Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86027 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hana Hanifah
"Krisis euro yang terjadi sejak tahun 2009 mengindikasikan adanya masalah dalam pelaksanaan peraturan European Monetary Union (EMU) dalam kerangka European Union (EU). Sebagai institusi internasional yang dianggap paling berhasil mengatur hubungan interdependensi berdasarkan perspektif liberal institusionalis, EU ternyata tidak dapat mencegah dan memperbaiki pelanggaran tingkat defisit dan tingkat utang yang terjadi di beberapa negara anggota Eurozone, khususnya Yunani, Italia, Irlandia, Portugal, dan Spanyol, sehingga krisis euro dapat terjadi. Ini menunjukkan bahwa EU belum sepenuhnya efektif untuk membentuk kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas EU membentuk kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone, dengan menggunakan dasar teori efek independen institusi internasional berdasarkan perspektif neoliberal institutionalism dan metode congruence.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa EU tidak efektif dalam membentuk kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone pada periode 2002-2012 karena lima alasan berikut: (1) tidak mempunyai kepentingan independen dalam EMU yang merepresentasikan seluruh negara anggota, (2) tidak dapat menghilangkan ketidakjelasan masa depan dalam pelaksanaan EMU, (3) tidak memberikan hasil kesejahteraan ekonomi yang diharapkan dari EMU, (4) tidak dapat memfasilitasi hubungan pengaruh politik dan kapasitas ekonomi yang setara dalam pelaksanaan EMU, dan (5) tidak mempunyai struktur institusi yang independen dan ajeg untuk pelaksanaan EMU.

The euro crisis that happened since 2009 indicates that there was a problem in executing European Monetary Union (EMU) rules within the European Union (EU) framework. Regarded by liberal institutionalists as the most successful international institution in dealing with interdependence, EU was proven to be ineffective in preventing and correcting excessive deficit and debt of several Eurozone countries, especially Greece, Italy, Ireland, Portugal, and Spain. This problem signifies that EU was ineffective in shaping economic policy of Eurozone countries.
This study aims to uncover factors that influence EU effectiveness in shaping economic policy of Eurozone countries by using independent effect of international institution theory based on neoliberal institutionalism, with congruence method.
The results show that EU was ineffective in shaping economic policy of Eurozone countries in 2002-2012 because of the following reasons: (1) EU did not have independent interest that represent all member countries? interests, (2) EU was not able to eliminate future unpredictability in implementing EMU, (3) EU was not able to deliver economic welfare that was expected from EMU, (4) EU was not able to facilitate political and economic equality in implementing EMU, and (5) EU did not have independent and firm structure in implementing EMU.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55746
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyhan Syofyano
"Tesis ini membahas mengenai pembentukan peraturan keamanan data European Union General Data Protection Regulation (EU GDPR). Uni Eropa berhasil menetapkan EU GDPR pada tahun 2016, disaat negara-negara masih kesulitan menghasilkan kebijakan keamanan yang dapat menjangkau ranah siber secara efektif. Peraturan tersebut berbentuk regulasi sehingga tidak membutuhkan ratifikasi tingkat nasional, sedangkan belum semua negara anggota Uni Eropa memiliki aturan dasar mengenai keamanan siber. Sehingga menjadi pertanyaan mengapa Uni Eropa berhasil membentuk EU GDPR tanpa mendapatkan penolakan dari badan-badan Uni Eropa. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif dan teori neofungsionalisme sebagai kerangka analisis. Neofungsionalisme melihat adanya fenomena spillover dalam terjadinya integrasi di Eropa. Tiga variabel spillover yaitu functional spillover, political spillover dan cultivated spillover menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kebijakan. Berdasarkan faktor-faktor tersebut disimpulkan bahwa peran badan supranasional merupakan kunci penting pada proses integrasi penyebab berhasilnya pembentukan EU GDPR.

This thesis examines the establishment of EU's new data protection regulation, European Union General Data Protection Regulation (EU GDPR). EU officially signed EU GDPR in 2016, at the moment when states are still in the hassle of procuring a security policy which able to reach the cyberspace effectively. With the form of an EU regulation the EU GDPR do not have to go through ratification on national level, whereas many of EU countries still haven't set their own basic law on cyber security yet. Thus, it brings up the question on why EU's managed to establish EU GDPR without any objections from the EU bodies. This study uses quantitative methodology and neofunctionalism theory as the analytical framework. Neofunctionalism recognize the spillover phenomenon in the occurrence of European Integration. Three variables of spillover: functional spillover, political spillover and cultivated spillover are the main factors which decides the result of the policy agreement. Based on those factors it can be concluded that supranational bodies within EU act as the important key regarding the process of integration which lead to the successful establishment of EU GDPR."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuning Sintya Defa
"Tesis ini membahas kebijakan European Financial Stability Facility EFSF yang dikeluarkan pada tahun 2010 oleh Uni Eropa berdasarkan kesepakatan negara-negara anggota Zona Euro bersama European Central Bank ECB dan International Monetary Fund IMF dalam merespon krisis ekonomi yang terjadi di Yunani, Irlandia dan Portugal pada masa Krisis Ekonomi Zona Euro. Kebijakan EFSF yang dibahas pada tesis ini adalah hal-hal yang melatarbelakangi dikeluarkannya kebijakan EFSF. Hal-hal yang melatarbelakangi tersebut didasarkan kepada kerangka pemikiran neoliberal institusional. Berdasarkan kerangka pemikiran neoliberal institusional, tesis ini menetapkan kelemahan institusional oleh Uni Eropa, European Monetary Union EMU, dan ECB yang tidak memiliki regulasi dan sistem pengelolaan krisis ekonomi telah membuat negara-negara anggota Zona Euro mencari solusi dengan meratifikasi kebijakan EFSF dengan melibatkan IMF sebagai solusi krisis ekonomi yang terjadi di tahun 2010. Tesis ini juga melihat bagaimana implikasi EFSF bagi perekonomian negara-negara Zona Euro yang mengalami krisis, melihat sejauh mana harapan negara anggota Zona Euro dapat direalisasikan.

ABSTRACTThis thesis discusses about the European Financial Stability Facility EFSF policy established in 2010 by the European Union under the agreement of Eurozone member states together with the European Central Bank ECB and the International Monetary Fund IMF as the response of economic crisis in Greece, Ireland and Portugal during the Eurozone Economic Crisis. The EFSF policy discussed in this thesis is the underlying issue of EFSF policy. The underlying things are based on neoliberal institution framework. Based on neoliberal institution framework, this thesis conclude the institutional weaknesses by the European Union, the European Monetary Union EMU, and the ECB which has no regulation and economic crisis management system has made the Eurozone member states seek the solution by ratifying the EFSF policy by involving the IMF as a solution to the economic crisis that occurred in 2010. This thesis also looks at how the EFSF implications for the economy of Eurozone member states in crisis to see how far the expectations can be realized."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustina Dinar Moneta
"Skripsi ini menganalisis alasan pemerintah Jepang meliberalisasi sektor agrikulturnya pada European Union-Japan Economic Partnership Agreement (EU-JEPA) padahal sebelumnya, seringkali mendapatkan penolakan dari aktor-aktor domestiknya. Metodologi yang digunakan studi ini adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur dan wawancara. Melalui teori two-level games, skripsi ini menjelaskan proses negosiasi dan alasan Jepang meliberalisasi sektor agrikulturnya melalui tiga determinan dan satu faktor pendukung dalam penelitian ini yang dirangkum dari proses negosiasi di Level I dan Level II. Pada Level I, terdapat kompromi antara Jepang dan UE terhadap tarif produk sektor agrikultur yang menguntungkan kedua belah pihak dan adanya kebijakan Abenomics dengan salah satu pilar reformasi agrikultur. Pada Level II determinan I, terdapat pengurangan dominasi aktor-aktor domestik yang tidak pro liberalisasi sektor agrikultur dan adanya kepentingan Shinzo Abe untuk melakukan kerja sama ekonomi. Pada Level II determinan II, semakin besarnya peran lembaga eksekutif Jepang (perdana menteri dan Kantei) di bawah Shinzo Abe yang intervensionis dan suara partai oposisi yang terpecah belah dan lemah. Adapun faktor pendukung yang ditemukan dalam studi ini adalah keberhasilan liberalisasi sektor agrikultur Jepang di Trans-Pacific Partnership (TPP). Berdasarkan temuan tersebut, studi ini melihat bahwa sikap proteksionis Jepang terhadap sektor agrikulturnya mengalami adaptasi seiring dengan desakan liberalisasi.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najmah Azzahra
"Penelitian ini membahas tentang pandemi Covid-19 dan kebijakan penanggulangan yang dikeluarkan di 10 negara anggota Uni Eropa (UE) yaitu Spanyol, Italia, Jerman, Prancis, Belgia, Belanda, Portugal, Irlandia, Austria, dan Swedia. Negara-negara tersebut dipilih karena dikonfirmasi memiliki kasus positif Covid-19 terbanyak pada awal masa pandemi. Penelitian dianalisis menggunakan metode kualitatif dengan memanfaatkan baik data kualitatif mapun kuantitatif. Teori Ancaman Nasional dan Konsep Kapasitas Fiskal diaplikasikan untuk menganalisis mengapa 10 negara anggota UE  berinisiatif mengeluarkan kebijakan masing-masing dalam penanggulangan pandemi Covid-19 meskipun berada di bawah institusi supranasional yaitu UE, serta kebijakan pada sektor apa yang menjadi prioritas dalam penanggulangan pandemi Covid-19 di 10 negara UE dan mengapa negara memprioritaskan kebijakan tersebut. Argumentasi dalam penelitian ini adalah 10 negara anggota UE melihat pandemi Covid-19 sebagai ancaman nasional yang perlu segera ditangani sehingga masing-masing negara memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan tanpa menunggu respon dari UE.  Penelitian ini menemukan bahwa 10 negara anggota UE melihat pandemi Covid-19 sebagai ancaman lingkungan yang berdampak pada stabilitas nasional di sektor sosial-kemasyarakatan, politik, dan ekonomi. Penelitian ini juga menemukan bahwa semakin kuat kapasitas fiskal suatu negara, semakin kuat juga kebijakan dan peran pemerintah dalam penanggulangan krisis pada negara tersebut.

This study discusses the Covid-19 pandemic and the policy response of 10 member countries of the European Union (EU), namely Spain, Italy, Germany, France, Belgium, the Netherlands, Portugal, Ireland, Austria, and Sweden. These countries were chosen because they were confirmed to have the highest positive cases of Covid-19 at the beginning of the pandemic. The research was analysed using qualitative methods by utilizing both qualitative and quantitative data. National Threat Theory and Fiscal Capacity Concept were applied to analyse why 10 EU member states took the initiative to issue their respective policies in dealing with the Covid-19 pandemic even though they were under a supranational institution, namely the EU, as well which sector of policies was the priority in handling Covid-19 pandemic in 10 EU countries and why they prioritize those policies. This study argues that 10 EU member states see the Covid-19 as a national threat, which needs to be addressed immediately so that each country decides to issue a policy without waiting for a response from the EU. This study found that 10 EU member states saw the Covid-19 pandemic as an ecological threat that impacts national stability in the social, political, and economic sectors. This study also found that countries with strong fiscal capacity can issue strong government’s policies and involvement in overcoming crisis."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gridanya Mega Laidha
"Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional dibidang ekonomi yang mana didalamnya memuat pengaturan penanaman modal (investment chapter) yang digunakan oleh berbagai negara di dunia dalam mengatur penanaman modal asing, termasuk Indonesia. Adapun masalah yang akan dibahas antara lain bagaimana pengaturan penanaman modal dalam investment chapter CEPA Indonesia-Australia dan CEPA Indonesia-EU dengan menggunakan FTA EU-Singapura dan Model BIT India sebagai pembanding, dan kemudian berdasarkan perbandingan tersebut manakah pengaturan yang sebaiknya dimuat dalam CEPA Indonesia-EU. Untuk menjawab masalah tersebut digunakan pendekatan komparatif dan konseptual. Pendekatan komparatif digunakan untuk melihat bagaimana pengaturan penanaman modal yang ada dalam investment chapter CEPA Indonesia-Australia, FTA EU-Singapura, dan Model BIT India untuk memberikan gambaran mengenai pengaturan yang sebaiknya diatur dalam CEPA Indonesia-EU. Pendekatan konseptual digunakan untuk melihat substantial obligations yang terdapat dalam perjanjian investasi internasional tersebut sebagai faktor pembanding yang meliputi standard of treatment (yang terdiri dari national treatment, most favoured nation treatment, fair and equitable treatment, serta full protection and security, performance requirements, expropriation, dan penyelesaian sengketa. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan adalah terdapat persamaan dan perbedaan dari masing-masing perjanjian investasi internasional yang ada, dan berdasarkan persamaan dan perbedaan yang ada Model BIT India merupakan perjanjian yang paling ideal untuk diadopsi Indonesia dalam CEPA Indonesia-EU.

Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) is a form of international agreement in the field of economics which contained investment chapter used by various countries in the world in regulating foreign investment, including Indonesia. The problems that will be discussed within this paper include how foreign investments are regulated in the investment chapter on CEPA Indonesia-Australia and the CEPA Indonesia-EU using the FTA EU-Singapore and Model BIT India as a comparison, and then based on these comparisons which provision should be included in the CEPA Indonesian-EU. To answer this problem, a comparative and conceptual approach is used. A comparative approach is used to see how the investment provision exist in the investment chapter of the CEPA Indonesia-Australia, the EU-Singapore FTA, and the Indian BIT Model to provide an overview of the provisions that should be regulated in the Indonesia-EU CEPA. The conceptual approach is used to view the substantial obligations contained in the international investment agreement as a comparison factor in which includes the standard of treatment (which consists of national treatment, most favorite nation treatment, fair and equitable treatment, and full protection and security), performance requirements, expropriation, and dispute resolution. The conclusion of the research conducted is that there are similarities and differences from each of the existing international investment agreements, and based on the similarities and differences that exist, the Model BIT India is the most ideal agreement to be adopted by Indonesia in the CEPA Indonesia-EU."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melda Kamil Ariadno
"European Union has developed from just merely economic cooperation into much stronger bond among its Member States to include unified currency and common foreign security principle. Nevertheless the biggest challenge for European Union is its own status in international law, whether it obtains status as an international legal person whilst eventually will enable it to play more influential role in international community such as the formation of international law and the shaping of international relation. This article will observe this issue by brought up the internal debates on European Union status in international law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
JHII-3-1-Okt2005-60
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sabila Fadhiah
"Sengketa investasi antara sebuah perusahaan asuransi asal Belanda, Achmea B.V. dengan Republik Slovakia mendorong lahirnya perubahan fundamental dalam rezim perlindungan investasi di wilayah intra-EU. Sengketa yang dibawa pada Court of Justice of the European Union (CJEU) ini membuahkan putusan yang menyatakan ketidakselarasan klausa mekanisme investor-state dispute settlement (ISDS) dalam Bilateral Investment Treaty (BIT) yang dijalin Belanda – Cekoslovakia dengan hukum tertinggi dalam wilayah EU, yaitu EU Law. Putusan ini mendorong analisa panjang terkait keabsahan BIT intra-EU lain yang seluruhnya mengandung klausa mekanisme ISDS dengan EU Law. Hasilnya, seluruh BIT intra-EU dinyatakan tidak selaras dengan EU Law dan wajib untuk diakhiri. Pengakhiran BIT intra-EU otomatis menghilangkan dasar hukum bagi perlindungan investasi di wilayah intra-EU yang selama ini diberikan oleh BIT. Penelitian ini memberikan analisa terkait dampak dari putusan CJEU dalam kasus Achmea B.V. dan Slovakia, perlindungan investasi setelah adanya putusan CJEU dan deklarasi pengakhiran BIT intra-EU, serta alternatif mekanisme penyelesaian sengketa investasi intra-EU pasca putusan CJEU.

An investment dispute between a Netherland insurance company and Republic of Slovakia resulted in a fundamental change in the intra-EU investment protection regime. The dispute brought under Court of Justice of the European Union (CJEU) birthed a decision that the investor-state dispute settlement (ISDS) mechanism contained in the BIT used by the disputing parties is incompatible with EU Law. This decision results in the termination of all intra-EU BITs since all of them contain the similar ISDS mechanism clause to the Netherland – Czchoslovakia BIT. The termination automatically put intra-EU investment protection at a great risk since BITs are the most far-reaching legal basis in intra-EU investment protection. This research is analyzing the impact of CJEU’s decision on Achmea B.V. and Slovakia dispute, investment protection after the termination of intra-EU BITs, and the alternative mechanisms on investment protection after the decision by CJEU."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainab Assegaff
"Tesis ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan Indonesia dalam negosiasi perdagangan bebas Uni Eropa (UE) dengan negara-negara Asia Tenggara, yang dilihat dari perspektif UE. Pertanyaan pendahuluan dari penelitian ini adalah mengapa UE menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara Asia Tenggara. Sementara itu, pertanyaan penelitian utama dari tesis ini adalah mengapa Indonesia hanya menjadi negara keenam di Asia Tenggara yang melakukan negosiasi perdagangan bebas dengan UE dan bukan yang pertama. Metode penelitian tesis ini adalah metode analisis kualitatif dengan menggunakan studi kasus, dalam hal ini negosiasi perdagangan bebas UE-Asia Tenggara. Metode pengumpulan data utama menggunakan teknik studi pustaka yang dikumpulkan dari buku, artikel, laman berita, dan laman resmi dari organisasi-organisasi terkait. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan teori Cross-Regionalism yang dikemukakan oleh Mireya Solís dan Saori N. Katada (2007). Faktor regional yang membuat UE melakukan perjanjian perdagangan bebas (FTA) lintas kawasan antara lain kondisi ekonomi internal yang terpuruk; kemunculan kekuatan-kekuatan ekonomi baru, terutama Tiongkok, yang menyaingi UE; kemajuan ekonomi dari keenam negara Asia Tenggara yang jauh lebih baik dari UE; kondisi perdagangan barang yang tidak menguntungkan dengan ASEAN; dan kebijakan politik UE. FTA lintas kawasan merupakan upaya UE untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya, mencegah terjadinya pengalihan perdagangan (trade diversion), dan menjadi kekuatan normatif. Faktor regional yang menyebabkan Indonesia tidak menjadi prioritas bagi UE adalah kondisi ekonomi Indonesia yang tidak lebih baik dari Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina; hubungan ekonomi UE-Indonesia yang menurun; isu-isu keberlanjutan (sustainability); dan minimnya hubungan UE-Indonesia. Kemudian, motif yang memengaruhi UE untuk melakukan FTA lintas kawasan adalah motif pengaruh (leverage), yaitu untuk mempromosikan nilai-nilai UE, sehingga terbentuk like-minded countries. Motif ekonomi dan motif pengaruh (leverage) merupakan alasan yang menyebabkan Indonesia tidak menjadi mitra negosiasi FTA bilateral pertama dan hanya yang keenam. Tampaknya kedua alasan ini memengaruhi UE dalam penentuan mitra FTA, sedangkan motif keamanan dan diplomasi tidak memengaruhinya. Hal ini menunjukkan bahwa motif keamanan dan diplomasi (politik) diabaikan oleh UE. Dalam memilih mitra FTA, nilai-nilai yang diusung UE kalah ketika berhadapan dengan kepentingan ekonominya.

This thesis aims to analyze Indonesia's position in the Free Trade Agreement (FTA) negotiations between the European Union (EU) and Southeast Asian countries as seen from the EU's perspective. The preliminary question of this thesis is why the EU negotiated FTAs with Southeast Asian countries. Meanwhile, the primary research question is why Indonesia became the sixth country in Southeast Asia to negotiate a bilateral FTA with the EU instead of the first. The research method of this thesis is a qualitative analysis using a case study, which is the EU-Southeast Asia FTA negotiations. The majority of the data collected in this thesis is collected from books, articles, news pages, and official pages from related organizations. To answer the research question, the researcher uses Cross-Regionalism theory put forward by Mireya Solís and Saori N. Katada (2007). Regional factors that have led the EU to conduct cross-regional FTA ​​are internal economic slump; the emergence of new economic powers, notably China, that rival the EU; economic improvement of the six Southeast Asian countries which is much better than the EU; unfavorable trade in goods with ASEAN; and EU political policy. Cross-regional FTA is EU's effort to improve its economic condition, prevent trade diversion, and become a normative power. Regional factors that have caused Indonesia not to become a priority for the EU are Indonesia's economic condition that was no better than Singapore, Malaysia, Vietnam, Thailand, and the Philippines; the decline of EU-Indonesia economic relation; sustainability issues; and the lack of EU-Indonesia relation. Furthermore, the motive that influences the EU to conduct cross-regional FTA ​​is leverage motive, namely to promote EU values, so that like-minded countries are formed. Economic motive and leverage motive were the reasons why Indonesia was not the first and only the sixth bilateral FTA negotiating partner. It seems that both of these reasons influenced the EU in determining its FTA partners, while security and diplomacy motives did not influence the EU. This shows that security and diplomacy (politics) motives were disregarded by the EU. In choosing FTA partners, the values promoted by the EU lose out when it comes to its economic interests."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kokkoris, Ioannis
London : Sweet & Maxwell, 2010
343.072 1 KOK c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>