Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188096 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Priska Andini Putri
"Cone Beam CT adalah perangkat citra pemandu yang diintegrasikan pada perangkat LINAC radioterapi. Perangkat tersebut banyak digunakan untuk verikasi posisi pasien dalam tindakan radioterapi. Dalam penelitian ini telah dilakukan untuk estimasi dosis pada daerah kepala, dada, dan pelvis dan untuk evaluasi citra dengan menggunakan perlakuan Cone Beam CT satu putaran penuh. Fantom rando digunakan pada penelitian ini untuk mensimulasikan keadaan yang mendekati sebenarnya dengan kondisi klinis 100 kVp 145 mAs, 110 kVp 262 mAs, dan 125 kVp 680 mAs untuk berturut-turut prosedur perlakuan CBCT kepala, dada, dan pelvis. Dosimeter yang digunakan dalam penelitian ini adalah TLD yang dikalibrasi di PTKMR BATAN dengan kondisi yang sesuai dengan kondisi klinisnya. Fantom Catphan 504 digunakan untuk mengevaluasi citra CBCT dengan menggunakan kondisi klinis protokol pelvis, yaitu dengan energi 125 kV. Hasil estimasi dosis yang diperoleh dari penelitian ini adalah 4.018±0.334 mGy, 4.210±0.428 mGy, dan 12.547±3.046 mGy berturut-turut pada kepala, dada, dan pelvis. Hasil citra dari penelitian ini dievaluasi menggunakan Image J yang menghasilkan nilai densitas material yang ada pada fantom Catphan mendekati nilai acuannya, didapatkan ketebalan slice sebesar 2.153 mm, resolusi uji citranya sebesar 5 lp/cm, dan uji uniformitas pada pusat ROI adalah 34.610±40.999 HU.

Cone Beam CT is an image guided device which is integrated in radiotherapy LINAC. The device often used to verify the positions of patient in radiotherapy treatment. Dose estimation for three different clinically scan sites (head, thorax, and pelvis) and image evaluation were performed during the research using full circular treatment by Cone Beam CT. Rando phantom was also used in this research to simulate the real condition for clinical scans (100 kVp 145 mAs for head, 110 kVp 262 mAs for thorax, and 125 kVp 680 mAs for pelvis). TLDs were used and calibrated at PTKMR BATAN with the real condition as clinical condition to mesure the dose. For image evaluation were performed using pelvis clinical scan (125 kV) and using Catphan 504 phantom. Results of dose estimation are 4.018±0.334 mGy for head, 4.210±0.428 mGy for thorax, and 12.547±3.046 mGy for pelvis. Results of image evaluation which was using Image J generated the approximate recommendation value of material density on the Catphan Phantom; slice thickness is 2.153 mm, high resolution is 7 lp/cm, and uniformity in center ROI is 34.610±40.999 HU.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54790
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafika Fitria Puspasari
"Kalibrasi berkas radiasi di beberapa rumah sakit di seluruh dunia membutuhkan validasi sehingga dapat memverifikasi dosis radioterapi bahwa telah sesuai dengan preskripsi dosis. Verifikasi terhadap dosis yang dihasilkan oleh mesin radioterapi bertujuan untuk mereduksi ketidakpastian dalam melakukan perawatan ke pasien kanker dan mencegah terjadinya kesalahan radiasi sehingga dapat memberikan perawatan terbaik ke pasien. Pendekatan umum dari IAEA untuk verifikasi keluaran dosis adalah TLD dikirimkan ke institusi untuk dilakukan penyinaran. Pengukuran dosis untuk berkas foton pada kondisi referensi, menggunakan sistem TLD dengan protokol TRS 398. Sepuluh buah TLD disinari masing-masing dengan dosis sebesar 2 Gy di dalam air dengan 10 buah TLD sebagai kontrol. Penyinaran untuk mendapatkan dosis absorbsi juga dilakukan pada ionisasi chamber pada posisi TLD sesuai dengan protokol IAEA Technical Reports Series No. 398 (TRS-398). Pengukuran dilakukan pada kondisi referensi menggunakan holder standar IAEA di phantom air dengan volume 30 cm x 30 cm x 30 cm, kedalaman di air 10 cm, luas lapangan 10 cm x 10 cm serta menggunakan pengaturan SSD yang dipakai di klinis. Enam pusat kanker dengan tujuh akselerator linier energi ganda dan satu energi tunggal berkontribusi dalam pengukuran ini. TLD disediakan oleh departemen fisika sebagai dosimeter independen dan kemudian dibandingkan dengan ionisasi chamber. Persentase penyimpangan dosis antara TLD dan ionisasi chamber dilakukan dalam pengukuran ini. Terdapat tujuh dari 15 pengukuran (46,67%) berada di batas optimal ± 2,5%, delapan pengukuran di batas toleransi ± 3% dimana lima pengukuran berada di atas batas tolerensi yang ditentukan oleh IAEA. Selisih rata-rata antara pengukuran dosis keluaran Linac yang dilakukan oleh IAEA dan penelitian ini adalah 1,96% untuk 6 MV dan 2,56% untuk 10 MV. Hasil pengukuran dosis keluaran Linac pada penelitian ini didistribusikan sebagai rasio dengan rata-rata sebesar 0,96 ± 0,06.

Radiation beam calibration in several hospitals around the world requires validation so that it can verify that the radiotherapy dose is in accordance with the dosage prescription. Verification of the dose produced by the radiotherapy machine aims to reduce uncertainty in treating cancer patients and prevent radiation errors so that they can provide the best care for patients. The IAEA’s general approach for output verification is for the TLD to be sent to the institution for irradiation. Dose measurements for photon beams at reference conditions, using the TLD system with the TRS 398 protocol. Ten TLDs were irradiated with a dose of 2 Gy each in water with 10 TLDs as controls. Irradiation to obtain the absorbed dose was also carried out in the ionization chamber at the TLD position according to the IAEA Technical Reports Series No. protocol. 398 (TRS-398). Measurements were carried out at reference conditions using IAEA standard holders in phantom water with a volume of 30 cm x 30 cm x 30 cm, depth in water 10 cm, field area 10 cm x 10 cm and using the SSD setting used in clinical practice. Six cancer centers with seven dual-energy and one single-energy linear accelerator contributed to this measurement. The TLD was provided by the physics department as an independent dosimeter and then compared to the ionization chamber. The percentage deviation of the dose between the TLD and the ionization chamber is carried out in this measurement. There are seven out of 15 measurements (46.67%) which are within the optimal limit of ± 2.5%, eight measurements were within the ±3% tolerance limit of which five measurements were above the tolerance limit specified by the IAEA. The mean difference between Linac output dose measurements performed by the IAEA and this study was 1.96% for 6 MV and 2.56% for 10 MV. The results of Linac output dose measurements in this study were distributed as a ratio with an average of 0.96 ± 0.06."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didin
"Karakteristik dari berkas proton secara teori lebih menguntungkan untuk jaringan normal dibanding dengan berkas foton. Karakteristik bragg peak dari berkas proton memungkinkan untuk mereduksi distribusi dosis pada jaringan normal. Oleh karena itu, penggunaan berkas proton mampu mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping pada jaringan normal. Penggunaan Intensity Modulated Proton Therapy (IMPT) memungkinkan untuk memberikan dosis optimal pada PTV dengan tetap memberikan distribusi dosis yang baik, sehingga tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemungkinan penggunaan IMPT untuk kasus vestibular schwannoma serta membandingkan kualitas pencitraan IMPT dengan IMRT, VMAT, dan TOMO. Setiap perencanaan dilakukan dengan menggunakan teknik stereotactic radiosurgery (SRS), perencanaan IMPT dilakukan dengan multifield optimizatin (MFO) dan single field optimization (SFO). Hasil perencanaan didapat nilai conformity indeks (CI) dari tertinggi ke terendah adalah 3MFO-NC, 5MFO-NC, 3MFO, 5MFO, IMRT, 3SFO-NC, VMAT, 3SFO, dan TOMO. Perencanaan proton memiliki gradient indeks lebih baik dari foton. Equivalent Unoform Dose (EUD) berkas proton lebih rendah dibandingkan dengan foton. Nilai Normal Tissue Complication Probability perencaan proton lebih rendah dari foton. Selain itu, perencanaan proton memiliki dosis pada OAR yang lebih rendah dibanding foton.

The characteristics of the proton beam are theoretically more favorable for normal tissues than the photon beam. The characteristic of the proton beam Bragg Peak can provide minimum dose distribution in normal tissues. Therefore, the use of proton beams can reduce the possibility of side effects in normal tissues. In addition, Intensity Modulated Proton Therapy (IMPT) produces an optimal dose for PTV while still providing a good dose distribution. In this study, the purpose was to determine the quality of planning IMPT for cases of Vestibular Schwannoma and compare with planning with IMRT, VMAT, and TOMO. The stereotactic Radiosurgery (SRS) technique was employed for all treatment planning. Furthermore, IMPT planning was performed using Multifield Optimization (MFO) and Single Field Optimization (SFO). The study described Conformity Index (CI) values from the highest to the lowest are 3MFO-NC, 5MFO-NC, 3MFO, 5MFO, IMRT, 3SFO-NC, VMAT, 3SFO, and TOMO. Additionally, the Gradient Index (GI) of the proton beam is better than photons planning. However, the Equivalent Uniform Dose (EUD) and Normal Tissue Complication Probability (NTCP) of the proton beam are lower than that of the photon. In addition, proton plans have a lower OAR dose than photons."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suharsono
"Pada Radioterapi eksterna untuk menjamin ketepatan pemberian dosis terhadap target radiasi perlu dilakukan verifikasi sebelum dilakukan penyinaran. Verifikasi dosis yang sebenarnya diterima oleh target radiasi hanya dapat dilakukan dengan metode in vivo.Verifikasi metode in vivo ini dilakukan dengan meletakan dosimeter dioda langsung diatas permukaan virtual water phantom, sedangkan sebagai dosimeter pengontrol digunakan dosimeter ionisation chamber yang diletakan pada tiap-tiap kedalaman target pengukuran. Tujuan dilakukanya verifikasi dosis in vivo adalah untuk mengetahui kesesuaian antara dosis yang sebenarnya diterima target radiasi dengan dosis yang direncanakan, sehingga target radiasi tidak mengalami kelebihan dosis ataupun kekurangan dosis. Pada tahap pertama, verifikasi dilakukan pada lapangan persegi tanpa blok dengan variasi luas lapangan, energi penyinaran, jarak dari sumber ke target, serta kedalaman target radiasi. Perhitungan Monitor Unit dilakukan secara manual maupun dengan menggunakan TPS. Pada tahap kedua, dilakukan verifikasi pada lapangan dengan blok Multi Leaf Collimator dengan variasi energi penyinaran. Dari 60 lapangan persegi yang telah diverifikasi, dosimeter dioda mencatat perbedaan dosis terukur terhadap dosis yang direncanakan dalam rentang ± 2,5%, sedangkan dari verifikasi terhadap 6 lapangan dengan blok MLC dihasilkan perbedaan dosis terukur terhadap dosis yang diharapkan dalam rentang ± 3,5%. Hasil ini masih dalam rentang toleransi yang diperbolehkan sehingga penghitungan Monitor Unit untuk setiap lapangan sudah benar.

To obtain pricise dose delivery on target radiation, dose verification is performed before starting external beam radiation therapy. The actual dose received by radiation target can only be evaluated using in vivo methode. In this research in vivo methode is done by putting diode dosimeter on virtual water phantom, and as control dosimeter, ionisation chamber, is put on each depth variation. The aim of external beam dose verification is to verify wether the actual dose received by radiation target has met with the planned dose, so that radiation didnot experience under dose or over dose. In the first phase dose verification is done using open beam with variation of field sizes, beam energy, SSD ,and depth. Monitor unit calculation is done manually, and using 2D PRICISE Treatment Planning System. In the second phase dose verification is done using block field with beam energy variation. Result, from 6o open beam fields there are ± 2,5% dose difference between actual and planned dose, and from verification of 6 fields using MLC block there are ± 3,5% dose difference between actual and planned dose. These results are still on the range of tolerance. These results showed that monitor unit calculation either manually or using TPS are correct."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S42707
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Diah Lestari
"Radioterapi lapangan kecil mulai banyak digunakan pada radioterapi modern seperti Intensity modulated radiotherapy (IMRT), stereotactic radiosurgery (SRS), dan Volumetric modulated arc therapy (VMAT). Akurasi terhadap pengukuran profil berkas dan percentage depth dose (PDD) menjadi kompleks karena ketidakseimbangan elektron. Oleh karena itu, film Gafchromic EBT2 digunakan untuk dosimeter radioterapi lapangan kecil karena memiliki resolusi spasial yang tinggi. Analisa dosimetri pada film Gafchromic EBT2 sangat dipengaruhi oleh penggunaan resolusi spasial citra. Penggunaan resolusi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan noise yang cukup besar sebaliknya resolusi citra yang terlalu rendah tidak mampu menampilkan hasil analisa yang cukup akurat. Dengan demikian penggunaan resolusi citra yang optimum menjadi parameter penting dalam analisa dosimetri pada film Gafchromic EBT2. Resolusi citra yang optimum dapat ditentukan dengan melakukan uji respon terhadap variasi resolusi citra yakni : 50, 75, 100, 150, dan 240 dpi pada saat melakukan scanning film dengan Epson Perfection V700 menggunakan orientasi film landscape. Analisa dosimetri dilakukan menggunakan algoritma MATLAB dan dibandingkan dengan penelitian sebelumnya menggunakan ImageJ, Monte Carlo dan PPC untuk melihat karakteristik dosimetri terhadap penggunaan resolusi. Secara keseluruhan hasil evaluasi menunjukkan kondisi optimum resolusi citra 150 dpi diperoleh pada TPR20,10 dengan S.D. 8.10 % dan dmax dengan S.D 4.78%. Hasil evaluasi profil berkas menunjukkan resolusi optimum untuk FWHM dan Penumbra dicapai pada resolusi 75 dpi dengan S.D. 7.0 2% dan 12.43%. Hasil evaluasi VACF menunjukkan resolusi optimum dicapai pada resolusi 50 dan 75 dpi. Hasil yang diperoleh dari masing-masing parameter dosimetri memiliki kecenderungan optimum pada resolusi citra75 dpi.

Small field radiotherapy were increasing used in modern radiotherapy especially in intensity modulated radiotherapy (IMRT), stereotactic radiosurgery (SRS), and volumetric modulated arc therapy (VMAT). Accurate beam profile and percentage depth dose (PDD) measurements of such as beams were complicated due to the electron disequilibrium. Hence the EBT2 (external beam therapy) Gafchromic film was used for dosimetry small field radiotherapy because of its high spatial resolution. Spatial resolution influence dosimetric analyze for EBT2. More perturbation cause by using high spatial resolution otherwise low image spatial resolution couldn?t determined accurately. Such as, small field radiotherapy required the optimum image resolution for important parameter in dosimetric analyze EBT2. Optimum image resolution could be determine with testing dosimetric characterization to resolution response by 50, 75, 100, 150, and 240 dpi with landscape film orientation during film scanning by Epson Perfection V700. Dosimetric analyze was done by MATLAB algorithm and compare to ImageJ, Monte Carlo and PPC from prior research to evaluate dosimetry characteristic to image resolution. The results show that optimum image resolution was 150 dpi with S.D. 8.10 % and 4.78% for TPR20,10 and dmax respectively. Beam profile evaluation for FWHM dan Penumbra attained for 75 dpi with S.D. 7.0 2% and 12.43%. VACF evaluation show that optimum image resolution rich at 50 and 75 dpi. The result for each dosimetry parameter attained to optimum image resolution at 75 dpi"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54792
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Budiman
"Telah dilakukan pengembangan sistem registrasi 2D/2D untuk verifikasi posisi pasien radioterapi berbasis bahasa C++ dengan tiga metode yaitu rigid transform, Viola-Wells mutual information dan Mattes mutual information. Implementasi sistem registrasi citra otomatis yang dikembangkan menggunakan data sekunder 34 pasien kanker nasofaring didapatkan hasil koreksi maksimum untuk rigid transform sebesar (2,79 ± 0,41) mm, Viola-Wells mutual information sebesar (2,77 ± 0,64) mm dan Mattes mutual information sebesar (2,69 ± 0,68) mm. Namun dalam proses uji validasi menggunakan fantom CIRS tidak berhasil dilakukan karena kontras citra EPID setelah melalui tahapan pre-processing tidak jauh berbeda.

Has been developed registration system 2D/2D for verifying patient’s radiotherapy position based on C++ languages which consist of 3 registration methods such as rigid transform, Viola-Wells mutual information and Mattes mutual information. Implementation of automatic image registration system that has been developed using secondary data from 34 Nasopharyngeal Cancer patients are obtained maximum correction at about (2,79 ± 0,41) mm, (2,77 ± 0,64) mm and (2,69 ± 0,68) mm for rigid transform, Viola-Wells mutual information and Mattes mutual information, respectively. However in the validation test using CIRS phantom is not success because the image contrast of EPID after pre-processing was not significantly different.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S58654
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meirisa Ambalinggi
"Intensity modulated radiation therapy (IMRT) memberikan peningkatan kemampuan untuk menyesuaikan distribusi isodose dengan bentuk target sehingga mengurangi dosis ke organ-at risk. Namun kemampuan IMRT ini disertai oleh kompleksitas lapangan penyinaan IMRT sehingga direkomendasikan untuk melakukan patient-spesific pretreatment quality assurance. QA yang umum digunakan adalah QA berbasis pengukuran, tetapi ini merupakan prosedur yang memakan waktu. Sehingga dibuat suatu alat ukur dari proses jaminan kualitas yang disebut metrik kompleksitas. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi metrik kompleksitas berbasis bukaan pada bukaan multileaf collimator (MLC) yang digunakan dalam klinis dan menganalisis korelasinya dengan gamma pass rate (GPR). Nilai metrik kompleksitas dihitung menggunakan Matlab. Ionization chamber 2D array MatriXX Evolution digunakan untuk verifikasi dosis. Distribusi dosis 2D dianalisis dengan software OmniPro-I'mRT dan dibandingkan menggunakan kriteria indeks gamma 3%/3mm dan 3%/2mm dengan low dose threshold 10%. Hasil uji korelasi metrik kompleksitas dan GPR menunjukkan EAM memiliki korelasi yang baik dengan GPR untuk kedua kasus. Nilai koefisien korelasi untuk kasus CNS adalah –0,918 (3%/3mm) dan –0,864 (3%/2mm), sedangkan untuk kasus payudara nilai koefisien korelasinya adalah –0,983 (3%/3mm) dan –0,961 (3%/2mm). Sedangkan untuk MCS, CAM, CPA, dan MU/Gy memiliki korelasi yang lemah dengan nilai GPR.

Intensity-modulated radiation therapy (IMRT) provides an increased ability to adjust the isodose distribution to the target shape, thereby reducing the dose to organ-at-risk. However, IMRT’s capabilities come with the complexity of IMRT’s treatment field, so it is recommended to carry out patient-specific pretreatment quality assurance. The commonly used QA is measurement-based; however, it is time-consuming. So that made a measuring instrument of the quality assurance process called the complexity metric. This study aims to evaluate aperture-based complexity metrics for multileaf collimator (MLC) apertures used in clinical practice and analyze its correlation with gamma pass rate (GPR). Complexity metric are calculated using Matlab. A 2D array MatriXX Evolution ionization chamber was used for dose verification. The 2D dose distributions were analyzed using OmniPro-I'mRT software and compared using the gamma index criteria of 3%/3mm and 3%/2mm with a low dose threshold of 10%. The correlation test results of complexity metrics and GPR show that the EAM correlates well with GPR for both cases. The correlation coefficient values for CNS cases are –0.918 (3%/3mm) and –0.864 (3%/2mm), while for breast cases the correlation coefficient values are –0.983 (3%/3mm) and –0.961 (3%/2mm). The MCS, CAM, CPA, and MU/Gy have a weak correlation with the value of the GPR."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Rahman
"Radioterapi merupakan salah satu metode pengobatan utama kanker. Pasien yang akan menjalani radioterapi sangat rentan terhadap kecemasan. Ketidaktahuan mengenai prosedur radioterapi serta efek samping dari radioterapi dapat menimbulkan kecemasan pada pasien yang mendapatkan radioterapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor internal yang berhubungan dengan kecemasan pada pasien kanker yang mendapatkan radioterapi di RS Kanker Dharmais tahun 2013. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan metode Cross Sectional, jumlah sampel 97 responden. Instrument yang digunakan adalah Depression Anxiety Stress Scale (DASS). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pasien dengan tingkat kecemasan ringan (64,9%), kecemasan sedang (18,6%) dan tingkat kecemasan berat (16,5%). Terdapat hubungan antara jenis kelamin, program dan frekuensi radioterapi dengan tingkat kecemasan pasien dibuktikan (p < α : 0,05). Penelitian ini merekomendasikan untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan dalam memberikan palayanan berupa konseling dan pendidikan kesehatan diperlukan pada pasien yang mendapatkan radioterapi.

Radiotherapy is one of the main methods for cancer treatment. Patients undergoing radiotherapy is very prone to anxiety. Ignorance about the procedure, side effects of radiotherapy can cause anxiety. The purpose of this study was to know the internal factors related to patients receiving radiotherapy at Dharmais Cancer Hospital in 2013. This study used a descriptive cross sectional method approach with 97 patients as a sample. Depression Anxiety Stress Scale (DASS) was used as a instrument. The results shows patients with mild anxiety level (64.9%), moderate anxiety (18.6%), and severe anxiety (16.5%). There was significant corelation between sex and the frequency of radiotherapy program with proved patient's anxiety level (p < α : 0,05). The study recommends to improve the quality of nursing care in providing services such as counseling and health education to reduce patient's anxiety level.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S45962
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjachja Kurjana
"ABSTRAK
. Imobilisasi pasien merupakan unsur yang penting untuk keakuratan geometri pada teknik radiasi stereotaktik. Terapi radiasi stereotaktik merupakan salah satu layanan unggulan, namun masih terbatasnya data perbedaan imobilisasi/akurasi pasien yang menggunakan G frame dan double mask. Metode. Penelitian ini merupakan studi komparatif cross sectional untuk mengetahui perbandingan pergeseran geometri pada verifikasi antara G frame dan double mask pada terapi radiasi dengan teknik stereotaktik. Penelitian dilakukan pada bulan Februari ndash; Maret 2016 di Departemen Radioterapi RSCM dengan pengambilan subjek menggunakan metode retrospektif konsekutif. Variabel yang dinilai adalah nilai pergeseran geometris pada proses verifikasi stereotactic radiosurgery yang menggunakan G frame dan stereotaktik radioterapi yang menggunakan double mask. Analisis yang digunakan untuk melihat perbandingan pergeseran geometri pada verifikasi antara G frame dan double mask adalah T-test. Hasil. Angka rerata pergeseran geometri pada pasien radioterapi stereotaktik dengan menggunakan imobilisasi Double mask untuk sumbu laterolateral sebesar 0,4 0,3 mm untuk sumbu kraniokaudal 0,5 0,4 mm dan sumbu anteroposterior 0,5 0,4 mm dan imobilisasi G. frame untuk laterolateral 0,3 0,2 mm, untuk kraniokaudal 0,3 0,4 mm dan untuk anteroposterior 0,4 0,3 mm. Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan rerata pergeseran geometri antara imobilisasi double mask dengan G frame sebagai baku emas.

ABSTRACT
Introduction. Patient immobilization is an important element for geometric accuracy in stereotactic radiation techniques. Stereotactic radiation therapy is one of the superior services, but the data about the immobilization accuracy difference between using G frame and double mask is still limited.Materi and Method. This comparative cross sectional study to compare the geometrical errors during verification between radiation therapy using G frame and double mask with stereotactic technique, was conducted in February March 2016 in the Department of Radiotherapy RSCM. The subjects using the retrospective method consecutively. The variables assessed were the geometrical errors on verification process of stereotactic radiosurgery using G frame and stereotactic radiotherapy using a double mask. The analysis using to compare the geometrical errors on verification between G frame and double mask is T test.Results. The mean values of geometrical error stereotactic radiotherapy using Double mask immobilization axis 0.4 0.3 mm on laterolateral, 0.5 0.4 mm on craniocaudal axis and 0.5 0.4 mm on anteroposterior. As for G frame immobilization 0.3 0.2 mm on laterolateral axis, 0.3 0.4 mm on craniocaudal axis and to 0.4 0.3 mm anteroposterior axis.Conclusion. There were no significant difference of geometrical error mean values between the double mask with G frame immobilizations as the gold standard. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58666
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Sagung Ari Lestari
"Latar Belakang: Radiasi kraniospinal adalah metode radiasi yang sering digunakan pada kasus keganasan sistem saraf pusat yang menyebar ke cairan cerebrospinal, sehingga area radiasinya sangat luas meliputi seluruh otak dan canalis spinalis. Akibat daerah radiasi yang luas, area radiasi harus dibagi menjadi beberapa lapangan yang menghasilkan kesulitan dalam mengatasi junction antar lapangan tersebut.Kesulitan lain adalah banyaknya organ kritis yang terlibat dan usiapasien yang mayoritas anak-anak. Saat ini belum terdapat data penelitian yang menganalisis radiasi kraniospinal dengan teknik Three Dimentional Conformal Radiotherapy 3D-CRT, Intensity Modulated Radiotherapy IMRT, dan IMRT-Helical Tomotherapy HT di Indonesia.
Metode: studi eksperimental eksploratorik dengan melakukan intervensi planning terhadap 10 data CT plan pasien kraniospinal yang diradiasi di Departemen Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dosis 36 Gy diberikan dalam 20 fraksi.Cakupan PTV kranial dan spinal dievaluasi menggunakan indeks konformitas CI dan indeks homogenitas HI.Dilakukan pencatatan parameter organ kritis lensa mata, mata, kelenjar parotis, kelenjar submandibula, tiroid, paru-paru, jantung, ginjal, testis dan ovarium, serta paparan radiasi pada seluruh tubuh.Selain itu juga dilakukan pencatatan jumlah MU dan durasi sinar beam on time.
Hasil: Teknik HT adalah teknik terbaik dalam pencapaian angka HI dan CI serta perlindungan terhadap organ kritis, namun memiliki paparan radiasi seluruh tubuh tertinggi dibandingkan teknik 3D CRT dan IMRT selain nilai MU tertinggi dan durasi penyinaran terlama sehingga harus dipertimbangkan penggunaannya pada pasien anak-anak karena resiko secondary malignancy yang tinggi. Teknik 3D CRT dengan arah sinar opposing lateral untuk lapangan kranial dan dari posterior untuk lapangan spinal memiliki nilai HI dan CI terburuk dengan keterbatasan kemampuan melindungi organ kritis namun memiliki paparan radiasi seluruh tubuh dan MU terendah serta durasi penyinaran terpendek.

Background: Craniospinal radiation is a method of radiation that is often used in cases of malignancy of the central nervous system that spread to cerebrospinal fluid, so that the area of ??radiation is very broad covering the entire brain and spinal canal. Due to the large area of radiation, the radiation area must be divided into several fields that produce difficulty in overcoming the inter-field junction. In addition, the number of critical organs involved and the age of patients with the majority of children result in separate considerations in the choice of craniospinal radiation techniques. Currently there is no research data that analyzes craniospinal radiation with Three Dimentional Conformal Radiotherapy 3D-CRT, Intensity Modulated Radiotherapy-Step and Shoot IMRT-SS, and IMRT-Helical Tomotherapy HT techniques in Indonesia.
Method: exploratory experimental study by planning intervention on 10 CT plan data of craniospinal patients radiated in Radiotherapy Department of Cipto Mangunkusumo General Hospital. Dose 36 Gy is given in 20 fractions. Cranial and spinal PTV coverage was evaluated using the conformity index CI and homogeneity index HI. Performed recording of critical organ parameters of lens, eye, parotid gland, submandibular gland, thyroid, lung, heart, kidney, testis and ovary, and exposure to radiation throughout the body. In addition, also recorded the number of MU and the duration of the beam.
Results: The HT technique is the best technique for achieving HI and CI figures and protection of critical organs, but has the highest body-wide radiation exposure compared to CRT and IMRT 3D techniques in addition to the highest MU values and longest exposure duration so should be considered in children high risk of secondary malignancy. 3D CRT technique with opposite lateral beam direction for the cranial field and from the posterior to the spinal field has the worst HI and CI values with limited ability to protect critical organs but has the lowest total body radiation and MU exposure as well as the shortest duration of irradiation. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>