Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113779 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Uly Indrasari
"Latar belakang - Mikroangiopati serebral merupakan salah satu komplikasi vaskular pada Diabetes Mellitus (DM). Salah satu parameter pada Transcranial Doppler (TCD) yang menilai adanya resistensi distal dari arteri yang diperiksa yang dapat merefleksikan adanya mikroangiopati di otak adalah Pulsatility Index (PI). Penelitian ini menghubungkan antara rerata PI arteri serebri media (Middle Cerebral Artery/MCA) dengan kejadian retinopati diabetik yang merupakan komplikasi yang paling spesifik dan tersering pada DM tipe 2.
Tujuan - Untuk mengetahui perbedaan rerata nilai PI MCA pada penyandang DM tipe 2 di otak pada penyandang DM tipe 2 beserta titik potongnya pada kurva ROC dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode - Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan 60 subyek DM tipe 2 tanpa komplikasi makrovaskular, terdiri dari 29 pasien retinopati dan 31 pasien tanpa retinopati dari poliklinik rawat jalan endokrin RS Cipto Mangunkusumo periode November 2013 ? April 2014. Dilakukan pemeriksaan TCD untuk menilai PI MCA. Usia, riwayat hipertensi, dislipidemia, lama menyandang DM tipe 2 dan HbA1c dianalisis sebagai faktor perancu.
Hasil - Pada penyandang DM tipe 2 dengan retinopati memiliki nilai rerata PI arteri serebri media yang lebih tinggi secara bermakna (1,17±0,25) dibandingkan dengan penyandang DM tipe 2 tanpa retinopati (1,05±0,26) dengan p=0,001. Usia, riwayat hipertensi, dislipidemia, lama menyandang DM tipe 2 dan HbA1c tidak berhubungan terhadap perubahan rerata PI MCA (p=0,187; p=0,608; p= 0,734; p=0,159; p=0,548). Titik potong nilai PI MCA pada penyandang DM tipe 2 dengan retinopati adalah pada nilai PI ≥ 1,025 dengan sensitifitas 70% dan spesifisitas 54%.
Simpulan - Pada penelitian ini, didapatkan perbedaan rerata nilai PI MCA secara bermakana antara kelompok dengan dan tanpa retinopati dengan nilai titik potong nilai PI MCA pada penyandang DM tipe 2 dengan retinopati adalah pada nilai PI ≥ 1,025 dengan sensitifitas 70% dan spesifisitas 54%.

Background - Cerebral microangiopathy is one of the most important complications in diabetes mellitus. Elevation in pulsatility index (PI) as measured by Transcranial Doppler (TCD) have been postulated to reflect increased vascular resistance distal of artery being examined. This study correlate PI mean of middle cerebral artery (MCA) with retinal mikroangiopathy which is the most common and specific in diabetic patients.
Objective - To determine differences in PI MCA group with and without retinopathy in type 2 diabetic patients and to find the cuttpoint value at ROC curve.
Methods - The study was carried out in sixty diabetic patients (with no other vascular abnormality), divided into 2 group, 29 type 2 diabetic patients with retinopathy and 31 diabetic patients without retinopathy. TCD was performed to record pulsatility index of MCA then analyzed to find the cuttpoint value. Ages, duration of diabetes, HbA1c levels, history of hypertension and dyslipidemia was analyzes as a confonding factor.
Results - The PI of MCA are significantly higher in diabetic patients with retinopathy than without retinopathy (P=0.001) with cutt of point at PI> 1,025 with 70% sensitivity and 54% spesificity. Age, HbA1c level, diabetes duration, history of hypertension and dislipidemia does not have a meaningful relationship with change cerebral status (p = 1.000, p = 0.657, p = 0.354, p = 0.538).
Conclusions - There are significant differences beetwen mean of pulsatility index in diabetic patients with and without retinopaty. The Cuttpoint are at PI > 1,025 with 70% sensitivity and 54% spesifisity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Hendarto
"Latar Belakang: Beberapa penelitian terakhir menunjukkan adanya hubungan antara diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dengan kejadian hipotiroid subklinis (HSK). Penelitian lain menunjukkan bahwa pada DMT2 yang disertai HSK, angka kejadian retinopati ternyata lebih tinggi dibanding pada DMT2 yang tanpa disertai HSK. Pasien HSK sendiri diketahui mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian dislipidemia. Bagaimana hubungan antara dislipidemia dengan retinopati pada pasien DMT2 dengan HSK, sampai saat ini masih belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui proporsi HSK pada pasien DMT2, hubungan antara HSK dengan kontrol glukosa darah, HSK dengan dislipidemia, serta hubungan antara dislipidemia dengan kejadian retinopati pada pasien DMT2 dengan HSK.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang. Sampel adalah pasien dewasa yang sudah didiagnosis DMT2 minimal 1 tahun, yang berobat ke poliklinik rawat jalan Divisi Metabolik Endokrin RSCM yang memenuhi kriteria inklusi. Data-data yang dikumpulkan adalah kontrol glukosa (HbA1c), profil lipid (kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida), TSHs, fT4 dan data retinopati. Data diambil dari rekam medis maupun pemeriksaan laboratorium.
Hasil: Proporsi penyakit HSK pada pasien DMT2 sebesar 7.2 % dan sebagian besar berusia di atas 60 tahun. Tidak didapatkan perbedaan proporsi antara lakilaki dan perempuan. Dari analisis didapatkan pasien DMT2 dengan kontrol gula darah yang buruk (HbA1c >7) memiliki risiko 3,664 kali lebih besar mengalami HSK dibanding dengan pasien DMT2 yang gula darahnya terkontrol baik (p:0,010). Pada pasien DMT2 dengan HSK yang disertai dislipidemia, risiko terkena retinopati 2,76 kali lebih besar dibanding pasien tanpa dislipidemia (p:0,014).
Simpulan: Terdapat hubungan bermakna antara HSK dengan kontrol gula darah (HbA1c) pada pasien DMT2. Terdapat hubungan antara HSK dan dislipidemia pada pasien DMT2. Terdapat hubungan antara dislipidemia dengan kejadian retinopati pada pasien DMT2 dengan HSK.

Background: Some recent studies suggest that there is a link between type 2 diabetes mellitus (T2DM) and the incidence of subclinical hypothyroid (SCH). Other studies have shown that if a T2DM is accompanied SCH, the incidence of retinopathy was higher than in the T2DM without SCH. SCH patients themselves are known to have a high risk of occurrence of dyslipidemia. The the relationship between the incidence of dyslipidemia and retinopathy in patients with T2DM with SCH, is still unknown.
Objective: To determine the proportion of SCH in patients with T2DM, the relationship between SCH and glycemic control (HbA1c), SCH with dyslipidemia, and dyslipidemia with the incidence of retinopathy in T2DM patients with SCH.
Methods: The study design used is cross sectional. Sample were adult patients who have been diagnosed with T2DM at least 1 year, who went to the outpatient ward of Metabolic Endocrine Division, Cipto Mangunkusumo Hospital. Collected data include glycemic control (HbA1c), lipid profile (total cholesterol, LDL, HDL, triglycerides), TSHs, FT4 and retinopathy data. Data were retrieved from medical records and laboratory tests.
Results: The proportion of SCH in patients with T2DM 7.2%, and mostly aged over 60 years. There were no differences in the proportion between men and women. From the analysis reveals the T2DM patients with poor blood sugar control (HbA1c >7) had 3.664 times greater risk of developing SCH compared with T2DM patients with well-controlled blood sugar (p:0.010). In patients with T2DM with SCH accompanied dyslipidemia, retinopathy risk 2.76 times greater than patients without dyslipidemia (p:0.014).
Conclusion: There is a significant relationship between the SCH and glycemic control in patients with T2DM, SCH and dyslipidemia and also between dyslipidemia and retinopathy in T2DM patients with HSK.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Krishna Adi Wibisana
"Latar Belakang : Penyakit arteri perifer PAP ekstremitas bawah merupakan salah satu komplikasi makrovaskular DM tipe 2 yang memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Proses inflamasi telah diketahui berperan dalam terjadinya PAP pada penyandang DM tipe 2. Rasio neutrofil limfosit atau neutrophil lymphocyte ratio NLR telah digunakan sebagai penanda inflamasi kronik. Sejauh penelusuran kepustakaan yang dilakukan, belum didapatkan studi yang meneliti hubungan antara NLR dengan kejadian PAP ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara NLR dengan kejadian PAP ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2.
Metodologi : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan subjek penyandang DM tipe 2 yang menjalani pemeriksaan ankle brachial index ABI di poliklinik divisi Metabolik Endokrin RSCM periode Oktober 2015 ndash; September 2016. Didapatkan 249 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan pengambilan data sekunder dari rekam medis mengenai data ABI, NLR, data demografik serta faktor perancu. Subjek dinyatakan menderita PAP ekstremitas bawah jika memiliki nilai ABI le; 0,9 dengan pemeriksaan probe Doppler. Data NLR kemudian dikategorikan berdasarkan median nilai NLR dan dicari hubungan nilai NLR dengan kejadian PAP ekstremitas bawah. Uji chi square digunakan untuk analisis bivariat dan regresi logistik digunakan untuk analisis multivariat.
Hasil : Penyakit arteri perifer ekstremitas bawah ditemukan pada 36 subjek 14,5. Didapatkan nilai median NLR total sebesar 2,11. Nilai median NLR didapatkan lebih tinggi pada kelompok PAP daripada tanpa PAP 2,46 vs 2,04. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai NLR ge; 2,11 dengan kejadian PAP ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2 PR 2,46, 95 IK 1,23 ndash; 4,87; p=0,007. Dengan menggunakan uji regresi logistik, diketahui bahwa hipertensi merupakan variabel perancu.
Simpulan : Terdapat hubungan antara rasio neutrofil limfosit dengan kejadian penyakit arteri perifer ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2.

Background : Lower extremity peripheral artery disease PAD is one of diabetic macrovascular complication which has high rate of morbidity and mortality. Chronic inflammation has been known to have a role in the pathogenesis of PAD in diabetic patient. Recently, neutrophil lymphocyte ratio NLR has been used as a marker of chronic inflammation. To the best of our knowledge, there are no prior studies about the relationship between NLR and PAD in type 2 diabetic patients.
Aim : To determine the relationship between neutrophil lymphocyte ratio and lower extremity peripheral artery disease in type 2 diabetic patient.
Methods : This was a cross sectional study on 249 patients with type 2 diabetes mellitus who underwent ankle brachial index ABI examination at Metabolic and Endocrinology Divison in Cipto Mangunkusumo Hospital between October 2015 ndash September 2016. The data were retrospectively collected from medical record. Lower extremity peripheral artery disease was defined as having ABI value le 0,9 by probe Doppler. Neutrophil lymphocyte ratio were categorized based on the median value and the relationship with lower extremity PAD were determined. Chi square test was used for bivariate analysis and logistic regression was used for multivariate analysis against confounding variables.
Result : Lower extremity peripheral artery disease was found in 36 subject 14,5. Median of NLR was 2,11. The median value of NLR was found higher in subjects with lower extremity PAD than without PAD 2,46 vs 2,04. There was an association between NLR value ge 2,11 and lower extremity PAD in type 2 diabetic patient p 0,007 PR 2,46 and 95 CI 1,23 ndash 4,87. By using logistic regression, it was known that hypertension was the confounding variable.
Conclusion : There is a relationship between neutrophil lymphocyte ratio and lower extremity peripheral artery disease in type 2 diabetic patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Sari
"Latar Belakang. Prevalensi penyakit arteri perifer (PAP) pada pasien diabetes melitus lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Penyakit arteri perifer dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas terutama akibat penyakit kardiovaskular pada pasien diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2). Tidak semua pasien dengan PAP dapat terdeteksi dengan pengukuran ankle brachial index (ABI) istirahat, sehingga diperlukan pemeriksaan ABI treadmill. Pemeriksaan ABI treadmill dapat mendeteksi PAP pada fase awal, sehingga profil pasien pada kelompok ini berbeda dengan klompok PAP yang dideteksi dengan ABI istirahat. Diketahuinya profil pasien PAP ini penting untuk membantu meningkatkan kewaspadaan pasien, khususnya pasien DM tipe 2.
Tujuan. Mengetahui profil pasien DM tipe 2 dengan PAP yang dideteksi dengan ABI treadmill.
Metode. Penelitian dengan desain potong lintang dilakukan di Poliklinik Metabolik Endokrin dan Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Februari sampai April 2016 dengan metode sampling konsekutif. Subjek dengan nilai ABI istirahat normal/ perbatasan menjalani treadmill dengan protokol Bruce yang digunakan juga sebagai protokol uji latih jantung treadmill. Diagnosis PAP ditegakkan bila terdapat penurunan nilai ABI lebih dari 20% dibandingkan ABI istirahat.
Hasil. Sebanyak 92 subjek dianalisis untuk mengetahui profil pasien DM tipe 2 dengan PAP yang dideteksi dengan ABI treadmill. Lima belas subjek (16,3%) didiagnosis PAP. Kelompok PAP memiliki persentase subjek dengan durasi diabetes ≥ 10 tahun sebanyak 53,3%; dislipidemia sebanyak 73,3%; penyakit ginjal kronik (PGK) sebanyak 33,3%; perokok sebanyak 40%; komplikasi neuropati sebanyak 53,3%; albuminuri sebanyak 53,3%; retinopati sebanyak 40%; dan respons iskemia jantung positif/sugestif positif sebanyak 40% subjek. Sedangkan kelompok tanpa PAP memiliki subjek dengan durasi diabetes ≥ 10 tahun sebanyak 33,8%; dislipidemia sebanyak 57,1%; PGK sebanyak 19,5%; perokok sebanyak 32,5%; komplikasi neuropati sebanyak 37,7%; albuminuri sebanyak 26,4%; retinopati sebanyak 28,6%; respons iskemia jantung positif/sugestif positif sebanyak 28,5% subjek.
Kesimpulan. Prevalensi PAP yang dideteksi dengan ABI treadmill pada pasien DM tipe 2 adalah 16,3% (IK 95%: 8-23%). Kelompok PAP yang dideteksi dengan ABI treadmill memiliki subjek dengan durasi DM ≥ 10 tahun, dislipidemia, perokok, PGK, neuropati, albuminuria, retinopati dan respons iskemia jantung positif/sugestif positif lebih banyak daripada subjek tanpa PAP.

Background. The prevalence of peripheral arterial disease (PAD) among diabetes patients was higher compared to general population. PAD increases morbidity and mortality, especially due to cardiovascular disease, in type 2 diabetes mellitus patients (T2DM). Not all patients having PAD could not be detected by resting ankle brachial index (ABI) measurement, hence it is required treadmill ABI examination. The examination enable to detect PAD in the earlier phase, therefore patients profile would different with PAD patient detected from resting ABI examination. The profiles are important to raise the awareness of T2DM patients.
Aim. To identify profile T2DM patients with PAD detected by treadmill ABI.
Methods. A cross-sectional study was carried out in Metabolic Endocrine and Cardiology Outpatient Clinic, Internal Medicine Department, Cipto Mangunkusumo Hospital during February-April 2016. The study used consecutive sampling method. Subject having normal or borderline resting ABI value is examine using Bruce protocol treadmill. The protocol is also used as a cardiac treadmill exercise test protocol. The patients diagnose as PAD if there is a reducing ABI value more than 20% compared to resting ABI.
Result. The profile of PAD patients detected by treadmill ABI were obtain from 92 subjects. Fifteen subjects (16,3%) were diagnosed having PAD. In the group with PAD, the percentage of subject with diabetes duration ≥ 10 years was 53,3%; dyslipidemia was 73.3%; chronic kidney disease (CKD) was 33.3%; smokers was 40%; complications of neuropathy was 53.3%; albuminuri was 53.3%; retinopathy was 40%; positive / positive suggestive cardiac ischemia response was 40% . Meanwhile the group without PAD, the percentage of subjects with diabetes duration ≥ 10 years was 33.8%; dyslipidemia was 57.1%; CKD was 19.5%; smokers was 32.5%; complications of neuropathy was 37.7%; albuminuri was 26.4%; retinopathy was 28.6%; positive / positive suggestive cardiac ischemia response was 28.5%.
Conclusion. The prevalence of PAD that detected by treadmilll ABI in T2DM patients is 16,3% (95% CI: 8-23%). The Group with PAD detected by ABI treadmill which have duration of diabetes ≥ 10 years, dyslipidemia, smokers, CKD, neuropathy, albuminuria, retinopathy, and the positive result on treadmill exercise test have more subjects than group without PAD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55663
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Martinus
"Latar Belakang: Sebesar 90% penderita DM merupakan DMT2. Komplikasi makrovaskular pada DM merupakan komplikasi ke tiga terbanyak setelah retinopati dan neuropati. Kematian pada DMT2 tujuh puluh lima persen disebabkan oleh PJK. Hal yang mendasari kejadian PJK adalah aterosklerosis yang didahului oleh proses disfungsi endotel. Disfungsi endotel ditandai oleh adanya peningkatan endotelin-1 (ET-1) dan penurunan NO akibat peningkatan inhibitor eNOS, asymmetrical dimethylarginine (ADMA).
Tujuan: Mengetahui perbedaan kadar ADMA dan ET-1 dengan keparahan Penyakit Jantung Koroner (PJK) stabil dengan dan tanpa DMT2.
Metode: Penelitian potong lintang, analitik pada pasien PJK stabil dengan dan tanpa DMT2 yang akan menjalani angiografi koroner pertama kali. Dilakukan pemeriksaan ADMA, ET-1, HbA1c dan evaluasi lesi koroner dengan sistim skoring berdasarkan syntax score (SS). Analisis untuk melihat 2 perbedaan median dilakukan dengan uji Mann Whitney dan perbedaan median lebih dari 2 kelompok dengan uji Kruskal Wallis pada distribusi data yang tidak normal.
Hasil: Dari 28 orang pasien PJK stabil dengan DMT2 dan 30 pasien PJK stabil tanpa DMT2 didapatkan proporsi usia hampir sama, wanita lebih banyak pada kelompok DMT2. Kadar ADMA dan ET-1 pada DMT2 lebih tinggi dibanding tanpa DM (p 0,6; 2,1 dan p 0,3). Kadar ADMA dan ET-1 pada DMT2 dan HbA1c ≥ 7% lebih rendah dari HbA1c < 7% ( p 0,7 dan p 0,8).Kadar ADMA pada DMT2 dan SS tinggi lebih rendah dibanding SS rendah(p 0,7), sedangkan kadar ET-1 pada DMT2 dan SS tinggi, lebih tinggi dibanding SS rendah (p 0,9). Kadar ADMA dan ET-1 pada DMT2 dengan SS rendah dan HbA1c ≥ 7% lebih rendah dibanding HbA1c < 7% ( p 0,5 dan p 0,5).
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ADMA dan ET-1 pada pasien PJK stabil dengan dan tanpa DMT2. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ADMA dan ET-1 dengan kontrol glukosa darah pada kelompok syntax score rendah.

Background: Ninety percent of diabetes patients have type 2 diabetes mellitus (T2DM). Macrovascular complication was the third highest complication in diabetes after retinopathy and neuropathy. Coronary artery disease (CAD) resulting from diabetes is responsible for 75% of diabetes-related death. Underlying mechanism of CAD is atherosclerosis initiated by endothelial dysfunction. The endothelial dysfunction is marked by endothelin-1 (ET-1) levels raise and NO decrement, as a result of eNOS inhibition by increased asymmetrical dimethylarginine (ADMA).
Objective: To determine the difference of asymmetrical dimethylarginine (ADMA) and endotelin-1 (ET-1) levels to evaluate the severity and complexity of coronary lesion in stable coronary artery disease (SCAD) with and without T2DM.
Methods: This is an analytical cross-sectional study. We obtained serum sample and measured ADMA, ET-1, HbA1c levels and evaluated coronary lesion by syntax score (SS). Analysis of the ADMA and ET-1 correlation was evaluated by blood glucose control and SS. Mann-Whitney U test was used to compare two independent mean, Kruskal-Wallis test was used for differences among the groups median if variables were not normally distributed.
Results: We enrolled 28 stable CAD patients with T2DM and 30 stable CAD patients without T2DM. Baseline coroner angiography results with age proportion were similar in both groups. Women were predominant in T2DM group. ADMA and ET-1 levels in T2DM were higher than in without T2DM (58,0 and 50,5 with p 0,6 ; 2,1 and 1,8 with p 0,3). ADMA dan ET-1 levels in T2DM with HbA1c ≥ 7% were lower than in T2DM with HbA1c < 7% (51,7 and 65,3 with p 0,7 ; 2,08 and 2,14 with p 0,8). ADMA level in T2DM with high SS was lower than ones with low SS (44,5 and 58,4 with p 0,7), ET-1 level in T2DM with high SS was higher than in T2DM with low SS (2,72 and 2,08 with p 0,9). ADMA and ET-1 levels in T2DM with low SS and HbA1c ≥ 7% were lower than HbA1c < 7% (47,8 and 72,0 with p 0,5 ; 2,06 and 2,14 with p 0,5).
Conclusions: ADMA and ET-1 levels in patient SCAD with and without T2DM are insignificantly related. There is no significant difference of ADMA and ET-1 levels with blood glucose control and low syntax score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ilum Anam
"Latar Belakang: Sindroma dispepsia sering dialami oleh penderita DM. Asam lambung salah satu faktor agresif terjadinya sindroma dispepsia dan tukak lambung. Penelitian ini bertujuan untuk mencari perbedaan pH lambung pada pasien dispepsia DM dengan yang bukan DM dan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara pH lambung dengan proteinuria dan HbA1c.
Metode: Pasien terdiri dari 30 kelompok DM dan 30 kelompok bukan DM. Masing-masing kelompok dihitung pH lambung basal. pH lambung basal diukur dgn memasukkan elektroda kateter kedalam lambung selama 30 menit kemudian di rekam dgn alat PH Metri merek Digitrapper pH-Z. Beratnya komplikasi DM diukur dengan mikroalbuminuria, sedangkan kendali gula darah diukur dgn HbA1c. Dilakukan uji chi square utk mencari perbedaan pH lambung kelompok DM dgn yg bukan DM, dengan terlebih dahulu menentukan titik potong dgn analisa ROC (Receiver Operating Caracteristic). Dilakukan uji korelasi antara pH lambung basal dengan mikroalbuminuria dan HbA1c pada kelompok pasien DM.
Hasil: pH lambung basal pada dispepsia DM vs non DM (2.30±0.83 vs 2.19±0.52). Dgn uji chi square terdapat perbedaan bermakna antara kelompok DM dengan yang bukan DM. Pada uji korelasi antara pH lambung dengan mikroalbuminuria dijumpai r = 0.47 dan p < 0.05, sedangkan HbA1c dijumpai r=0,59 dan p > 0.05.
Simpulan: Ada perbedaan bermakna pH lambung basal antara pasien dispepsia DM dengan pasien dispepsia bukan DM. Ada korelasi antara pH lambung basal dengan mikroalbuminuria, sedangkan dengan HbA1c tidak ada korelasi. pH lambung basal pada pasien DM adalah 2.03±0.83 sedangkan pada yang bukan DM adalah 2.19±0.52.

Aims: Dyspepsia syndrome often experienced in diabetic patients. Gastric acid was one aggressive factors in dyspepsia syndrome. This aim of this study was to determine differences gastric pH between dyspepsia diabetic and dispepsia without diabetic patients. Also to determine whether there were a correlation between basal gastric pH and microalbuminuria and also HbA1c.
Methods: There were 30 patients diabetic and 30 patients without diabetic. Basal gastric pH was measured with an electrode catheter that inserted into the stomach for 30 minutes. Gastric pH will be recorded with PH Metri Digitrapper pH-Z. Diabetic complications measured by microalbuminuria, while the measured blood sugar control with HbA1c. Chi-square test to determine differences gastric pH between diabetic and without diabetic patients. Correlation test was performed between basal gastric pH and microalbuminuria and also HbA1c.
Results: We found basal gastric pH diabetic and non diabetic patients were (2.30±0.83 vs 2.19±0.52). There was significant differences between diabetic and non diabetic patients. From 30 diabeic patients we found a corelation between basal gastric pH and microalbuminuria (p < 0.05 and r = 0.47) and a no corelation with HbA1c (p > 0.05 and r=0,59).
Conclusions: There was significant differences basal gastric pH between diabetic and non diabetic patients. There was correlation between basal gastric pH and microalbuminuria, and no correlation with HbA1c. Basal gastric pH diabetic patients was 2,30 ± 0.83 and non diabetic patients was 2,19 ± 0,52.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
T58556
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tetra Saktika Adinugraha
"Swedish massage merupakan teknik masase berfokus pada relaksasi dan meningkatkan sirkulasi darah dengan melibatkan otot. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh Swedish massage terhadap nilai ankle brakial index pada pasien diabetes tipe 2. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperiment dengan kelompok kontrol, pemilihan sampel secara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan signifikan sebelum dan sesudah diberikan masase selama 3 minggu pada nilai ABI kanan (p = 0.015) dan ABI kiri (p = 0.045) antara kelompok kontrol dengan intervensi. Penelitian ini menyarankan perawat melakukan masase di layanan klinik untuk meningkatkan nilai ABI pada pasien diabetes melitus tipe 2.

Swedish massage is a massage technique involving the muscles which focuses on promoting relaxation and blood circulation. This research aimed to investigate the effects of Swedish massage on Ankle Brachial Index (ABI) in type 2 diabetes mellitus patients. This study was quasi experimental with a control group and employed purposive sampling. There was a significant difference of intervention group and control on the right side of ABI (p = 0.015) and on the left side of ABI (p = 0.045) in three weeks of massage. This study suggests that nurse should perform massage in clinical practice to increase the ABI score for type 2 diabetes mellitus patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T32971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Dyah Purnamasari Sulistianingsih
"Latar Belakang. Terdapat dua hipotesis mengenai terjadinya diabetes melitus tipe 2 yaitu kegagalan sel beta pankreas dan resistensi insulin. Mengingat pengaruh faktor genetik pada kejadian DM tipe 2 maka diperkirakan resistensi insulin juga dipengaruhi faktor genetik. Sejauh ini data prevalensi resistensi insulin dan gambaran metabolik pads saudara kandung subyek DM tipe 2 di Indonesia belum ada.
Tujuan. Mendapatkan angka prevalensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek dengan DM tipe 2 dan mendapatkan data profil metabolik (profil lipid, IMT, lingkar perut, konsentrasi asam urat darah), tekanan darah dan distribusinya pads seluruh saudara kandung subyek dengan DM tipe 2
Metodologi. Studi pendahuluan dan potong lintang dilakukan pada 30 saudara kandung subyek DM tipe 2 yang datang berobat di Poliklinik Metabolik dan Endokrinologi RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, untuk dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, konsentrasi insulin darah puasa, glukosa puasa, trigliserida, kolesterol HDL dan asam urat. Resistensi insulin ditentukan dari persentil 75 dari HOMA-IR.
Hasil. Nilai cut-off HOMA-IR pada penelitian ini sebesar 2,04. Frekuensi resistensi insulin pads saudara kandung subyek DM sebesar 26,67% dengan proporsi di tiap keluarga bervariasi dari 0-75%. Semua subyek dengan resistensi insulin memiliki obesitas sentral dan sebanyak 75% memiliki IMT > 25. Komponen metabolik yang paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral (56,7%), menyusul hipertensi (46,7%), hipokolesterol HDL dan hipertrigliseridemia masing-masing 26,6%, dan hiperglikemia (20%).
Simpulan. Frekuensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek DM tipe 2 sebesar 26,67% dengan proporsi yang bervariasi di setiap keluarga antara 0-75%. Komponen metabolik paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral.

Backgrounds. There are two hypothesis in the pathogenesis of type 2 DM, beta cell failure and insulin resistance. As genetic background has significant role in type 2 DM cases, insulin resistance is also suspected to be influenced by genetic factor. Thus far, there are no insulin resistance prevalence data and metabolic abnormalities among siblings of subjects with type 2 DM available in Indonesia.
Objectives. To obtain prevalence figure of insulin resistance among siblings of subjects with type 2 DM and to obtain their metabolic abnormality profiles as measured by their BMI, waist circumference (WC), blood pressure, glucose intolerance, concentration of triglyceride, HDL cholesterol and uric acid.
Methods. Cross-sectional study is conducted to 30 siblings of subjects with type 2 DM who are still alive and agree to participate in this study. The subjects are interviewed, physically examined and go through laboratory examination (fasting plasma insulin, plasma glucose, serum triglyceride, HDL cholesterol and uric acid concentration). Insulin resistance is derived from 75 percentile of HOMA-IR.
Results. The HOMA-IR cut-off value found in this study is 2,04. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. All of subjects with insulin resistance have central obesity. About 75% subjects with insulin resistance have BMI ? 25. The metabolic components which are frequently found in this study can be ranked as follows; central obesity (56,7%), hypertension (46,7%), hypocholesterol HDL (26,6%), hypertriglyceridemia (26,6%) and hyperglycemia (20%).
Conclusion. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. Among the metabolic components found in this study, central obesity is the most frequent."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21416
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frida Soesanti
"ABSTRAK
Latar belakang: Vitamin D dianggap berperan dalam patogenesis diabetes melitus tipe 1 (DMT1), memperbaiki kontrol metabolik dan menurunkan risiko terjadinya komplikasi mikrovaskuler.
Tujuan: Mengetahui profil kadar vitamin D remaja DMT1 dan hubungan kadar vitamin D dengan retinopati dan nefropati diabetik.
Metode: Penelitian potong lintang pada remaja DMT1 usia 11-21 tahun dengan lama sakit minimal satu tahun. Semua subjek dilakukan wawancara menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisis lengkap, kadar 25(OH)D, HbA1c, rasio albumin/kreatinin urin, dan fotografi fundus.
Hasil: Terdapat 49 subjek, 34 (69,4%) perempuan dan 15 (30,6%) lelaki dengan median lama sakit lima tahun (1-16 tahun). Sebanyak 96% subjek menggunakan insulin basal bolus. Median HbA1c adalah 9,5% (6,3% - 18%). Tidak ada subjek dengan kadar 25(OH)D ≥ 30 ng/mL, 6 subjek (12,2%) dengan kadar 25(OH)D 21-19 ng/mL dan 87,8% memiliki kadar 25(OH)D ≤ 20 ng/mL. Rerata kadar 25(OH)D adalah 12,6 ng/mL (SD ±5,4 ng/mL). Faktor yang berhubungan dengan kadar vitamin D adalah lama pajanan matahari (RP 13,3; 95%IK = 1,8-96, p= 0,019). Jenis pakaian, penggunaan sunblock, IMT, lama sakit, konsumsi susu tidak berhubungan dengan kadar vitamin D. Prevalens retinopati pada penelitian ini adalah 8,2%, mikroalbuminuria 28,5%, dan nefropati 16,3%. Tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan retinopati, mikroalbuminuria, dan nefropati diabetik.
Kesimpulan: Tidak ada remaja DMT1 dengan kadar vitamin D yang cukup dan tidak ada hubungan antara kadar vitamin D dengan retinopati, mikroalbuminuria, dan nefropati diabetik.;Background: Many studies showed that vitamin D involved in the pathogenesis of type 1 diabetes mellitus (T1DM), metabolic control and decreased the risk of microvascular complication.

ABSTRACT
Objective: To find out the vitamin D profile in adolescence with T1DM and its association with retinopathy and nephropathy diabetic.
Methods: This was a cross sectional study performed during April to May 2015 involving T1DM adolescence aged 11-21 years old with duration of illness ≥ 1 year. We used questionnaire to know factors associated with vitamin D level. We performed physical examinations, tests for level of 25(OH)D serum, HbA1c, urine albumin/creatinine ratio and fundal photographic.
Results: There were 49 subjects, 34 female (69.4%) and 15 male (30.6%) with median duration of illness was five years (1-16 years). Most of the subjects (96%) were on basal bolus regimen. Median of HbA1c level was 9.5% (range 6.3%-18%). None of the subject had 25(OH)D level ≥ 30 ng/mL, 12.2% with 25(OH)D level of 21-19 ng/mL and 87,8% was ≤ 20 ng/mL. Mean of 25(OH)D level was 12.6 ng/mL (SD ±5.4 ng/mL). Duration of sun exposure was associated with 25(OH)D level (prevalent ratio of 13.3; 95%CI = 1.8-96, p= 0.019); While type of clothing, sunblock, body mass index, milk and juice intake were not associated with 25(OH)D level. Diabetic retinopathy was found in 4 subjects (8.2%), microalbuminuria in 14 subjects (28.5%), and nephropathy in 8 subjects (16.3%). All the subjects who suffered from microvascular complication had 25(OH)D level ≤ 20 ng/mL. None of the subjects with 25 (OH)D > 20 ng/mL suffered had microvascular complication. There was no significant association between vitamin D level with diabetic retinopathy, microalbuminuria, or diabetic nephropathy.
Conclusion: None of the adolescent with type 1 DM had sufficient vitamin D level, and 87.8% had vitamin D deficiency. There was no association between vitamin D level with diabetic retinopathy, microalbuminuria, or diabetic nephropathy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erpryta Nurdia Tetrasiwi
"Latar Belakang: Individu dengan diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dilaporkan mengalami peningkatan risiko terjadinya sarkopenia dan juga sebaliknya. Penelitian mengenai DMT2 dengan sarkopenia mayoritas berasal dari populasi geriatri. Sampai saat ini belum ada studi yang membandingkan profil metabolik dan parameter inflamasi di kelompok DMT2 dengan dan tanpa sarkopenia pada usia yang lebih muda.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan rerata profil metabolik dan parameter inflamasi pada penyandang DMT2 nongeriatri dengan dan tanpa sarkopenia.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan individu dengan DMT2 nongeriatri berusia  18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021- Januari 2022. Dilakukan pengambilan data sekunder berupa antropometri dan laboratorium yang mencakup Homeostatic Model Assessment for Insulin Resistance (HOMA-IR), HbA1c dan profil lipid. Kadar interleukin (IL)-6 dan IL-10 serum diukur menggunakan teknik ELISA. Kelompok sarkopenia terdiri atas possible dan true sarcopenia berdasarkan kriteria Asian Working Group for Sarcopenia (AWGS) 2019.
Hasil: Dari 100 subjek, 35 subjek dikategorikan ke dalam possible sarkopenia dan 4 subjek true sarkopenia. Subjek DMT2 nongeriatri dengan sarkopenia memiliki median (RIK) nilai HOMA-IR dan kadar HbA1c yang lebih tinggi dibanding subjek tanpa sarkopenia yaitu berturut-turut [6,52 (4,05-17,26) vs. 4,66 (2,61-10,14); p=0,025] dan [9,0% (7,3-10,3)% vs. 7,4% (6,6-8,45)%; p=0,002]. Tidak terdapat perbedaan kadar profil metabolik lain dan IL-6 antara kedua kelompok, sementara kadar IL-10 hanya terdeteksi pada 33 sampel sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut.
Kesimpulan: Median nilai HOMA-IR dan kadar HbA1c kelompok DMT2 nongeriatri dengan sarkopenia lebih tinggi dibanding kelompok tanpa sarkopenia. Tidak ditemukan perbedaan kadar profil metabolik lain dan IL-6 sebagai parameter inflamasi antara kedua kelompok tersebut. Tidak dilakukan analisis beda rerata kadar IL-10 karena sedikitnya sampel yang terdeteksi.

Background: Individuals with type 2 diabetes mellitus (T2DM) are at increased risk for sarcopenia and vice versa. Studies in T2DM with sarcopenia mostly came from the geriatric population. To date, no study has compared the metabolic profile and inflammatory parameters in younger T2DM subjects with and without sarcopenia.
Aim: This study aimed to assess the mean differences in the metabolic profile and inflammatory parameters of nongeriatric T2DM individuals with vs. without sarcopenia.
Method: This cross-sectional study involved nongeriatric T2DM individuals aged 18-59 years old visiting Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and January 2022. Secondary data was obtained, namely anthropometric and laboratory data including Homeostatic Model Assessment for Insulin Resistance (HOMA-IR), HbA1c and lipid profile. Serum levels of interleukin (IL)-6 and IL-10 were measured using the ELISA technique. The sarcopenia group consists of individuals with possible and true sarcopenia based on the Asian Working Group for Sarcopenia (AWGS) 2019 criteria.
Results: From 100 subjects, 35 was categorized as possible sarcopenia and 4 as true sarcopenia. Nongeriatric T2DM subjects with sarcopenia had significantly higher median (interquartile range) HOMA-IR and HbA1c compared to nonsarcopenic subjects [6.52 (4.05-17.26) vs. 4.66 (2.61-10.14); p=0.025] and [9.0% (7.3-10.3)% vs. 7.4% (6.6-8.45)%; p=0.002]. There were no differences in other levels of metabolic profile and IL-6 between the two groups, while IL-10 levels were only detected in 33 samples and could not be analyzed further.
Conclusion: Median HOMA-IR and HbA1c nongeriatric T2DM subjects with sarcopenia was higher than those without sarcopenia. There was no difference in other metabolic profile and IL-6 level as inflammation parameter between the two groups. IL-10 was not analysed further due to the small sample number that were detected.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>