Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197899 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Binti Mufarida
"Skripsi ini menjelaskan mengenai upaya pemerintah Republik Indonesia untuk menjaga keamanan dan pemanfaatan wilayah lautnya selama kurun waktu 1982-1998, terutama wilayah Kepulauan Natuna pasca ditandatanganinya United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) 1982 pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Ditandatanganinya UNCLOS 1982 menghasilkan hak dan kewajiban bagi negara kepulauan, salah satunya Alur Laut Kepulauan (ALK) yang wajib dimiliki seluruh negara kepulauan. Kepulauan Natuna sebagai wilayah yang dilalui Alur Laut Kepulauan Indonesia menjadi jalur keluar dan masuknya kapal-kapal asing sehingga menjadi rawan terjadinya pelanggaran keamanan. Selain sebagai wilayah yang dilalui ALK Indonesia, Kepulauan Natuna juga mempunyai posisi geografis yang rawan akan klaim dari negara lain, karena wilayahnya berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan yang menjadi konflik beberapa negara.

This minithesis describes the efforts of the Indonesian government to maintain the security of maritime regions during the period 1982-1998, especially after the signing of the Natuna Islands region of the United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) 1982 in December 10, 1982 in Montego Bay, Jamaica. The signing of UNCLOS 1982 resulted in the rights and obligations of the island nation, one of archipelagic sea lanes (ALK) must be owned the entire island nation. Natuna Islands as a region through which the Indonesian archipelagic sea lanes into a lane exit and entry of foreign ships to be prone to breach of security. Aside from being a region that passed ALK Indonesia, Natuna Islands also has a geographical sensitive position to claims from other countries, because the area directly adjacent to the South China Sea into conflict countries.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S55986
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian komunitas moluska di rataan terumbu (reef flat) Kepulauan Natuna Besar, Kabupaten natuna dilakukan selama 10 hari, yaitu 26 Juli - 4 Agustus 2001. Pengamatan dipusatkan di Pulau Bunguran yang meliputi 4 lokasi menurut arah mata angin, yaitu Pulau Bunguran Utara (Teluk Buton), Pulau Bunguran Timur (PUlau Sinumbing dan Pulau Sinua), Pulau Bunguran Selatan (PUlau Kumbik dan Pulau Sebangmawang) dan Pulau Bunguran Barat (Pulau Batubilis). tujuan penelitian ini untuk mengetahui keberadaan fauna moluska yang meliputi sebaran dan keragamannya. Contoh moluska diperoleh dengan metode transek kuadrat dan data dianalisis menggunakan program COMM. Selama penelitian telah dikumpulkan sekitar 83 jenis (species) dari 31 suku (family) hewan moluska yang meliputi 56 jenis keong (70,58%) dan 27 jenis kerang (29,42%). Karaketeristik dasar/substrat rataan terumbu umumnya didominasi oleh pasir dan karang mati dan pada bagian tubir merupakan pertumbuhan karang bercabang, Acropora spp. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa komunitas moluska di rataan terumbu Pulau Bunguran, Kepulauan natuna Besar relatif dalam kategori rendah sampai sedang."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ardina Yunita Kartikasari
"Kajian ini membahas mengenai citra Indonesia di mata Tiongkok dalam isu sengketa Laut China Selatan (LCS). Dalam sengketa di LCS, Indonesia bukan negara penggugat atau non-claimant state. Namun klaim Tiongkok atas sembilan garis putus atau Nine-dashed Line di LCS beririsan dengan sebagian Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di kepulauan Natuna. Dalam periode 2010-2016, sejumlah insiden sempat terjadi dan menimbulkan ketegangan. Meski bersikeras bahwa kedua negara memiliki tumpang tindih kepentingan di perairan Natuna, Tiongkok tetap memiliki citra positif tentang Indonesia dan Tiongkok cenderung berhati-hati dalam merespon Indonesia dalam isu tersebut. Terkait hal ini, meski sudah banyak penelitian mengenai kebijakan Tiongkok terhadap Indonesia, namun hanya sedikit kajian yang menulis secara spesifik mengenai persepsi Tiongkok mengenai Indonesia dalam sengketa LCS. Melalui kerangka analisis teori citra atau image theory dan metode penelitian causal process tracing, kajian ini menunjukkan bahwa citra Indonesia di mata Tiongkok adalah ally image. Dalam ally image, Indonesia dipandang sebagai aktor yang memiliki tujuan, kapabilitas dan dimensi kultural yang relatif sepadan. Hal ini mempengaruhi pilihan strategi yang diambil Tiongkok terhadap Indonesia terkait insiden-insiden yang terjadi di perairan Natuna, di mana Tiongkok lebih mengedepankan hubungan baik dan kemitraan kedua negara. Dalam kaitannya dengan isu sengketa LCS secara umum, Tiongkok memandang Indonesia sebagai teman yang mampu bersikap adil terhadap pihak-pihak yang bersengketa.

This study analyses Indonesia's image from China's perspective on the South China Sea (SCS) dispute. Indonesia is a non-claimant state in SCS dispute. China's claim on Nine-dashed Line, however, overlaps with Indonesia's EEZ in Natuna islands. Tensions following some incidents occured in Natuna waters within 2010-2016. China insisted two countries have overlaping interest claim in those area, while Indonesia persisted on its position as non-claimant state. Nevertheles, China still perceives Indonesia in positive image and tend to be cautious when dealing with Indonesia on this issue. Although there are many studies on the SCS dispute and China's policy towards Indonesia, few if any of them discuss specificaly on China's perception towards Indonesia in this regard. Adopting image theory as an analytical framework and causal-process tracing on research method, this study figures that China captures Indonesia's image as an ally. In ally image, Indonesia is perceived as an actor who has positive goal compatibility with similar capability and cultural dimension as well. This perception affects the strategic options taken by China against Indonesia regarding the Natuna incidents in which China prioritize good relation and partnership between both countries. While on the SCS issue, China perceives Indonesia as a good friend capable of being fair to the parties in the dispute."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naomi Putri Anggita
"ABSTRAK
Kepulauan Spratly adalah sebuah wilayah di Laut Cina Selatan dimana terdapat terumbu karang dan pulau-pulau kecil. Wilayah Kepulauan Spratly bersama-sama dengan Laut China Selatan telah menjadi wilayah sengketa negara-negara tersebut yang mengelilingi Laut Cina Selatan. China adalah salah satu negara yang disengketakan, dengan mengklaim Laut Cina Selatan dan pulau-pulaunya, termasuk Nusantara Spratlys, sebagai bagian dari kedaulatannya. Pada akhir 2013, Cina melakukannya konstruksi pada 7 fitur karang di wilayah Kepulauan Spratly, yaitu Cuarteron Terumbu Karang, Terumbu Fiery Cross, Terumbu Gaven, Terumbu Hughes, Terumbu Johnson, Terumbu Mischief, dan Subi Reef, dan membuat pulau buatan baru. Status ketujuh fitur ini juga dipertanyakan dan apakah pembangunan pulau buatan ini bisa membuat China memperoleh kedaulatan atas Laut Cina Selatan. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis status pulau buatan yang dibangun di atas tujuh fitur di wilayah tersebut Kepulauan Spratly dan apakah di pulau-pulau ini Cina bisa mendapatkan zona maritim untuk memperluas wilayah kedaulatannya di atas Laut Cina Selatan. Di
Tulisan ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan menganalisis peraturan perundang-undangan laut internasional tentang pulau dan pulau buatan, latar belakang klaim China terhadap
Laut Cina Selatan tiba di pembangunan tujuh fitur, serta putusan
Permanen Pengadilan Arbitrase pada perselisihan antara Cina dan Filipina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status tujuh fitur ditentukan dengan melihat kondisi aslinya sebelum dibangun oleh China, dan dengan status itu, China tidak dapat memperoleh zona ekonomi eksklusif di atas Kepulauan Spratly secara langsung secara keseluruhan, sehingga pembangunan tidak memberi Cina perluasan
kedaulatannya.
ABSTRACT
The Spratly Islands are an area in the South China Sea where there are coral reefs and small islands. The area of ​​the Spratly Islands together with the South China Sea has become a disputed territory of these countries which surrounds the South China Sea. China is one of the disputed countries, claiming the South China Sea and its islands, including the Spratlys Archipelago, as part of its sovereignty. In late 2013, China carried out construction on 7 coral features in the Spratly Islands region, namely Cuarteron Coral Reef, Fiery Cross Reef, Gaven Reef, Hughes Reef, Johnson Reef, Mischief Reef, and Subi Reef, and created a new artificial island. The status of these seven features is also questioned and whether the construction of these artificial islands can allow China to gain sovereignty over the South China Sea. This article aims to analyze the status of artificial islands built on seven features in the Spratly Islands region and whether in these islands China can get a maritime zone to expand its sovereign territory over the South China Sea. In This paper uses normative juridical research by analyzing international maritime laws and regulations regarding artificial islands and islands, the background of China's claims to The South China Sea arrived at the construction of the seven features, as well as the verdict
Permanent Court of Arbitration on disputes between China and the Philippines. The results show that the status of the seven features is determined by looking at their original condition before being built by China, and with that status, China cannot obtain an exclusive economic zone over the Spratly Islands directly in its entirety, so development does not give China an expansion.
his sovereignty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Rosdiana
"ABSTRAK
Persengketaan Laut Cina Selatan yang terjadi sejak tahun 1990-an, kembali meningkat setelah pengajuan klaim teritorial sepihak Cina yang disebut nine-dash line pada 7 Mei 2009. Klaim tersebut berimplikasi pada berkurangnya wilayah Zona Ekonomi Eksklusif ZEE negara-negara yang berdekatan secara geografis dengan Laut Cina Selatan, salah satunya Indonesia. Tidak hanya kehilangan 30 wilayah ZEE di Natuna, klaim teritorial Cina juga berimbas pada semakin agresifnya aktifitas penangkapan ikan ilegal nelayan Cina yang selalu dikawal oleh kapal penjaga pantainya di perairan Natuna. Dalam Buku Putih Pertahanan Repubik Indonesia, tindakan yang dilakukan Cina melalui klaim nine-dash line dan penangkapan ikan ilegal oleh nelayannya yang selalu dikawal kapal penjaga pantai, merupakan ancaman nyata bagi keamanan Indonesia yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan Indonesia. Namun, respon Indonesia cenderung mengecilkan hal tersebut sebagai ancaman nyata untuk keamanannya, yang mana perilaku ini dinamakan underbalancing oleh Schweller. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha untuk menganalisa dan menjelaskan penyebab respon Indonesia yang cenderung mengecilkan klaim teritorial Cina sebagai ancaman berbahaya. Tulisan ini berargumen bahwa perbedaan persepsi di kalangan elit Kemlu dan Kemhan terkait klaim teritorial Cina, lalu adanya kekhawatiran pemerintah terhadap kepentingan nasional dan kepentingan elit Indonesia terhadap Cina serta adanya fragmentasi yang terbentuk di masyarakat, menjadi faktor-faktor yang melatarbelakangi Indonesia merespon ancaman teritorial Cina dengan cara underbalancing.

ABSTRACT
South China Sea dispute which begun since 1990 increasing its tense after China offer territorial claim called nine dash line on 7th May 2009. Those claim implied to the decrease of Economy Exclusive Zone of states which located geographically in South China Sea, including Indonesia. Not only losing its 30 area of EEZ in Natuna, China territorial claim also impacted the aggressiveness of illegal fishing by Chinese fishermen which always guarded by Chinese coast guard. In the Indonesian Defense White Paper, China action through nine dash line and illegal fishing by its fishermen who is always guarded by their coast guard obviously a clear threat for Indonesia sovereignty. Nevertheless, Indonesian response tend to ignore the fact as a clear threat for its security which by Schweller called underbalancing. This writing analyzes and explain the cause of Indonesia rsquo s response which tend to not take the China rsquo s claim seriously as a threat. This writing argues that Indonesian Foreign Minister rsquo s elite and Defense Minister rsquo elite has different perception toward the issue. Also, the writing analyzes many factors such as dimension of government concern on national interest, Indonesian elite interest of China, fragmentation on society, all become the factors which draw Indonesia reaction toward China territorial claim through underbalancing."
2018
T51307
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2019
959.81 DJO s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Poltak Partogi, 1963-
"Sebagai poros maritim dan negara kepulauan yang strategis dari perspektif geopolitik, Indonesia telah menetapkan tiga jalur ALKI untuk lintas damai pelajaran International, yang dijamin keberadaannya oleh hukum International. Hasil penelitian mengungkap beberapa tipe ancaman keamanan terkini yang cukup kompleks yang dihadapi Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dan juga maritim, yang datang dari meningkatnya ketegangan dan ekkalasi konflik di laut China Selatan, serta terorisme global, intervensi asing, dan beragam kejahatan transnasional"
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat RI, {s.a.}
324 KAJ 20:3 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kresno Buntoro
Depok: Rajawali Press, 2023
387.5 KRE a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kresno Buntoro
Depok: Rajawali Pers , 2017
387.5 KRE n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yudho Sasongko
"Kasus pendudukan Cina di Mischief Reef pada akhir tahun 1994 menandai babak baru dalam sengketa Laut Cina Selatan, yakni ketika Cina untuk pertama kalinya bersikap asertif terhadap salah satu negara ASEAN. Tindakan Cina ini setidaknya mengandung dua risiko, yakni terganggunya hubungan strategis Cina dengan negara-negara ASEAN serta semakin menguatnya dugaan tentang adanya "ancaman Cina" ("China threat ") di Asia Tenggara.
Tindakan Cina tersebut menarik untuk dikaji, khususnya untuk mencari faktor-faktor yang mungkin berkaitan dengan tindakan tersebut. Dalam kaitan ini, penulis memfokuskan pembahasan pada politik domestik Cina, khususnya persaingan antar unit-unit birokrasi di dalamnya. Dengan menggunakan teori tentang proses pengambilan kebijakan (policy-making process), terutama teori Graham Allison tentang politik birokratik, penulis berusaha menjelaskan persaingan birokrasi yang terjadi dan kaitannya dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan. Dalam hal ini, insiden pendudukan Cina di Mischief Reef digunakan sebagai studi kasus. Secara lebih spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan persaingan antarunit birokrasi di Cina yang saling memperebutkan pengaruh dalam upaya mempertahankan dan mengedepankan kepentingan birokratiknya; menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan kelompok 1 unit birokrasi tertentu lebih mampu mendominasi dan memenangkan persaingan; dan menjelaskan kaitan antara dominasi kelompok 1 unit birokrasi tertentu dalam persaingan birokratik dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan, khususnya ketika Cina menduduki salah satu pulau karang di gugusan Kepulauan Spratly, yakni Mischief Reef.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sejumlah aktor utama yang saling bersaing dalam upaya mempertahankan kepentingan birokratiknya dan dalam upaya mempengaruhi kebijakan Cina, khususnya kebijakan dalam konflik Laut Cina Selatan. Aktor-aktor tersebut terdiri dari Kementrian Luar Negeri (MFA), Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), dan unsur-unsur dalam PLA, yakni Departemen Staf Umum (GSD), Angkatan Laut (PLA-N), dan Angkatan Udara (PLA-AF). Diantara aktor-aktor utama tersebut, PLA dan PLA-N sangat mendominasi persaingan, dan hal ini disebabkan setidaknya olch 5 (lima) faktor, yakni (1) tingginya posisi politis PLA dalam politik domestik Cina yang disebabkan oleh tragedi Tiananmen dan situasi power struggle yang menguntungkan posisi tawar-menawar PLA; (2) lemahnya MFA sebagai rival utama PLA dalam persaingan birokratik; (3) tingginya posisi elit PLA-N (yakni Admiral Liu Huaqing) dalam lingkaran elit pengambil keputusan tertinggi di Cina; (4) lemahnya GSD dan PLA-AF sebagai rival PLA-N dalam persaingan intra-PLA; (5) kemampuan PLA-N dalam mencari dan menjalankan strategi yang mengaitkan kepentingan birokratik dengan kepentingan nasional.
Keterkaitan antara dominasi PLA dan PLA-N dalam politik domestik Cina pada periode sebelum pendudukan Cina di Mischief Reef dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan terutama terlihat dalam proses pembuatan kebijakan Cina tentang Laut Cina Selatan, dimana pengaruh militer Cina khususnya dalam institusi CMC sangat besar. Figur Liu Huaqing sebagai perwira senior PLA dalam CMC yang sekaligus memiliki kedudukan dalam lingkaran elit tertinggi Cina, yakni Komite Tetap Politbiro kemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap munculnya kebijakan Cina yang asertif di Laut Cina Selatan pada umumnya, dan pendudukan di Mischief Reef pada khususnya. Meskipun tidak dapat dipastikan bagaimana CMC dan Liu Huaqing mempengaruhi proses pengambilan keputusan tentang kebijakan Cina Laut Cina Selatan, namun dengan melihat besarnya wewenang CMC dan tingginya kedudukan Liu dalam sistem politik Cina serta prestise yang menyertainya sebagai seorang veteran masa revolusi, bisa diperkirakan bahwa pengaruh Liu sangat besar dalarn mempengaruhi proses pengambilan keputusan tersebut.
Kemampuan PLA dan PLA-N untuk mendominasi persaingan birokratik terhadap rivalrivalnya tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor seperti power, prosedur dan aturan main yang cenderung menguntungkan kedua institusi tersebut, melainkan juga dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih luas, yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkup politik domestik Cina, yang antara lain ditandai oleh meningkatnya peran militer dalam proses politik. Peningkatan peran tersebut merupakan disebabkan oleh proses suksesi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya serta proses adaptasi yang dilakukan oleh institusi-institusi politik Cina dari waktu ke waktu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>