Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23862 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 2010
TA545
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eman Rusmana
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S38702
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlyn Sippy Prisetyo
"Latar Belakang: Atraumatic Restorative Treatment atau perawatan restoratif atraumatik adalah teknik perawatan minimal invasif untuk merestorasi gigi dengan menggunakan instrumentasi tangan. Material yang dapat digunakan untuk perawatan restoratif atraumatik adalah semen ionomer kaca. Baru-baru ini, beredar di pasaran Indonesia semen ionomer kaca Shofu FX Ultra yang diklaim dapat digunakan untuk ART. Dalam rongga mulut, restorasi semen ionomer kaca mengalami gaya mastikasi dan terpapar saliva. Belum ada penelitian mengenai pengaruh perendaman didalam larutan saliva buatan terhadap kekuatan tarik diametral semen ionomer kaca Shofu FX Ultra. Tujuan: Mengetahui pengaruh lama perendaman didalam larutan saliva buatan terhadap kekuatan tarik diametral Shofu FX Ultra. Metode: Pembuatan 36 spesimen semen ionomer kaca Shofu FX Ultra mengikuti standar ISO 9917-1/2007 dibagi ke dalam 6 kelompok perlakukan perendaman yaitu didalam larutan saliva buatan pH 7 dan pH 4,5 masing-masing didiamkan selama 1,7, 14 hari dalam inkubator 37° C. Nilai kekuatan tarik diametral diuji dengan alat Shimadzu Universal Testing Machine. Analisis data dengan uji statistik One Way Anova dan uji Independent Sample T-test. Hasil: Rerata nilai kekuatan tarik diametral setelah perendaman pada kelompok perlakuan perendaman pH 7 dengan lama perendaman (1,7, dan 14 hari secara berurutan) yaitu sebesar 6,40±0,45 MPa, 5,39±0,45 MPa, dan 5,30±0,46 MPa. Rerata nilai kekuatan tarik diametral setelah perendaman pada kelompok perlakuan perendaman pH 4,5 dengan lama perendaman (1,7, dan 14 hari secara berurutan) yaitu sebesar 4,83±0,54 MPa, 4,54±0,36 MPa, dan 3,51±0,39 MPa. Rerata kekuatan tarik diametral semen ionomer kaca yang direndam dalam larutan saliva buatan pH 7 dan pH 4,5 terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p<0,05). Rerata kekuatan tarik diametral semen ionomer kaca antara pH 7 dengan pH 4,5 pada lama perendaman 1 hari, 7 hari, dan 14 hari terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p<0,05). Nilai kekuatan tarik diametral setiap kelompok terdapat perbedaan bermakna, kecuali pada kelompok perendaman saliva buatan pH 7 antara lama perendaman 7 dan 14 hari serta perendaman saliva buatan pH 4,5 antara lama perendaman 1 dan 7 hari. Kesimpulan: Nilai kekuatan tarik diametral semen ionomer kaca Shofu FX Ultra lebih besar pada perendaman didalam larutan saliva buatan pH 7 daripada pH 4,5. Semakin lama perendaman, nilai kekuatan tarik diametral semen ionomer kaca Shofu FX Ultra semakin menurun.

Background: Atraumatic Restorative Treatment is a minimally invasive treatment technique to restore teeth using hand instrumentation. The material that can be used for atraumatic restorative treatment is glass ionomer cement. Recently, glass ionomer cement Shofu FX Ultra has been around in the Indonesian market and is claimed to be used for ART. In the oral cavity, the glass ionomer cement restoration is exposed to masticatory forces and saliva. There has been no research on the effect of immersion in artificial saliva solution on the diametral tensile strength of Shofu FX Ultra glass ionomer cement. Objective: To determine the effect of immersion time in artificial saliva solution on the diametral tensile strength of Shofu FX Ultra. Methods: Preparation of 36 specimens of Shofu FX Ultra glass ionomer cement according to the ISO 9917-1/2007 standard was divided into 6 groups by immersion treatment, namely in artificial saliva solution pH 7 and pH 4.5, each of which was left for 1.7, 14 days in incubator 37° C. The diametral tensile strength values were tested using the Shimadzu Universal Testing Machine. Data analysis with One Way ANOVA statistical test and Independent Sample T-test. Results: The mean diametral tensile strength values after immersion in the pH 7 immersion treatment group with long immersion (1.7, and 14 days respectively) were 6.40 ± 0.45 MPa, 5.39 ± 0.45 MPa, and 5.30±0.46 MPa. The mean values of diametral tensile strength after immersion in the immersion treatment group pH 4.5 with long immersion (1.7, and 14 days respectively) were 4.83 ± 0.54 MPa, 4.54 ± 0.36 MPa, and 3.51±0.39 MPa. The mean diametral tensile strength of glass ionomer cement between pH 7 and pH 4.5 at immersion time of 1 day, 7 days, and 14 days showed statistically significant differences (p<0.05). There was a significant difference in the diametral tensile strength values of each group, except for the artificial saliva immersion pH 7 group between 7 and 14 days and the artificial saliva immersion pH 4.5 between 1 day and 7 days. Conclusion: The diametral tensile strength value of Shofu FX Ultra glass ionomer cement was greater when soaked in an artificial saliva solution pH 7 than pH 4.5. The longer the immersion, the value of the diametral tensile strength of Shofu FX Ultra glass ionomer cement decreased."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeny Pusvyta
"Perancangan dan pengembangan mesin uji tarik prototip-3 dilakukan untuk menyempurnakan mesin uji tarik prototip-2 yang perancangannya masih belum sesuai standar. Berdasarkan studi literatur menurut standar ASTM E-8M tentang kecepatan pembebanan pengujian tarik dan ukuran spesimen dilakukan perubahan atau chuck dan sistem pembebanan pada mesin uji tarik prototip-2. Untuk memenuhi target desain industri, dilakukan survey mengenai kenyamanan penggunaan mesin uji tarik yang menjadi masukan perancangan penyempurnaan mesin. Performa mesin dilihat dari pengujian penarikan putusnya beberapa spesimen silindris dan lembaran di daerah gage length, serta bentuk grafik yang mirip dengan spesimen yang diuji dengan mesin uji tarik standar.

Design and develop tensile test machine prototype-3 held for perfecting tensile test machine prototype-2 not in accordance with the standard. According to ASTM E-8M about load speed of tensile testing by changing the specimen size or chuck and loading system in tensile machine prototype-2. Survey conducted in order to achieve industrial design target, focusing on the comfort in using the tensile machine which became consideration in re-dsign the tensile machine. The engine performance can be seen from frcture of some round tension and sheet specimen in gage length area and chart from similar from specimen which retested with standard tensile machine."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
T27597
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Freenando Welly Moses
"Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ketebalan lasan dan kekuatan tarik pada sambungan material AA1100 menggunakan teknik Resistance Spot Welding (RSW) dengan elektroda berbahan Cu dan CuCrZr. Parameter yang dianalisis meliputi radius hasil lasan, tebal lasan, dan kekuatan tarik sambungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata radius hasil lasan menggunakan elektroda CuCrZr adalah 1,03 mm, dengan tebal lasan rata-rata 0,4 mm. Nilai tertinggi radius lasan adalah 1,11 mm pada spesimen II, sedangkan tebal lasan tertinggi adalah 0,78 mm pada spesimen V. Sebaliknya, elektroda Cu menghasilkan ratarata radius hasil lasan sebesar 1,35 mm dan tebal lasan rata-rata sebesar 1,35 mm. Radius lasan tertinggi tercatat sebesar 1,58 mm pada spesimen II, sedangkan tebal lasan tertinggi adalah 1,69 mm pada spesimen II. Untuk uji kekuatan tarik, Maximum Tensile Shear Load menggunakan elektroda CuCrZr terdapat pada spesimen V dengan nilai 12,37 N, sedangkan elektroda Cu menghasilkan kekuatan tarik tertinggi pada spesimen II sebesar 87,04 N. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis material elektroda memiliki pengaruh signifikan terhadap ketebalan lasan dan kekuatan tarik sambungan. Elektroda Cu menunjukkan performa yang lebih baik dalam menghantarkan arus, menghasilkan heat generation yang lebih optimal, memperbesar radius dan tebal lasan, serta meningkatkan kekuatan tarik sambungan lasan.

This study aims to compare the weld thickness and tensile strength of AA1100 material joints using the Resistance Spot Welding (RSW) technique with Cu and CuCrZr electrodes. The analyzed parameters include weld radius, weld thickness, and joint tensile strength. The results showed that the average weld radius using CuCrZr electrodes was 1,03 mm, with an average weld thickness of 0,4 mm. The highest weld radius was 1,11 mm on specimen II, while the highest weld thickness was 0,78 mm on specimen V. In contrast, Cu electrodes produced an average weld radius of 1,35 mm and an average weld thickness of 1,35 mm. The highest weld radius was 1,58 mm on specimen II, while the highest weld thickness was 1,69 mm on specimen II. Regarding tensile shear strength tests, the highest tensile load using CuCrZr electrodes was found in specimen V, with a value of 12,37 N, while Cu electrodes produced the highest tensile load on specimen II, with a value of 87,04 N. Based on these results, it can be concluded that the electrode material significantly affects weld thickness and tensile strength. Cu electrodes demonstrated superior current conductivity, resulting in more optimal heat generation, increasing weld nugget and thickness, and also ultimately improved tensile strength of the weld joint. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nedi Sawego Yogya
"Roller compacted concrete (RCC) adalah jenis beton yang menggunakan pasta semen yang sangat sedikit sehingga pemadatan harus dilakukan dengan roller. Studi ini dilakukan untuk mengetahui efek penambahan fly ash pada RCC dan perbandingannya dengan beton konvensional non-OPC. Penelitian ini utamanya fokus untuk mendapatkan kuat tarik belah dan modulus elastisitas dengan metode DIC. Terdapat tiga variasi campuran, terdiri dari RCC dengan semen Portland Composite Cement (PCC) “EZPRO”, beton konvensional dengan semen pozzolan jenis Ground Granulated Blast Furnace Slag (GGBS) “MaxStrength”, dan beton konvensional dengan semen EZPRO. Kuat tekan desain dari semen RCC adalah 15 MPa dan variasi beton konvensional MaxStrength dan EZPRO memiliki kuat tekan desain sebesar 30 MPa.

Roller compacted concrete (RCC) is a type of concrete that uses very minimal amount of cement paste that it requires roller compactor. This study was conducted to determine the effect of adding fly ash to RCC (Roller Compacted Concrete) and its comparison with conventional non-OPC (Ordinary Portland Cement) concrete. The research is focused on obtaining the split tensile strength and modulus of elasticity using the DIC (Digital Image Correlation) method. There are three mix variations, consisting of RCC with Portland Composite Cement (PCC) "EZPRO," conventional concrete with Ground Granulated Blast Furnace Slag (GGBS) pozzolan cement "MaxStrength," and conventional concrete with EZPRO cement. The design compressive strength of RCC cement is 15 MPa, while the design compressive strength of the conventional MaxStrength and EZPRO concrete is 30 MPa."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Rivaldo
"Friction Stir Welding (FSW) merupakan teknologi pengelasan solid-state yang menggunakan prinsip gesekan tanpa mencairkan material, sehingga lebih hemat energi dan ramah lingkungan karena tidak memerlukan consumable part. Teknologi ini memiliki potensi besar dalam industri transportasi seperti otomotif dan dirgantara karena efisiensi dan hemat energinya. Namun, tantangan utama FSW adalah cacat pengelasan seperti tunnel defect, yaitu rongga yang terbentuk dalam sambungan akibat parameter atau geometri tool yang tidak sesuai. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh variasi kecepatan translasi (traverse speed) dan geometri tool terhadap kualitas sambungan pada material aluminium AA7075 dengan ketebalan 6 mm khususnya untuk mengurangi tunnel defect. Kecepatan putar dijaga konstan pada 1400 RPM, dengan kecepatan translasi 10, 12, dan 15 mm/min, serta tiga geometri tool berbeda pada shoulder end surface: rata, cekung, dan cembung. Setelah pengelasan, dilakukan pengujian tensile strength sebanyak 5 kali repetisi, uji kekerasan, dan analisis struktur makro. Hasil penelitian berhasil menunjukkan bahwa geometri tool memengaruhi terjadinya tunnel defect. Tool dengan shoulder cekung menghasilkan ukuran tunnel defect paling kecil dibandingkan tool rata, sementara tool rata menghasilkan tunnel defect lebih kecil dibandingkan tool cembung. Tool cekung juga memberikan nilai Ultimate Tensile Strength (UTS) tertinggi, menunjukkan efektivitasnya dalam meningkatkan kualitas sambungan.

Friction Stir Welding (FSW) is a solid-state welding technology that operates based on the principle of friction without melting the material, thereby offering greater energy efficiency and environmental sustainability due to the absence of consumable parts. This technology holds significant potential in transportation industries such as automotive and aerospace, owing to its efficiency and energy-saving characteristics. However, one of the primary challenges associated with FSW is the occurrence of welding defects, particularly tunnel defects, which are voids formed within the weld due to inappropriate parameters or tool geometry. This research aims to examine the influence of traverse speed variations and tool geometry on the weld quality of AA7075 aluminum with a thickness of 6 mm, focusing specifically on mitigating tunnel defects. The rotational speed was maintained constant at 1400 RPM, with traverse speeds set at 10, 12, and 15 mm/min, and three different tool geometries for the shoulder end surface: flat, concave, and convex. Post welding evaluations included tensile strength testing conducted in five repetitions, hardness testing, and macrostructure analysis. The findings indicate that tool geometry has a substantial impact on the occurrence of tunnel defects. The concave shoulder tool produced the smallest tunnel defects compared to the flat tool, while the flat tool yielded smaller defects than the convex tool. Furthermore, the concave shoulder tool demonstrated the highest Ultimate Tensile Strength (UTS), underscoring its effectiveness in enhancing weld quality. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adnan Hariadi
"ABSTRAK
Gelagar jembatan segmental sering dibangun dikota-kota besar karena tidak memerlukan area yang terlalu besar dan mampu mengurangi gangguan lalu lintas sekitarnya pada saat ereksi gelagar tersebut. Gelagar segmental terbuat dari beton mutu tinggi yang di prategang dimana penyambungan segmen-segmen tersebut di fasilitasi oleh kunci geser dan epoksi. Dalam perancangan kunci geser, perlu diketahui sifat-sifat mekanik baik beton mutu tinggi maupun epoksi tersebut. Pengetahuan hubungan tegangan regangan dari beton mutu tinggi dan epoksi akan memudahkan perancangan tersebut. Pada penelitian ini akan didapat hubungan tegangan regangan tekan dan tegangan regangan tarik dari beton mutu tinggi serta tegangan regangan geser epoxy yang didapat dari pengujian tekan silinder beton mutu tinggi, pengujian tarik langsung beton mutu tinggi dan pengujian geser epoxy. Hasil ketiga hubungan tegangan regangan akan didapatkan persamaan polynomial yang merepresntasikan penyebaran dari kurva-kurva hasil pengujian.

ABSTRACT
Segmental bridge girder is commonly built in urban areas because it does not necessarily occupy a large area for the construction and able to reduce traffic disturban during its erection process. The segmental girder is constructed from high strength concrete where the each segmental connection is facilitated by shear key and epoxy. In designing shear key, it is necessary to identify the mechanical properties for the high strength concrete either epoxy. The identification to relationship between stress strain of high strength concrete and epoxy will simplify when designing it. This research will acquire compression stress strain and tension stress strain relationship on high strength concrete also shear stress strain epoxy by conducting compression test on cylindrical high strength concrete, direct tension test on high strength concrete and epoxy shear test. The result of those three test will generate polynomial equation which represents distribution from test result rsquo s curves.
"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Widya Murti
"Kemampuan beton dalam menahan tegangan tarik lebih kecil dibandingkan dalam menahan tegangan tekan. Kekuatan tarik ini dapat menimbulkan keretakan pada beton. Kuat tarik pada beton harus ditingkatkan dengan menggunakan serat kawat ke dalam campuran beton sejumlah proporsi berat terhadap semen. Pengujian tarik belah dan lentur dilakukan secara eksperimental dalam laboratorium. Untuk uji tarik belah dilakukan pada hari ke-7, 14, dan 28. Ukuran dari benda uji tarik belah yaitu silinder 15 x 30 cm. Pengujian lentur dilakukan menggunakan balok ukuran 15 x 15 x 60 cm. Spesimen diuji dengan konfigurasi lentur murni pada umur 14 dan 28 hari. Berbagai variasi serat kawat yang digunakan sebagai persentase volume untuk kadar semen yaitu 4%, 6%, 8%, 10%, dan 12%. Jenis serat kawat yang digunakan yaitu kawat bendrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan menahan tarik dalam beton berserat mengalami peningkatan.
Dari hasil pengujian, didapatkan bahwa variasi yang menunjukkan peningkatan paling besar yaitu 6%. Untuk kuat tarik belah terjadi peningkatan sebesar 36,89% dan untuk kuat lentur terjadi peningkatan sebesar 46,06%. Dengan menggunakan regresi polinomial, didapatkan persentase kadar maksimum yang lebih akurat. Untuk tes tarik belah kadar maksimum kawat bendrat sebesar 5,4 % dan untuk tes lentur sebesar 5,7%. Untuk perbandingan antara kuat tarik belah dengan kuat tekan beton dengan kawat bendrat menghasilkan koefisien perbandingan antara 0,480 ? 0,653. Sementara perbandingan antara kuat lentur dan kuat tekan beton kawat bendrat memiliki koefisien dalam kisaran 0,74 ? 1,07. Sedangkan perbandingan antara kuat tarik belah dan kuat lenturnya pada beton kawat bendrat memiliki koefisien antara 0,61 ? 0,65.

The capability of normal concrete to resist tensile stress is weaker than that of it to the compressive stress. As the capacity of tensile strength of concrete affect to the happening of crack growth, this tensile strength has to be improved by using some amount of steel fiber into concrete mixtures in weight proportion to the cement content. Splitting and flexural research has been conducted by set of laboratory experimental work. Testing speciments for splitting tensile tests performed at 7, 14, and 28 days. Size of cylinder speciment for splitting tensile test is 15 x 30 cm. A flexural research done to numbers of beam specimens size of 15x15x60 cm tested under pure bending configuration at the age of 14 and 28 days. Various proportions of steel fiber as volume percentage to cement content were chosen to be 4%, 6%, 8%, 10%, and 12% and the type of steel fiber is replaced by annealed wire. The research outcomes show that the capacity of this type of fibered concrete is physically improved.
From the result of test, it was found that the variation which shows maximum increase is 6%. For splitting test the increase is 36,89% and for flexural test has 46,06% increase. Polynomial regression can found the maximum percentage more accurately. By using this, we found for splitting tensile strength, the maximum percentage is 5,4% and for flexural test, we found that maximum percentage is 5,7%. For comparison between splitting test and compressive strength of steel fiber concrete has coeffiecient 0,480 ? 0,653. While the comparison between flexural test and compressive strength has coefficient 0,74 ? 1,07. Then, for comparison bertween splitting test and flexural test of steel fiber concrete has coefficient between 0,61 to 0,65.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S123
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Edenbert Dormantua
"Pada industri bangunan kapal, pengelasan merupakan metode yang sangat umum dipakai untuk melakukan penyambungan pelat-pelat baja. Di galangan, juru las menggunakan besar arus dan kecepatan pengelasan yang bervariasi. Seringkali alasan yang sering dipakai adalah untuk mengejar deadline pengerjaan kapal sehingga sesuai dengan timeline yang telah direncanakan. Ada juga dengan motivasi yang kurang bisa dipertanggungjawabkan, yaitu agar pekerjaan cepat selesai. Fenomena yang biasa terjadi adalah kuat arus dinaikkan dari standar galangan atau kecepatan pengelasan ditingkatkan menjadi lebih tinggi. Hal ini mempengaruhi kualitas sambungan akhir, seperti perbedaan struktur makro dan mikro hasil las yang selanjutnya berimplikasi pada sifat-sifat mekanis material.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara parameter proses MMAW terhadap struktur makro hasil las serta hubungannya dengan sifat mekanis material baja berkekuatan tarik tinggi setelah proses pengelasan. Parameter pengelasan yang dipakai adalah kuat arus dan kecepatan pengelasan. Arus las yang dipakai dalam penelitian ini adalah 110 A yang merupakan standar galangan, 120 A, dan 130 A sedangkan kecepatan pengelasan divariasikan berdasarkan kecepatan pengelasan normal (yang biasa dipakai juru las), dipercepat, dan diperlambat dari kecepatan pengelasan normal.
Hasil pengelasan tersebut diuji di laboratorium untuk memperoleh foto struktur makro sambungan material setelah melalui proses pengelasan. Dari foto struktur makro, akan diperoleh analisis perubahan struktur makro pada material yang selanjutnya akan dihubungkan terhadap sifat-sifat mekanis akhir material. Penelitian ini nantinya akan memperlihatkan parameter pengelasan optimum yang akan digunakan pada industri bangunan kapal (galangan) untuk membangun kapal.

In ship building industry, welding is a very common method used to establish joining plates of steel. In the shipyard, welder often use vary large current and travel speed. Frequently, the reason often used is to pursue the construction deadline so that the vessel in accordance with the timeline. There is also lack of motivation that can be accounted for, such as speedy completion. A common phenomenon is welding currents of shipyard standard raised or welding speed increased becomes higher than the normal. This affects the quality of the final joining, such as differences in the macro-structur and micro-structur of welds which would have implications for the mechanical properties of the material.
This study aimed to explore the relationship between process parameters MMAW against the macro-structure of welds and its relationship with the mechanical properties of high tensile strength steel material after the welding process. Welding parameters used are welding currents and welding speed. Welding currents used in this study was 110 A which is a standard of shipyard, 120 A, and 130 A while welding speed was varied by normal welding speed (which is usually used by welder), accelerated and slowed from the normal welding speed.
Welds are tested in the laboratory to obtain macro-structure photo of the joining after the welding process. From the photo, it will be obtained the analysis of changes macro-structure of the material which would be linked to the mechanical properties of the final material then. This study will show the optimum welding parameters to be used in the ship building industry (shipyard) to build the ship.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S59547
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>