Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183948 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Galuh Sakti Bandini
"Skripsi ini membahas identitas dan pandangan tokoh Aku, sebagai orang Tionghoa, terhadap masyarakat Tionghoa dalam Indonesia Dalem Api dan Bara karya Tjamboek Berdoeri alias Kwee Thiam Tjing. Berdasarkan penelitian, tokoh Aku mengkritik sikap masyarakat Tionghoa yang tidak tegas sehingga berakibat buruk pada diri mereka sendiri. Akan tetapi, tokoh Aku membela sikap masyarakat Tionghoa yang lebih giat bekerja dan mampu beradaptasi dengan berbagai keadaan yang menyebabkan kedudukan ekonomi masyarakat Tionghoa lebih stabil dibandingkan dengan keadaan ekonomi pribumi. Pandangan tokoh Aku terhadap masyarakat Tionghoa tidak lepas dari pengaruh Tjamboek Berdoeri sebagai pengarang.

This study discusses the identity and the insight of the character Aku, as a Chinese, towards the Chinese society in Indonesia Dalem Api dan Bara by Tjamboek Berdoeri, as known as Kwee Thiam Thjing. Based on this study, Aku criticizes the Chinese society that is indecisive that could cause bad things to themselves. However, Aku defends the habit of the Chinese society that is more diligent in working and could adapt to many circumstances that make their economic position is more stable than the natives. The insight of Aku towards the Chinese society can not be separated from the influence of Tjamboek Berdoeri as the writer."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56319
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fandra Febriand
"Penelitian ini tentang representasi identitas diaspora Tionghoa dalam dua film, yaitu The Journey (Malaysia) dan Ngenest (Indonesia). Peran diaspora Tionghoa sejak awal kehadiran film di kedua negara (akhir 1920-an) sangat signifikan. Akan tetapi, sejak periode akhir 1960-an hingga tahun 2000, peran itu dan tema ketionghoaan berkurang sangat drastis akibat dari kebijakan politik kedua negara terhadap diaspora Tionghoa. Baru setelah tahun 2000-an, seiring perubahan politik di Indonesia dan ketersediaan teknologi dalam pembuatan film di Malaysia, film bertema ketionghoaan kembali hadir di kedua negara. The Journey (2014) dan Ngenest (2015) diproduksi pada era setelah tahun 2010-an, dan disutradarai oleh diaspora Tionghoa. Menggunakan metode kualitatif, penelitian ini melakukan analisis mendalam terhadap unsur-unsur pembentuk kedua film, yaitu unsur naratif dan unsur sinematik. Konsep representasi dan identitas dari Stuart Hall digunakan sebagai kerangka teoritis dalam penelitian ini untuk memahami representasi identitas diaspora Tionghoa dalam kedua film dari dua negara ini.
Temuan dari penelitian ini adalah bahwa kedua film sama-sama merepsentasikan hal- hal berikut, namun dengan cara yang berbeda, yaitu: 1) tradisi adalah bagian dari penanda identitas diaspora Tionghoa; 2) dinamika identitas yaitu berupa tegangan antara tradisi dengan modernitas (The Journey) dan antara ketionghoaan dengan pandangan diskriminatif terhadapnya (Ngenest); 3) ketidakadaan relasi dengan Tiongkok sebagai negara secara politis. Representasi identitas diaspora Tionghoa di dalam kedua film sangat berbeda karena tidak terlepas dari perbedaan sosial, budaya, dan politik identitas terhadap diaspora Tionghoa di kedua negara tersebut. Masing-masing tokoh utama dalam kedua film merepresentasikan bagaimana identitas diaspora Tionghoa berada dalam kondisi “being” dan “becoming” dalam konteks konsep identitas dari Stuart Hall, yaitu identitas adalah a matter of “becoming” as well as of “being”.

This research is about the representation of the Chinese diaspora‟s identity in two different films, The Journey (Malaysia) and Ngenest (Indonesia). Since the late 1920s, when the cinema has just started to be introduced in both countries, the contributions of the Chinese diaspora has been very significant. However, from the late 1960s to 2000, there has been a decline in the participation of the Chinese diaspora in the cinema which results in the decline of Chinese-themed films. This phenomenon was a result of the two countries' political policies towards the Chinese diaspora. It was only after the 2000s, along with political changes in Indonesia and the availability of technology in filmmaking in Malaysia, that Chinese-themed films returned to both countries. The Journey (2014) and Ngenest (2015) were produced in the post-2010s era, and were directed by the Chinese diaspora. Using qualitative methods, this research conducts an in-depth analysis of the elements of the two films, which are the narrative elements and cinematic elements. Stuart Hall's concept of representation and identity was used as a theoretical framework to understand the representation of Chinese diaspora identity in the two films from these two countries.
The findings of this study are that both films represent the followings: 1) tradition is part of the identity marker of the Chinese diaspora; 2) the dynamics of identity in the form of tension between tradition and modernity (The Journey) and between Chinese and discriminatory views against it (Ngenest); 3) the absence of relations with China as a country politically. However, there were differences in how those things were represented. The different representations were related with the differences in terms of social, cultural, and identity politics of the Chinese diaspora in both countries. Using Stuart Hall‟s concept of identity, it can be seen that each of the main characters in both films represents how the identity of the Chinese diaspora is in a state of "being" and "becoming".
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lu Li Qian Qian
"Di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan meningkatnya fenomena Rising China, terjadi peningkatan jumlah sekolah yang mengajarkan pelajaran bahasa Mandarin. Peningkatan ini sebagian juga disebabkan oleh berakhirnya periode Orde Baru yang membuka luas kesempatan bagi keturunan etnis Tionghoa untuk mendapat pendidikan bahasa Mandarin. Tren tersebut memunculkan pertanyaan, apakah terbukanya kembali kesempatan belajar bahasa Mandarin pada etnis Tionghoa tersebut menimbulkan adanya re-asersi ke-'Tionghoa'-an di antara etnis Tionghoa di Indonesia yang berorientasi akhir pada 'negeri leluhur' (Tiongkok) atau lebih didasarkan pada pandangan kosmopolitan yang tidak mempertimbangkan batasan lintas etnis sebagai bagian penting dari identitas mereka? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, pendekatan etnografis, observasi dan survei terhadap para orangtua siswa etnis Tionghoa (baca: Indonesia-Tionghoa) yang lahir pada periode Orde Baru. Para responden yang diobservasi tersebut telah menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang mempunyai kurikulum pelajaran bahasa Mandarin.
Observasi dilakukan di tiga kota terbesar di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Medan. Alat analisis yang digunakan adalah teori identitas, fenomena resinisisasi, konsep esensialisme dan stereotip, kosmopolitan dan globalisasi yang akan digunakan sebagai kerangka utama untuk membahas masalah ini. Temuan penelitian ini adalah, melalui pembelajaran bahasa Mandarin, telah terjadi re-(posisi) identitas. Identitas yang masih melekat kuat adalah identitas etnis dan identitas historis. Sementara itu, identitas komunal masih terlihat, tetapi relatif sedikit muncul pada sebagian responden. Dari deretan identitas tersebut, identitas yang begitu kuat muncul adalah identitas etnis dan identitas historis, yang tercermin melalui orientasi dan motivasi untuk meningkatkan ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Ketiga orientasi ini merupakan bagian dari identitas historis yang melekat pada orang Tionghoa, seperti rajin mencari uang dan mudah adaptasi di mana pun. Sementara itu identitas etnis digambarkan melalui keinginan kuat untuk belajar berbahasa Mandarin dengan tujuan baru yaitu melihat peluang-peluang dari fenomena 'Rising China' dan unggul dalam peradaban melalui teknologi.
Temuan-temuan dari penelitian juga menunjukkan bahwa (1) sebagian besar responden merasa bangga akan negeri leluhur, tetapi mereka tidak ingin pindah ke negeri Tiongkok, (2) mereka mempunyai nama Tionghoa tapi sudah tidak menggunakannya di dalam dokumen resmi. (3) ketika di luar negeri, mereka lebih ingin diidentifikasi sebagai orang Indonesia-Tionghoa. Berdasarkan temuan tersebut, terlihat bahwa fenomena resinisisasi yang terjadi pada etnis Tionghoa di Indonesia pada umumnya merupakan koneksi sosio-kultural dan bukan politis. Pandangan esensialisme dan stereotip memang membentuk rasa bangga terhadap negeri leluhur, tetapi hal tersebut tidak signifikan terlihat. Selain itu, gagasan kosmopolitan dan globalisasi yang dinamis dapat lebih membantu untuk mendefinisikan identitas orang Indonesia-Tionghoa Bahasa Mandarin dan pembelajaran bahasa Mandarin di Indonesia oleh orang Indonesia-Tionghoa tidak hanya sebagai bentuk resinisisasi etnis, tetapi juga re-posisi peran bahasa Mandarin sebagai bagian dari identitas budaya kosmopolitan.

In Indonesia, there has been an increase in the number of schools that offer Mandarin language lessons in recent years, alongside the increasing 'Rising China' phenomenon. This increase was also partly due to the collapse of Indonesia's New Order government which opened opportunities for Chinese-Indonesian descendants to obtain Mandarin education. The trend raises the question, whether the reopening of opportunities to learn Mandarin has led to the reassertion of 'Chinese-ness' for Chinese-Indonesians which is oriented towards the 'ancestral homeland' (China), or is it based on a cosmopolitan view that considers cross-ethnic boundaries as an important part of their identity? This study uses qualitative method, ethnographic approaches, observations and surveys of parents of students (Chinese-Indonesian) who were born and raised during the New Order period. Respondents are the ones that have sent their children to schools that have a Mandarin language curriculum.
The research was carried out in the three largest cities in Indonesia, namely Jakarta, Surabaya and Medan. The analytical tool used is identity theory, the phenomenon of re-sinicization, the concept of essentialism and stereotypes, cosmopolitanism and globalism, which will be used as the main framework to discuss the issues. The findings of this study show through learning Mandarin, there has been a re-positioning of identities. Identities that are still inherently strong are ethnic identity and historical identity. Meanwhile, though communal identity is still visible, it only appears in relatively few respondents. From the aforementioned identities, identities that seems to be strong are ethnic identity and historical identity, which are reflected through orientation and motivation to improve economy, education and access to technology. Meanwhile, ethnic identity is portrayed through a strong desire to learn Mandarin with a new goal of seizing the opportunities offered by the 'Rising China' phenomenon and excelling through the mastery of technology.
The findings of the study also showed that (1) most respondents felt proud of their ancestral homeland, but they did not want to move to China, (2) they had Chinese names but did not used them in official documents. (3) when abroad, they would rather be identified as Chinese-Indonesians. Based on these findings, it can be seen that the phenomenon of re-sinicization that occurred amongst the Chinese-Indonesians in general is a socio-cultural and not political phenomenon. While essentialism and stereotypes indeed form a sense of pride for the ancestral homeland, this is not significant. In addition, the idea of cosmopolitanism and x dynamic globalism help redefine the identity of Chinese-Indonesians. Mandarin language learning in Indonesia by Chinese Indonesians is not only a form of re-sinicization, but also a re-positioning of the role of the Mandarin language as part of a cosmopolitan cultural identity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2639
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Ishardanti
"Studi ini membahas mengenai identitas hibrid Cina-Banyumas. Pertama, akan bercerita mengenai ruang, agen dan relasi seperti apa yang berperan dalam rekonstuksi identitas. Ketiga hal tersebut akan bekerja dalam kerangka berpikir Berger. Kemudian, relasi sosial seperti apa yang terbentuk antara kedua etnik ini dan bagaiamana bentuk-bentuk relasi ini berkontribusi dalam rekonstruksi identitas. Dari hasil rekonstruksi identitas ini, maka identitas hibrid seperti apa yang akan muncul. Rekonstruksi identitas dibangun dengan beberapa tahapan yang dalam penelitian ini dilihat melalui kerangka berpikir dari konstruksi sosial yang diungkapkan Berger dan Luckmann, yang memiliki tiga proses utama dalam rekonstruksinya yaitu proses eksternalisasi, obyektifikasi, dan internalisasi. Di dalam proses-proses rekonstruksi identitas ini penuh dengan proses yang disebut dengan Bhaba mimikri, dimana etnis Cina-Banyumas melakukan peniruan-peniruan dan imitasi sebagai upaya untuk mengambil nila-nilai lokal Banyumas. Karena proses-proses imitasi yang terjadi berulang-ulang, mengakibatkan batasan antara nilai lokal dan Cina-Banyumas menjadi kabur. Batasan-batasan yang menjadi tidak jelas ini melahirkan identitas hibrid yang baru. Adapun temuan lapangan dari studi ini ada beberapa nilai dan simbol yang berperan dalam membentuk karakter hibrid Cina-Banyumas, seperti karakter Bawor dari wong Banyumas, nilai konfusius dari Tionghoa. Agen sosialisasi juga bervariasi dari mulai kelompok kecinaan, keluarga, tokoh masyarakat dan agama.

These studies about Chinese-Banyumas identity. First, will talk about the social space, agents and relations that play a role in the reconstruction of identity. These three things will work within the framework of Berger. Then, identify relations form between these two ethnic groups and how these relationships contribute to the reconstruction of identity. From the results of reconstruction of this identity, then hybrid identity will appear. Reconstruction of identity is built with several stages in this research viewed through the framework of social construction by Berger and Luckmann, which has three main processes. There are process of externalization, objectification, and internalization. In the processes of identity reconstruction, Bhaba said is filled with mimicry processes, where the ethnic Chinese-Banyumas imitate the local values of Banyumas. Since imitation processes that occur repeatedly, resulting in the boundaries between local and Chinese-Banyumas become blurred. Boundaries became unclear who gave birth to a new hybrid identity. The field findings from this study: there are some values and symbols that play roles in shaping the character of the hybrid Chinese-Banyumas, like the character of Wong Banyumas, Bawor, the Confucius of China. Also, Agents of socialization varies from the Chinese group, family, community and religious leaders."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Letriana Cesaria
"Sastra Melayu Tionghoa adalah karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang keturunan Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1950-an, kebanyakan karya mereka dimuat dalam tiga majalah yaitu Star Weekly, Liberal, dan Pantjawarna. Penelitian ini melihat bagaimana nilai konfusianisme memengaruhi identitas Tionghoa Indonesia melalui teks dalam majalah tahun 1950-an. Tahun 1950-an awal merupakan tahun-tahun ketika Indonesia sudah mendapatkan kedaulatannya sebagai bangsa, tetapi Indonesia pada saat itu baru mulai untuk hidup bernegara. Pencarian identitas sebagaimana disebutkan tersebut menyebabkan konsep Indonesia pun dibangun dengan mendapatkan ̳masukan‘ dari berbagai hal yang ada di luar. Hal ini tentunya akan mengakibatkan adanya berbagai bentuk dan berbagai hal yang berbeda dari apa yang ada sebelumnya, termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai kemasyarakatan yang di antaranya adalah nilai-nilai dalam sebuah keluarga, mengingat keluarga adalah bentuk terkecil dan bentuk inti masyarakat. Penelitian ini secara khusus menumpukan perhatian pada karya cerpen yang dibahas dalam majalah-majalah tersebut. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan deskriptif dengan menggunakan sumber data dari majalah Star Weekly, Liberal, dan Pantjawarna tahun 1950—1959. Hasil penelitian menunjukkan bahwa majalah Star Weekly, Pantjawarna, dan Liberal menjadi wahana untuk mempertahankan identitas ketionghoaan. Bentuk-bentuk pemertahanan identitas dapat dilihat dari 6 aspek yaitu nama diri, tradisi/adat, pendidikan, keagamaan, nilai bakti, dan status ekonomi. Nama diri, nilai bakti, dan status ekonomi merupakan tiga aspek yang paling banyak ditemukan dalam 11 cerpen tersebut.

Chinese Malay literature is a literary work produced by authors of Chinese descent in Indonesia. In the 1950s, most of their works were published in three magazines, namely Star Weekly, Liberal, and Pantjawarna. This study looks at how Confucian values influence Indonesian Chinese identity through texts in magazines in the 1950s. The early 1950s were the years when Indonesia had gained its sovereignty as a nation, but at that time Indonesia was just starting to live as a state. The search for identity as mentioned above causes the concept of Indonesia to be built by getting 'input' from various things outside. This of course will result in various forms and various things that are different from what existed before, including social values which include values in a family, considering that the family is the smallest form and the core form of society. This research focuses specifically on the short stories discussed in these magazines. The method used is a qualitative and descriptive method using data sources from the magazines Star Weekly, Liberal, and Pantjawarna 1950-1959. The results showed that Star Weekly, Liberal, and Pantjawarna magazines became vehicles to maintain Chinese identity. The forms of identity defense can be seen from 6 aspects, namely self-name, tradition/custom. education, religion, devotional value, and economic status. Names, values of devotion, and economic status are the three most common aspects found in the 11 short stories."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lu, Xuanyi
"

Penelitian ini merupakan penelitian terjemahan beranotasi. Dalam penelitian ini penulis melakukan terjemahan dua bab dari buku biografi Tokoh Tionghoa & Identitas Indonesia: Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien dan memberi anotasi terhadap bagian yang penting dan dirasakan perlu. Tujuan penelitian umum adalah menghasilkan terjemahan yang berhasil dan berterima bagi pembaca bahasa sasaran. Tujuan penelitian khusus dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) menemukan metode yang tepat untuk menerjemahkan teks sumber ini; (2) menemukan teknik penerjemahan yang cocok dan memberikan alasan untuk memilih kesepadanan dalam penerjemahan ini. Dalam menerjemahkan biografi ini, penulis menggunakan metode penerjemahan komunikatif (Newmark, 1988) dan menganggap teori kesepadaan dinamis dari Nida dan Taber (1982) sebagai prinsip utama. Anotasi dibagi menjadi enam kelompok, yaitu: kata bermuatan budaya, frasa yang diterjemahkan ke dalam bentuk idiom bahasa Tionghoa, nama diri, metafora, catakan kaki, dan kalimat. Untuk kata benda khusus yang sudah memiliki aksara Tionghoa yang resmi, penerjemah perlu tetap menggunakannya, buat yang belum ada bisa dapat dipertahankan huruf Latinnya. Nama orang dan nama tempat harus diterjemahkan ke aksara Tionghoa melalui teknik transliterasi. Menerjemahkan sebuah teks dengan baik bukan hanya memerlukan tingkat kemahiran bahasa yang tinggi tetapi juga membutuhkan pengetahuan yang luas. Tesis ini bagi dunia akademis dapat menambah warna pada bidang penerjemahan, terutama dalam penerjemahan bahasa Indonesia-Tionghoa yang belum banyak dipublikasi dan dianalisis sehingga memperkaya komunikasi dan pertukaran budaya antara Indonesia dan Tiongkok.


This research is an annotated translation study. In this study the author conducted a translation of two chapters of the biography named Tokoh Tionghoa & Identitas Indonesia: Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien (2010) and gave annotations to important and necessary parts. The general purpose of this research is to produce an successful and acceptable translation for the target language readers. Specific purposes of this research can be described as follows: (1) find the appropriate method to translate this source text; (2) find out proper translation techniques and and provide reasons for choosing equivalence. In translating this biography, the author uses communicative translation (Newmark, 1988) and considers the dynamic equivalence theory of Nida and Taber (1982) as the main principle. Annotations are divided into six groups, namely: culturally charged words, phrases that are translated into Chinese idioms, proper nouns, metaphors, footprints, and sentences. For proper nouns which already have official Chinese translation, the thesis keeps continuing to use them, while for others that do not have equivalence, Latin letters can be maintained. Names of people and place names must be translated into Chinese characters through the transliteration technique. To translate a text successfully, translators need not only a good mastery of languages but also board knowledge. For the academic world, this thesis can add color to the field of translation, especially in translating Indonesian-Chinese which has not been published and analyzed much so as to enrich communication and cultural exchanges between Indonesia and China.

"
2019
T53087
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas sistem kapitalisme pengusaha Tionghoa dalam kegiatan berdagang yang mendominasi sektor ekonomi di Indonesia. Berdasarkan penelitian, tokoh Hong Liang menjadi pemicu konflik karena dirinya tidak menerapkan asas-asas Siang Hwee dan Sariket Dagang Pertengahan sebagai perkumpulan dagang etnis Tionghoa. Hong Liang mengembangkan bisnis secara independen dan memanfaatkan berbagai cara untuk menguasai sektor ekonomi dan mengeruk laba sebesar-besarnya. Liem Khing Hoo sebagai pengarang cerita Masyarakat mencirikan minoritas Tionghoa melalui sebuah kisah yang merupakan cermin realitas kehidupan pada abad ke-20.

ABSTRACT
This thesis discusses capitalism system from a Chinese entrepreneur in trading activity that had dominated the economy aspect in Indonesia. According to the research, Hong Liang became the conflict trigger because he could not assign Siang Hwee and Sariket Dagang Pertengahan rsquo s principles to associate with Chinese commerce. Hong Liang developed a business independently and didsome ways to conquer economy aspect in Indonesia and get the highest profit. As the story teller, Liem Khing Hoo characterizes the minority of Chinese by a story that reflects the society in 20th century. "
2017
S69780
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent
"Skripsi ini membahas mengenai hukum perkawinan adat masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia khususnya pada masyarakat etnis Tionghoa di Kota Medan. Hukum perkawinan adat masyarakat etnis Tionghoa di Kota Medan kemudian dianalisis keberlakuannya menurut undang-undang perkawinan nasional. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris yang dilakukan dengan studi kepustakaan data sekunder lalu diikuti dengan penyajian dengan data lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan hukum perkawinan adat masih dijalankan oleh masyarakat etnis Tionghoa di Kota Medan. Selain itu, hukum perkawinan adat masih memiliki beberapa peranan dalam undang-undang perkawinan nasional.

This thesis describes adat marriage law practiced by Chinese people in Indonesia, particulary Chinese people living in Medan. The enforcability of the aforementioned Chinese adat marriage law is then being analyzed using the national marriage law. This research uses empirical-juridical apporach, which is done through studying secondary data, then presenting and analyzing the field data. The results of the research shows that adat marriage law are still practiced by Chinese people living in Medan. However, the adat marriage law practiced by the Chinese people living in Medan isn?t legally recognized by national marriage law, although the national marriage law only acknowledge several parts of adat marriage law."
Universitas Indonesia, 2016
S61759
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatih Maharini
"ABSTRAK
Tesis ini menyajikan secara lebih dalam identitas perempuan muda Tionghoa yang dibentuk oleh narasi trauma kekerasan anti-Tionghoa yang dialami oleh generasi sebelum mereka atau keluarganya. Di dalam penelitian ini akan menghadirkan tiga subyek yang memiliki latar belakang pendidikan, lingkungan, dan narasi trauma kekerasan yang berbeda. Perbedaan tersebut menciptakan pemaknaan dan representasi yang berbeda pula di dalam identitasnya sebagai perempuan Tionghoa. Reproduksi narasi dan stereotipe terhadap pribumi lebih didominasi oleh sang ayah. Ayah menjadi sosok yang meneruskan ideologi dan norma-norma kepada si anak. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif dengan berperspektif feminis yang memungkinkan untuk lebih memahami proses identifikasi perempuan muda sebagai perempuan Tionghoa dengan narasi trauma kekerasan yang pernah dialami oleh keluarganya. Pada akirnya, penelitian ini menemukan bahwa reproduksi trauma terus berlangsung dan diturunkan oleh sang ayah dan pendidikan banyak berperan merubah pandangan ketiga subyek penelitian ini.

ABSTRACT
This thesis presents more deeply the identity of young Chinese women who are formed by the narratives of violent anti Chinese trauma experienced by generations before them or their families. In this study will present three subjects who have different educational background, environment, and narrative of trauma of violence. The distinction creates different meanings and representations in her identity as a Chinese woman. The reproduction of narratives and stereotype against pribumi is more dominated by the father. Father becomes a figure who continues the ideology and norms to the child. This study also uses a qualitative approach with a feminist perspective that allows to better understand the process of identification of young women as Chinese women with violent trauma narrative ever experienced by their families. In the end, the study found that trauma reproduction continued and decreased by the father and education played a role in changing the views of the three subjects."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deandra Asyifa
"Cerpen Hati Seorang Budak (奴隶的心 Nuli de Xin) adalah karya yang ditulis oleh Ba Jin pada tahun 1931. Hati Seorang Budak mengambil perbudakan sebagai latar sosial cerpen. Cerpen ini menceritakan pertemanan antara Peng dan Zheng yang berbeda latar belakang keluarga. Peng adalah anak dari keluarga budak, sedangkan Zheng adalah anak dari keluarga pemilik budak. Latar belakang keluarga dan kondisi hidup yang bertolak belakang mempengaruhi karakter, sikap, cara hidup dan pandangan mereka terhadap perbudakan. Hal-hal tersebut hadir melalui dialog-dialog kedua tokoh, hampir di seluruh teks, yang dideskripsikan oleh Zheng sebagai narator cerita. Bagaimana pandangan kedua tokoh terhadap perbudakan, dan bagaimana sikap mereka dalam menghadapi perbudakan tersebut akan menjadi materi yang akan diulas dalam artikel ini. Melalui analisis tokoh dan penokohan Peng dan Zheng, dan mengupas pandangan masing-masing tokoh tentang lawan bicaranya, akan terlihat bahwa Peng sangat membenci kaum pemilik budak dan berambisi menjadi revolusioner untuk menghilangkan perbudakan, sedangkan Zheng menganggap menjadi pemilik budak adalah hal membanggakan.

The Heart of A Slave short story is the work of Ba Jin in 1931. The Heart of a Slave takes slavery as a storys social background. This story tells about a friendship between Peng and Zheng with different family backgrounds. Peng is a child of a slave family, while Zheng is a child of a family of slave owners.The difference of backgrounds and social conditions of Peng and Zheng affect their characters, attitude, the way of living, and views towards slavery. These things are present through the dialogues of the two characters, almost throughout the text,described by Zheng as the narrator of the story. How the two characters see slavery, and how they attitude facing slavery will be the focus of this article. Analyze the characterization of Peng and Zheng, and explore the views of each character about his interlocutor, will explain that Peng hates slave owners and has ambition to be a revolutionary to eliminate slavery, while Zheng assume being a slave owner is a proud thing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>