Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210276 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denita Biyanda Utami
"Latar belakang: Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif (GPPH) adalah gangguan neurobehavioral ditandai dengan gejala kurangnya perhatian, sifat hiperaktif, dan impulsif. GPPH adalah gangguan perilaku yang paling sering didiagnosis pada anak dan apabila tidak teridentifikasi dan ditangani pada anak usia sekolah akan mengakibatkan dampak pada perkembangan sosial dan kognitif. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengidentifikasi tanda-tanda awal GPPH untuk orang tua. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (GPPH) dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua pada anak-anak usia sekolah di Jakarta.
Metode: Penelitian cross-sectional ini dilaksanakan di beberapa sekolah dasar di Jakarta pada bulan Januari 2012. Data diperoleh menggunakan kuesioner terstruktur yang diberikan kepada orang tua dari siswa SD di Jakarta. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17 dan uji statistik dan nilai kemaknaan p<0,05 dari analisis chi-square.
Hasil: Lima puluh koma tiga persen orang tua dengan tingkat pengetahuan mengenai GPPH yang tinggi berasal dari kelompok orang tua dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik dari hubungan tingkat pengetahuan tentang GPPH dan tingkat pendidikan pada orang tua (p = 0,01). Untuk orang tua yang bekerja, dalam penelitian ini adalah ibu, 31,3% dari seluruh ibu yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi adalah ibu yang tidak bekerja, sementara hanya 14% dari ibu yang bekerja yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara tingkat pengetahuan tentang GPPH dan pekerjaan orang tua (p = 0,005).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan mengenai GPPH dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua. Selain itu, sebagian orang tua mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi mengenai GPPH.

Background: Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) is a neurobehavioral disorder characterized by symptoms of inattention, hyperactivity, and impulsivity. ADHD is the most commonly diagnosed behavioural disorder in school-age children and if it remains unidentified and untreated, it will affect the social and cognitive development of the children. Therefore, it is essential to identify the early signs of ADHD for the parents. The aim of this study is to know the relationship between knowledge level of ADHD and education level and employment status of the parents in school-age children in Jakarta.
Method: This cross-sectional study was conducted in several elementary schools in Jakarta in January 2012. The data was collected through structured questionnaires given to parents of elementary school students in Jakarta. The data analysis was done by using SPSS 17 and analytical study with significancy value of p <0.05 in chi- square method.
Results: The results of this study showed that 50.3% of parents with a high knowledge level comes from the parents with high education level. There are significant differences in the relationship between knowledge level about ADHD and education level of the parents (p = 0.01). For employed parents, in this study were mothers, 31.3% of all mothers who have a high knowledge level is the mother who are unemployed, while only 14% of employed mothers who have high knowledge level. There are significant differences in the relationship between knowledge level about ADHD and employment status of the parents (p = 0.005).
Conclusion: There is a relationship between the knowledge level about ADHD and education level and employment status of the parents. In addition, most of the parents have high knowledge level about ADHD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.A. Ngurah Agung Wigantara
"Latar belakang: Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif (GPPH) adalah gangguan neurobehavioral yang ditandai dengan gejala kurangnya perhatian, sifat hiperaktif, dan impulsif. GPPH dikenal sebagai kelainan psikiatri yang paling sering dideraita oleh anak-anak. GPPH dapat berlanjut menjadi gangguan lain dan dapat juga mengganggu perkembangan anak. Dikarenakna alas an yang telah tersebut, mengetahui apa saja factor pendukung dan hubungannya terhadap prevalensi ADHD menjadi penting.
Metode: Penelitian ini merupakan penilitan cross sectional yang dilakukan di tiga sekolah dasar di Jakarta. Data didapat melalui kuisioner yang diberikan pada subyek dan orang tua subyek. Kemudian data dianalisis menggunakan program SPSS 19 dan metode chi-square dan fischer test.
Hasil: Berdasarkan hasil studi analisis deteksi dini didapatkan 69,6% anak dengan GPPH. Terdapat 4 faktor yang telah teranalisa dan hanya ayah merokok yang memberikan hasil yang signifikan(p=0,029).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara ayah merokok dengan anak GPPH dan prevalensi GPPH di Jakarta cukup tinggi(69,6%).

Background: Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) define as disorder of neurobehaviour which has symptom of inattention, impulsivity and hyperactivity. This disorder is renown as the most psychiatric problem for children. ADHD can lead to several disturbances that will affect growth development. For all the reason that have been stated, it is necessary to understand the contributing factors of ADHD and the relationship with its prevalence as well.
Method: The study uses cross sectional design and it is conducted in three elementary schools in Jakarta. The data was obtained by a questionnaire with some and give n to subjects and parent subjects. Then the data will be analysed using SPSS 19 with several test like chi-square and fischer test.
Results: Based on the analysis of early detection, it is found that 69,6% of all children have ADHD. There are 4 factors that have been analysed but only paternal smoking that give significant result(p= 0,029).
Conclusion: There is relationship between paternal smoking with ADHD patient and prevalence of ADHD in Jakarta is quite high(69,6%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmana Rizki Putranto
"Latar belakang: Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif (GPPH) adalah gangguan neurobehavioral yang gejalanya ditandai oleh sifat hiperaktif, kurangnya perhatian, dan impulsif. GPPH termasuk salah satu gangguan psikiatri yang sering ditemukan pada anak usia sekolah. Gangguan ini dapat mengakibatkan kekurang dalam perkembangan sosial dan kognitif anak apabila tidak terdeteksi dan tidak diobati sedini mungkin. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi orang tua untuk dapat mengidentifikasi tanda-tanda awal GPPH. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi GPPH dan hubungannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada anak-anak usia sekolah di Jakarta.
Metode: Penelitian ini merupakan penilitan cross sectional yang dilakukan di tiga sekolah dasar di Jakarta. Data didapat melalui kuesioner Conner’s yang dibagikan kepada orang tua dari siswa SD tersebut. Kuisioner Conner’s adalah salah satu metode deteksi dini untuk anak ADHD. Kemudian data dianalisis menggunakan program SPSS 19 dan metode chi-square dengan nilai kemaknaan p,0,05.
Hasil: Berdasarkan hasil studi analisis deteksi dini didapatkan 69,6% anak dengan GPPH, dengan prevalensi terbanyak berasal dari SDN Kampung Melayu. Akan tetapi, prevalensi ini tidak terbukti bermakna secara statistik jika dihubungkan dengan tingkat pengetahuan (p = 0,975) dan tingkat pendidikan ayah (p = 0,132) dan ibu (p = 0,372).
Kesimpulan: Dalam penilitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara angka prevalensi GPPH dengan tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan orangtua. Namun, faktor ayah merokok terbukti memiliki asosiasi yang kuat terhadap prevalensi GPPH di Jakarta.

Background: Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) is a neurobehavioral disorder which characterized by hyperactivity, inattention, and impulsivity. ADHD is one of the most frequent psychiatric disorders in school-age children. This condition may affect the social and cognitive developmental in the children if it is remain unidentified and untreated. Thus, it is important for parents to be able to identify the early signs of ADHD in their children. The aim of this study is to know the prevalence of ADHD and the relationship to its contributing factors among school-age children in Jakarta.
Method: The study uses cross sectional design and it was conducted in three elementary schools in Jakarta. The data was obtained through Conner’s Rating Scale which distributed to the parents of the subject children. The Conner’s questionnaire is one of the early screening methods to determine whether the child is having ADHD or not. Then, the data is analyzed with SPSS 19 program and chi-square method with significancy value p<0,05.
Results: Based on the analysis of early detection, it is found that 69,6% of all children have ADHD, with the most prevalent one comes from SDN Kampung Melayu. However, this result is not statistically significant if compared to knowledge level (p = 0,975) or with father’s (p = 0,132) and mother’s (p = 0,372) education level.
Conclusion: There are no significant relationship between the prevalence of ADHD with the knowledge level and the education level of the parents. However, there is a strong association between paternal smoking with the prevalence of ADHD in Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kenny Harsono
"Guru Sekolah Dasar berperan sangat penting untuk mendeteksi anak dengan GPPH, oleh karena mereka berhubungan langsung dengan anak didik di dalam kelas dan sekolah pada umumnya. Dengan demikian guru Sekolah Dasar seyogyanya memiliki pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH yang baik agar bisa melakukan deteksi dini kasus tersebut di antara anak didiknya. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan gambaran tingkat pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH pada guru Sekolah Dasar di Jakarta serta hubungannya dengan lama pengalaman mengajar di Sekolah Dasar. Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancang potong lintang. Pengetahuan, pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH diidentifikasi dengan menggunakan kuesioner yang dibuat khusus untuk penelitian ini, dan terbukti sah dan handal berdasarkan uji validasi dan reliabilitas dengan Cronbach alpha sebesar 0.873 dan Pearson’s r > 0.25. Kuesioner tersebut disebarkan pada 422 guru Sekolah Dasar di Jakarta yang berasal dari 21 sekolah, kemudian dengan uji acak sederhana didapatkan 384 subjek penelitian. Data dianalisa dengan menggunakan program SPSS 20th untuk Mac. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan/pemahaman yang sangat rendah (58.9%), tingkat persepsi yang rendah (56.5%), dan tingkat sikap yang cukup (60.7%). Lama mengajar berhubungan secara signifikan dengan tingkat pengetahuan/pemahaman terhadap GPPH. Dengan demikian, diperlukan peningkatan pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH pada guru Sekolah Dasar melalui program edukasi yang tepat dan pelatihan keterampilan dalam deteksi dini GPPH.

Elementary School Teachers play a very important detecting children with ADHD, because they deal with students directly in the classroom and in the school generally. Thus elementary school teachers should have a good knowledge/understanding, perception, and attitude towards ADHD so that they can make early detection among their students. The aim of this study is to get an overview about the level of knowledge/understanding, perception, and attitude towards ADHD among elementary school teacher in Jakarta and its relationship with teaching experience in elementary schools. This study uses cross-sectional design. Knowledge, understanding, perception, and attitude towards ADHD are identified using a questionnaire created specifically for this research, and proven valid and reliable based on validation and reliability with a Cronbach's alpha of 0.873 and Pearson's r > 0.25. The questionnaires were distributed to 422 elementary school teachers in Jakarta from 21 schools, then with simple random sampling, 384 research subjects were found. Data were analyzed using SPSS 20th for Mac. The results showed the level of knowledge/understanding is very poor (58.9%), poor level perception (56.5%), and moderate level of attitude (60.7%). Teaching experience is significantly related with the level of knowledge/understanding towards ADHD. Thus, it is necessary to increase the knowledge/understanding, perception, and attitude towards ADHD among elementary school teachers through appropriate educational programs and workshops about early detection of ADHD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theodorus Tuahta Syalom
"Latar belakang: GPPH merupakan neurodevelopmental disorder dengan prevalensi dan tingkat disabilitas tertinggi pada kelompok anak dan remaja. Kondisi ini umumnya ditatalaksana dengan menggunakan metilfenidat untuk meningkatkan derajat fungsionalitas pada aspek fisik, psikis, maupun sosial. Meskipun demikian, penggunaan metilfenidat secara kronis (≥1 tahun) dinilai berpotensi menimbulkan efek samping berupa peningkatan gejala ansietas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan durasi penggunaan metilfenidat dengan tingkat ansietas pada anak dan remaja dengan GPPH di RSCM, serta variabel luar yang dapat berhubungan dengan tingkat ansietas pada subjek penelitian.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan dilakukan pada 64 anak dan remaja berusia 7 – 17 tahun dengan GPPH di RSCM (32 subjek pada masing-masing kelompok dengan durasi penggunaan metilfenidat < 1 tahun dan ≥1 tahun). Penelitian dilakukan dengan menggunakan lembar data responden yang dikonfirmasi dengan rekam medis elektronik pasien untuk mengetahui durasi penggunaan metilfenidat serta variabel luar yang dapat mempengaruhi tingkat ansietas pada subjek (jenis kelamin, tatalaksana nonfarmakologi, tingkat pendidikan, tipe GPPH, derajat keparahan GPPH) serta kuesioner tervalidasi CSAS-C yang telah dimodifikasi untuk menilai tingkat ansietas subjek. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney untuk menilai hubungan antara variabel durasi penggunaan metilfenidat dengan tingkat ansietas. Analisis hubungan antara variabel luar dengan tingkat ansietas dilakukan dengan uji Mann-Whitney (variabel jenis kelamin, variabel tatalaksana nonfarmakologi), uji Kruskal-Wallis (variabel tingkat pendidikan, variabel tipe GPPH) dan uji korelasi Spearman (variabel derajat keparahan GPPH).
Hasil: Sebagian besar subjek memiliki jenis kelamin laki-laki (78,1%) dengan median usia 10 tahun (7 – 17 tahun), rerata usia diagnosis 7 ± 3,04 tahun, tipe diagnosis GPPH-NOS (46.9%), dan mendapatkan tatalaksana nonfarmakologi berupa konseling (100%) dan psikoterapi (98,4%). Hasil uji Kolmogorov-Smirnov terhadap tingkat ansietas dibandingkan dengan faktor durasi penggunaan metilfenidat menunjukkan distribusi tidak normal (p<0,05), dengan median 26 (20 – 50). Variabel luar yang berhubungan dengan tingkat ansietas pada subjek adalah tipe diagnosis GPPH (p = 0,021). Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara durasi penggunaan metilfenidat dan tingkat ansietas pada subjek (p = 0,814).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara durasi penggunaan metilfenidat dengan tingkat ansietas pada anak dan remaja dengan GPPH di RSCM.

Introduction: ADHD is a neurodevelopmental disorder with the highest prevalence and disability level among children and adolescents. It is usually treated with methylphenidate to increase the degree of functionality in physical, psychological, and social aspects. However, chronic methylphenidate treatment (≥1 year) is considered to have a potential side effect of increasing anxiety levels. Therefore, this study aims to determine the association between the duration of methylphenidate treatment and anxiety levels in children and adolescents with ADHD and the associations between other extraneous variables and anxiety levels of the samples.
Method: This study used a cross-sectional design and was conducted on 64 children and adolescents aged 7-17 years old with ADHD that were treated with methylphenidate in RSCM. Equal 32 subjects were included in each group based on the duration of methylphenidate treatment (< 1 and ≥1 year of duration). This study used a respondent data sheet, confirmed with the patient’s EMR, to gain information regarding the duration of methylphenidate treatment and other extraneous variables which potentially affect anxiety levels of the samples (gender, nonpharmacological treatments, level of education, ADHD subtypes, severity of the ADHD). This study used a validated questionnaire (modified CSAS-C) to evaluate the anxiety levels of the samples. Data analysis was conducted using the Mann-Whitney test to evaluate the association between the duration of methylphenidate treatment and anxiety levels. Associations between extraneous variables and anxiety levels in samples were also analyzed using the Mann-Whitney test for gender & nonpharmacological treatments variables, Kruskal-Wallis test for the level of education & ADHD subtypes variables, and the Spearman correlation test for severity of the ADHD variable.
Result: The majority of the samples were male (78,1%) with a median age of 10 years (7 – 17), average diagnosis age of 7 ± 3,04 years, predominantly ADHD-NOS subtypes, and were majorly treated with counseling (100%) and psychotherapy (98,4%). Kolmogorov-Smirnov test for anxiety levels showed that the data is not normally distributed (p<0,05), with a median score of 26 (20 – 50). An extraneous variable that was significantly associated with anxiety levels of the samples is the ADHD subtypes (p = 0,021). The Mann-Whitney test showed no significant association between the duration of methylphenidate treatment and anxiety levels in the samples.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Lasmono
"Latar Belakang: Kemampuan empati dan sistemisasi sudah berkembang sejak masa kanak. Kedua kemampuan tersebut berkaitan dengan fungsi sosial serta pencapaian akademik pada anak, dapat dinilai menggunakan kuesioner Empathy Quotient (EQ) dan Systemizing Quotient (SQ). Dorongan untuk berempati dan sistemisasi selanjutnya dapat dijelaskan sebagai tipe otak, yang dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan perbedaan antara nilai EQ dan SQ terstandarisasi dari orang tersebut. Salah satu gangguan psikiatrik yang banyak ditemui pada layanan kesehatan jiwa anak dan remaja adalah GPPH. Adanya GPPH dapat berdampak pada fungsi sosial dan akademis anak. Penelitian ini dibuat untuk mengetahui perbedaan tipe otak berdasarkan EQ dan SQ pada anak sekolah dasar (SD) dengan dan tanpa GPPH.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain potong lintang. Sampel sebanyak 122 orang tua dan anak diambil dari Poli Jiwa Anak dan Remaja Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan dari sekolah dasar di Jakarta. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner Empathy and Systemizing Quotient for Children (EQ-/SQ-C) versi Bahasa Indonesia. Tipe otak dikelompokkan berdasarkan persentil dari nilai D, yaitu perbedaan antara EQ dan SQ terstandarisasi.
Hasil: Tipe otak yang paling banyak ditemui pada anak tanpa GPPH adalah empathy (37,7%), sedangkan pada kelompok anak dengan GPPH adalah systemizing (39,34%). Dari hasil analisis, didapatkan perbedaan bermakna pada nilai D kedua kelompok (p=0,021). Studi ini juga mendapati perbedaan bermakna pada rerata EQ (p=0,000) dan rerata SQ (p=0,042) antara kedua kelompok.
Simpulan: Terdapat kecenderungan tipe otak sistemisasi pada anak SD dengan GPPH, serta terdapat perbedaan bermakna pada rerata EQ dan SQ antara kedua kelompok.

Background: Empathy and systemizing abilities have developed since childhood. These abilities are related to social and academic achievements in children, can be assessed by using the Empathy Quotient (EQ) and Systemizing Quotient (SQ) questionnaires. The drive to emphatize and systemize can further be described as brain type, which is divided into five groups based on the difference of the individual’s standardized EQ and SQ scores. One of psychiatric disorders commonly found in child and adolescent mental health services is ADHD. ADHD may have an impact on social and academic function in children. This study was conducted to determine the difference of brain type based on EQ and SQ in elementary school children with and without ADHD.
Methods: This is an observational study with cross-sectional study design. Sample of 122 parents and children were included from Child and Adolescent Mental Health Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo General Hospital, and elementary school in Jakarta. The data were taken using Empathy and Systemizing Quotient for Children (EQ-/SQ-C) questionnaire in Bahasa Indonesia. The brain types were classified according to percentile of D score, which is the difference between standardized EQ and SQ.
Results: The most common brain type found in children without ADHD was empathy (37.7%), while in children with ADHD was systemizing (39.34%). From the analysis, there was significant difference in D score between both groups (p=0.021). Significant difference was also found in mean EQ score (p=0.000) and mean SQ score (p=0.042) between both groups.
Conclusion: There was tendency toward systemizing brain types in elementary school children with ADHD. There were also significant differences in mean EQ and SQ score between both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Allysa Soraya Safitri
"Tingginya screen time anak telah meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai dampak negatif dari screen time. Beberapa penelitian mengasosiasikan gejala gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) dengan screen time berlebih. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara screen time dengan gejala GPPH pada anak. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan kuesioner Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktivitas Indonesia (SPPAHI) yang diisi oleh orang tua dengan latar belakang pendidikan minimal SMP atau sederajat. Kuesioner disebarkan ke seluruh murid SD Negeri Beji 1 Depok dan didapatkan total 227 data, data yang ada lalu dipilih secara acak dan didapatkan 95 data untuk dianalisis.
Hasil analisis Chi-Square menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara screen time dengan gejala GPPH pada anak (p = 0,035). Anak dengan screen time berlebih memiliki peluang mengalami GPPH 3,1 kali lebih tinggi dibandingkan anak dengan screen time tidak berlebih (IK 95% = 1,051-9,174). Oleh karena itu, perlu dilakukan pembatasan screen time untuk menurunkan peluang terjadinya GPPH pada anak.

High level of screen time among children has raised public awareness about its negative impact. Some studies associate attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD) with excessive amount of screen time. The objective of this research is to analyze the association between screen time and ADHD symptoms in children. A cross sectional study was used for this research along with SPPAHI questionnaire, which was filled by parents with a minimum educational background of junior high school. The questionnaire was distributed to all students of SD Negeri Beji 1 Depok and a total of 227 data were collected, 95 data were selected randomly and used as sample for data analysis.
These data were analyzed using Chi-square test and showed a significant relationship between screen time and ADHD symptoms in children (p = 0.035). Children with excessive amount of screen time are 3.1 times more likely to develop ADHD than children who do not have excessive amount of screen time (95% CI = 1.051-9.174). Therefore, screen time limitation is needed to reduce the odds of developing ADHD in children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lintuuran, Rivo Mario Warouw
"Latar Belakang: Belum ada hubungan konsisten antara kadar seng dalam serum dengan gangguan fungsi eksekutif pada anak dengan GPPH. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan rerata kadar seng dalam serum pada anak GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif, tanpa gangguan fungsi eksekutif and anak non GPPH, dan korelasi antara kadar seng dalam serum dengan fungsi eksekutif pada anak GPPH.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong-lintang dengan kontrol. Sembilan puluh anak dari dua Sekolah Dasar di Jakarta diambil secara acak sebagai subjek penelitian yang dibagi dalam 30 anak GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif, 30 anak GPPH tanpa gangguan fungsi eksekutif, dan 30 anak non GPPH. Kadar seng dalam serum diperiksa dengan metode Inductively Coupled Plasma-Mass Spectrophotometry. Fungsi eksekutif didapatkan melalui pemeriksaan BRIEF versi bahasa Indonesia. Analisis data menggunakan SPPS for Windows versi 20.
Hasil: Dari seluruh subjek penelitian, 75% mengalami defisiensi seng. Ditemukan 60% anak GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif memiliki kadar seng tidak normal. Rerata serum seng pada anak GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif adalah 59.40 g/dL, pada anak GPPH tanpa gangguan fungsi eksekutif adalah 55.36 g/dL, dan pada anak non GPPH adalah 52.93 g/dL. Tidak ada perbedaan bermakna pada rerata serum seng antara tiga kelompok (p = 0.119). Korelasi antara kadar seng pada anak GPPH dengan fungsi eksekutif adalah r=0.128.
Kesimpulan: Kadar seng dalam serum tidak berhubungan secara langsung dengan gangguan fungsi eksekutif, namun diduga berhubungan dengan gejala klinis GPPH. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih jelas hubungan antara seng dalam serum dengan fungsi eksekutif pada anak dengan GPPH.

Background: It was assumed that there might be association between serum zinc level and executive function in children with ADHD. This study aimed to identify mean differences between serum zinc in ADHD children with executive dysfunction, without executive dysfunction, and non ADHD children, and to find correlation between serum zinc level and executive function in children with ADHD.
Method: This was a cross-sectional study with control group. Ninety children from two elementary schools in Jakarta were randomly selected as research subjects. They were categorized into ADHD children with executive dysfunction (n=30), ADHD children without executive dysfunction (n=30), and non ADHD children (n=30). Serum zinc was analyzed using Inductively Coupled Plasma-Mass Spectrophotometry method. Executive function was examined using BRIEF-Indonesian version. Data was analyzed using SPSS 20 for Windows.
Result: Seventy five percent of research subjects experinced zinc deficiency. Meanwhile, 60% of children with ADHD suffered from zinc deficiency. There was no significant difference in mean serum zinc between ADHD children with executive dysfunction, without executive dysfunction, and non ADHD children (59.40 g/dL vs. 55.36 g/dL vs. 52.93 g/dL, p=0.119). The coefficient correlation between serum zinc level and executive function in ADHD children was 0,128.
Conclusion: Serum zinc level might not associate directly with executive dysfunction, however it might link with clinical symptoms of ADHD. Further study needs to be done in order to obtain a more clear understanding of serum zinc and executive function in children with ADHD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Anthony Wibowo
"Pengetahuan / pemahaman, persepsi, dan sikap dokter umum yang baik terhadap Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas (GPPH) merupakan suatu nilai tambah bagi mereka. Hal ini dikarenakan dokter umum yang bekerja pada pusat layanan primer berperan dalam diagnosis dan penanganan awal pasien dengan GPPH. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan / pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH diantara dokter umum di Jakarta, serta hubungannya dengan lama pengalaman praktik mereka.
Penelitian menggunakan rancangan potong lintang. Sampel adalah 384 dokter umum di Jakarta yang dipilih dengan metode uji acak sederhana. Data diperoleh dari kuisioner yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya (Pearson alpha >0.25; Cronbach’s alpha >0.7). Data yang didapat dianalisis dengan piranti lunak SPSS versi 20 untuk Macintosh.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar subjek penelitian mempunyai tingkat pengetahuan / pemahaman (54.9%), persepsi (58.1%), dan sikap (60.7%) terhadap GPPH yang rendah dan sangat rendah, dan adanya hubungan yang signifikan secara statistik dengan lama pengalaman praktik. Disimpukan bahwa diperlukan adanya edukasi lebih lanjut mengenai GPPH kepada dokter umum di Jakarta terlepas dari pengalaman praktik yang dimiliki.

A good knowledge / understanding, perception, and attitude among general practitioners towards Attention – Deficit / Hyperactivity Disorder (ADHD) is an own privilege. This is because general practitioners who work in primary health care have the role in early diagnosis and management of ADHD patients. This research has the objectives to know the level of knowledge / understanding, perception, and attitude towards ADHD among general practitioners in Jakarta, and to identify the association to their length of practice experience.
This research used cross-sectional design. The samples were 384 general practitioners in Jakarta who were selected through simple random sampling method. Data obtained from questionnaires that have been tested for its validity and reliability (Pearson alpha >0.25; Cronbach’s alpha >0.7), and were analyzed utilizing SPSS software 20th version for Macintosh.
The result showed that majority of the research subjects were have poor and very poor levels of knowledge / understanding (54.9%), perception (58.1%), and attitude (60.7%) towards ADHD, and there was a significant association with the length of practice experience statistically. Overall, further education regarding to ADHD is required to general practitioners in Jakarta regardless of their practice experience.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shaqina Said
"Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah gangguan neuropsikiatri yang dapat terjadi pada anak-anak serta dapat memberikan beban dan hambatan dalam menjalankan fungsi sehari-hari. Komorbiditas psikiatrik pada GPPH dapat menambah morbiditas dan memperburuk prognosis dari GPPH. Perbaikan klinis GPPH berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih baik, namun belum ada penelitian mengenai hubungan komorbiditas terhadap lama perbaikan klinis GPPH yang menggunakan alat ukur Abbreviated Conners Parent/Teacher Rating Scale (ACP/TRS), alat ukur yang digunakan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komorbiditas gangguan jiwa terhadap lama perbaikan klinis GPPH dengan menggunakan ACP/TRS. Dengan menggunakaan metode cross-sectional, penelitian ini menggunakan rekam medis pasien GPPH yang datang ke RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam periode 1 Januari 2014-1 Januari 2018 sehingga didapatkan 94 sampel. Angka perbaikan klinis pasien GPPH dalam 7 minggu secara keseluruhan adalah 56,4% (n = 53), dengan komorbiditas yang paling sering adalah retardasi mental (40%, n = 16). Penelitian ini tidak menemukan hubungan komorbiditas gangguan jiwa terhadap perbaikan klinis GPPH (P = 0,85), kemungkinan karena variabel lain yang memengaruhi perbaikan klinis pasien tidak dieksklusi. Penelitian lebih lanjut perlu mempertimbangkan kepatuhan pasien dalam berobat dan kecukupan dosis obat yang diberikan.

Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) is a neuropsychiatric disorder that can occur in children, which could add burden to their daily functions. Psychiatric comorbidities in ADHD may increase morbidity and worsen the prognosis of ADHD. Clinical improvement of ADHD is associated with better quality of life. However, there has not been a study of ADHD using Abbreviated Conners Parent/Teacher Rating Scale (ACP/TRS), the instrument used in Indonesia. This cross-sectional study used the medical record of ADHD patients in RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) that were in the Medical Records Unit within the period of 1 January 2014-1 January 2018. A total of 94 medical records were obtained. Within 7 weeks, 56,4% of all ADHD patients (n = 53) has improved, with the most prevalent comorbidity being mental retardation (40%, n = 16). This study found no significant relationship between psychiatric comorbidity and the clinical improvement of ADHD (P = 0,85), probably because some variables that affect clinical improvement are not excluded. Further studies that consider patients adherence to medication dan adequacy of the dosage of the drug administered are required."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>