, pendidikan,BB bayi, jumlah anak, kondisi rumah dan lingkungan. Dari segi biaya lebih murah metode APN bila dibandingkan dengan metode Alkohol. Didapatkan Lama puput tali pusat Perawatan APN < 7 had 53 (76,8%) dan7 hari 16 (23,2%) sedangkan perawatan dengan Alkohol < 7 hari 17 (24,6 %) dan7 hari 52 (75,4%).
Hasil studi menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara metode APN dengan alkohol didapatkan OR 1-0,13 (4,63 - 22,16 . CI 95 %). Perbedaan lama puput tali pusat metode APN dengan metode alkohol secara statistik bermakna (p = 0,00). artinya Efektifitas perawatan tali pusat metode alkohol memiliki kecendrungan 10,13 kali lebih tinggi untuk mengalami lama puput >7 hari bila dibandingkan dengan metode perawatan tali pusat metode APN, bukti-bukti menunjukan bahwa perawatan tali pusat memakai alkohol menyebabkan alkohol dapat membunuh flora normal yang ada pada tali pusat sehingga memperlambat proses puput tali pusat dan mempengaruhi pengeringan tali pusat secara alami (WHO,1999).
Kesimpulan perawatan tali pusat metode Asuhan Persalinan Normal (APN) mempunyai efektivitas lebih baik , sekalipun di daerah prasejahtera I bila dibandingkan dengan perawatan tali pusat dengan metode alkohol terhadap lama puput tali pusat.
Saran penelitian ini hanya dilakukan di Jakarta Utara, dengan karakteristik lingkungan dan perilaku yang berbeda diharapkan pada peneliti lain untuk dapat melakukan diluar DKI Jakarta.

In Indonesia, neonatal mortality is 2512000 live births and mortality rate of early neonatal (0-7 days) is 15/1000 live births (SDKI 1997). According to Household Health Survey (SKRT) 1995, prenatal problem is in the list of infants mortality in Java and Bali (33,5%), followed by acute respiratory infection (32,1%). Outside Java and Bali Island, prenatal is at second rank (26,9%) after acute respiratory infection (28%) (Depkes,2000)
Object of this study is to find out duration of cord stump separation of newborn by normal practice method (APN) compared to alcohol method in sub district of Penjaringan, north Jakarta, 2002.
This study is using cross sectional design, the cases are newborn used normal practice method (APN) Maternity Clinic of Tri Tunggal, and those who used alcohol method in practice of private midwives (BPS) 2003
Total respondents is 138 person, 69 using APN and 69 using alcohol method followed up until cord stump separated and record its duration in both method.
Result of study in these two methods has no significant differences regarding age education, body weight of infant, house and neighborhood condition. From cost aspect APN method is less expensive than alcohol method. Cord stump separation in APN method < 7 days is 53 (76,8) and ≥ 7 days is 17 (23,2%).and in alcohol method 7 days is 17 (24,6%) and ≥ 7 days is 52 (75,4%).
Result of this study shows that there is significant relationship between APN method and alcohol method OR 10,13 (4,63-22,16, 95%CI). Difference duration of cord stump separation between both methods is statistically significant (p=1,00), which mean effectiveness of alcohol method tend to have 10,13 times higher if duration ? 7 days compared to APN, there is evident that cord stump care by using alcohol could kill normal flora in cord stump and slowing down cord stump separation and draining process of cord stump naturally (WHO,1999).
Normal practice method (APN) has better effectiveness, even in poor area compared to practice with alcohol method in regard to duration of umbilical cord stump separation.
This study recommends conducting other studies in another location with different social demography outside Jakarta.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12777
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Yesy Marianna, author
"Latar Belakang: Aktivasi mediator inflamasi diketahui menyebabkan kelahiran preterm. Sitokin dan penanda inflamasi yang terbentuk berhubungan dengan imun tubuh. Vitamin D diketahui berperan pada modulasi respon sistem imunitas tubuh. Penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum ibu dan tali pusat, dengan IL-6 tali pusat dan C Reactive Protein (CRP) darah bayi prematur.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain potong lintang pada subjek ibu hamil 28-34 minggu yang mengalami kelahiran prematur didahului KPD dan bayi yang dilahirkannya, di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta pada bulan Januari 2017 sampai Agustus 2018. Subjek diambil secara consecutive sampling. Variabel data adalah kadar serum vitamin D ibu dan tali pusat, kadar serum IL-6 tali pusat dan kadar CRP darah bayi. Dilakukan kategorisasi dikotomi dan polikotomi (tiga) kadar vitamin D dan dicari hubungannya dengan kadar IL-6 tali pusat dan CRP darah bayi, menggunakan uji Mann-Whitney dan Kruskal Wallis.
Hasil: Sebanyak 70 subjek telah memenuhi kriteria penelitian. Pada kategori dikotomi vitamin D ibu, kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi dari kelompok kadar vitamin D kurang, sedikit lebih tinggi (3,89 pg/ml dan 0,45 mg/dl) dibandingkan kelompok kadar vitamin D normal (3,29 pg/ml dan 0,30 mg/dl), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna (IL-6 p=0,771 dan CRP p = 0,665). Pada kategori polikotomi vitamin D ibu, kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi dari kelompok ibu vitamin D defisiensi, lebih tinggi (20,31 pg/ml dan 0,50 mg/dl) dibandingkan kelompok ibu vitamin D insufisiensi (3,34 pg/mL dan 0,45 mg/dl) dan kelompok ibu vitamin D normal (3,29 pg/mL dan 0,30 mg/dl), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna (IL-6 p=0,665 dan CRP p = 0,899). Pada kategori dikotomi maupun polikotomi vitamin D tali pusat, didapatkan perbedaan tidak bermakna yang terbalik dari kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi.
Simpulan: Tidak didapatkan hubungan antara kadar serum vitamin D ibu dan tali pusat dengan kadar serum IL-6 tali pusat dan CRP darah bayi prematur.

Background: Activation of inflammatory mediators is known to cause preterm birth. Cytokines and inflammatory markers formed are associated with the body's immune system. Vitamin D is known to play a role in modulating the body's immune system response. This study aimed to find out the relationship between the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, with umbilical cord IL-6 and C Reactive Protein (CRP) in premature infants.
Method: This research was an analytic study with a cross-sectional design on the subject of 28-34 weeks pregnant women who experience preterm birth preceded by premature rupture of membranes and their babies, at dr. Cipto Mangunkusumo and Persahabatan General Hospital, Jakarta, from January 2017 to August 2018. Data variables were the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, umbilical cord IL-6 and CRP in premature infants. Vitamin D levels were divided into dichotomy and polycotomy categories, and found out their relationship to the levels of IL-6 and CRP using the Mann Whitney and Kruskal Wallis tests.
Result: A total of 70 subjects met the research criteria. In the maternal vitamin D dichotomy category, the umbilical cord IL-6 and infants CRP levels from the group with low level were less slightly higher (3.89 pg/ml and 0.45 mg/dl) compared to the group with normal level (3.29 pg/ml and 0.30 mg/dl), but the difference was not significant (IL-6 p = 0.771 and CRP p = 0.665). In the maternal vitamin D polycotomy category, umbilical cord IL-6 and infants CRP levels from the deficiency group were higher (20.31 pg/ml and 0.50 mg/dl) compared to the insufficiency group (3.34 pg/mL and 0.45 mg/dl) and the normal group (3.29 pg/mL and 0.30 mg/dl), but the difference was not significant (IL-6 p = 0.665 and CRP p = 0.899). In both dichotomy and polycotomy categories of umbilical cord vitamin D, we found a non-significant difference inversely related to umbilical cord IL-6 and infants CRP levels.
Conclusion: There was no correlation between between the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, with umbilical cord IL-6 and C Reactive Protein (CRP) in premature infants."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Buti Ariani Ar Nur
"Latar Belakang: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang sedang menjadi pandemi di dunia saat ini. Kasus COVID-19 semakin meningkat di seluruh dunia, hingga September 2022 tercatat kasus COVID-19 telah menyebar ke 233 negara dengan total kasus terkonfirmasi lebih dari 600.000.000 dan kasus kematian lebih dari 6.500.000. Coronavirus disease 2019 dapat berkembang menjadi kondisi yang berat dan kritis. Terapi sel punca mesenkimal (SPM) sedang dikembangkan sebagai tambahan tata laksana COVID-19 berat melalui potensi imunomodulator. Skor sequential organ failure assessment (SOFA) adalah sistem penilaian yang dapat digunakan untuk mengetahui derajat keparahan penyakit dan memprediksi mortalitas pasien COVID-19. Sampai saat ini, belum terdapat sistem penilaian yang digunakan sebagai parameter untuk mengetahui efikasi pemberian terapi sel punca mesenkimal tali pusat (SPM-TP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan skor SOFA pada pasien pneumonia COVID-19 yang mendapatkan terapi SPM-TP dan plasebo di RSUP Persahabatan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medik pasien, dilakukan di RSUP Persahabatan Juli 2021-September 2022, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien pneumonia COVID-19 derajat sedang, berat dan kritis yang mendapat terapi SPM-TP atau plasebo di RSUP Persahabatan bulan Juni 2020-Juli 2021 yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil: Didapatkan 29 subjek penelitian yang terdiri dari 13 subjek kelompok perlakuan dan 16 subjek kelompok kontrol. Kedua kelompok memiliki karakteristik dasar yang sama. Perbedaan skor SOFA pada kedua kelompok tidak bermakna secara statistik. Namun, terdapat tren penurunan skor SOFA pada kelompok perlakuan. Perbedaan nilai C-reactive protein (CRP), prokalsitonin (Pct) dan rasio neutrofil limfosit (NLR) pada kedua kelompok tidak bermakna secara statistik. Namun, terdapat penurunan ketiga nilai tersebut pada kelompok perlakuan. Perbedaan lama rawat, pemakaian kanula hidung arus tinggi (KHAT) dan ventilasi mekanis pada kedua kelompok tidak bermakna secara statistik. Proporsi mortalitas lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol walaupun tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna skor SOFA, nilai CRP, nilai Pct, nilai NLR, lama perawatan, lama pemakaian KHAT atau ventilasi mekanis serta mortalitas pada kedua kelompok. Tetapi secara keseluruhan kelompok perlakuan mengalami perbaikan klinis dan laboratorium dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Background: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is a disease that is currently a pandemic in the world. Coronavirus disease 2019 are increasing worldwide, as of September 2022, COVID-19 cases have spread to 233 countries with a total of more than 600,000,000 confirmed cases and more than 6,500,000 deaths. Coronavirus disease 2019 can develop into a severe and critical condition. Mesenchymal stem cell (MSC) therapy is being developed as an adjunct to the management of severe COVID-19 through its immunomodulatory potential. The sequential organ failure assessment (SOFA) score is a scoring system that can be used to determine the severity of disease and predict mortality in COVID-19 patients. Until now, there is no scoring system that is used as a parameter to determine the efficacy of umbilical cord mesenchymal stem cell (UC-MSC) therapy. This study aims to determine the difference in SOFA scores in COVID-19 pneumonia patients who received UC-MSC therapy and placebo at Persahabatan Hospital.
Methods: The design of this study was a retrospective cohort using patient medical record data, conducted at Persahabatan Hospital July 2021-September 2022, with a total sampling technique. The subjects were patients with moderate, severe and critical COVID-19 pneumonia who received UC-MSC or placebo therapy at Persahabatan Hospital in June 2020-July 2021 who met the inclusion criteria.
Results: There were 29 subjects consisting of 13 treatment group and 16 control group. Both groups have the same basic characteristics. The difference in SOFA scores in the two groups was not statistically significant. However, there was a downward trend in SOFA scores in the treatment group. The difference in the value of C-reactive protein (CRP), procalcitonin (Pct) and neutrophil lymphocyte ratio (NLR) in the both group was not statistically significant. However, there was a decrease values ​​in the treatment group. Differences in length of stay, use of high flow nasal cannula (HFNC) and mechanical ventilation in the two groups were not statistically significant. The proportion of mortality was lower in the treatment group compared to the control group although not statistically significant.
Conclusion: There were no significant differences in SOFA, CRP, Pct, NLR, length of stay, length of use of HFNC or mechanical ventilation and mortality in the two groups. However, the treatment group experienced clinical and laboratory improvement compared to the control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beryl Alodia
"ABSTRACT
Penelitian ini menganalisis kemampuan Human Serum Albumin (HSA), Umbilical cord blood (UCB) serum dan Fetal Bovine Serum (FBS) dalam menjaga stabilitas ekspansi ex vivo kultur sel punca hematopoetik (SPH). Sel yang digunakan adalah sel mononuklear dan sel CD34+ dari darah tali pusat yang disimpan beku dalam lingkungan nitrogen. Medium basal kultur yang digunakan adalah RPMI 1640 Biowest dan Stemspan. Jumlah sel hidup dihitung menggunakan metode eksklusi tryphan blue dan fenotipe sel CD34+ dianalisis menggunakan flow cytometry. Pewarnaan Giemsa dilakukan pada sel-sel yang dipanen pada hari ketujuh kultur untuk menganalisis morfologi sel. Besar sampel dalam penelitian ini adalah tiga dan jumlah pengulangan adalah dua kali. Penelitian ini menunjukkan bahwa kultur dengan suplementasi HSA menghasilkan jumlah sel yang lebih rendah namun memiliki persentase CD34+ yang lebih tinggi dibandingkan UCB serum dan FBS. Pewarnaan Giemsa menunjukkan sel-sel darah yang terdiferensiasi paling sedikit ditemukan pada HSA. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, medium dengan suplementasi HSA lebih unggul dari UCB serum dan FBS dalam mempertahankan kepuncaan sel punca hematopoetik.

ABSTRACT
This study analyzed the ability of serum Human Serum Albumin (HSA), Umbilical cord blood (UCB) and Fetal Bovine Serum (FBS) to maintain the stability of ex vivo expansion of hematopoietic stem cell (SPH) cultures. The cells used are mononuclear cells and CD34 + cells from cord blood which are frozen in a nitrogen environment. The basal culture medium used was RPMI 1640 Biowest and Stemspan. The number of living cells was calculated using the tryphan blue exclusion method and the CD34 + cell phenotype was analyzed using flow cytometry. Giemsa staining was carried out on cells harvested on the seventh day of culture to analyze cell morphology. The sample size in this study was three and the number of repetitions was twice. This study shows that culture with HSA supplementation results in lower cell counts but has a higher CD34 + percentage compared to serum UCB and FBS. Giemsa staining shows the least differentiated blood cells are found in HSA. These results indicate that, medium with HSA supplementation is superior to serum UCB and FBS in maintaining hematopoietic stem cell stem cells."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Deviriyanti Agung
"Latar Belakang: Preeklamsia merupakan masalah penting yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal. Preeklamsia berhubungan dengan stres oksidatif pada sirkulasi maternal. Preeklampsia merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan antioksidan sehingga terjadi reaksi inflamasi berlebihan pada kehamilan yang berakibat disfungsi endotel. Antioksidan dan inflamasi dalam tubuh ditentukan oleh status gizi ibu dan bayi yang dapat dinilai dari kadar serum ibu seperti zink, selenium, besi dan tembaga.
Tujuan: Diketahuinya perbedaan kadar zink, selenium, besi dan tembaga dalam serum maternal dan tali pusat pada preeklamsia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah sampel 35 yang melakukan persalinan di RS Cipto Mangunkusumo. Setelah itu data disajikan dalam tabel dan dianalisis dengan uji T berpasangan dan uji Wilcoxon. Penelitian ini sudah lolos kaji etik dan mendapat persetujuan pelaksanaan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI-RSCM.
Hasil: Kadar rerata zink pada serum maternal dan tali pusat adalah 43,17 11,07 g/dl dan 86,66 25,54 g/dl dengan selisih rerata -43,49 27,83, nilai p

Background: Preeclampsia is a significant health problem and is the leading cause of maternal and perinatal mortality and morbidity. Preeclampsia is associated with oxidative stress in the maternal circulation. Preeclampsia was a manifestation of the free radical and antioxidant imbalance resulting inflammation and endothelial dysfunction. Antioxidant dan inflammation was determined by nutrition status that measured in maternal and fetal serum such zinc, selenium, iron and copper.
Objective: Investigate the mean difference of zinc, selenium, iron and copper in maternal serum and fetal umbilical cord in pregnancy with preeclampsia.
Methods: This was a cross sectional study enrolled 35 preeclampsia patients pregnancy visiting Cipto Mangunkusumo Hospital. Data was presented in table and was analyzed by paired T test and Wilcoxon test. This study had been granted ethical clearence and approved by Ethical Committee for Health Research Faculty of Medicine University of Indonesia Cipto Mangunkusumo Hospital.
Result: The zinc maternal level and fetal umbilical cord were 43,17 11,07 g dl and 86,66 25,54 g dl, p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinha Haelamani
"Mikrokapsul alginat-kitosan merupakan invensi yang berpotensi mengatasi permasalahan pada terapi berbasis sel punca. Mikrokapsul alginat-kitosan dapat digunakan untuk mengenkapsulasi sel punca yang tidak memiliki kecocokan HLA agar dapat ikut ditransplantasikan. Penggunaan mikrokapsul alginat-kitosan sebagai proteksi sel punca, mengharuskan mikrokapsul bersifat biokompatibel dan tidak mudah terdegradasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji biokompatibilitas dan biodegradasi mikrokapsul alginat-kitosan berisi sel punca dari tali pusat. Pengujian biokompatibilitas mikrokapsul alginat-kitosan berisi sel punca dilakukan secara in vivo dengan mentransplantasi mikrokapsul alginat-kitosan berisi sel punca ke dalam sumsum tulang tikus. Pengujian biodegradasi mikrokapsul alginat-kitosan dilakukan secara in vitro dengan menimbang berat mikrokapsul alginat-kitosan berisi sel punca dan tanpa sel punca selama 10 hari. Hasil yang didapatkan dari pengujian biokompatibilitas mikrokapsul alginat-kitosan berisi sel punca yaitu persentase jumlah monosit pada tikus kelompok kontrol dan perlakuan lebih tinggi dari batas normal. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi inflamasi kronik pada tikus. Namun, hasil uji ANOVA dari persentase jumlah sel darah putih antara tikus kelompok kontrol dan perlakuan mengindikasikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persentase jumlah sel darah putih pada tikus kelompok kontrol dan perlakuan (P>0,05). Berdasarkan hasil uji ANOVA diperoleh kesimpulan bahwa inflamasi kronik yang terjadi pada tikus bukan disebabkan oleh mikrokapsul alginat-kitosan berisi sel punca yang ditransplantasi atau mikrokapsul alginat-kitosan berisi sel punca bersifat biokompatibel. Hasil pengujian biodegradasi mikrokapsul alginat-kitosan berisi sel punca dan tanpa sel punca yaitu terjadi kerusakan morfologi dan penurunan berat pada kedua jenis mikrokapsul alginat-kitosan secara signifikan selama 10 hari (P<0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi degradasi pada kedua jenis mikrokapsul alginat-kitosan. Namun, hasil uji two way ANOVA pada data perubahan berat kedua jenis mikrokapsul alginat-kitosan memperoleh nilai P>0,05, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa keberadaan sel di dalam mikrokapsul alginat-kitosan tidak mempengaruhi laju degradasi mikrokapsul alginat-kitosan.

Alginate-chitosan microcapsules is the invention that can handle the stem cell-based therapies’s problems. Alginate-chitosan microcapsules can use to encapsulate the non matching stem cells in order that, they are can be transplanted. As protector of stem cells, alginate-chitosan microcapsules have to be biocompatible and can not be degradad. This study aimed to evaluate the biocompatibility and biodegradation of the alginate-chitosan microcapsules with stem cells from umbilical cord. In vivo biocompatibility testing of alginate-chitosan microcapsule with stem cells were carried out by transplanting the microcapsule into the bone marrow of rat. Alginate-chitosan microcapsule biodegradability testing in vitro were carried out by measuring the weight of the microcapsules with or without stem cells for 10 days. The result of alginate-chitosan microcapsule with stem cells biocompatibility testing showed that the percentage number of monocytes from control and treatment groups’s rat higher than normal. It’s indicate that there is chronic inflammation in the rats. However, the ANOVA test results of the white blood cells’s percentage number between the control and treatment group of rats, indicated that there was no significant difference between the white blood cells’s percentage number in the control and treatment group of rats (P> 0.05). Based on the results of the ANOVA test, we can concluded that chronic inflammation in rat is not caused by alginate-chitosan microcapsules with stem cells which transplanted into the rats or alginate-chitosan microcapsules with stem cells are biocompatible. The results of the alginate-chitosan microcapsules containing stem cells and without stem cells biodegradation testing were there is morphological damage and significan weight loss for both types of alginate-chitosan microcapsules for 10 days (P <0.05). This indicated that there is degradation in both types of alginate-chitosan microcapsules. However, the two way ANOVA test results on the weight change data of the two types of alginate-chitosan microcapsules obtained a P value > 0.05, so we can conclude that the presence of cells in the alginate-chitosan microcapsules did not affect the degradation rate of the alginate-chitosan microcapsules."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Tjahjadi
"Asfiksia perinatal berhubungan dengan luaran buruk neonatus, seperti buruknya skor Apgar; kebutuhan resusitasi dan ventilasi bertekanan positif, perdarahan intraventrikuler, hypoxic ischemic encephalopathy, hingga terjadinya kematian dini neonatus. Pemantauan kesejahteraan janin melalui berbagai modalitas indirek dilakukan untuk mendeteksi dini faktor risiko asfiksia perinatal, meskipun pemeriksaan gas darah tali pusat diakui sebagai metode baku penetapan status asam basa dan penegakkan keadaan asfiksia yang objektif. Asidosis metabolik janin menurut ACOG dan AAP ditegakkan jika dijumpai pH arteri tali pusat ≤ 7 dan defisit basa ≥ 12 mmol/L, tetapi masih belum diketahui nilai pH dan BD yang dapat digunakan untuk memprediksi kejadian luaran buruk neonatus. Penelitian ini dilakukan di RSUPNCM selama bulan Mei – Agustus 2020 terhadap persalinan dengan usia kehamilan di atas 27 minggu, baik secara spontan maupun operasi. Desain penelitian adalah kohort prospektif dengan masa pemantauan bayi baru lahir selama 7 hari. Sejumlah 135 subjek yang memenuhi kriteria diikutsertakan dalam penelitian ini. Nilai pH < 7,2015 dapat diterapkan pada sampel arteri maupun vena tali pusat karena menunjukkan akurasi baik dan prediktif terhadap kejadian luaran buruk neonatus jangka pendek, dengan nilai RR masing-masing 4,05 dan 5,9. Nilai BD arteri tali pusat tidak menunjukkan kemaknaan dalam memprediksi luaran buruk neonatus jangka pendek.

Perinatal asphyxia is associated with adverse neonatal outcomes, such as poor Apgar score, the need for positive pressure ventilation and resuscitation, intraventricular hemorrhage, hypoxic ischemic encephalopathy, and the occurrence of early neonatal death. Monitoring of fetal well-being through various indirect modalities is performed to detect the risk of developing perinatal asphyxia, although cord blood gas testing is recognized as the reference method of determining neonatal acid-base status and diagnosing perinatal asphyxia. According to ACOG and AAP, fetal metabolic acidosis is confirmed if either umbilical cord artery pH ≤ 7, or a base deficit ≥ 12 mmol / L is found, but it is still unknown whether pH and BD values could be used to predict the incidence of adverse neonatal outcomes. This research was conducted at the dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital during May - August 2020 on spontaneous or caesarean deliveries with a gestational age of more than 27 weeks. The study design was a prospective cohort with 7 days monitoring period of newborns. A total of 135 subjects who met inclusion criteria were included in this study. The pH value of < 7.2015 showed good accuracy and predictive of short-term adverse outcome for both arterial and venous umbilical cord, with RR of 4.05 and 5.90 respectively. Umbilical cord BD was insignificant as short-term neonatal adverse outcomes predictor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Darryl Darian Suryadi
"Pendahuluan Fibrosis hati adalah kondisi ketika hati mengalami cedera kronis dan terbentuk jaringan parut termasuk kolagen sehingga tidak lagi mampu berfungsi dengan baik. Terapi sel punca mesenkimal asal tali pusat merupakan terapi regeneratif yang dikembangkan untuk penyembuhan penyakit jejas hati kronis. Hasil penelitian terdahulu terhadap tikus yang diinduksi dengan 2AAF/CCl4 dan diberi sel punca mesenkimal asal tali pusat dosis 1 x 106 menunjukkan adanya perbaikan fibrosis hati yang ditimbulkan akibat pemberian 2AAF/CCl4 tersebut. Penelitian ini akan menggunakan CCl4, suatu zat yang akan merusak hati tikus secara akut dan akan membandingkan dua dosis sel punca mesenkim asal tali pusat yaitu dosis 1 x 106 dan 3 x 106. Metode Penelitian ini menggunakan bahan biologis tersimpan blok parafin dari jaringan hati tikus Wistar yang dipulas dengan pulasan khusus Masson’s Trichrome. Terdapat empat kelompok sampel yang digunakan, yaitu kelompok CCl4, kelompok 1 x 106 sel punca, kelompok 3 x 106 sel punca, dan kelompok kontrol sehat. Seluruh pulasan dari tiap kelompok difoto menggunakan kamera yang terhubung ke mikroskop. Derajat fibrosis pada setiap lapangan pandang dihitung menggunakan kriteria NASH beserta luas hati yang terkena fibrosis. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk mengetahui dosis mana yang lebih baik untuk memperbaiki fibrosis hati.
Hasil Kelompok tikus dengan induksi CCl4 saja menunjukkan 100% sampel mengalami fibrosis, sedangkan kelompok sehat memperlihatkan hanya sekitar 30% sampel yang mengalami fibrosis. Kelompok tikus dengan induksi CCL4 dan diberikan 1 x 106 sel punca menunjukkan 71% sampel masih mengalami fibrosis, sedangkan pada kelompok dengan pemberian 3 x 106 sel punca jumlah sel yang mengalami fibrosis adalah 87%. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara derajat fibrosis di semua kelompok uji. Di sisi lain, pemberian 1 x 106 sel punca berhasil menurunkan luas hati yang terkena fibrosis.

Background Liver fibrosis is the excessive accumulation of extracellular matrix proteins including collagen that occurs in most types of chronic liver diseases. Previous studies have shown that the injection of mesenchymal stem cell is beneficial to alleviate liver fibrosis. However, the optimum dose of stem cell that must be administered is not yet fully understood. Previous research used 1 x 106 stem cells to treat 2AAF/CCl4 – induced rat liver which simulates a chronic liver injury. Results show that the degree of fibrosis was significantly reduced. In this study, only CCl4 will be used to simulate an acute liver injury and two doses of human umbilical cord-derived mesenchymal stem cell (hUC-MSC), 1 x 106 and 3 x 106, is used to analyze which dose is better to treat liver fibrosis. Methods This study uses archived biological materials on Wistar rat livers as formalin-fixed-paraffin-embedded (FFPE) which has been treated with Masson’s Trichrome staining. Four group samples were used in this study, which are the CCl4 group, 1 x 106 hUC-MSC group, 3 x 106 hUC-MSC group, and healthy control group. Slide samples were photographed using a microscope and the results collected. The degree of fibrosis is then investigated using the NASH criteria and the mean percentage affected area is calculated. Further statistical analysis is conducted to know which treatment is better at reducing liver fibrosis. Results The group with the highest degree of fibrosis is the CCl4 group with 100% of the samples experiencing fibrosis. On the other side, the healthy control group has the lowest degree of fibrosis where around 70% of the samples showing no fibrosis. Both the 1 x 106 and 3 x 106 hUC-MSC group show some samples having no fibrosis while the majority still had fibrosis of different degrees. Approximately 29% of the samples of the 1 x 106 hUC-MSC group did not show fibrosis while only 13% of the samples showed no fibrosis in the 3 x 106 hUC-MSC group. However, there were no statistical difference in the degree of fibrosis found in all the samples. On the contrary, analysis of the fibrosis affected area showed that the 1 x 106 group is beneficial to reduce the affected area of liver fibrosis. Conclusion The administration of 3 x 106 stem cells does not create a better outcome in terms of liver fibrosis. In contrast, the group which was treated with only 1 x 106 stem cells showed that there is a decrease in the affected area of fibrosis even if the degree of fibrosis was not significantly decreased."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>