Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188587 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fhardian Putra
"Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah program Applied Behavior Analysis (ABA) dan Video Modelling dapat meningkatkan kemampuan reseptif dan ekspresif pada anak autisme ringan. Kemampuan reseptif yang ditingkatkan ialah kemampuan memasangkan, menunjuk, dan menyebutkan nama emosi dasar pada kartu ekspresi emosi. Kemampuan ekspresif yang ditingkatkan dalam penelitian ini ialah kemampuan mengungkapkan perasaan tidak menyenangkan. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain subjek tunggal. Selama penelitian, program intervensi diberikan selama dua minggu ditambah dengan satu minggu tahap generalisasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan reseptif dan ekspresif pada subjek setelah program diberikan. Setelah tujuh hari program dihentikan, subjek juga masih mampu mempertahankan kemampuan reseptif dan ekspresif sesuai dengan target keberhasilan. Hasil penelitian yang positif ini menunjukkan bahwa orang tua juga perlu menerapkan metode ABA untuk melatih kemampuan reseptif dan ekspresif subjek dalam kehidupan sehari-hari.

The objective of this research is to examine whether the Applied Behavior Analysis (ABA) and Video Modelling program can enhance receptive and expressive ablity in children with mild autism. Receptive ability defined as an ability to match, point, and mention the name of basic emotions from facial expression cards. Whereas Expressive ablity is an ability to express inconvenient feelings to others. This research use single subject design in children with mild autism. The program was administered for two weeks. After that, the generalization phase was introduced for a week.
The result from this research shows that receptive and expressive ability improved after the program was administered. Even though the program was stopped for a week, the participant still mastered well the receptive and expressive ability. According to this research, we recommend parents to teach receptive and expressive ability to their children by using ABA method in children natural setting."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T41690
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Levina
"Rentang gangguan bahasa pada anak penyandang aulisme cukup luas, mulai dari yang perkembangan kemampuan bahasanya sama sekali lidak berkembang sampai pada ekstrim yang lain, di mana perkembangan kemampuan bahasanya baik, lala bahasa dan pengucapan jugs baik (Wing & Gould, dalam Jordan & Powell, 1995), Anak penyandang autisme yang mengalami hambatan dalam bahasa ekspresif dan bahasa reseptif akan sulit untuk menyampaikan isi pikirannya maupun memahami kata-kata yang diterimanva. Anak penyandang aulisme yang mengalami hambalan pada area bahasa reseptif,, dapat mendengar kata-kata tetapi mereka lidak selalu memahami arti kata seperti pada anak-anak normal lainnva.
Kemampuan bahasa reseptif anak penyandang aulisme dapat ditingkatkan dengan menggunakan program Applied Behavior Analysis (ABA). Dalam program ABA, materi dasar untuk melalih kemampuan bahasa reseptif adalah kemampuan untuk memperhatikan, kemampuan untuk meniru atau melakukan imitasi, kemampuan memasangkan, kemampuan mengidentifikasi (Maurice. 1996). Setiap sesi pengajaran terdiri dari beberapa siklus dan setiap siklus terdiri dari beberapa kali trial (Puspita, 2003) . Setiap trial memiliki awal dan akhir yang jelas (Leaf & McEachin, 1999). Sebuah trial terdiri dari satu unit pengajaran yang terdiri dari komponen-komponen presenlasi dari discrirninative stimulus atau instruksi guru, respon anak , dan konsekuensi (reinforcement). Selain itu terdapat jeda waktu (interlrial interval) sebelum terapis menyajikan stimulus berikulnya (Sympson. 2005). Penilaian dilakukan setiap 10 kali anak melakukan trial untuk memudahkan menghitung persentase keberhasilan. Anak dikalakan lulus bila mampu minimal 80% benar dari keseluruhan total trial. Setiap pertemuan berdurasi 90 menit.
Setelah melakukan proses intervensi selama 3 minggu, terdapat peningkatan kemampuan subjek untuk memahami imitasi gerakan motorik kasar, Dalam hal perilaku imitasi gerakan mengangkal tangan telah melampaui kriteria keberhasilan. Perilaku imitasi gerakan tepuk tangan dan tepuk meja belum melampaui kriteria keberhasilan lelapi juga menunjukkan adanya peningkatan. Selama periode intervensi, subjek belum sepenuhnya mencapai kriteria keberhasilan gerakan imitasi motorik kasar dan halus. Dengan demikian tidak memungkinkan untuk melakukan intervensi kemampuan memasangkan dan kemampuan mengidentifikasi sebelum subjek menguasai gerakan imitasi karena untuk melatilh kemampuan reseptif lainnya, subjek harus menguasai kemampuan imitasi terlebih dahulu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarti Endah Purnamaningsih Maria Margaretha
"Tesis ini membahas efektifitas video self-modelling (VSM) terhadap kemampuan menggosok gigi pada anak dengan Autisme Spectrum Disorders. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain single subyek. Hasil penelitian menyarankan untuk penggunaan media VSM dalam merawat anak dengan autisme; disarankan pembuatan VSM dengan media perekam yang sederhana dan penelitian lebih lanjut terkait dengan penggunaan VSM untuk mengajarkan pemenuhan kebutuhan dasar lain.

This thesis discuss the effectiveness of video self-modelling (VSM) to the ability of toothbrushing capability among children who suffers from Autism Spectrum Disorders. This research utilises quantitative methods with single subject design. Result of study shows that the use of VSM has served the purpose, and it is recommended that VSM should be be built using simple recording media, and there is s need for further research on VSM application for improving other basic capability."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
T30688
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hernanda Anindita
"Dalam DSM-IV (APA, 1994) dikemukakan bahwa autisme adalah suatu gangguan perkembangan perilaku yang ditandai oleh kerusakan pada kemampuan komunikasi dan interaksi sosial serta pola-pola minat, aktivitas dan perilaku yang terbatas, diulang-ulang dan stereotipi. Untuk dapat didiagnosa autisme, seorang anak harus memiliki ketiga kriteria di atas namun memang ada kriteria yang menonjol diantara ketiganya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kekurangan tersebut, intervensi yang diberikan harus sedekat mungkin dengan kebutuhan anak. Secara umum, program ini bertujuan untuk memperbaiki kemampuan komunikasi anak dimana perbaikan dilakukan dengan cara membantu anak untuk dapat melakukan kontak mata dengan lawan bicara. Dengan anak dapat melakukan kontak mata dalam kurun waktu tertentu, diharapkan ia dapat diajarkan berbagai hal lain seperti mengajarkan bagaimana mendiskriminasi benda-benda di sekitarnya. R telah berhasil menjalankan program intervensi yang diberikan, ditandai dengan ia dapat melakukan kontak mata dengan lawan bicara selama kurun waktu tertentu. Di sisi lain, dalam melakukan diskriminasi benda, R belum dapat mendiskriminasi benda lebih dari dua karena adanya faktor eksternal yang mempengaruhi kelancaran intervensi. Kesimpulan yang dapat diambil adalah terapi Applied Behavior Analysis (ABA) dapat diterapkan dalam melatih R untuk melakukan kontak mata dan diskriminasi benda. Meskipun demikian, masih ada beberapa kelemahan dalam program ini yang perlu diperbaiki dalam penerapan intervensi applied behavior analysis selanjutnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T38111
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Messya Rachmani
"Penelitian bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat stres anak Autisme dengan intervensi Modul Pedagogi Visual dan Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ yang diukur dari kadar kortisol saliva. Desain penelitian berupa eksperimental klinis dan laboratoris dengan mengukur kadar kortisol saliva sebelum dan sesudah intervensi. Subjek terdiri dari 20 anak usia 6-10 tahun yang telah didiagnosis Autisme oleh dokter spesialis anak atau psikiater, tidak terdapat riwayat penyakit sistemik, tidak terdapat gangguan pada penglihatan dan pendengaran, dapat mengikuti instruksi sederhana, serta belum pernah ke dokter gigi. Subjek dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok Modul Pedagogi Visual ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ dan Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’. Saliva diambil pada saat sebelum dan sesudah intervensi kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengukur perbedaan kadar kortisol saliva. Hasil analisis tingkat stres anak autisme yang diukur dari kadar kortisol saliva menggunakan Uji Mann Whitney-U menunjukkan nilai median kadar kortisol saliva anak autisme pada kelompok intervensi Modul Pedagogi Visual ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ sebesar 0,0005 μg/mL dan nilai median kadar kortisol saliva kelompok intervensi Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ sebesar 0,0010 μg/mL. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak bermakna secara statistik (p > 0,050) dalam tingkat stres anak autisme yang diukur dari kadar kortisol saliva pada kelompok intervensi Modul Pedagogi Visual dan Video Modeling 'Berkunjung ke Dokter Gigi'. Hal ini menandakan efektivitas Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ untuk menurunkan tingkat stres anak autisme pada saat perawatan gigi sama dengan Modul Pedagogi Visual ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ yang diukur dari kadar kortisol saliva .

The aim of this study was to determine the differences of the Visual Pedagogy Module and Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ intervention method in reducing stress levels in autism children measured by salivary cortisol levels during dental treatment. The study design was clinical and laboratory experimental by measuring salivary cortisol levels before and after the intervention. Subjects consisted of 20 children aged 6-10 years who had been diagnosed with Autism by a pediatrician or psychiatrist, had no history of systemic disease, had no impairment of vision and hearing, could follow simple instructions, and had never been to a dentist. They were divided into two groups based on the type of intervention: Visual Pedagogy Module ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ and Video Modeling ‘Berkunjung
ke Dokter Gigi’. Saliva was collected from the children before and after the interventions and analyzed in the laboratory to measure the differences of salivary cortisol concentration. The Mann-Whitney test was used to analyze salivary concentration differences in two intervention groups. The median values in the two intervention groups were 0,0005 and 0,0010 μg/mL. The stress levels measured by salivary cortisol levels showed that both Visual Pedagogy Module and Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ proven to be effective in decreasing the level of stress among the children with autism. No significant statistical difference in the delta values was observed between the two groups (p >.050). Both Visual Pedagogy Module and Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ are equally effective in reducing stress levels in children with autism measured by salivary cortisol levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Deffy Maryati
"

Latar Belakang: Perawatan gigi pada anak Gangguan Spektrum Autisme (GSA) sering menimbulkan stres karena kesulitan dalam berkomunikasi. Untuk mengurangi stres anak GSA, komunikasi verbal ditingkatkan dengan sarana pembelajaran seperti modul pedagogi visual dan video modeling. Alfa amilase saliva merupakan salah satu biomarker stres yang terdapat dalam saliva. Tujuan: Mengetahui perbedaan tingkat stres anak GSA dengan intervensi Modul Pedagogi Visual dan Video Modeling Berkunjung ke Dokter Gigi melalui analisis kadar alfa amilase saliva. Metode Penelitian: Subjek penelitian sebanyak 18 anak usia 6-10 tahun dengan GSA ringan, dibagi dalam 2 kelompok intervensi, yaitu kelompok Modul Pedagogi Visual (MPV) dan Video Modeling (VM) Berkunjung ke Dokter Gigi. Pengukuran kadar alfa amilase saliva dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Hasil: Pada kedua kelompok Kadar Alfa Amilase Saliva sesudah intervensi menunjukkan penurunan. Analisis statistik dengan uji Mann-Whitney U-test menunjukkan terdapat perbedaan tidak bermakna (p >0,05) pada penurunan tingkat stres antara kelompok dengan intervensi MPV dan VM Berkunjung ke Dokter Gigi. Kesimpulan: MPV dan VM Berkunjung ke Dokter Gigi menurunkan tingkat stress anak GSA.

Kata kunci: Alfa amilase, Gangguan Spektrum Autisme, Saliva, Pedagogi


Background: Dental treatment in children with Autism Spectrum Disorder (ASD) often causes stress because of difficulty in communicating. To reduce stress for ASD children, verbal communication is enhanced with learning tools such as visual pedagogy modules and video modelling. Salivary alpha amylase is one of the stress biomarker found in saliva. Objective: To determine the differences in stress levels of ASD children with the intervention of the Visual Pedagogy Module and Video Modelling Berkunjung ke Dokter Gigi through the analysis of salivary alpha amylase levels. Methods: Subjects were 18 children aged 6-10 years with mild ASD, divided into 2 intervention groups, namely The Visual Pedagogy Module (VPM) and Video Modeling (VM) Berkunjung ke Dokter Gigi group. Measurement of salivary alpha amylase levels was carried out before and after intervention. Result: In both groups the alpha amylase levels of saliva after the intervention showed a decrease. Statistical analysis using The Mann-Whitney U-test showed that there was no significant difference (p>0.05) in the reduction in stress levels between the VPM and VM Berkunjung ke Dokter Gigi intervention groups. Conclusion: VPM and VM Berkunjung ke Dokter Gigi reduce the stress levels of ASD children.

Keywords : Autism, alpha amylase, saliva, pedagogy

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dotulong, Natasya
"Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan apakah program Direct Instruction dapat meningkatkan kemampuan menggunakan uang pada anak penyandang tunagrahita ringan. Peningkatan kemampuan menggunakan uang mencakup pengenalan uang, penjumlahan uang dan pengurangan uang sampai Rp10.000. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain subyek tunggal pada siswa tunagrahita ringan. Program diberikan selama tiga minggu dengan menggunakan metode Direct Instruction yang mencakup tahap pendahuluan, tahap presentasi materi dan tahap latihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan menggunakan uang pada subyek setelah program diberikan. Setelah sepuluh hari program dihentikan, subyek juga masih mampu mempertahankan kemampuan menggunakan uang tersebut.

The objective of this research to see whether the Direct Instruction program can enhance the ability to use money in mild intellectual disability children. Improving the ability to use money include the ability to know value of money, addition of money and subtraction of money to Rp10.000,-. This research is single subject design for a student with mild intellectual disability. The research consist of three weeks program using Direct Instruction, including the introduction stage, the material presentation stage, and the practice stage. The result of this study showed that the subject?s ability to use money increase after the program. Ten days after the program, the subject still able to maintain the ability to use money.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T35372
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafida Humaira
"Kesejahteraan anak menjadi salah satu hal yang dijamin dalam Undang-undang Republik Indonesia. Tidak terkecuali kesejahteraan anak dengan Autism Spectrum Disorder/ASD yang juga merupakan bagian dari masyarakat yang patut mendapatkan perlakuan yang sama sebagaimana dengan anak lainnya. Mewujudkan kesejahteraan anak dengan ASD dapat dilakukan dengan memastikan terwujudnya kemandirian melalui pengimplementasian metode ABA. Dalam pengimplementasiannya metode ini tidak dapat terlepas dari keterlibatan keluarga yang menjadi kunci keberhasilan terapi. Penelitian ini menggambarkan mengenai keterlibatan keluarga dalam meningkatkan kemandirian anak dengan ASD melalui metode terapi ABA beserta faktor yang mempengaruhinya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif yang berlokasi di YCHI Autism Center Ciputat. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2021, saat dunia sedang dilanda pandemi Covid-19 sehingga teknik pengumpulan data yang digunakan ialah wawancara semi-terstruktur yang sepenuhnya dilakukan secara daring dengan melibatkan 4 orang informan. Hasil penelitian menunjukkan keterlibatan keluarga masih berpusat pada ibu yang dilakukan sebelum sesi terapi, saat sesi terapi bersama terapis, maupun di luar sesi terapi. Dalam penelitian ini juga diuraikan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan tersebut di antaranya stres yang dirasakan, harapan akan masa depan, serta dukungan sosial yang didapatkan.

Child welfare is one of the things guaranteed in the Law of the Republic of Indonesia. The welfare of children with ASD is no exception, as they are also a part of the community who deserve the same treatment as other children. Materializing the welfare of children with ASD can be done by ensuring the realization of independence through the implementation of the ABA method. The implementation of this method can not be separated from the involvement of the family as the key to the success of therapy. This study describes the involvement of families in increasing the independence of children with ASD through the ABA therapy method and the factors that influence it. The research method used in this study is a qualitative approach with a descriptive type of research located at YCHI Autism Center Ciputat. This research was conducted in 2021 when the world was being hit by the Covid-19 pandemic, so the data collection technique used was semi-structured interviews which were entirely conducted online, involving 4 informants. The results showed that family involvement was still centered on the mother which was carried out before therapy sessions, during therapy sessions with the therapist, and outside therapy sessions. This study also describes the factors that influence the involvement, including perceived stress, hope for the future, and social support received.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Tati Sumiati
"Anak dengan Down Syndrome (DS) memiliki kemampuan delay of gratification yang rendah. Mereka mengalami kesulitan saat harus menunggu dan menunda kepuasan. Sementara kemampuan delay of gratification diperlukan agar dapat menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah tentang peran scaffolding dalam interaksi ibu-anak, kemampuan bahasa reseptif, atensi, working memory terhadap kemampuan delay of gratification anak dengan DS. Penelitian ini terdiri dari dua tahap penelitian dimana masing-masing tahap menggunakan rancangan penelitian explanatory sequential mixed methods. Penelitian kuantitatif tahap pertama bertujuan untuk membuktikan (1) korelasi waiting time saat anak menjalankan tugas delay dan kemampuan delay of gratification domain makanan, interaksi sosial, dan physical pleasure menurut persepsi ibu (2) hubungan dimensi dan tipe scaffolding dalam interaksi ibu-anak dan kemampuan delay of gratification. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan gambaran kemampuan delay of gratification anak dari ibu dengan skor scaffolding tinggi dan rendah saat bermain lego. Analisis data kuantitatif menggunakan uji korelasi Spearman Rho. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara waiting time saat anak menjalankan tugas delay dengan kemampuan delay of gratification domain makanan, interaksi sosial dan physical pleasure yang dipersepsi ibu. Dimensi scaffolding yang berkorelasi dengan waiting time anak adalah direction maintenance dan frustration control. Tipe scaffolding yang berkorelasi dengan waiting time adalah speech disertai gesture. Hasil penelitian kualitatif terhadap tiga orang ibu dengan skor scaffolding tinggi dan empat ibu dengan skor scaffolding rendah saat bermain lego menggambarkan bahwa ibu dengan skor scaffolding tinggi memiliki anak dengan waiting time yang lebih lama saat menjalankan tugas delay dibandingkan anak dari ibu dengan skor scaffolding rendah. Penelitian tahap kedua bertujuan untuk membuktikan (1) perbedaan waiting time saat bersama ibu, bersama ibu dan orang asing, bersama orang asing dan ketika anak berada sendirian (2) hubungan dimensi scaffolding dengan kemampuan delay of gratification (3) kesesuaian antara model dinamika hubungan antar variabel scaffolding dalam interaksi ibu-anak, kemampuan bahasa reseptif, atensi, working memory dan kemampuan delay of gratification dengan data (model fit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waiting time secara signifikan antara saat bersama ibu, bersama ibu dan orang asing, bersama orang asing dan saat anak berada sendirian. Dimensi scaffolding yang berkorelasi dengan kemampuan delay of gratification adalah direction maintenance, reduction in degrees of freedom, demonstration. Tipe scaffolding speech disertai gesture berkorelasi positif dengan kemampuan delay of gratification. Model teoritis yang diusulkan fit dengan data. Penelitian kualitatif tahap kedua menggambarkan bahwa ibu dengan skor scaffolding tinggi saat menjalankan tugas delay memiliki anak dengan waiting time yang lebih lama dibandingkan anak dari ibu dengan skor scaffolding rendah. Implikasinya adalah ibu disarankan memberikan scaffolding berupa direction maintenance, reduction in degrees of freedom, demonstration dan frustration control, yang diberikan melalui speech disertai gesture.

Children with Down Syndrome (DS) have a low delay of gratification ability. They have difficulty waiting and delaying gratification. Meanwhile, the delay of gratification capability is needed in order to adapt to environment demands. This study aims to examine the role of scaffolding in mother-child interactions, receptive language skills, attention, working memory and the delay of gratification ability of children with DS. This study consisted of two stages of research where each stage used an explanatory sequential mixed methods research design. The first stage of quantitative research aims to prove (1) the correlation of waiting time when children perform delay tasks and the ability of delay gratification in the food, social interaction, and physical pleasure domain according to mother's perception (2) the relationnship between dimensions and types of scaffolding in mother-child interactions and the delay of gratification ability. The qualitative research aims to get a description of the delay of gratification ability of children from mothers with high and low scaffolding scores when playing lego. Quantitative data analysis used the Spearman Rho correlation test. The results showed that there was no significant correlation between waiting time when the child performed a delay task with the delay of gratification ability in the food, social interactions and physical pleasure domain perceived by mothers. The scaffolding dimensions which correlate with children's waiting time are direction maintenance and frustration control. The type of scaffolding that correlates with waiting time is speech accompanied by gesture. The results of a qualitative study of three mothers with high scaffolding scores and four mothers with low scaffolding scores while playing lego illustrate that mothers with high scaffolding scores have children with a longer waiting time while carrying out delay tasks than mothers with low scaffolding scores. The second stage of research aims to prove (1) the difference in waiting time when with mother, with mother and strangers, with strangers and when the child is alone (2) the relationship between the scaffolding dimension and the delay of gratification ability (3) the suitability dynamic models of the relationship between scaffolding in mother-child interactions, receptive language skills, attention, working memory and delay of gratification ability with data (model fit). The results showed that there was a significant difference in waiting time between with the mother, with the mother and strangers, with strangers and when the child was alone. The dimensions of scaffolding that correlate with the delay of gratification ability are direction maintenance, reduction in degrees of freedom, demonstration. The type of scaffolding speech accompanied by gesture has a positive correlation with the ability to delay gratification. The proposed theoretical model is fit with the data. The second stage of qualitative research illustrates that mothers with high scaffolding scores while carrying out delay tasks have children with a longer waiting time than mothers with low scaffolding scores. The implication is that mothers are suggested to provide scaffolding in the form of direction maintenance, reduction in degrees of freedom, demonstration and frustration control, which is given through speech accompanied by gestures."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>