Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 217520 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andhika Juliansyah
"ABSTRAK
Perdagangan Internasional mengharuskan Indonesia membuka diri bagi masuknya
produk ? produk import kedalam pasar domestic. Hal ini memang membawa
dampak positif bagi konsumen. Yaitu tersedianya pilihan barang untuk
dikonsumsi. Namun, selaras dengan hal tersebut harus ditingkatkan standar
kelayakan serta keselamatan produk tersebut. Salah satu produk yang menjadi
perhatian adalah produk impor tumbuhan dan buah ? buahan segar. Berdasarkan
hal diatas, sangat penting untuk mengkaji mengenai sistem karantina produk
impor tumbuhan dan buah ? buahan di Indonesia. Tujuan dari penulisan ini adalah
untuk melihat secara komprehensif sistem tersebut, dan menentukan apakah
sistem tersebut telah sesuai dengan aturan SPS Agreement dan peran pemerintah
pusat dalam memaksimalkan sistem karantina di Indonesia. Penelitian ini akan
menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan wawancara dengan
Badan Karantina Pertanian dan Kementerian Pertanian Indonesia sebagai salah
satu metode pengumpulan data. Penulis menyatakan bahwa UU No. 16/1992
wajib untuk diamandemen mengikuti perkembangan IPPC 1997 yang dirujuk oleh
SPS Agreement dan Peran pemerintah untuk mengoptimalisasi system karantina
adalah dengan meliberalisasi kebijakannya.

ABSTRACT
International trade realm obliges Indonesia to let import products into its
Domestic market with openness. This caused positive impact for consumer.
Which is the availability of products to consume. However, in line with it,
products safety standard shall be upgraded. One of the products gained fully
attention is holticulture products (Fresh vegetables and fruits). According to that,
it?s substantial to review Indonesian?s policy about Agriculture Quarantine system
for Imported Holticulture products. The purpose of this writings is to seek
comprehensively and determine the conformity of such system against SPS
Agreement, and Government?s role to optimize such system. This Writings shall
be conducted normatively, and exclusive interviews with Agriculture Quarantine
Agency and Ministry of Agriculture as data collection method. The researcher
suggests that Act number 16/1992, shall be revised, conformed with IPPC 1997,
which is referenced by the SPS Agreement, and Liberalisation is the key role for
government in order to optimize Agriculture Quarantine system."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41380
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Ardiastuti
"World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi internasional yang berperan penting dalam memastikan arus perdagangan global dapat berjalan dengan sesedikit mungkin hambatan. Akan tetapi, berdasarkan Pasal XX (b) GATT, anggota WTO dapat melakukan suatu tindakan perdagangan yang perlu dilakukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan. Persetujuan Penerapan Tindakan-Tindakan Sanitari dan Fitosanitari (Persetujuan SPS) merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal XX (b) GATT tersebut. Berdasarkan Persetujuan SPS, anggota WTO berhak menerapkan ketentuan-ketentuan yang diperlukan untuk melindungi kesehatan atau kehidupan manusia, hewan atau tumbuhan, dengan didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan bukti ilmiah yang cukup, serta tidak menciptakan diskriminasi sewenang-wenang atau pembatasan terselubung bagi perdagangan internasional. Untuk memenuhi kebutuhan ilmiah dan teknis dalam penerapan Persetujuan SPS, Persetujuan SPS merujuk International Plant Protection Convention (IPPC) sebagai organisasi internasional relevan untuk mendorong harmonisasi tindakan fitosanitari dengan didasarkan pada standar internasional yang diadopsi oleh IPPC. Penelitian ini menganalisa penerapan Persetujuan SPS dan IPPC pada tiga kasus di WTO, yakni Japan - Agricultural Products II (2001), Japan - Apples (2005) dan Australia – Apples (2011).

World Trade Organization (WTO) is an international organization who plays an important role in ensuring that the global trade can works with a little barriers. However, pursuant to Article XX (b) GATT, WTO Members can perform an action trade necessary to protect human, animals or plants health or life. Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement) is derived from the provision of Article XX (b) GATT. Based on the SPS Agreement, WTO Member have a right to take sanitary and phytosanitary measures necessary for the protection of human, animal, health or plant life or health, which is based on scientific principle and is not maintained without sufficient scientific evidence; and not unjustifiably discriminate or be applied in a manner which would constitute a disguised restriction on international trade. For the fulfilment of scientific and technical need within the application of SPS Agreement, SPS Agreement refers International Plant Protection Convention (IPPC) as an international organization relevant, to encourage harmonisation of phytosanitary measures, based on international standards which adopted by IPPC. This thesis analyzes the application of the SPS Agreement and the IPPC in three cases at WTO: Japan- Agricultural Products II (2001), Japan - Apples (2005) and Australia - Apples (2011)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63493
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayyub Rachmayadi
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S23985
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masilihati Nur Hidayati
"Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat pada perjanjian internasional dan putusan-putusan penyelesaian sengketa dagang WTO. Adapun penelitian yang dilakukan adalah doktrinal dengan optik preskriptif yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. Analisis yang digunakan adalah analisis dengan pendekatan kualitatif. Yang menjadi permasalahan bagaimanakah pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang dan bagaimanakah seharusnya pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO dan manfaatnya bagi kepentingan nasional Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang dan untuk mengetahui pengaturan khusus yang seharusnya mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO dan manfaatnya bagi kepentingan nasional Indonesia.
Kesimpulan hasil penelitian bahwa terdapat ketentuan khusus yang berlaku mengenai prosedur penyelesaian sengketa yang diterapkan oleh Dispute Settlement Body yang telah disempurnakan dari sistem GATT 1947 dengan disahkannya Understanding On Rules and Procedures Governing The Settlement of Disputes dan merupakan satu paket ketentuan yang wajib ditaati dan diikuti serta dilaksanakan bagi para anggota WTO dan setiap keputusannya wajib diikuti tanpa terkecuali. Namun demikian, disisi yang lain ditengah berbagai kekurangan yang dimiliki dalam DSU, diharapkan negaranegara berkembang khususnya pihak Indonesia mampu mengambil manfaat sesuai dengan kepentingan nasional. Indonesia sendiri telah mengambil manfaat atas keberadaan sistem ini.
Berdasarkan kasus yang menghadapkan Indonesia dalam forum penyelesaian sengketa WTO, diharapkan adanya penyempurnaan pengaturan dalam DSU antara lain waktu yang lebih singkat dalam tiap tahapan dalam sistem penyelesaian sengketa WTO, pengaturan pelaksanaan putusan DSB agar lebih efektif, perlunya pengaturan khusus mengenai mekanisme retaliasi dalam DSU, perlunya pengaturan khusus dalam rangka meningkatkan peran WTO Secretariat dalam membantu menyelesaian sengketa yang menghadapkan antara negara maju dan negara berkembang dan perlunya pengaturan khusus dalam meningkatkan fungsi dan peranan DSB pada setiap tahapan proses penyelesaian sengketa (terutama dalam pelaksanaan rekomendasi DSB yang diberikan).

This study applied normative legal research method, i.e. a method which refers to the legal norms as stated in international treaties and resolution of trade dispute settlement under WTO. The study was also conducted using optical prescriptive doctrinal method aiming to obtain suggestions on what to do to overcome certain related issues. Analysis applied in this study is qualitative approach. The main issue here is on how the special arrangement applied on the settlement of dispute system under WTO may be beneficial to developing countries and what is the ideal special arrangement on settlement of dispute system under WTO for Indonesia, and how it may benefit the interest of Indonesia.
Objective of the study is to understand how the settlement mechanism under WTO can be beneficial for developing countries and in particular, what is the ideal special arrangement on settlement of dispute under WTO for Indonesia, and its benefit to the national interest of Indonesia.
The conclusion of the study shows that there are special arrangements on procedures of settlement of dispute applied by the WTO's Dispute Settlement Body as refinement of the GATT 1947 mechanism, with the ratification of the Understanding On Rules and Procedures Governing The Settlement of Disputes, and this becomes part of requirement packages which must be followed and adhered to by all members of WTO without exception. However, on the other side, with some of identified weakness of DSU, it is expected that developing countries, particularly Indonesia, shall be able to get the benefit of it for our national interest. Indonesia has indeed used the system to support its own interest.
Based on some case studies where Indonesia had to seek settlement in the forum of dispute of WTO, it is expected that there will be refinement of on the DSU mechanism, inter alia, shorter time in each stages of settlement process, arrangement of DSB resolution implementation to make it more effective, special arrangement to prevent retaliation mechanism in DSU, and special arrangement needed to increase the role of WTO Secretariat in the support of dispute settlement case which involve advanced countries versus developing countries and the need to have special arrangement to increase the function and role of DSB on each stages of dispute settlement process (especially in the DSB recommendation to be implemented as provided here).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25966
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Kemal Adrianto
"Perdagangan internasional adalah salah satu aspek dari kehidupan dimana masyarakat dapat memiliki akses terhadap barang-barang yang pada umumnya susah untuk dijangkau. Untuk mengatur aspek perdagangan internasional, sebuah organisasi diperlukan untuk kepentingan tersebut. World Trade Organization merupakan organisasi yang memiliki fungsi umum sebagai pengatur perdagangan internasional dalam segala aspeknya seperti Langkah-langkah perdagangan, tarif, dan penyelesaian sengketa. Diantara instrumen-instrumen yang dapat dipakai untuk memfasilitasi perdagangan adalah safeguard measure. Safeguard measures memberikan perlindungan terhadap produk yang diimpor dengan jumlah banyak dan dapat menyebabkan atau akan menyebabkan kerugian serius bagi industri domestik negara pengimpor. Regional trade agreements merupakan perjanjian yang dibuat oleh dua atau lebih negara untuk tujuan perdagangan yang dapat memberi keuntungan bagi mereka seperti pengurangan tarif impor untuk negara-negara yang masuk dalam perjanjiannya. Skripsi ini bertujuan untuk meneliti pengaturan safeguard measure seperti yang tertuang dalam aturan World Trade Organization dan aturan dalam regional trade agreements dengan metode yuridis normatif. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa perbedaan yang muncul dalam perbandingan aturan-aturannya, seperti jangka waktu, proses notifikasi, kenaikan tarif terhadap produk impor dan proses investigasi. Namun, hal ini tidak berarti bahwa peraturan dalam regional trade agreements berbeda dengan aturan dari World Trade Organization karena mereka saling melengkapi dan anggota regional trade agreements merupakan anggota World Trade Organization juga.

International trade takes part of everyday life to receive products that are normally unavailable. To govern the aspect of international trade, an organization was created for the purpose of it. The World Trade Organization acts as the premier organization in regulating international trade in all its aspects such as trade measures, tariffs, and dispute settlement. Instruments used to facilitate trade are trade remedies with one of them being safeguard measures. Safeguard measures provide protection from imported products that are brought in increased amounts and can or will cause serious injury to a country’s domestic industry. Regional trade agreements are an agreement between two or more countries to partake in a trade agreement that liberalizes tariff for the Parties in the agreement. This thesis will delve to the regulation of safeguard measures in accordance with the World Trade Organization rules as well as the regional trade agreements’ provisions via a judicial normative research method. From the research, there are differences that appear when comparing the provisions, such as difference in duration, notification process, tariff increase to products, and investigation procedures. However, this does not necessarily mean that the regulations under regional trade agreements are different than the World Trade Organization rules as they complement each other, and members of the regional trade agreements are members of the World Trade Organization as well.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nori Ayufi
"Perjanjian Fasilitasi Perdagangan (TFA) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bertujuan untuk mengurangi waktu dan biaya dalam proses perdagangan internasional dengan cara mendorong upaya-upaya yang paling efektif dalam proses ekspor-impor. Kendati demikian, belum ada penelitian sebelumnya yang dilakukan mengenai bagaimana TFA mempengaruhi perdagangan environmental goods. Dengan menggunakan data dari tahun 2017 hingga 2021, penelitian ini menggunakan model random effect panel data untuk mengetahui pengaruh TFA terhadap perdagangan environmental goods di negara-negara berkembang dan terbelakang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada bukti bahwa TFA berdampak pada perdagangan environmental goods. Hasil tersebut juga terbukti dengan menggunakan metode instrumental variable, analisis subsampel, dan penggunaan standar error yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena upaya negara-negara tersebut untuk menerapkan TFA tidak berhasil memfasilitasi perdagangan environmental goods, atau tingkat komitmen TFA tidak secara akurat mencerminkan implementasi TFA yang sebenarnya di negara tersebut. Namun demikian, variabel kontrol seperti PDB, populasi, dan tingkat industrialisasi berdampak positif dan signifikan terhadap perdagangan environmental goods

The Trade Facilitation Agreement (TFA) of the World Trade Organisation (WTO) aims to reduce the time and cost of international trade by endorsing the most effective approaches for managing goods during cross-border shipments. Despite this goal, no previous study has been done on how TFA affects the trade of environmental goods. Using data from 2017 to 2021, this study uses a random effect panel data model to examine how the TFA affects trade in environmental goods in developing and least-developed countries (LDCs). The outcome demonstrates that there is no evidence that the TFA impacts trade in environmental goods. The result is robust to alternative estimation methods, subsample analysis, and using different standard errors. This might be because the countries' efforts to implement the TFA may not successfully facilitate trade in environmental goods, or the TFA commitment rate may not accurately reflect the countries' actual TFA implementation. However, control variables like GDP, population, and industrialisation level positively and significantly impact trade in environmental goods."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prita Ditahapsari Priambodo
"Tulisan ini menitikberatkan pada permasalahan dalam penerapan quantitative restrictions yang dirumuskan dalam Pasal XI:1 GATT dalam WTO karena terdapat risiko tidak adanya kepastian hukum akibat terminologi yang digunakan tidak spesifik. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh WTO dan wajib ditaati oleh seluruh negara anggota, termasuk Indonesia. Quantitative restrictions secara umum dilarang oleh WTO, terutama jika berbentuk kuota, lisensi, ataupun “other measures” sehingga pembatasan ekspor melalui tindakan ini melanggar Pasal XI:1 GATT. Namun, beberapa justifikasi dapat digunakan untuk mengecualikan penerapan tindakan quantitative restrictions yang dirumuskan dalam Pasal XI:2(a), (b), (c), serta Pasal XX GATT sebagai general exceptions. Permasalahan muncul ketika Dispute Settlement Body di WTO menetapkan beberapa tindakan di luar terminologi Pasal XI:1 GATT sebagai “other measures”. Unsur tidak memiliki standar hukum konkret sehingga sulit menentukan tindakan apa saja yang dapat ditentukan sebagai quantitative restrictions. Pasal pengecualian dalam GATT pun tidak memiliki kekuatan yang signifikan karena unsur yang terlalu sulit bagi responden untuk penuhi akibat parameter yang sangat buram. Hal ini menyebabkan dibutuhkannya reformasi kebijakan dalam WTO beserta Indonesia terutama dalam peraturan ekspor dan impor sehingga kepastian hukum penerapan tindakan quantitative restrictions dapat dilindungi.

This paper analyzes the quantitative restrictions complexities applied under Article XI:1 GATT at the WTO due to the legal uncertainty risk proneness from the terminologies. This paper employs normative legal research based upon the regulations obliged by the WTO for its members, including Indonesia. Quantitative restrictions are generally prohibited, particularly if implemented through export or import quotas, licenses, and “other measures”. However, several justifications have been set forth to exclude several measures from this provision by utilizing Article XI:1(a), (b), (c), and Article XX GATT as general exceptions. Perplexment arises when the WTO’s Dispute Settlement Body states several measures outside the explicit scope of Article XI:1 GATT as “other measures” with no concrete standards. These occurrences lead to difficulties in determining the ambit of Article XI:1 GATT. Justifications provided by GATT are inadequate as the parameters of each element are hardly structured straightforwardly bringing about respondent’s failures to meet the criteria. Regulatory reformations are direly necessary at the WTO and in Indonesia to ensure the assurance of legal protection for every member enacting quantitative restrictions measures."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Das, Bhagirath Lal
London: Zed Books, 1999
382 DAS w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Manuel
"Tesis ini membahas tentang Demokrasi Deliberatif dan partisipasi Masyarakat sipil dalam proses pembentukan hukum di World Trade Organization (WTO). WTO didirikan untuk mengatur perdagangan internasional sesuai dengan WTO Agreement. WTO mendorong arus perdagangan antarnegara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran perdagangan barang dan jasa. Namun sejak kelahirannya WTO telah mendapatkan resistensi yang sangat besar dari berbagai kalangan akar rumput. Hal tersebut dikarenakan hukum perdagangan internasional dalam kerangka WTO telah menimbulkan norma-norma yang bersinggungan langsung dengan individu masyarakat. Keputusan-keputusan yang lahir dalam sistem hukum WTO adalah keputusan yang nyata memiliki dampak secara langsung.
Walaupun secara normatif WTO dianggap sebagai organisasi internasional yang lebih demokratis, namun dalam tataran praksis banyak sekali praktek-praktek pengambilan keputusan yang lebih bersifat oligarkis. Proses pengambilan keputusan di WTO melalui mekanisme konsensus sangatlah tidak transparan, selektif dan rahasia. WTO telah mengalienasikan dirinya dan menjadi otonom dari kepentingan masyarakat sipil. Padahal agar suatu pengambilan keputusan bersifat demokratis, maka proses pengambilan keputusan itu harus melibatkan pihak-pihak yang terkena akibat dari keputusan-keputusan tersebut, baik itu secara langsung maupun melalui perwakilannya masing-masing. Disamping itu, keputusan-keputusan tersebut juga harus dicapai sebagai suatu hasil dari adanya pertukaran argumentasi yang rasional, terbuka dan transparan.
Penulis mencoba menawarkan teori demokrasi deliberatif yang digagas oleh Jurgen Habermas sebagai jawaban dari permasalahan yang terjadi dalam proses pembentukan hukum di WTO. Demokrasi dapat disebut deliberatif jika proses pemberian suatu alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji terlebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat diskursus publik. Menurut Habermas, politik selalu dipengaruhi oleh dua aspek. Aspek tersebut adalah faktisitas hukum dan validitas hukum. Faktisitas hukum menekankan kepastian hukum demi rumusan yang ada pada pada hukum itu sendiri, sedangkan validitas hukum menekankan bahwa hukum harus dapat dilegitimasikan secara moral. Maka dari itu, sesungguhnya teori tersebut merupakan sebuah desakan bagi WTO untuk membuka ruang-ruang dan kanal-kanal komunikasi politis di dalam masyarakat, agar keputusan-keputusan yang diambil dalam proses pembentukan hukum di WTO tidak teralienasikan dari masyarakat sipil dan menimbulkan kurangnya legitimasi.

This theses elaborates the deliberative democracy and participation of civil society in the law-making process at the World Trade Organization (WTO). World Trade Organization (WTO) was established to regulate international trade in accordance with the WTO Agreement. WTO encourages the flow of international trading, by reducing and removing barriers that may interfere the accelerations of trade in goods and services. But since the establishment of the WTO has gained enormous resistance from various grassroots. That is because the law of international trade within the WTO framework has led to the norms that interact directly with individual communities. The decisions that were taken in the WTO legal system is the decisions that have a direct impact.
Although normatively WTO is considered as an international organization that is more democratic, but in a many practical level, decision-making practices in WTO are more oligarchic. The decision making process in the WTO through a consensus mechanism is not transparent, selective and confidential. WTO has alienated himself and become autonomous from the interests of civil society. And to a democratic decision-making, then the decision-making process must involve the affected parties as a result of these decisions, either directly or through their respective representation. In addition, these decisions should also be achieved as a result of an exchange of arguments were rational, open and transparent.
The author tries to offer a theory of deliberative democracy initiated by Jurgen Habermas as an answer to the problems that occur in the WTO law-making process. Democracy can be called deliberative if the process of giving a reason on a public policy candidate tested in advance through public consultation or through public discourse. According to Habermas, politics is always influenced by two aspects. These aspects are legal facticity and legal validity. Legal facticity emphasizes the rule of law toward the formulas that exist in the law itself, while the legal validity emphasizes that law must be legitimized morally. Therefore, the theory actually is an insistence for the WTO to open spaces and channels of political communication in the community, so that the decisions taken in the law-making process in the WTO is not alienated from civil society and causing a lack of legitimacy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kennedy, Kevin
London: Sweet & Maxwell, 2001
341.754 KEN c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>