Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 215498 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ghea Shafa Aldora
"Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan masalah kesehatan global yang serius. HIV dapat diatasi dengan terapi Antiretroviral (ARV) yang dapat memperlambat perkembangan penyakit dan meningkatkan harapan hidup penderita. Akan tetapi, penggunaan obat ARV yang tidak tepat dapat berdampak buruk pada pasien HIV seperti timbulnya efek samping obat atau terjadinya resistensi virus. Apoteker dalam pelayanan klinis memiliki peranan penting dalam melakukan evaluasi penggunaan obat untuk memastikan efektivitas pengobatan dan menghindari risiko kesehatan yang dapat timbul. Oleh karena itu, dilakukanlah evaluasi penggunaan obat HIV menggunakan metode Early Warning Indicator (EWI) di Puskesmas Kecamatan Cakung. Laporan ini dilakukan dengan melakukan kajian literatur mengenai HIV, terapi ARV, serta metode EWI. Selanjutnya dilakukan pengambilan data yang dibutuhkan seperti data kunjungan pasien HIV tahun 2022, regimen obat yang digunakan oleh tiap pasien, dan data obat yang tersedia di Puskesmas Kecamatan Cakung. Data yang telah terkumpul dimasukkan ke dalam Excel yang berisi format metode EWI lalu dilakukanlah analisis terhadap hasil tersebut. Berdasarkan laporan ini, didapatkan bahwa kepatuhan pasien mengambil tepat waktu, keberlangsungan stok ARV, dan praktik pemberian obat ARV di Puskesmas Kecamatan Cakung telah memenuhi target. Sedangkan, analisis terhadap retensi dalam perawatan dan supresi virologis tidak dapat dilakukan dikarenakan terbatasnya data yang tersedia.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a serious global health problem. HIV can be treated with Antiretroviral (ARV) therapy which can slow the progression of the disease and increase the life expectancy of the patients. However, inappropriate use of ARV drugs can harm HIV patients, such as drug side effects or viral resistance. Pharmacists in clinical services have an important role in evaluating drug use to ensure the effectiveness of treatment and avoid health risks that can arise. Therefore, an evaluation of the use of HIV drugs was carried out using the Early Warning Indicator (EWI) method at the Cakung Subistrict Public Health Center. This report was conducted by conducting a literature review on HIV, ARV therapy, and the EWI method. Next, the required data was collected, such as HIV patient visit data in 2022, drug regimens used by each patient, and the available drugs at the Cakung District Health Center. The data that has been collected is entered into Excel which contains the format of the EWI method and then an analysis of the results is carried out. Based on this study, it was found that patient adherence to timely taking, the continuity of ARV stocks, and the practice of administering ARV drugs at the Cakung District Health Center had met the target. Meanwhile, analysis of retention in treatment and virological suppression could not be carried out due to the limited available data."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"[Latar Belakang: Ko-infeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV) pada infeksi virus hepatitis C memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Salah satu defek imunologik yang terjadi pada ko-infeksi ini ialah dalam hubungannya dengan populasi sel NK (CD56+CD3-) dan NKT (CD56+CD3+) di hati, yang dalam keadaan normal berperan penting dalam jejas di hati dan fibrogenesis. Kedua populasi sel ini dikatakan menurun dan mengalami disfungsi pada ko-infeksi ini dan dikaitkan dengan progresivitas penyakit serta fibrosis di hati. Pemberian Anti Retroviral Therapy (ART) diharapkan dapat memperbaiki defek imunologik pada kedua populasi sel ini. Immune restoration disease (IRD) virus hepatitis C merupakan salah satu efek samping pemberian ART pada ko-infeksi ini dan mungkin melibatkan kedua populasi sel tersebut.
Bahan dan Metode: Pulasan imunohistokimia dengan CD56 dilakukan pada 39 spesimen biopsi pasien sebelum pemberian ART dan 26 spesimen setelah pemberian ART selama 48 minggu. Parameter klinik dan histopatologik dari penelitian sebelumnya dicatat. Rerata sel limfosit CD56+ dihitung dalam 3-5 area porta yang terlihat.
Hasil: Rerata sel limfosit CD56+ tidak meningkat setelah pemberian ART (p=0,35) dan tidak menunjukkan korelasi baik dengan skor fibrosis, jumlah sel T CD4+ di darah tepi, viral load HIV dan viral load virus hepatitis C. Tidak didapatkan pula perbedaan rerata sel limfosit CD56+ antara kelompok dengan dan tanpa IRD virus hepatitis C.
Kesimpulan: Ko-infeksi HIV dan virus hepatitis C mungkin memiliki efek permanen pada sel NK dan NKT di hati dan pemberian ART saja tidak dapat mengembalikan jumlah kedua populasi sel tersebut., Background: Human immunodeficiency virus (HIV) and hepatitis C virus (HCV) coinfection has a high mortality and morbidity rate. One of the immunological defects in this coinfection is in NK (CD56+CD3-) and NKT (CD56+CD3+) cells population in the liver, which in normal condition have important role in liver injury and fibrogenesis. Both cell populations decrease in numbers and have dysfunction in this coinfection and are related with disease progression and fibrosis in the liver. Anti retroviral therapy (ART) given to coinfected patients is expected to repair immunological defect in both NK and NKT cell populations. HCV immune restoration disease (IRD) is one of the side effects of ART in this coinfection and may also involve both cell populations.
Materials and methods: Immunostaining with CD56 was performed on 39 biopsy samples of coinfected patients at baseline and 26 biopsy samples after 48 weeks of ART. Both clinical and histopathological parameters from previous study were noted. Means of CD56+ lymphocyte were counted over 3-5 portal areas.
Result: Means of CD56+ lymphocyte counts did not increase after ART (p=0.35) and did not correlate with fibrotic score, CD4+ T cell count in peripheral blood, and neither with HIV and HCV viral load. There was no difference in CD56+ lymphocytes count between HCV IRD and non HCV IRD group.
Conclusion: HIV/HCV coinfection might have permanent effect on both NK and NKT cells population and ART alone can not reverse NK and NKT cell numbers in this coinfection.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Firyanto Widjaja
"Latar Belakang: Hubungan antara hepatitis C dan penyakit ginjal kronik (PGK) sudah semakin jelas. Sirosis hati dan kadar virus pada hepatitis C dikatakan berhubungan dengan PGK, namun hal ini masih menjadi kontroversi.
Tujuan: Mengetahui prevalensi PGK serta hubungannya dengan sirosis hati dan kadar virus pada pasien hepatitis C.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong-lintang yang dilakukan pada Agustus 2018 sampai Januari 2019 di Poliklinik Hepatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia. Subjek dipilih secara konsekutif pasien dengan antiHCV positif dan ditanyakan kesediannya. Subjek dengan HIV, hepatitis B, riwayat hemodialisis, dan batu ginjal dieksklusi. Data diambil melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, elastrografi transien, pemeriksaan darah dan urin. Pasien didiagnosis PGK bila terdapat kelainan laju filtrasi glomerolus at au albuminuria atau hematuria persisten selama tiga bulan. Analisis statistik menggunakan kai kuadrat untuk data kategorik dan menggunakan regresi logistik untuk mengendalikan variabel perancu.
Hasil: Dari total 185 subjek yang mengikuti penelitian ini didapatkan prevalensi PGK sebesar 23,2% dengan 95% IK 17,12-29,28% pada subjek dengan hepatitis C. Sirosis hati berhubungan dengan terjadinya PGK pada hepatitis C dengan crude OR 2,786 (1,276-6,081) dan adjusted OR 2,436 (1,057-5,614) setelah mcngendalikan diabetes melitus, usia, dan jenis kelamin. Tidak didapatkan hubungan antara kadar virus dengan PGK (p=0,632).
Simpulan: Terdapat hubungan antara sirosis hati dengan PGK dan tidak terdapat hubungan antara kadar virus dengan PGK pada pasien dengan hepatitis C."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dwi Rahayu Nur Laila Praptiwi
"Latar Belakang: Cakupan pemberian obat antiretroviral (ARV) yang semakin luas berdampak positif dengan menurunnya angka kematian dan kesakitan pasien HIV/AIDS. Waktu inisiasi pemberian terapi ARV pada pasien HIV juga berhubungan erat dengan penurunan angka kematian dan kesakitan. Tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV menyebabkan angka kematian yang lebih tinggi yaitu 10% dibanding yang tidak tertunda. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV penting untuk diketahui sehingga dapat dilakukan upaya pengendalian terhadap faktor-faktor tersebut sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada pasien HIV.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien HIV rawat jalan dewasa di UPT/HIV RSUPNCM yang memulai ARV pertama kali selama periode Januari 2013-Desember 2014. Data klinis dan laboratorium didapatkan dari rekam medis pasien. Tertundanya inisiasi terapi ARV dinyatakan bila pasien belum memulai terapi ARV 10 minggu setelah diagnosis HIV. Faktor-faktor yang diteliti adalah jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, Indeks Massa Tubuh (IMT), status fungsional, stadium klinis HIV, dan infeksi oportunistik. Uji regresi logistik digunakan untuk mengetahui hubungan faktor-faktor tersebut dengan tertundanya inisiasi terapi ARV.
Hasil: Terdapat 444 pasien yang memulai terapi ARV pertama kali, 107 pasien (24,1%) yang tertunda inisiasi terapi ARV dan 337 pasien (75,9%) tidak tertunda. Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan 3 variabel yang memiliki kemaknaan statistik yaitu stadium klinis lanjut (p<0,001), status fungsional rendah (p<0,001) dan adanya infeksi oportunistik (p<0,001). Pada analisis multivariat lebih lanjut terdapat dua variabel yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV yaitu stadium klinis lanjut (OR: 2,92, IK95% 1,53-7,40, p=0,02) dan adanya infeksi oportunistik (OR 1,99, IK95% 1,21-3,29, p=0,01).
Simpulan: Stadium klinis lanjut menurut WHO dan adanya infeksi oportunistik merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV.

Background: Increase access towards antiretroviral therapy (ART) contribute to global decrease of HIV/AIDS-associated morbidity and mortality. Time to initiation of ART in eligible HIV-infected patients is associated with reduction of mortality and morbidity. Delayed initiation of antiretroviral therapy can lead to increase of mortality rate more than 10% compared to early initiation. It is important to identify factors associated with delayed initiation ART among HIV patient in order to control these factors and thus lower the mortality and morbidity in HIV patients.
Objectives: To identify factors associated with delayed initiation of ART in HIV patients.
Methods: This study was a cross sectional study among adult HIV patients in Out-patient Clinic of HIV Integrated Clinic Cipto Mangunkusumo General Hospital who started ARV therapy for the first time (ART-naïve patients) enrolled from January 2013 to December 2014. Clinical and laboratory data were extracted from medical records. Delayed initiation ART was defined as eligible patients didn?t initiate ART within 10 weeks after the diagnosis of HIV infection. Factors identified were gender, education level, employment, marital status, WHO clinical stage, BMI, functional status, and the presence of opportunistic infection. Logistic regression test was used to find factors associated with delayed initiation of ART.
Results: There were 444 subjects in this study, which consisted of 107 patients (24.1%) who delayed initiation of ART and 337 patients (75.9%) who didn?t delayed initiation of ART. Based on the bivariate analysis, there were three variables statistically significance, which were advanced WHO clinical stage (p<0.001), lower functional status (p<0.001) and the presence of opportunistic infection (p<0.001). Further multivariate analysis showed that there were two variables associated with delayed initiation of ART, which were advanced WHO clinical stage (OR: 2.92, 95%CI 1.53-7.40, p=0.02) and the presence of opportunistic infection (OR 1.99, 95%CI 1.21-3.29, p=0.01).
Conclusion: Advanced WHO clinical stage and the presence of opportunistic infections are factors associated with delayed initiation of ART among HIV patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinanti Maulida Pravdani
"Karsinoma hepatoseluler (KHS) adalah salah satu kanker dengan laju mortalitas tertinggi di dunia. Kadar serum alfa-fetoprotein (AFP) dapat digunakan sebagai biomarker untuk menegakkan diagnosis dini. Tetapi, perbandingan antara kadar serum AFP dan KHS dengan etiologi infeksi virus dan etiologi non infeksi virus belum diketahui. Mengetahui perbandingan antara kadar serum AFP dan KHS dengan etiologi infeksi virus dan etiologi non infeksi virus. Penelitian potong lintang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Januari-Oktober 2018 dengan melihat data rekam medis dari 287 pasien yang terdiagnosis KHS dalam periode 2013-2017. Nilai median (minimum-maksimum) dari kadar AFP pada pasien KHS dengan etiologi infeksi VHB atau VHC adalah 419 (0.8-400.000). Nilai median (minimum-maksimum) kadar AFP pada pasien KHS dengan etiologi non infeksi VHB-VHC adalah 7.18 (0.6-90.944). Terdapat perbedaan bermakna antara kadar AFP dengan KHS dengan etiologi infeksi VHB atau VHC dan etiologi non infeksi VHB-VHC.

Hepatocellular carcinoma (HCC) is one of the highest rates of mortality in the world. Serum alpha-fetoprotein (AFP) levels can be used as a biomarker for early diagnosis. However, the comparison between serum AFP and HCC with viral infections etiology and non-viral etiology is unknown. This research aims to determine the comparison between serum AFP and HCC with viral infections etiology and non-viral aetiology. A cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta in January to October 2018 by reviewing 287 medical records of patients diagnosed with HCC from 2013-2017 period of time. The median (minimum-maximum) value of AFP levels in HCC patients with the etiology of HBV or HCV infection is 419 (0.8-400,000). The median value (minimum-maximum) of AFP levels in HCC patients with the etiology of non HBV-HCV infection was 7.18 (0.6-90,944). There were significant differences between AFP levels and KHS with the etiology of HBV or HCV infections and the etiology of non HBV-HCV infections."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwinanda Aidina Fitrani
"Latar belakang: Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dapat menjadi infeksi oportunistik pada anak dengan HIV. Gejala infeksi EBV sulit dibedakan dengan infeksi HIV dan bersifat laten. Infeksi EBV laten dapat reaktivasi mulai dari gangguan limfoproliferatif hingga terjadinya keganasan. Di Indonesia belum ada data mengenai infeksi EBV pada anak dengan HIV.
Tujuan: Mengetahui proporsi, karakteristik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Penelitian potong lintang untuk melihat karakteristik infeksi EBV pada anak dengan HIV dan faktor-faktor yang berhubungan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, periode bulan September 2020 hingga Februari 2021. Sampel darah diambil untuk dilakukan pemeriksaan PCR EBV kualitatif (whole blood), darah perifer lengkap, kadar CD4 dan viral load HIV.
Hasil: Total subyek 83 anak dengan HIV. Proporsi subyek terinfeksi EBV sebesar 28,9%, dengan rerata usia 9,58 tahun. Limfadenopati merupakan gejala terbanyak, meskipun tidak dapat dibedakan dengan infeksi lain. Dua anak mengalami keganasan akibat EBV yaitu Limfoma Non Hodgkin dan leiomiosarkoma. Sebanyak 75% subyek terinfeksi EBV yang berusia di bawah 12 tahun mengalami anemia (rerata Hb 10,68 ± 2,86 g/dL), dapat disebabkan infeksi EBV atau penyebab lain. Hasil analisis bivariat menunjukkan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada subyek (OR 2,69 (1,015-7,141); P = 0,043).
Simpulan: Proporsi anak dengan HIV yang terinfeksi EBV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah 28,9%, dengan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV.

Background: Epstein-Barr virus (EBV) infection can be an opportunistic infection in HIV-infected children. EBV infection is difficult to be differentiated from HIV infection, and it can be latent. Latent EBV infection can reactivate into lymphoproliferative disorders and malignancy. There is no data on EBV infection in HIV-infected children in Indonesia.
Objective: To identify the proportion, manifestations and factors associated with EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta.
Methods: Cross-sectional study to examine the manifestations of EBV infection in HIV-infected children and it’s associated factors in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta, during September 2020 to February 2021. Blood samples were taken to examine qualitative EBV PCR (whole blood), complete blood count, CD4 levels and HIV viral load.
Results: Total subjects were 83 HIV-infected children. The proportion of children infected with EBV was 28.9%, with mean age 9.58 years. Lymphadenopathy was the most common symptoms, although it was difficult to differentiate from other infections. Two children have malignancy due to EBV, namely Non-Hodgkin's lymphoma and leiomyosarcoma. Total 75% of EBV-infected subjects under 12 years of age were anemic (mean Hb 10.68 ± 2.86 g/dL), could be due to EBV infection or other causes. Bivariate analysis showed HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with EBV infection in subjects (OR 2.69 (1.015-7.141); P = 0.043).
Conclusion: The proportion of EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta is 28.9%, with HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with the EBV infection in HIV-infected children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Sanityoso Sulaiman
"Latar Belakang. SNP IL-28B mempunyai peran penting dalam pencapaian SVR pada pengobatan Hepatitis C kronik antarras manusia dan berpotensi untuk memprediksi keberhasilan terapi Peg-IFN/RBV maupun penyembuhan spontan Hepatitis C akut. Hingga saat ini, mekanisme molekular yang mendasari kaitan SNP IL-28B dengan respons terapi masih belum jelas meskipun diperkirakan terkait dengan ekspresi IFN-l3 dan reseptor IFN-l3 di jaringan hati.
Tujuan. Mengetahui hubungan SNP IL-28B dan SVR serta ekspresi IFN-l3 dan reseptor IFN-l3 di jaringan hati serta mendapatkan kemaknaan klinis SNP IL-28B dan kovariat SVR dalam memprediksi respons terapi Peg-IFN/RBV.
Metode. Penelitian ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, penelitian potong lintang pada pasien Hepatitis C kronik yang telah selesai menjalani terapi Peg-IFN/RBV dengan melakukan pengambilan data dasar dan sampel darah. Kedua, penelitian kasus kontrol pasien yang menjalani biopsi hati dan pewarnaan imunohistokimia.
Hasil. Pencapaian SVR yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan alel CC SNP IL28B (p=0,014). Alel CC SNP IL28B mempunyai ekspresi IFN-l3 lebih tinggi dibandingkan dengan alel non-CC (p = 0,018). Meskipun demikian, tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna antara ekspresi IFN-l3 (p = 0,237) maupun reseptor IFN-l3 dengan SVR (p = 0,237). Pada penelitian ini, diformulasikan persamaan faktor risiko pencapaian SVR sebagai p = 1 / (1 + e-y); e = 2,7, y = -2,498 + 2,652 (SNP IL-28B) + 2,029 (trombosit) untuk praterapi dan sedangkan untuk masa terapi y = -0,223 + 2,621 (RVR).
Simpulan. SNP IL-28B merupakan faktor risiko praterapi yang penting dalam pengobatan hep C kronik G1 menggunakan terapi dua kombinasi. Alel mayor IL28B mengekspresikan IFN-l3 dan reseptornya lebih banyak sebagai respons adanya VHC, namun tidak ditemukan adanya hubungan hal tersebut dengan pencapaian SVR. RVR merupakan faktor masa terapi terbaik untuk memprediksi SVR. Penelitian lanjutan diperlukan untuk membuktikan adanya faktor lain yang berperan dalam pencapaian SVR.

Background: SNP IL-28B played an important role in achieving sustained virological response (SVR) among different ethnics in chronic Hepatitis C patients and is considered potential in predicting treatment response of Pegylated interferon/ribavirin (Peg-IFN/RBV) combination and spontaneous clearance in acute hepatitis. Up to date, molecular mechanism underlying correlation between SNP IL28B and SVR has not been fully understood yet although it is predicted to be related to IFN-λ3 and IFN-λ3 receptor in liver tissues.
Aim: Understanding the association between SNP IL-28B and SVR in chronic Hepatitis C treatment and expression of IFN-l3 and IFN-l3 receptor in liver tissues to evaluate clinical importance of SNP IL-28B examination in Hepatitis C treatment of Peg-IFN/RBV through SVR prediction model.
Methods: This study consisted of two parts. First, a cross-sectional study on chronic Hepatitis C patients who completed Peg-IFN/RBV therapy. The second part was case control study on patients underwent liver biopsy and immunohistochemical staining.
Results: Sustained virological response was significantly higher in CC allele of SNP IL-28B compared to non CC allele (p = 0.015). Higher expression of IFN-l3 was found in CC allele compared to non CC allele (p = 0.018). On the other hand, there is no significant difference between SVR and expression of IFN-l3 (p = 0.237) and IFN-l3 receptor (p = 0.237). Risk factor for SVR probability were formulated into p = 1 / (1 + e-y); e = 2.7, y = -2.498 + 2.652 (SNP IL-28B) + 2.029 (thrombocytes) for pretreatment while for on treatment risk factor y = -0.223 + 2.621 (RVR)
Conclusion: SNP IL-28B was important pretreatment risk factor in genotype 1 chronic Hepatitis C treated with dual therapy. Major allele of IL-28B expressed more IFN-l3 and its receptor in response to HCV although no association between both factors was found. RVR was the best on treatment factor for SVR. Further evaluation study was required to find other possible factors affecting SVR achievement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Sanityoso
"[Association between SNP IL-28B and Sustained Virological Response and Its Relation with Expression of Interferon Lambda-3 and Interferon Lambda-3 Receptor in Liver Tissues of Chronic Hepatitis C Patients Treated with Pegylated Interferon α2 and Ribavirin;Association between SNP IL-28B and Sustained Virological Response and Its Relation with Expression of Interferon Lambda-3 and Interferon Lambda-3 Receptor in Liver Tissues of Chronic Hepatitis C Patients Treated with Pegylated Interferon α2 and Ribavirin, Association between SNP IL-28B and Sustained Virological Response and Its Relation with Expression of Interferon Lambda-3 and Interferon Lambda-3 Receptor in Liver Tissues of Chronic Hepatitis C Patients Treated with Pegylated Interferon α2 and Ribavirin]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>