Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147715 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
cover
Universitas Indonesia, 1987
TA3905
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Zen Zanibar M.Z.
Depok: Universitas Indonesia, 1995
TA3338
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasichatun Asca
"Kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup dalam pengelolaan B3 harus direncanakan dengan cermat karena merupakan bagian dari proses pembangunan industrialisasi. UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Dalam UUPLH, mengenai pengelolaan Limbah B3 diatur dalam pasal 17 dan pasal 21.
Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengelolaan B3, antara lain PP No.19/1994 tentang Pengelolaan Limbah B3. PP No.19/1994 merupakan jawaban pertama Pemerintah dalam upaya untuk memberikan pedoman peraturan yang dapat diterapkan oleh para pelaku usaha atau dunia industri yang berhubungan langsung dengan lingkungan terutama dengan limbah B3 lain. PP No. 19 Tahun 1994 dengan perangkat hukum yang dimaksudkan untuk mendorong industri penghasil limbah B3 agar meminimalisasi jumlah limbah B3, PP ini kemudian digantikan dengan PP No. 12 Th 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti lagi dengan PP No. 18 Th 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, kemudian dirubah dengan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti dengan PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3. Ada banyak perubahan yang dalam PP yang baru ini, antara lain mengenai istilah, tidak lagi dengan istilah limbah tetapi langsung dengan penyebutan Bahan Berbahaya dan Beracun dan diijinkan kegiatan ekspor dan impor B3.
Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan lalu lintas batas limbah, dengan dasar ratifikasi Konvensi Basel, yang bertujuan mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara tidak sah, antara lain: Keputusan Presiden RI No. 61/1993 tentang Pengesahan Convention on The Control of Trans-boundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/X/f92 tentang Pelarangan Limbah B3 dan Plastik, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 155/Kp/VII/95 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Import dan Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 156/Kp/VII/95 tentang Prosedur Impor Limbah.
Penegakan hukum dalam masalah B3, berkaitan erat dengan kemampuan aparat dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Hal ini merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administrasi, kepidanaan dan keperdataan. Aparat penegak hukum lingkungan adalah: Polisi; Jaksa; Hakim; dan Pejabat/Instansi yang berwenang memberi izin; serta Penasihat Hukum. Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung. Instrumen bagi
penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan. Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan. Penegakan hukum secara pidana umulnnya selalu mengikuti pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut. Penegakan hukum lingkungan keperdataan hendaklah dibedakan dari upaya penyelesaian sengketa dengan cara gugatan lingkungan. Untuk memperoleh ganti kerugian bagi korban pencemaran akibat perbuatan melawan hukum oleh pencemar, karena sifatnya individual. Gugatan perdata yang dimaksud dalam penegakan hukum lingkungan dilakukan oleh penguasa apabila sarana penegakan hukum administratif kurang memadai.
Sarana yang dipergunakan dalam upaya penegakan hukum lingkungan meliputi: sarana administrasi; pidana dan Perdata. Sarana administrasi bersifat preventif dan tujuannya sebagai penegakan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan. Dalam sarana administrasi ini dapat diterapkan konsep "Pollution Prevention Pays" terhadap perusahaan dalam proses produksinya. Sanksi administrasi memiliki fungsi instrumental, yaitu untuk mengendalikan perbuatan terlarang, juga sebagai perlindungan kepentingan yang dijaga dengan ketentuan tersebut. Bentuk administrasi ini antara lain: Paksaan Pemerintah atau tindakan paksa, Uang paksa, Penutupan tempat usaha, Penghentian kegiatan mesin perusahaan, Pencabutan izin melalui proses, teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang paksa. Sarana Kepidanaan, dalam delik lingkungan diatur dalam Pasal 41 s.d 48 UUPLH yang menyangkut penyiapan alat-alat bukti serta penentuan hubungan kausal antara pencemar dan yang tercemar. Tata caranya dalam beberapa pasal tersebut tunduk terhadap UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sarana Keperdataan, dalam hal ini yang dimaksud adalah penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-¬undangan lingkungan, terdapat kemungkinan beracara singkat bagi pihak ketiga yang berkepentingan untuk menggugat kepatuhan terhadap undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan dikaitkan dengan uang paksa ("injuction"). Gugatan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan atas dasar Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 35 PP No. 74 Tahun 2001, dapat dilakukan baik melalui cara berperkara di pengadilan atau melalui media penyelesaian sengketa lingkungan.
Mengenai hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3 meliputi: Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat dan hak untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui saluran sarana hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat di bidang lingkungan hidup. Dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 Pasal 5 ayat (1) disebutkan: "Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat." Peran serta masyarakat dalam pengelolaan limbah B3 lebih diutamakan dalam hal prosedur penerapan peraturan. Peran serta
masyarakat dalam pengelolaan B3 tersebut selain memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, juga dapat mereduksi kemungkinan terjadinya konflik. Peran serta masyarakat dapat efektif dan berdaya guna, apabila kepastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya, adanya Informasi lintas batas dan informasi tepat waktu. Pasal 35 PP No. 74 Tabun 2001 tentang Pengelolaan B3, menyebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3 ini sedangkan dalam Pasal 36 PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3, disebutkan setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan B3 sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T19184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
S. Budhisantoso
"ABSTRAK
Kegiatan penelitian ini direncanakan berlangsung dua tahun anggaran, dengan harapan hasil akhir yang diperoleh adalah suatu kerangka acuan bagi model pengelolaan lingkungan secara tradisional dibeberapa daerah di Indonesia yang dapat dikomunikasikan kedaerah-daerah lainnya. Model pengelolaan lingkungan secara tradisional ini diharapkan dapat menjadi pola yang khas yang dikembangkan didaerah lain mengingat adanya permasalahan yag dihadapi oleh beberapa daerah di Indonesia pada masalah lingkungannya semakin dirasakan mendesak untuk diatasi. Karena itu dengan tahapan penelitian yang dilakukan dalam dua tahap maka diharapkan tujuan dari penelitian ini dapat dicapai.
Dengan mengangkat permasalahan bahwa masalah lingkungan tidak bisa dipisahkan dari permasalahan sosial budaya yang berkembang disuatu daerah, maka diasumsikan bahwa setiap komunitas dimanapun berada telah mempunyai suatu pola pengelolaan lingkungan secara tradisional. Sistem sosial budaya yang berkembang pada komunitas tersebut merupakan wujud dari suatu pengaturan pola tingkah laku masyarakat nya pada lingkungan kehidupan. Pola tingkah laku masyarakat yang berkembang terhadap lingkungan kehidupan baik itu lingkungan fisik maupun biologis mengembangkan pula tradisi dan adat mengenai tingkah laku bagaimana sebaiknya lingkungan kehidupan dikelola. Bagi beberapa masyarakat dan komunitas yang ada di Indonesia beberapa diantaranya telah mempunyai pola-pola pengelolaan lingkungan secara tradisional yang pada masa sekarang masih dipertahankan dan dikembangkannya. Sementara itu tantangan pembangunan dimasa sekarang dan intervensi teknologi telah banyak mengubah pola-pola pengelolaan lingkungan yang ada didaerah-daerah lainnya. Berdasar permasalahan tersebut maka penelitian ini mencoba untuk mengangkat suatu permasalahan yang lebih khusus yaitu perlunya mendeskripsikan pola-pola pengelolaan lingkungan secara tradisional yang ada."
Lengkap +
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
G. J. Viandrito
"Gerakan lingkungan di Amerika Serikat mengemuka sejak tahun 1960-an. Dukungan kuat masyarakat Amerika Serikat terhadap gerakan lingkungan menguat seiring meningkatnya kesadaran akan besarnya bahaya akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Pemerintah pun didorong untuk segera mengambil tindakan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya bencana ekologis lebih lanjut, dengan memperbanyak perundangan di bidang lingkungan hidup. Gerakan lingkungan hidup dinilai ikut berperan dalam mempengaruhi opini masyarakat, dengan memberi informasi mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang dihadapi Amerika Serikat bahkan dunia.
Namun demikian organisasi-organisasi lingkungan hidup itu sendiri terdiri dari berbagai spektrum yang luas, dengan prinsip dan gaya politik yang beraneka, dengan ideologi dan ciri yang beraneka. Jumlah anggota organisasi-organisasi lingkungan ini pun melonjak secara signifikan, dan di tahun 1990-an tercatat mencapai tujuh juta orang. Hal ini tentu menjadi suatu kekuatan politik tersendiri.
Sebagai sebuah `interest group' pada gilirannya ternyata turut memberi tekanan pada penetapan berbagai kebijakan lingkungan di Amerika Serikat. Di tengah tekanan dari gerakan lingkungan, berbagai kebijakan lingkungan pun terus bermunculan, diantaranya Clean Air Act, Federal Water Pollution Control Act Amendments, Safe Drinking Water Act dan Multiple Use-Sustained Yield Act. Meski berbagai perundangan lingkungan telah diluncurkan, namun dalam pelaksanaannya ataupun penegakan hukum atas perundangan tersebut masih mengalami banyak tantangan dan hambatan. Kegagalan implementasi perundangan tentu akan memerosotkan kredibilitas institusi federal yang mendapatkan mandat untuk melaksanakan perundangan tersebut. Namun demikian berbagai pihak ternyata turut serta memberikan andil dalam "melumpuhkan" institusi pelaksana perundangan ini.
Presiden dan Kongres dinilai juga turut melemahkan institusi pelaksana perundangan lingkungan. Pemerosotan kredibilitas institusi federal ini, dilakukan pemerintah federal dengan Cara memberikan beban yang terlalu berat untuk ditangani institusi federal, selain kurangnya `political will'. Selain itu dalam banyak kasus, pemerintah federal sendiri cenderung lebih pro pada kepentingan bisnis.
Berbagai perundangan lingkungan terlihat masih menyediakan celah-celah, yang memungkinkan berbagai pihak mengambil keuntungan, sekaligus menggagalkan implementasi perundangan. Pihak-pihak tersebut adalah kelompok bisnis dan negara bagian yang "kaya" (kuat dalam basis industrinya).
Kasus yang terjadi pada kebijakan lingkungan, dengan demikian menunjukkan adanya suatu kontroversi politis. Di satu sisi, banyak perundangan lingkungan telah diloloskan pemerintah federal dalam kurun waktu yang relatif singkat (lebih dari 50 perundangan dalam kurun 1960-1992), namun di sisi lain justru implementasi perundangan tersebut terhambat atau bahkan gagal/digagalkan karena kurangnya kemauan politik (political will) dari pemerintah federal.
Selain itu dalam kasus kebijakan lingkungan, keterlibatan dari berbagai kekuatan politik tersebut terlihat sangat intens, karena kebijakan lingkungan merupakan suatu kebijakan politik yang sensitif. Intensnya interaksi dan keterlibatan diantara kekuatan-kekuatan politik tersebut menciptakan dinamika tersendiri dalam implementasi kebijakan lingkungan. Dinamika ini dimungkinkan dalam sistem politik Amerika Serikat yang menganut asas pluralisme. Sesuai asas pluralisme, berbagai kekuatan politik tersebut dapat saling mengawasi, saling mengimbangi dan saling berbagi kewenangan.
Dalam kebijakan lingkungan, dinamika tersebut terlihat jelas, dari proses tarik-menarik, pengaruh-mempengaruhi, dan saling mendominasi diantara berbagai kekuatan politik. Sering terjadi satu pihak menjadi lebih dominan dalam memaksakan kepentingannya dibanding pihak lain. Dalam kasus implementasi perundangan lingkungan, `power struggle' ini terlihat jelas.
Karena itulah thesis ini disusun dengan maksud untuk mengungkap dominasi pemerintah federal serta kuatnya lobi kelompok bisnis, yang mengakibatkan terhambatnya/gagalnya implementasi kebijakan lingkungan. Tinjauan tersebut secara spesifik akan bertolak dari kasus-kasus kebijakan utama, yaitu: Clean Air Act (1970), Federal Water Pollution Control Act Amendments (1972); Safe Drinking Water Act (1974), Toxic Substance Control Act (1976) dan amandemennya tahun 1986 (Superfund), Resource Conservation and Recovery Act (I980) dan amandemennya (1984), Nuclear Waste Policy Act (1982), clan Multiple Use-Sustained Yield Act (1960).
Penelitian terhadap hal tersebut sekaligus dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan yang komprehensif tentang kekuatan-kekuatan politik yang terlibat dalam penentuan kebijakan lingkungan di Amerika Serikat, serta untuk memahami kompleksitas interaksi diantara berbagai kekuatan politik tersebut.

Environmental movement in the United States of America gets stronger since 1960s. People support this movement due to many environmental disasters that getting frequently happened. Government is urged to take appropriate actions to overcome any further ecological disasters by launching environmental laws. Environmental movement takes part in giving enlightenment to people regarding many environmental problems in the U.S. and the world.
Environmental organizations, however, is diversified towards a broad spectrum, principally and ideologically. Anyway the member of those organizations has raised significantly to 7 million people in 1990s, that makes them become an interest group in American politics.
They pursue government to launch many environmental laws. Some of them are Clean Air Act, Federal Water Pollution Control Act Amendments, Safe Drinking Water Act and Multiple Use-Sustained Yield Act. Though many laws had been declared, in practice there is still weak in law enforcement. For sure, failure in implementation has decreased credibility of federal institution in implementing environmental laws. This research will show that the federal government (President and Congress) gives contribution in making federal institution getting weaken.
President and Congress give to much pressure to federal institution in implementing the laws, in other side they have no political will and seems more favor to business groups side. Many laws are created with its weakness, that any parties could take advantages of it, even could make it fail in implementation. Those parties particularly are business groups and "rich-states".
Environmental laws show in particular a political controversy. Though federal government in just 30 years established more than 50 laws, however in practice and implementation those laws was crippled and failed due to less of political will of federal government.
Moreover interest groups were involved extensively, since environmental laws are very sensitive. Intensity and involvement of any interest groups had created motion in American politics. This could be occurred in the U.S.A, which respect pluralism. In pluralism, any parties or political bodies could play a "check-and balance" mechanism.
The check-and-balance mechanism, in practice, could create any efforts from any parties to dominate, and to attract the other party. This mode clearly display in implementing the environmental policy.
Based upon this issue, this thesis is designed to disclosure power struggle among political bodies and interest groups in environmental law implementation. In particular, it will reveal how federal government and business groups play its dominant role on environmental policy.
To give a clear analysis, the thesis will take selected environmental laws, such as: Clean Air Act (1970), Federal Water Pollution Control Act Amendments (1972); Safe Drinking Water Act (1974), Toxic Substance Control Act (1976) and its Amendment - 1986 {Superfund}, Resource Conservation and Recovery Act (1980) and its Amendment (1984), Nuclear Waste Policy Act (1982), and Multiple Use-Sustained Yield Act (1960).
The research is executed to give a comprehensive analysis about how power struggle happened in America's politics, especially in environmental law implementation, and to understand why this is happened.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T14639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krisna Kumar
"Bertambahnya luasan fisik kota membawa konsekuensi berkurangnya luasan RTH. Sementara itu, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi pada gilirannya akan memacu perubahan penggunaan lahan di berbagai bagian wilayah kota. Bekerjanya mekanisme pasar akan menyebabkan sebidang lahan yang memiliki kualitas bagus atau jarak relatif dekat dengan pusat pertumbuhan akan dapat berubah penggunaannya sesuai dengan nilai sewa lahan yang lebih tinggi. Pergeseran penggunaan lahan dapat terjadi pada hamparan lahan yang relatif datar maupun yang memiliki kelerengan curam. Selama kurun waktu lima tahun (1996-2000) di kota Depok luas penggunaan lahan untuk permukiman, jasa, perusahan, dan industri masing-masing telah bertambah 1324 hektar, 38 hektar, 97 hektar, dan 154 hektar. Di sisi lain, pada kurun waktu yang sama, luas penggunaan lahan yang memiliki fungsi RTH seperti tegal/kebun, dan hutan masing-masing telah berkurang seluas 79 hektar, dan 8 hektar (BPS 1996-2000; Dinas Pertanian dan Perkebunan 1996-2000; serta BPN 1996-2000). Suatu contoh dengan terjadinya perkembangan jumlah kendaraan bermotor. Pada tahun 2001 jumlah pemilikan kendaraan bermotor di Kota Depok mencapai 104.473 unit, sedangkan pada tahun 1999 jumlah pemilikan kendaraan bermotor adalah 94.294 unit, sehingga pada kurun waktu tiga tahun di Kota Depok pemilikan kendaraan bermotor meningkat sebanyak 10.129 unit atau sebesar 10,74 % (BPS 1999-2001). Pertambahan pemilikan kendaaan bermotor membawa konsekuensi dibutuhkannya areal bervegetasi (RTH) yang lebih luas untuk meredam kebisingan, debu, meningkatnya suhu, dan polusi logam berat.
Perkembangan kota ternyata telah banyak mengorbankan ruang terbuka hijau (RTH), dan hal ini merupakan masalah serius karena kecenderungan pembangunan kota pada masa kini yang berkonotasi meminimalkan RTH dan menghilangkan wajah alam.
RTH adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis.
Penelitian penataan ruang sebagai dasar pengelolaan lingkungan ini melihat arah konversi lahan yang terjadi di kota Depok dalam kurun waktu lima tahun yaitu dari tahun 1996 sampai dengan 2000.
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari dan mencari penjelasan kondisi RTH di Kota Depok: yaitu dengan cara mempelajari perkembangan realisasi arahan alokasi RTH di Kota Depok berdasarkan ketentuan peraturan perundangan dan menghitung kondisi keberadaan RTH yang ada.
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut, di bawah ini:
1. Arahan lokasi RTH di Kota Depok diduga telah mengalami peyimpangan sehingga sulit untuk direalisasikan.
2. Selama selang waktu lima tahun yaitu dari awal tahun 1996 - 2000 pertumbuhan kota diduga telah mengorbankan keberadaan RTH dengan pola konversi yang tidak menguntungkan pelestarian RTH Kota.
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dan deskriptif, dengan menggunakan data sekunder. Pendekatan analisis yang dilakukan untuk pemecahan masalah yang digunakan dua pendekatan yaitu secara analisis normatif dan analisis kuantitatif. Analisis normatif dilakukan dengan melihat perkembangan alokasi dan kondisi keberadaan RTH dengan peraturan perundangan Inmendagri No.14 Tahun 1988 dan Kepmen PU No. 378/Kpts/1987. Untuk analisis kuantitatif dilakukan dengan pendekatan analisis Shift and Share. Pendekatan analisis ini dilakukan untuk melihat kecenderungan konversi lahan dari data sekunder yang telah dikumpulkan dari berbagai instansi. Analisis ini mempertimbangkan penggunaan lahan dalam dua titik waktu, dan mempunyai unit analisis wilayah administratif kecamatan yang selanjutnya akan dibandingkan dengan kota.
Berdasarkan hasil dan pembahasan data yang diperoleh dari penelitian ini, maka kesimpulan yang diperoleh adalah:
1. Pengelolaan RTH kota secara berkelanjutan membutuhkan dukungan instrumen produk rencana tata ruang, peraturan perundangan, dan praktik pengelolaan yang baik dan konsisten. Perbaikan ke-tiga instrumen dilakukan dengan menjadikan pokok-pokok pikiran dan skala prioritas pengelolaan RTH hasil penelitian sebagai bahan penyempurnaan. Alokasi RTH kota yang relatif luas, ternyata telah mengalami penyimpangan yang relatif serius di beberapa kawasan kota. Penyimpangan terhadap alokasi RTH pada kawasan konservasi sangat mengkhawatirkan, khususnya di kawasan sempadan sungai; hutan cagar alam dan hutan lindung. Risiko berkurangnya kawasan konservasi lebih lanjut perlu segera dihindari, karena akan dapat merusak fungsi lindungnya. Seperti Taman Hutan Raya Pancoran Mas keberadaan hutan raya ini harus dipertahankan keberadaannya. Konversi RTH di seluruh kecamatan sebagian besar menjadi kawasan hunian warga kota. Konversi RTH pada kecamatan yang berlokasi dekat dengan pusat pertumbuhan tidak lagi bersifat dominan. Penyebab terjadinya pola tersebut karena kecamatan yang berlokasi dekat pusat pertumbuhan sudah minim RTH, harga lahan di pusat pertumbuhan sangat mahal, dan lokasi hunian baru memiliki waktu tempuh relatif singkat ke pusat kota. Kecamatan Sawangan, dan Sukmajaya menjadi tujuan utama warga kota untuk bertempat tinggal. Pilihan hunian warga kota di Kecamatan Pancoran Mas, Beji, dan Cimanggis perlu diimbangi dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang ketat untuk mempertahankan keberadaan RTH.
2. Pertumbuhan kota telah mengorbankan keberadaan RTH secara nyata, Sehingga dalam jangka panjang risiko tidak berlanjutnya keberadaan RTH dapat terjadi. Pola konversi RTH yang terjadi bersifat ekspansif dengan mengorbankan kawasan konservasi dan kawasan pengembangan terbatas. Fenomena tersebut memperkuat kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya. Konversi RTH di Kecamatan Pancoran Mas, Beji, dan Cimanggis perlu segera dikendalikan secara ketat, mengingat di ketiga kecamatan terkonsentrasi kawasan konservasi dan kawasan pengembangan terbatas.
Mengingat sifat penelitian ini hanya bersifat deskriptif dan eksploratif, masih banyak hal-hal yang lain yang penting belum terungkap yang belum diteliti, dan mengingat pentingnya RTH dalam penataan ruang yang berkaitan dengan masalah lingkungan di perkotaan.

Space Structuring in Support of Environmental Management (The Study of Green Open Space of Depok City)The increasing of city physic enlargement brings the consequence of decreasing green open space enlargement. Of the same time population growth and economy activity will push the alteration of land utilization in several city areas. Functioning of the market mechanism will change the utilization of land that has good quality or has near distance with growth center can according to suitable higher land rent value. The alteration of land utilization can occur to spread out area which is relatively flat and has steep slope. During five years period (1996 - 2000) the land utilization in Depok for settlement, services, destruction and industry have been increased with 1324 ha, 38 ha, 97 ha, and 154 ha respectively. On the other hand, for the same period, the width of land utilization that has open space function such as garden, and forest has also decreased its amount to 79 ha, and 8 ha respectively (BPS 1996 -- 2000; Agriculture and Farming Agency 1996 -- 2000; and BPN 1996 - 2000). In the year of 2001 the total amount of vehicles in Depok city reach 104.473 units, and in the year of 1999 total amount of vehicle is 94.294 units, during 3 years period in Depok city the ownership of vehicle in Depok city are increasing 10.129 units or 10,74% (BPS 1999- 2001). The increasing of vehicle ownership brings the consequence of wider green open space requirement, which can reduce noise, dust, and temperature increase, and heavy metal pollution.
The city development has brought much sacrifice for green open space, and they become serious problem because the tendency of city development for current condition can minimize green open space and eliminate nature visage.
The green open space as vegetation community consist of tree and its association which grow in the city land and city surrounding, they have forms of stripe, spread or cluster (pile up) with the structure that imitate nature forest, and shape habitat which is possible to produce healthy, comfort and aesthetic environment.
The research of space structuring as base of the environment management explain land conversion direction that occurs in Depok city during 5 years period 1996 - 2000.
The objective of research is looking and learning the green open space condition in Depok city as follows:
To learn development of realization for green open space allocation direction in Depok city based on regulation and to calculate the condition of green open space condition.
The hypothesis of the research is:
1. The direction of green open space location in Depok city which is relatively wide has undergone deviation, so it is difficult to be realized;
2. During 5 years period 1996 - 2000 the city development has sacrifice rapid green open space existence and unprofitable conversion pattern has not given benefit to city green open space conservation.
This is an explorative and descriptive research by using secondary data. The analysis approach to overcome problem uses approach such as normative and quantitative analysis. Normative analysis is implemented through watching allocation development and green open space existence condition base on regulation Ministry of Home Affairs Decree No. 14 year of 1988 and Ministry of Public Works Decree No. 378/Kpts/1987.
Quantitative analysis uses the approach of shift and share analysis. This analysis approach is implemented to watch land conversion tendency based on secondary data which has been collected from several institutions. This analysis considers that land utilization at two time point, and has sub-district administrative area analysis unit which will be compared to the city."
Lengkap +
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 11048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>