Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66194 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Paramitha Wardhani
"Skripsi ini membahas enlarged thought sebagai etika politik dalam pemikiran Hannah Arendt sebagai antisipasi dari kejahatan yang banal. Hancurnya ruang publik dan absennya pikiran membuat politik menjadi tidak politis. Politik merupakan aktivitas di ruang publik yang sifatnya terbuka, dapat dilihat, dirasa, dan didiskusikan bersama-sama dengan yang lain. Sedangkan pikiran adalah suatu aktivitas yang terjadi dalam momen solitude, yaitu momen yang terjadi ketika individu menarik diri dari dunia bersama dan kembali berinteraksi dengan dirinya sendiri. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui cara berpikir yang politis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyektifitas manusia sementara harus dilepaskan untuk dapat melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga setiap putusan politik yang diambil selalu melibatkan posisi orang lain.

The focus of this study is the concept of “enlarged thought” as a political ethic based on Hannah Arendt’s thought which I regarded as an anticipation of the banality of evil. The collapsing of public sphere and the absence of "thought" turn politic into an inauthentic form. Politic is an open activity which can be seen, felt, and discussed together within the society. "Thought" is a solitude one. That is, the moment when an individual taking himself out of the public and trying to interact with himself. This writing is a kind of qualitative research which aimed to give some knowledge on political way of thinking. The result showed that one's subjectivity should be abandoned in order to see a problem from some different points of view. Therefore, every political decision is taken by the consideration of the other's position."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S54972
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bramanti Kusuma Yuwono
"Di era posmodern saat ini terjadi perubahan sosiokultural yang diiringi oleh tuntutan perubahan etikopolitik. Perubahan sosiokultural dengan berbagai faktornya membuat perbedaan di era posmodern saat ini menjadi sesuatu yang radikal yang kehadirannya tidak dapat dipungkiri. Radikalitas perbedaan membuat perbedaan-perbedaan itu bukan lagi sebuah konsep abstrak tetapi merupakan faktisitas keragaman yang riil yang ada di dalam masyarakat posmodern saat ini. Radikalitas perbedaan tersebut juga membuat setiap individu tidak dapat terjembatani menjadi sebuah keutuhan yang seragam. Hal ini dapat berujung pada relativisme moral bahkan nihilisme. Di sinilah persoalan etikopolitik di era posmodern. Namun demikian, masih ada celah kesempatan di era posmodern saat ini untuk membentuk tatanan koeksistensial sebagai pra syarat pembentukan politik. Melalui pemikiran etika politik Zygmunt Bauman, akan dijelaskan upaya sekaligus landasan etis terbaik bagi politik di era posmodern.

In postmodern era, there is a change in socio-cultural aspect which accompanied by the demands of ethical-politics change. With various factor, socio-cultural changes make a difference become something radical that the presence cannot be denied. The radicality of differences was no longer an abstract concept but a real facticity of diversity. It also makes each individua unable to bridged into a unified wholeness. This can lead to moral relativism, even nihilism. This is the postmodern political ethics. Through the thought of Zygmunt Bauman in political ethics, it will be explained about the best effort and ethical foundation for postmodern politics."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56077
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tocci, Ronald J.
London: Prentice-Hall, 1980
621.381 TOC d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kelsen, Hans
Berkeley: University of California Press, 1978
340.01 KEL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Amy Karmia Marku
"Gedung Pola tidak hanya berfungsi sebagai ruang pamer yang dibangun khusus untuk memamerkan gagasan perencanaan arsitektur dan kota berdasarkan pemikiran utopia dari Sukarno atas nasionalisme dan modernism tapi juga pameran menjadi sebuah strategi politik dan arsitektur kemudian dimanfaatkan sebagai ruang politik yang representatif bagi propaganda idealis Sukarno untuk publik Jakarta (khususnya) dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Tesis ini mencoba untuk mengungkapkan bagaimana pameran bukan hanya sebagai media representasi visual tapi juga menjadi sebuah strategi politik ruang. Pemikiran Sukarno akan dicoba untuk ditelusuri melalui pembacaan archives sebagai evidence yang akan diinterpretasikan melalui pendekatan hermeunitical approach dari Heidegger.
Selain itu tesis ini juga mencoba memandang artefak arsitektur sebagai suatu fenomena sejarah. Pendekatan ini dipilih oleh karena dalam membaca archives, jejak yang tertinggal akan diinterpretasikan secara fenomenologi sebagai upaya untuk menjawab kehadiran ruang politik dalam Gedung Pola dan juga untuk mengungkap bagaimana sebuah pameran, dapat menjadi strategi dari sebuah politik ruang.

Gedung Pola was not only function as an exhibition room built specifically to exhibit Soekarno’s Utopian vision on achitecture and city planning based on Nasionalism and Modernism, but also become a place to exhibit his political strategy, used as a representative political space for Sukarno’s ideal propaganda for Jakarta citizen in specific and all Indonesian citizen in general.
This thesis try to elaborate on how an exhibition was not only use as a representative medium for visual, but also become a political strategy space. Sukarno’s idealogy will be tried to understood through reciting his archives as the evidence, that will be interpreted through Hermeunitical approach from Heideger.
Moreover, this thesis also try to view architecture artefact as a historical phenomenon because in reciting the archives, traces that was left will be interpreted phenomenologically, as a way to answer the existence of political space in Gedung Pola, and also to reveal how an exhibition can be a strategy for political space.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T42335
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abidin Kusno, 1966-
"buku ini membahas tentang sejarah terbentuknya politik di kontrol oleh belanda."
Surabaya: Airlangga University Press (AUP), 2007
724.659 8 ABI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : LP3ES , 1969
320.959 8 PEM it (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Steven UN
"Tesis ini membahas tentang relasi komplementer kedua dimensi. Dalam pemikiran Arendt, terdapat dimensi universal hak asasi manusia antara lain pembelaan kepada martabat manusia, kondisi manusia, aksi, initium dan kebebasan. Sementara dimensi partikular nyata melalui penekanan terhadap adanya komunitas politik tertentu sebagai penjamin terlaksananya hak asasi universal. Gagasan inti Arendt adalah hak untuk mempunyai hak-hak. Hak untuk berada dalam komunitas politik tertentu yang menjamin terlaksananya hak-hak asasi universal.

The focus of this study is on the complementary relationship between two dimensions. In the thought of Arendt, there is a universal dimension of human rights such as human dignity, human condition, action, initium, and freedom. Particular dimension in the thought of Arendt such as the emphasizing on the political community as the guarantee of the application of the universal human rights. Core idea of Arendt is a right to have rights. A right to join a political community is the way to run the universal human rights.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T41720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendi Lustanto
"ABSTRAK
Perbincangan dalam politik seringkali berfokus pada sistem politik atau pergerakan politik dalam cakupan luas. Fokus tersebut mengarah pada uaha untuk mengarahkan publik dalam percakapan Politik sebagai sebuah sistem, serta melupakan bahwa politik dibangun melalui kristalisasi ide dari individu yang memaknai kondisi togetherness di dunia. Padahal pemaknaan itu menjadi sangat penting karena sebagai titik awal dari diskursus itu tumbuh dan berkembang, sering menyebut kondisi tersebut sebagai pergulatan politik individu. Pergulatan tersebut melibatkan percakapan antara me dan myself yang kemudian diejawantahkan menjadi sebuah gagasan politik individu. Upaya untuk menguak pentingnya politik dalam kerangka pergulatan individu menjadi sangat penting ketika diskursus yang ditawarkan oleh Politik mengalami kemampatan. Kondisi tersebut dapat , berdampak pada kualitas dari Politik yang dapat menyebabkan penurunan yang signifikan, Politik bukan lagi diartikan sebagai jalan untuk mencapai sebuah keadilan, melainkan hanya menjadi sarana mengejar kepentingan semata. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berdasarkan kajian teoritis dan studi pustaka terhadap pemikiran eksistensialisme dari Hannah Arendt yaitu teori Vita Activa. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah upaya rekonstruksi konsep politik dari tingkatan individu yang menjadi syarat perlu bagi manusia untuk mengada di dunia.

ABSTRACT
Discussions in politics often focus on a broad range of political systems or political movements. This focus leads to efforts to direct the public in the conversation Politics in the sense of a system, and forget that politics is built through the crystallization of ideas from individuals who interpret conditions togetherness in the world. Though the meaning becomes very important because it is the starting point of the political discourse that grows and develops, it often calls it an individual political struggle. The struggle involved a conversation between me and myself which was later embodied into an individual political idea. Efforts to uncover the importance of politics within the framework of individual struggle become very important when the discourse offered by Politics suffers. These conditions can have an impact on the quality of politics which can cause a significant decline, politics is not interpreted as a way to achieve justice, but only as a means of pursuing mere interests. This study uses qualitative methods based on theoretical studies and literature studies on the existentialism of Hannah Arendt, the Vita Activa theory. The expected result of this study itself is the effort to reconstruct the political concepts of the individual level that are necessary for human beings to be in the world."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heri Herdiawanto
"Studi ini mengkaji pemikiran politik HAMKA mengenai Islam dan negara dalam perdebatan-perdebatan dasar negara yang berlangsung di Dewan Konstituante 1956-1959. HAMKA termasuk dalam kelompok pembela dasar negara Islam bersama Mohammad Natsir di fraksi Masyumi, memperjuangkan syariat Islam dihadapan fraksi-fraksi lain Nasionalis, Islam, Komunis dan Sosialis, Katholik-Protestan dan anggota Konstituante yang tidak berfraksi.
Secara khusus mengkaji permasalahan tentang mengapa Islam diperjuangkan sebagai dasar negara oleh HAMKA dan bagaimana pemikiran HAMKA mengenai hubungan Islam dan negara serta bagaimana pandangan HAMKA tentang Pancasila.
Metode penelitian ini adalah jenis penelitian pustaka dengan studi literatur atau dokumen yang terdiri dari data primer dan sekunder serta diperkuat dengan wawancara. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori relasi agama (Islam) dan negara.
Studi ini menemukan Panama, menurut HAMKA perjuangan Islam sebagai dasar negara adalah sebagai kelanjutan cita-cita sejarah pergerakan nasional Indonesia. Kedua, ditemukan bahwa perdebatan Konstituante adalah pengulangan debat ideologis Islam dan nasionalis dalam soal perumusan Piagam Jakarta. Ketiga studi ini juga menemukan pandangan HAMKA bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu berarti Tauhid atau konsep meng-Esakan Allah SWT. Hal itu berarti sila pertama sebagai sumber moral dan etik sila lainnya, sekaligus menegaskan bahwa negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun implikasi teori penelitian ini adalah memperkuat pemikiran Islam secara legal formal yaitu pemikiran yang menghendaki agar Islam secara formal memainkan peran utama dalam kehidupan bernegara. Kesimpulannya adalah masyarakat Indonesia adalah masyarakat heterogen dari' segi agama. DaIam anti bahwa, secara konstitusional, negara mengakui keberagaman agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia dan menjamin kebebasan setiap individu untuk memeluk agama dan merealisasikan ajaran yang diyakininya, dalam segala aspek kehidupan sehingga HAMKA dalam Konstituante menyatakan perjuangan untuk mendirikan negara berdasarkan Islam bukan negara sekuler bagi kelompok Islam adalah kelanjutan cita-cita wasiat sejarah.

This study examines the political thought of Hamka on Islam and state in the debates on basis of the state in the Constituante 1956-1959. Hamka is one of the members of defender of Islam as basis of the state opposed to other factions such as Nationalist, Communist and Socialist, Catholic and Protestant, and non-faction members.
This study focuses on the question of why Islam is fought as a basis of the state by Hamka and what is his idea on Pancasila.
The method of the research is literature study based on primary and secondary data sources and strengthens by interview. In this study, the theory of relation of religion and state is applied.
The study finds that 1) according to Hamka, the struggle for Islam as the state basis is the continuation of national struggle history; 2) it is found that the debates in Constituante is a repetition ideological debate between Islam and nationalism on Jakarta Charter; and 3) the study founds that Hamka's view on Oneness of the God in Pancasila is similar with tauhid in Islam. It means that the first item in Pancasila is a basis of moral and ethic for other items and confirms that Indonesia is based on Oneness of the God.
Meanwhile, the theoretical implication of the study strengthens Islamic thought Iegally and formally which desires Islam as a formal basic value in the state. The conclusion is that Indonesian society is heterogenic in religion. It means that the state, constitutionally, acknowledges the heterogeneity of religion in Indonesian society and guarantees freedom of every individual to embrace and implement their religion in the whole aspects of life so that Hamka in Constituante stated that the struggle to make Islamic base of state and not secular state for Islamic group is a continuation of historical heritage.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>