Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95766 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Wulandari
"ABSTRAK
Instruksi Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden selama ini belum diketahui kedudukannya, apakah sebagai peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan atau peraturan kebijaksanaan atau bahkan bukan keduanya. Instruksi Presiden selama ini dibuat berdasarkan keadaan yang mendesak dan memerlukan petunjuk dari Presiden yang segera sebagai dasar bagi para menteri untuk mengambil suatu kebijakan. Permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan Instruksi Presiden dikaitkan dengan kewenangan Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan bagaimana batasan-batasan yang harus diperhatikan Presiden dalam mengeluarkan Instruksi Presiden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan Instruksi Preisiden adalah sebagai bentuk dari tindakan atau perbuatan administrasi yang dilaksanakan oleh Presiden sebagai pimpinan administrasi negara tertinggi. Presiden memiliki kewenangan di bidang administratif untuk mengeluarkan Instruksi Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Instruksi Presiden secara teoritis seharusnya hanya berisi perintah saja. Kenyataan menunjukkan bahwa beberapa Instruksi Presiden mengandung materi muatan lain selain perintah, yaitu peraturan kebijaksanaan dan penetapan (beschikking). Hal tersebut tidak tepat mengingat Presiden telah dilekati kewenangan untuk menetapkan Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden, selain itu beberapa Instruksi Presiden menjadi tidak efektif dalam menyelesaikan masalah. Untuk menghindari hal tersebut, dalam penerbitan Instruksi, Presiden seharusnya tidak memasukkan materi muatan pengaturan baru dalam Instruksi dan sedapat mungkin tidak menimbulkan efek pengaturan terhadap masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, putusan-putusan badan hukum negara atau lembaga negara Indonesia serta sumber data sekunder lain yang kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif.

ABSTRACT
The position of the Presidential Instructions issued by the President so far has not been known, whether it is as laws and regulations, policy regulations, or even not both. The Presidential Instructions so far have been made based on urgency situations and the making of them requires instructions from the President which soon have become a foundation for the ministers to make a policy. The problems which become the study of this research are how is the position of the Presidential Instructions related to the authority of the President in executing the government based on Article 4 clause (1) of the 1945 Constitutions and what are the limitations which the President must pay attention to in issueing the Presidential Instructions. The research results show that the position of the Presidential Instructions is as a form of administrative measures or actions which are carried out by the President as the highest state administrative leader. The President has the authority in the administrative field to issue the Presidential Instructions based on Article 4 clause (1) of the 1945 Constitutions. The Presidential Instructions theoretically should contain only instructions. The reality shows that several Presidential Instructions contain other material contents besides instructions, such as policy regulations and resolutions (beschikking). This is not appropriate considering that the President has been mandated the authority to determine Presidential Regulations and Presidential Decrees; in addition, several Presidential Instructions become ineffective in solving problems. To avoid this matter, in the issuance of the Instructions, the President should not include new regulation content materials in Instructions and as much as possible the Instructions will not cause the effects of the regulations towards the society. This research is judicial normative research by using secondary data obtained from library research by using a great deal of literature, such as laws and regulations, books, scientific works, lecture materials, court decisions, the decisions of state legal entities or state institutions of Indonesia, as well as other secondary data sources which were then analyzed based on the qualitative method.
"
Depok: Universitas Indonesia, [2014;2014;2014, 2014]
T41612
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainunnisa Rezky Asokawati
"

Reformasi birokrasi dalam hal kelembagaan telah mendorong adanya Lembaga Non Struktural (LNS) yang beragam, namun masih terdapat diferensiasi pengaturan LNS. Kantor Staf Presiden (KSP) merupakan LNS yang berdiri berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2019 tentang Kantor Staf Presiden. Tugas KSP adalah membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam hal mendukung teknis jalannya pemerintahan. Untuk itu, KSP perlu melakukan hubungan hukum dengan pihak lain. Penelitian ini bermaksud menganalisis kedudukan LNS dalam pemerintahan, hubungan hukum KSP dengan lembaga lain, dan pengaturan terhadap LNS di masa depan. Metodologi yang digunakan adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa LNS masih memiliki beberapa permasalahan, seperti pengawasan yang belum ideal. KSP hanya menunjang pemerintahan terkait program prioritas nasional maupun isu strategis. Sehingga, KSP juga melakukan hubungan hukum dengan Kementerian/Lembaga terkait dalam menjalankan tugasnya maupun menjalankan hubungan hukum dengan masyarakat sebagai penerapan good governance. Tidak adanya unifikasi aturan juga membuat berbagai implikasi masalah terhadap LNS. Sebagai saran, diperlukan perbaikan sistem tata kelola LNS yang diberlakukan bagi semua LNS, seperti untuk pengawasan. Untuk hubungan hukum KSP dapat dibatasi dengan pengaturan agar kewenangan KSP tetap sesuai sebagai LNS. Untuk mengatur LNS, diperlukan unifikasi peraturan mengenai LNS di Indonesia di masa yang akan datang.


Bureaucratic reform in terms of institutions has encouraged the existence of various Non-Structural Institutions (NSI), but there is still differentiation of NSI arrangements. The Executive Office of the President (EOP) is an NSI established based on Presidential Regulation Number 83 of 2019 concerning Executive Office of the President. The EOP’s task is to assist the President and Vice President in technical support for the running of the government. EOP needs to have a legal relationship with other parties. This research intends to analyze the position of NSI in government, the legal relations between EOP and other institutions, and the regulation of NSI in the future. The methodology used is normative juridical with qualitative data collection techniques. The results of the research found that NSI still had several problems, such as inadequate supervision. EOP only supports the government related to national priority programs and strategic issues. Thus, the EOP also carries out legal relations with related Ministries / Institutions in carrying out its duties and carrying out legal relations with the community as the implementation of good governance. The differentiation of regulation also has implications for problems for NSI. As a suggestion, it is necessary to improve the NSI governance system that is applied to all NSI, such as for control. For the EOP legal relationship, it can be limited by the regulation so that the EOP’s authority still suitable as an NSI. It is also necessary to unify regulations regarding NSI in Indonesia in the future.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriati
"Republik Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang menggabungkan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus kepada presiden dan wakil presiden. Karena dwi fungsi ini menyebabkan presiden dan wakil presiden tidak terlibat terlalu mendetail dalam urusan-urusan operasional pemerintahan sehari-hari. Bahkan untuk kepentingan koordinasi terbukti masih diperlukan Menteri Koordinator. Penelitian ini membahas mengenai kedudukan dan kewenangan Kementerian Koordinator dalam sistem pemerintahan. metode penulisan dalam penelitian ini adalah normatif dengan menggunakan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan Menteri Koordinator yang ada di Singapura, Republik Demokratik Timor Leste, dan Ekuador yang memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Afrika Selatan tidak memiliki Menteri Koordinator tetapi dalam konstitusinya disebutkan bahwa pemerintahan diselenggarakan dengan prinsip cooperative government. Kedudukan dan kewenangan Kementerian Koordinator dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia akan berbeda bila dilihat dari UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dan Inpres No. 7 Tahun 2017 tentang Pengambilan, Pengawasan, dan Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan di Tingkat Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah. Hasil tesis ini menyarankan agar kedudukan dan kewenangan Kementerian Koordinator perlu diperkuat mengingat berdasarkan faktor sejarah Kementerian Koordinator sudah ada sejak Tahun 1948 dengan nama Menteri Koordinator Keamanan Dalam Negeri bahkan dalam faktor Kebutuhan Nasional sejak tahun 1962 Kementerian Koordinator tidak pernah dihapuskan.

The Republic of Indonesia adheres to a presidential government system that combines the functions of the head of state and head of government as well as the president and vice president. Because this dual function has caused the president and vice president not to be too involved in the operational matters of daily government. Even for coordination purposes it is proven that a Coordinating Minister is still needed. This study discusses the position and authority of the Coordinating Ministry in the government system. the method of writing in this study is normative using an approach to legislation and a comparative approach of the Coordinating Ministers in Singapore, the Democratic Republic of East Timor, and Ecuador who have different government systems. South Africa does not have a Coordinating Minister, but in its constitution it is stated that governance is carried out with the principle of cooperative government. The position and authority of the Coordinating Ministry in the government system of the Republic of Indonesia will be different if seen from the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, Law No. 39 of 2008 concerning the State Ministry, and Presidential Instruction No. 7 of 2017 concerning Taking, Supervision and Control of Policy Implementation at the Level of State Ministries and Government Agencies. The results of this thesis suggest that the position and authority of the Coordinating Ministry need to be strengthened considering that based on historical factors the Coordinating Ministry has existed since 1948 with the name of the Coordinating Minister for Homeland Security even in the National Needs factor since 1962 The Coordinating Ministry was never abolished."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53947
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
A. Hamid S. Attamimi
"Banyak peristiwa penting yang menentukan perjalanan hidup rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia ditetapkan dalam bentuk keputusan yang diambil oleh Presiden. Hal-hal yang menentukan dalam perjalanan kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia dituangkan antara lain dalam kebijaksanaan pengaturan yang menggunakan bentuk Keputusan Presiden atau yang semacam dengan itu namun dengan nama lain. Hal itu bukan hanya terjadi dalam kurun waktu pertama masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 (1945-1949) melainkan juga dalam bagian pertama dari kurun waktu kedua berlakunya (atau berlakunya kembali) Undang-Undang Dasar 1945 (1959-1965) dan dalam bagian kedua kurun waktu tersebut (1966-sekarang). Untuk sekedar memberikan contoh, beberapa di antaranya dapat disampaikan sebagai di bawah ini.
Pada 3 Oktober 1945 Presiden Republik Indonesia menetapkan tentang tertentunya uang yang dianggap sah sebagai alat pembayaran dalam peredaran yang berlaku di Pulau Jawa. Penetapan tersebut dituangkan dalam Maklumat Pemerintah Nomor 1/10. Meskipun Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 rnenegaskan, bahwa "Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang" dan meskipun Maklumat Pemerintah itu sendiri mengemukakan dalam Pasal 2, bahwa macam dan mata uang yang dianggap sah di luar Jawa akan ditetapkan dengan Undang-undang lain namun Maklumat Pemerintah tersebut bermaksud memberikan 'penetapan' sebagai kepastian tentang macam dan harga dari mata uang yang masih dianggap berlaku dalam peredaran di Pulau Jawa. bagi daerah di luar Pulau Jawa kepastian semacam itu masih belum diberikan."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
D1135
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aditya Putra
"ABSTRAK
Setiap lembaga negara memiliki seorang pejabat yang bertugas memimpin lembaga tersebut. DPR selaku pemegang fungsi pengawasan terlibat didalam pengisian jabatan-jabatan publik tersebut. Skripsi ini membahas bagaimana sistem pengisian jabatan publik sesuai dengan hukum positif di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial dan membahas keterlibatan DPR selaku lembaga parlemen di Indonesia yang memegang fungsi pengawasan terhadap sistem pengisian jabatan publik. Metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode deskriptif dengan menjelaskan sistem pengisian jabatan publik sesuai dengan undang-undang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa keterlibatan DPR dalamm pengisian jabatan publik adalah untuk pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang. Namun dibutuhkan beberapa perubahan peraturan agar tercipta sistem pengisian jabatan publik yang selaran dengan Undang-Undang Dasar yang menganut sistem pemerintahan presidensial.

ABSTRACT
Every institutions have an officials that hold leadership function for those institutions. House of Representative (DPR) which has oversight function are involved on process of public officials? appointment. This thesis discuss on the system of public officials appointment according to Indonesian law system which is based on presidential system, and discuss on DPR involvement as a parliament body in Indonesia which has hold an oversight function on public officials appointment. The method of this writings based on descriptive method which describes the system of public officials? appointment based on the acts. The results of this researches are that DPR involvements on public officials? appointment is for the oversight of executive actions based on the acts. However there are need plenty of changes on the acts in order to make consistent system based on the Constitution of Indonesia which is based on presidential system.;"
2016
S64845
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pita Larasati Fauziah Nur
"Anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah untuk penyelenggaran pemilu di Indonesia, khususnya pemilihan presiden mencapai Rp 9 triliun. Biaya sebesar itu tidak menjamin bahwa pemilihan umum dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Pemalsuan dan penipuan/kecurangan administrasi selalu mewarnai pada penyelenggaraan pemilihan umum. Banyaknya kelemahan pada penyelenggaran pemilu ini menyebabkan turunnya akuntabilitas organisasi penyelenggara pemilu serta tingginya rasa ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu di Indonesia.
Pemerintah dalam hal ini, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mempunyai inisiatif untuk melakukan suatu kajian dan memberikan solusi teknologi berupa penggunaan sistem elektronis yang lebih dikenal dengan e-Voting. Kajian dan solusi teknologi tersebut selanjutnya diberikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku organisasi penyelenggara pemilu agar dapat diterapkan pada pemilihan umum khususnya pemilihan presiden Republik Indonesia. Investasi dan pemanfaatan teknologi e-Voting ini bertujuan untuk mencapai pemilihan umum yang efektif dan efisien dengan tetap mempertimbangkan azas luber dan jurdil.
Pada penelitian ini akan dilakukan kajian manfaat dari investasi e-Voting yang dilakukan oleh pihak penyelenggara agar dapat diketahui potensi manfaat e-Voting bagi KPU dan masyarakat serta dampak secara menyeluruh untuk negara Indonesia. Penelitian ini menggunakan Tabel Manfaat Bisnis SI/TI Generik untuk mengidentifikasi manfaat yang diperoleh KPU. Selain itu, penggunaan kerangka pikir Kesejahteraan Dijital untuk mengetahui dampak manfaat yang diperoleh masyarakat dan bagaimana peran pemerintah dalam meningkatkan pendapatan per kapita dan PDB serta menambah pajak negara jika e-Voting diterapkan dalam pemilihan umum.
Penelitian ini menghasilkan 8 kategori manfaat dengan 17 sub kategori manfaat dengan melakukan identifikasi melalui Tabel Manfaat Bisnis SI/TI Generik. Penelitian juga menghasilkan 3 manfaat dominan dari kerangka pikir Kesejahteraan Dijital, yakni peningkatan efisiensi, peningkatan kualitas barang dan layanan serta pembuatan keputusan yang lebih baik.

The budget allocated by the government for organizing elections in Indonesia, especially the presidential election reached Rp 9 trillion. By spending this amount of money cannot guarantee that elections can be carried out effectively and efficiently. Forgery and administration fraud always stain in the general election. A lot of weaknesses in the election led to the accountability degradation in electoral administration agency and also high sense of dissatisfaction and distrust of the election results in Indonesia.
Government in this regard, the Agency for Assessment and Application of Technology/Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) has the initiative to conduct a research and provide a technological solution that uses an electronic system known as e-Voting. Those assessment and technology solutions are then given to the General Elections Commission/ Komisi Pemilihan Umum (KPU) as the organizer of the elections so that the technology can be applied to the general election, especially the presidential election of the Republic of Indonesia. Investment and utilization of e-Voting technology aims to achieve the elections effectively and efficiently and also taking into account the principle of honest and fair.
This study will examine the benefits of e-Voting investment made by the organizers in order to know the potential benefits of e-Voting for KPU and the public as well as the overall impact to Indonesia. This study uses Generic IS/IT Business Value Table to identify the benefits of KPU. In addition, the use of the Digital Prosperity framework to earn the impact of the benefits of society and how the government's role in increasing income per capita and GDP and increase taxes if e-Voting is applied in the general election.
This research resulted in 8 categories with 17 sub-categories benefit by identifying benefits through Generic IS/IT Business Value Table. The study also resulted in a 3 dominant benefit of the Digital Prosperity framework, such as increased efficiency, improved quality of goods and services as well as better decision-making.
"
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrurrahman
"Pengisian jabatan presiden dan wakil presiden merupakan aspek utama pada sistem pemerintahan presidensial. Saat ini, mekanisme pengisian jabatan presiden dan wakil presiden Indonesia dilakukan melalui pemilihan umum. Namun, UUD NRI 1945 masih memberikan kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk menyelenggarakan sidang pemilihan wakil presiden jika terjadi kekosongan jabatan atau pemilihan jabatan presiden dan wakil presiden jika terjadi kekosongan jabatan secara bersamaan sebagaimana menurut Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945. Tulisan ini dihasilkan melalui penelitian normatif dengan metode kualitatif yang menjadikan sumber-sumber hukum sebagai landasan utama. Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa adanya kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam memilih lembaga kepresidenan sebagaimana menurut Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 merupakan pelaksanaan prinsip ‘checks and balances’ yang dibangun oleh UUD NRI 1945 dalam rangka penguatan sistem presidensial. Oleh sebab itu, penguatan sistem presidensial terkait kandungan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 kedepannya perlu diatur secara komprehensif dalam suatu undang-undang terkait lembaga kepresidenan.

Filling the positions of president and vice president is a major aspect of the presidential government system. Currently, the mechanism for filling the positions of president and vice president of Indonesia is carried out through general elections. However, the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia still authorizes the People's Consultative Assembly to hold a vice presidential election session in the event of a vacancy in office or the election of the president and vice president in the event of a vacancy of office simultaneously as stated in Article 8 paragraph (2) and paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia. 1945. This paper was produced through normative research with qualitative methods that use legal sources as the main basis. The conclusion obtained is that the existence of the authority possessed by the People's Consultative Assembly in choosing the presidential institution as stated in Article 8 paragraph (2) and paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is the implementation of the principle of 'checks and balances' developed by the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia in order to strengthen presidential system. Therefore, strengthening the presidential system related to the contents of Article 8 paragraph (2) and paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia needs to be comprehensively regulated in a law related to the presidential institution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Racmat Ariwijaya
"Penelitian ini membahas dua pokok permasalahan: Pertama, bagaimana kedudukan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP) ditinjau dari Hukum Tata Negara Indonesia. Kedua, bagaimana kewenangan UKP-PPP ditinjau dari Hukum Tata Negara Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Pembahasan dimulai dari banyaknya lembaga negara bantu Presiden yang dibuat berdasarkan Peraturan Presiden. Salah satu lembaga negara bantu Presiden yang sangat memberi pengaruh terhadap lembaga negara di bidang eksekutif, terutama lembaga kementerian, adalah lembaga UKP-PPP. UKP-PPP mempunyai kewenangan mengawasi dan memberikan nilai pada setiap lembaga kementerian di Indonesia. Hal tersebut menimbulkan pertanyaaan dimana kedudukan lembaga UKP-PPP di lembaga negara Indonesia dan apa saja kewenangan yang dimiliki serta dalam ruang lingkup mana.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Lembaga UKPPPP adalah lembaga negara bantu Presiden yang berkedudukan dibawah Presiden untuk membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Kewenangan UKP-PPP lahir dari Pasal 4 ayat (1) UUD dan diatur berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2009 dan perubahannya Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2012. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, seharusnya Presiden memaksimalkan lembaga negara konstitusional di ruang lingkup kekuasaan Presiden (Eksekutif), yaitu Wakil Presiden (Pasal 4 ayat (2)), Dewan Pertimbangan dan Penasihat Presiden (Pasal 16 UUD 1945) serta para menteri (Pasal 17 UUD 1945) sebelum membentuk lembaga Negara bantu baru, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga negara dan terciptanya lembaga negara yang efektif sesuai dengan UUD 1945.

This research analyzes, (1) what is the position, and (2) what authority is assigned to the Presidential Work Unit for Development, Monitoring and Control of Indonesia from the perspective of the Indonesian Constitutional Law. This research employs the normative legal research method. Initially, this research analyzed the number of the President?s auxiliary unit as defined in the Presidential Decree. One of the most influential auxiliary unit is the Presidential Work Unit for Development, Monitoring and Control. This unit is assigned the authority to monitor and assess all of the Government Ministry in Indonesia. This raises the question where is the exact position of this unit within the formal organization of the Government, and the extent this unit has authority in the works of the executive body.
The results of this research indicates that the Presidential Work Unit for Development, Monitoring, and Control is positioned directly under the auspices of the President to advise and assist the President to execute his duty. The constitutional base for its existence is Article 4, (1) of the Indonesian Constitutional Law as further defined in Presidential Decree Number 54 of 2009, and Amended by Presidential Decree Number 10 of 2012. This research concludes that President should maximize the main Presidential Auxiliary Unit namely the Vice President?s Office (Article 4, (2),), the Presidential Advisory Council of the President (Article 16 of the Constitution Law of 1945), and the Ministerial Cabinet (Article 17 of the Constitution Law of 1945) prior to establishing a new auxiliary unit to avoid overlapping authorities and more effective state auxiliary unit as defined by the Constitutional Law of 1945.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56754
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulhadi. HM
"Lembaga Kantor Staf Presiden sebagai lembaga non struktural, yang memiliki tanggung jawab langsung kepada Presiden diberikan kewenangan dan kedudukan yang sama dengan pembantu Presiden lainnya seperti kementerian negara, sehingga mengakibatkan kemungkinan terjadinya konflik atau tumpang tindih kewenangan sesama kelembagaan ataupun jabatan di lingkungan lembaga eksekutif. Dengan adanya perluasan fungsi dan kewenangan lembaga Kantor Staf Presiden (bukan merupakan anggota kabinet), seakan-akan berkedudukan di atas kementerian negara (merupakan salah satu anggota kabinet). Penelitian tesis ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif, yang dilaksanakan dengan cara meneliti peraturan perundang-undangan terkait sehingga menghasilkan penelitian dalam bentuk preskriptif-analitis. Berdasarkan ketentuan dari dasar hukum pembentukan kementerian negara dan lembaga Kantor Staf Presiden, kedua lembaga ini memiliki kedudukan yang sama dalam sistem pemerintahan Indonesia. Tugas, fungsi, dan kewenangan yang begitu luas diberikan kepada lembaga Kantor Staf Presiden menyebabkan terjadinya konflik kewenangan dengan kementerian negara, yang sama-sama sebagai pembantu Presiden. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari terjadinya konflik kewenangan di lingkungan lembaga kepresidenan, sebaiknya Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif melakukan survei sebelumnya terkait urgensi pembentukan lembaga baik yang bersifat struktural maupun non struktural.

The Presidential Staff Office as a non-structural institution, which has direct responsibility to the President, is given the same authority and position as other assistants to the President such as state ministries, resulting in the possibility of conflicts or overlapping authorities of fellow institutions or positions within the executive branch. With the expansion of the functions and authorities of the Presidential Staff Office (not a member of the cabinet), it is as if it is located above a state ministry (a member of the cabinet). This thesis research uses a form of normative juridical research, which is carried out by examining the relevant laws and regulations so as to produce research in a prescriptive-analytical form. Based on the provisions of the legal basis for the formation of state ministries and institutions of the Presidential Staff Office, these two institutions have the same position in the Indonesian government system. The tasks, functions, and powers that are so broadly assigned to the Presidential Staff Office lead to conflicts of authority with state ministries, which are both assistants to the President. Therefore, in order to avoid conflicts of authority within the presidential institution, the President as the head of the executive government should conduct a previous survey regarding the urgency of establishing institutions both structural and non-structural."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>