Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86626 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arleen N. Suryatenggara
"Infeksi yang disebabkan oleh methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) telah menyebabkan beban mortalitas dan morbiditas yang bermakna. Mengingat hal tersebut, sangat penting untuk dapat mendeteksi MRSA dengan cepat dan akurat. Saat ini deteksi MRSA dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode fenotipik dan genotipik. Pada penelitian ini, metode fenotipik dilakukan dengan uji kepekaan antibiotik menggunakan oksasilin dan sefoksitin, sementara metode genotipik dilakukan dengan polymerase chain reaction (PCR) gen nuc dan mecA. Gen nuc merupakan penanda genetik S. aureus, sedangkan gen mecA adalah gen yang mengkode penicillin-binding protein 2a (PBP2a). Protein ini memiliki afinitas rendah terhadap antibiotik β-laktam, sehingga menyebabkan resistensi terhadap antibiotik seperti metisilin, oksasilin, dan sefoksitin.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode fenotipik terhadap metode genotipik yang merupakan baku emas dalam mendeteksi MRSA. Sebanyak 136 isolat S. aureus diikutsertakan dalam penelitian ini. Dilakukan PCR untuk mengamplifikasi gen nuc dan mecA dengan hasil: 37 sampel terdeteksi sebagai MRSA (nuc+, mecA+), 96 sampel sebagai methicillinsensitive Staphylococcus aureus atau MSSA (nuc+, mecA-), and 3 sampel sebagai bukan S. aureus (nuc-). Persentase MRSA yang dideteksi dengan metode genotipik adalah sebesar 27,8%.
Deteksi MRSA dengan metode fenotipik dilakukan dengan uji kepekaan antibiotik menggunakan oksasilin dan sefoksitin. Tidak terdapat perbedaan hasil uji kepekaan antara kedua antibiotik tersebut. Secara keseluruhan, hasil deteksi MRSA dengan metode fenotipik konsisten dengan metode genotipik, dengan dideteksinya MRSA sebesar 27,8%. Hal tersebut mengartikan bahwa sensitivitas dan spesifisitas metode fenotipik terhadap metode genotipik adalah sebesar 100%.

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection has caused significant morbidity and mortality burden. Therefore, detecting MRSA accurately as early as possible is very important. There are two methods used in detecting MRSA, which are phenotypic and genotypic methods. In this study, phenotypic method was done by antibiotic susceptibility test using oxacillin and cefoxitin, while genytopic method was carried out by amplifying nuc and mecA gene with polymerase chain reaction (PCR). Nuc gene is a genetic marker for S. aureus, and mecA gene is responsible in the coding of penicillin-binding protein 2a (PBP2a). This protein has a low affinity to β-lactam antibiotics, thus causing antibiotic resistance to the antibiotics, such as methicillin, oxacillin, and cefoxitin.
This study was aimed to compare phenotycipic method to genotypic method as the gold standard, to detect MRSA. There were 136 S. aureus isolates included in this study. PCR to amplify nuc and mecA gene was conducted with the results of the following: 37 samples detected as MRSA (nuc+, mecA+), 96 samples as methicillin-sensitive Staphylococcus aureus or MSSA (nuc+, mecA-), and 3 samples as non-S. aureus (nuc-). The percentage of MRSA detected by genotypic method was 27,8%.
The detection of MRSA through the phenotypic method was done by antibiotic susceptibility test using oxacillin and cefoxitin. Susceptibility test between these antibiotics showed no difference in result. In general, the result of phenotypic method was consistent to the results from the genotypic method, by detecting 27,8% MRSA. Therefore, the sensitivity and specificity of phenotypic method compared to the genotypic method were 100%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Dany Petra Pranata
"Penyakit infeksi masih menjadi permasalahan mayor pada negara berkembang. Berdasarkan data WHO, setiap tahun penyakit infeksi membunuh 3,5 juta penduduk dunia terutama pada masyarakat berpendapatan rendah dan anak-anak. Antibiotik menjadi terapi utama untuk menangani masalah infeksi. Namun penggunaan yang irasional mengakibatkan munculnya strain bakteri yang tahan terhadap antibiotik tertentu. MRSA menjadi penyebab utama infeksi nosokomial. Saat ini pengobatan untuk infeksi MRSA bergantung kepada vankomisin.
Dibutuhkan terapi pendukung dan apabila memungkinkan menggantikan vankomisin dalam penanganan infeksi MRSA. Swietenia mahagoni diduga memiliki potensi dalam mengatasi infeksi terutama akibat bakteri. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri Swetenia mahagoni terhadap bakteri MRSA. Ekstrak Swietenia mahagoni didapatkan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Ekstrak kemudian dilarutkan menjadi 10 tabung dengan konsentrasi 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL. 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, dan 2,5 μg/mL. Kemudian, setiap tabung diujikan kepada bakteri MRSA secara in vitro dengan
metode dilusi.
Hasil penelitian, tidak ditemukan Konsentrasi Hambat Minimum dan Konsentrasi Bunuh Minimum dari ekstrak Swietenia mahagoni yang di uji. Hal ini dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, baik dari proses ekstraksi Swietenia mahagoni, konsentrasi ekstrak, ataupun proses persiapan bahan kultur bakteri

Infectious diseases remain major problems in developing countries. Based on data from WHO, infectious diseases kill 3.5 million people worldwide each year, especially in low-income communities and children. Antibiotics become the primary therapy to treat infectious diseases. However, irrational use of antibiotics leads to antimicrobial resistance among pathogenic bacteria. MRSA is a major cause of nosocomial infections. Currently the treatment for MRSA infections relies on vancomycin.
Supportive therapy is needed and preferrable to vancomycin in the treatment of MRSA infections. Swietenia mahagony was thought to have the potential to overcome bacterial infections. Therefore, this study was conducted to determine the antibacterial activity of Swietenia mahagony against MRSA. Swietenia mahagony extract is obtained from LIPI (Indonesian Institute of Sciences). Extract is then dissolved into 10 tubes with the highest concentration of 1280 μg/mL and the lowest concentration of 2.5 μg/mL. Then, each tube was tested for MRSA bacteria in vitro using dilution method.
The results showed that Minimum Inhibitory Concentration and Minimum Bactericidal Concentration of extracts of Swietenia mahagoni were not found. It might be caused by various factors, such as the extraction process of Swietenia mahagoni, the concentration of the extract, or the bacterial culture material preparation process.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erina Nindya Lestari
"Infeksi bakteri Methicillin-resistant Staphylococcus aureus MRSA merupakan salah satu masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi di Asia, khususnya Indonesia dengan kepadatan penduduk yang juga tinggi sehingga berpengaruh terhadap penyebaran penyakit infeksi ini. Hingga saat ini, vankomisin merupakan antibiotik yang dapat digunakan untuk menangani infeksi MRSA. Untuk itu, perlu dikembangkan alternatif antibiotik agar dapat mencegah peningkatan penyakit infeksi akibat MRSA. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak daun kayu ulin Eusideroxylon zwageri terhadap MRSA dengan melihat konsentrasi hambat minimum KHM dan konsentrasi bunuh minimum KBM.
Penelitian menggunakan metode makrodilusi ekstrak daun kayu ulin Eusideroxylon zwageri dan antibiotik vankomisin sebagai pembanding. Konsentrasi bakteri MRSA dalam penelitian ini sesuai dengan Mc Farland 0,5. Hasil penelitian menunjukkan terjadi kekeruhan pada tabung di setiap konsentrasi dan tumbuh koloni bakteri pada agar Mueller Hinton yang menunjukkan adanya bakteri MRSA. Oleh karena itu, dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun kayu ulin Eusideroxylon zwageri pada konsentrasi 1280 g/mL hingga 0,625 g/mL tidak memiliki aktivitas antibakteri terhadap MRSA.

Bacterial infection of Methicillin resistant Staphylococcus aureus MRSA is one of the health problem with high prevalence in Asia, especially Indonesia with high population density that influence the spread of this infectious disease. Until now, vancomycin is an antibiotic that can be used to treat MRSA infection. It is necessary to develop alternative antibiotic in order to prevent the increase of infection due to MRSA. This study was conducted to determine the antibacterial activity of ironwood Eusideroxylon zwageri leaf extract against MRSA to see the minimum inhibitory concentration MIC and the minimum bactericidal concentration MBC.
This research used macrodilution method with ironwood Eusideroxylon zwageri leaf extract and vancomycin as a comparison. Concentration of MRSA in this study based on Mc Farland 0,5. The results showed turbidity occured in tubes at each concentrations and bacterial colonies grown on Mueller Hinton Agar that indicate the presence of MRSA. Therefore, from this study we can conclude that the ironwood Eusideroxylon zwageri leaf extract at concentration of 1280 g mL until 0,625 g mL do not have antibacterial activity against MRSA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityo Shalahudin Putro
"Infeksi bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aurues merupakan salahsatu infeksi yang perlu diwaspadai seiring dengan prevalensinya yang semakin meningkat di kawasan Asia termasuk Indonesia. Alternatif antibiotik untuk infeksi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus perlu dikembangkan lebih lanjut sebagai usaha untuk munculnya resistensi terhadap antibiotik jenis lain. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek antimikrobial yang dimiliki ekstrak Calophyllum flavoramulum terhadap bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus berdasarkan kosentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM). Penelitian ini menggunakan uji in-vitro metode makro dilusi tabung dengan konsentrasi ekstrak Calophyllum flavoramulum sebesar 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, dan 2,5 μg/mL. Hasil penelitian tidak ditemukan konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM) Calophyllum flavoramulum terhadap methicillin-resistant Staphylococcus aureus pada konsentrasi 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, hingga konsentrasi 2,5 μg/mL.

Bacterial infection of Methicllin-Resistant Staphylococcus aureus is one of serious infection as the prevalence is increasing in Asia, including Indonesia. The alternative of antibiotic treatment should be developed to prevent another antibiotic resistance. The aim of this research is to determine antimicrobial activity of Calophyllum flavoramulum extract to Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus by the minimum inhibitory concentration (MIC) and minimum bactericidal concentration (MBC). This research used in-vitro broth macrodilution method with ten different concentrations of Calophyllum flavoramulum extract 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, dan 2,5 μg/mL. Result showed that Calophyllum flavoramulum extract has no minimum inhibitory concentration (MIC) and minimum bactericidal concentration (MBC) to Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus in ten different concentrations of Calophyllum flavoramulum extract 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, dan 2,5 μg/mL"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lupita Adina Reksodiputro
"Semakin tingginya kasus infeksi di dunia, menyebabkan semakin tingginya penggunaan antibiotik sebagai pengobatan. Peningkatan angka penggunaan antibotik bebas menyebabkan mikroba patogen mulai banyak yang mengalami resistensi, begitupun pada Staphylococcus aureus (S. aureus). S. aureus yang mengalami resistensi terhadap metisilin disebut Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), hal ini menyebabkan diperlukan antibiotik alternatif untuk mengatasi MRSA. Tujuan dari penelitian ini untuk menilai apakah terdapat efek antimikrobial dari ekstrak Calophyllum canum terhadap bakteri MRSA. Pada penelitian ini dilakukan uji eksperimental di Laboratorium Mikrobiologi FKUI dengan menggunakan teknik makro dilusi. Penelitian yang menggunakan sepuluh konsentrasi berbeda dari ekstrak Calophyllum canum, yaitu 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, dan 25 μg/mL. Ekstrak C. canum yang digunakan dibandingkan dengan kontrol antibiotik vankomisin dengan sepuluh konsentrasi, yaitu 128 μg/mL, 64 μg/mL, 32 μg/mL, 16 μg/mL, 8 μg/mL, 4 μg/mL, 2 μg/mL, 1 μg/mL, 0,5 μg/mL, dan 0,25 μg/mL. Hasil penelitian tidak ditemukan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dari Calophyllum canum terhadap bakteri MRSA di seluruh konsentrasi.

High prevalence of infections leads to massive abuse of antibiotic for medication. It results in higher number of pathogen reistance, including Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Therefore, another alternative treatment for infection of MRSA is needed. The aim of this study is to assess the antimicrobial effect of Calophyllum canum extract against Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). This experimental study was done in Laboratorium Mikrobiologi FKUI using macro dilution method. This study used ten different concentrations of C. canum extract; 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, 25 μg/mL and ten different concentrations of vancomycin as control; 128 μg/mL, 64 μg/mL, 32 μg/mL16 μg/mL, 8 μg/mL, 4 μg/mL, 2 μg/mL, 1 μg/mL, 0,5 μg/mL, 0,25 μg/mL. The result cannot be found Minimum Bactericidal Concentration (MBC) and Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of Calophyllum canum extract against Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindya Larasati
"Infeksi bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan masalah yang marak terjadi dalam pelayanan kesehatan Indonesia. Sejauh ini MRSA dapat diobati dengan antibiotik vankomisin, namun sangat perlu dilakukan pencarian antibiotik alternatif untuk mencegah adanya resistensi lagi. Shorea spp. adalah tumbuhan yang diketahui memiliki sifat antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, namun belum dilakukan penelitian mengenai efeknya terhadap bakteri MRSA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antibakteri ekstrak Shorea spp. terhadap MRSA. Uji dilakukan dengan metode makro dilusi tabung untuk mengetahui konsentrasi hambat minimum dan konsentrasi bunuh minimum ekstrak Shorea spp. dan vankomisin sebagai pembanding. Ekstrak Shorea spp. dipaparkan dengan suspensi bakteri MRSA pada sepuluh pengenceran makro dilusi dan diamati konsentrasi hambat minimumnya. Tabung yang dicurigai memiliki konsentrasi hambat minimum kemudian dikultur untuk mengetahui konsentrasi bunuh minimum. Hasil penelitian menunjukkan ditemukan kekeruhan dan pertumbuhan koloni bakteri pada setiap tabung mulai dari konsentrasi 1280 μg/mL hingga 2,5 μg/mL, sehingga tidak didapatkan adanya konsentrasi hambat minimum dan konsentrasi bunuh minimum ekstrak Shorea spp terhadap MRSA pada konsentrasi 1280 μg/mL hingga 2,5 μg/mL.

Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) infection is a problem that is rife in Indonesian healthcare services. In recent years, MRSA can be treated by vancomycin, an antibiotic used to treat serious bacterial infections, but it is necessary to search alternative antibiotics to prevent further resistance. Shorea spp. is a plant that is known to have antibacterial properties against Gram positive and Gram negative bacteria, but there has not been any research referring to its effect on MRSA. This study aims to evaluate the antibacterial effect of Shorea spp. extract compared to vancomycin. Tests were conducted with macro dilution method to determine the minimum inhibitory concentration and minimum bactericidal concentration of Shorea spp. extract with vancomycin as comparison. Shorea spp. extract were exposed to MRSA suspension in ten times serial dilution and the minimum inhibitory concentration were observed. Tubes suspected of having minimum inhibitory concentration were cultured to determine the minimum bactericidal concentration. The results showed that turbidity and growth occurs at each dilution with concentration ranged from 1280 μg/mL to 2,5 μg/mL. This study suggests that minimum inhibitory concentration and minimum bactericidal concentration of Shorea spp. extract are not found in the concentration ranged from 1280 μg/mL to 2,5 μg/mL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dela Ulfiarakhma
"Penyakit infeksi masih menjadi masalah terbesar di banyak negara, salah satunya infeksi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus MRSA . Meskipun vankomisin merupakan antibiotik standar dalam mengobati infeksi MRSA, terdapat kekhawatiran munculnya galur yang resisten terhadap vankomisin, sehingga diperlukan pengembangan antibiotik alternatif untuk pengobatan MRSA yaitu dengan ekstrak daun sukun Artocarpus communis yang telah terbukti memiliki efek antibakteri berdasarkan penelitian terdahulu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak daun A. communis terhadap MRSA.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental secara in vitro menggunakan metode makrodilusi. Uji aktivitas antibakteri ekstrak A. communis dilakukan dengan mencampurkan suspensi bakteri dan ekstrak kasar daun A. communis berkonsentrasi 1280 ?g/mL, 640 ?g/mL, 320 ?g/mL, 160 ?g/mL, 80 ?g/mL, 40 ?g/mL, 20 ?g/mL, 10 ?g/mL, 5 ?g/mL, 2,5 ?g/mL, 1,25 ?g/mL, dan 0,625 ?g/mL, kemudian diinkubasi pada suhu 37o C selama 24 jam. Uji diulang sebanyak dua kali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua tabung menghasilkan cairan yang keruh. Setelah larutan dari masing-masing tabung dikultur pada agar Mueller-Hinton, ditemukan pertumbuhan koloni bakteri pada seluruh agar. Dapat disimpulkan bahwa konsentrasi hambat minimum KHM dan konsentrasi bunuh minimum KBM ekstrak daun A. communis terhadap MRSA tidak ditemukan pada konsentrasi 1280 ?g/mL hingga 0,625 ?g/mL.

Infectious disease still remains a major problem in many countries, one of which is Methicillin resistant Staphylococcus aureus MRSA infection. Although vancomycin is used to treat MRSA infection, there is concern about vancomycin resistant strain. Thus, the development of new alternative antibiotic such as breadfruit Artocarpus communis leaf rsquo s extract, which has antibacterial effect according to previous researches, is needed for more effective MRSA treatment. This research aims to know the antibacterial activity of A. communis leaf rsquo s extract towards MRSA.
This in vivo experimental research uses macrodilution method which is performed by mixing bacterial suspension and A. communis leaf rsquo s crude extract with concentration of 1280 g mL, 640 g mL, 320 g mL, 160 g mL, 80 g mL, 40 g mL, 20 g mL, 10 g mL, 5 g mL, 2,5 g mL, 1,25 g mL, and 0,625 g mL, then incubated at temperature of 37o C for 24 hours.
The result shows that all tubes give cloudy solution. After all of concentration from each tubes is cultivated in Mueller Hinton agar, the growth of bacteria colony was found in all agar. In conclusion, minimum inhibitory concentration MIC and minimum bactericidal concentration MBC of A. communis leaf rsquo s extract towards MRSA cannot be obtained at the concentration range from 1280 g mL to 0,625 g mL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70343
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliati
"Methisillin Resistant Staplylococcus aureus (MRSA) adalah strain Staphylococcus aureus yang telah mengalami resisten terhadap antibiotika metisilin dan lainnya dalam 1 golongan. Mekanisme resistensi MRSA terjadi karena Sraphylococcus aureus menghasilkan Penicillin Binding Protein (PBP2a atau PBP2?) yang dikode oleh gen mecA yang memiliki afinitas rendah terhadap metisilin. Saat ini MRSA diuji dengan cara uji resistensi dengan cara Cakram Oxacillin 1 ug. Cara ini memerlukan isolat murni dan kultur bakteri, sehingga hasilnya baru bisa diketahui paling cepat 5 hari. Dalam upaya untuk mencari teknik diagnostik yang cepat dan tepat untuk mendeteksi MRSA, deteksi gen mecA dengan teknik PCR merupakan salah satu diagnostik alternatif.
Tujuan penelitian ini adalah mencari alternatif teknik diagnostik yang cepat dan tepat untuk pemeriksaan MRSA, dalam hal ini PCR. Pengujian dibagi dalam 2 tahap, yaitu : (1). Isolasi dan Identifikasi MRSA secara fenotipik, (2). Deteksi gen mecA pada isolat MRSA dengan teknik PCR yang terdiri dari: optimasi uji PCR untuk deteksi gen mecA, spesifisitas uji PCR, sensitifitas dan spesifisitas deteksi gen mecA sebagai uji diagnostik alternatif MRSA.
Hasil isolasi dan identifikasi secara fenotipik dari 114 isolat diperoleh MRSA sebanyak 76 isolat, dan MSSA sehesar 38 isolat. Berdasarkan hasil penelitian deteksi gen mecA pada isolat MRSA dengan teknik PCR diperoleh 75 isolat menunjukkan hasil positif terhadap gen mecA, sedangkan 1 isolat menunjukkan hasil negatif terhadap gen mecA, isolat tersebut adalah 1295/MUT yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik (LMK) FKUI.
Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil uji PCR gen mecA terhadap beberapa bakteri lain yaitu Staphylococcus epidermidis, Scitreus, B. subrilis, Streptococcus bera haemolyricus, E. coli, K. pneumoniae dan P. aeruginosa, ternyata S. epidermidis dan S.citreus menunjukkan hasil PCR positif terhadap gen mecA, sedangkan bakteri lain menunjukkan hasil negatif terhadap gen mecA. Hasil uji PCR gen mecA dibandingkan dengan baku emas pemeriksaan sensitivitas dan spesifisitas secara fenotipik terhadap isolat MRSA dan MSSA adalah 98,7% dan 100%, dan nilai Posistive Predictive Value (PPV)& Negative Predictive Value (NPV) adalah 100% & 97,4%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16236
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanun Qurrota A`yun
"Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan strain Staphylococcus aureus yang resistan antibiotik β-laktam. Penelitian deteksi MRSA dilakukan menggunakan metode PCR dengan amplifikasi gen nuc dan mecA. Sampel diambil dari usapan nasofaring 161 orang dewasa ≥50 tahun. Uji sensitivitas antibiotik juga dilakukan untuk mengetahui resistansi pada isolat MRSA. Fragmen DNA untuk gen nuc dan mecA terdeteksi dengan ukuran 255 bp dan 527 bp. Sebanyak 12 sampel (7,5%) dideteksi sebagai MRSA dan diketahui resistan terhadap antibiotik oxacillin dan cefoxitin dari golongan β-laktam. Variasi resistansi pada isolat MRSA terlihat pada antibiotik erythromycin, tetracycline, gentamicin, chloramphenicol dan trimethophim/sulfametoxazole. Hasil penelitian mengindikasikan kolonisasi MRSA dapat dideteksi dengan amplifikasi gen nuc dan mecA.

Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) is a strain of Staphylococcus aureus that is resistant to β lactame antibiotics. Detection of MRSA was conducted by amplification of nuc and mecA genes using PCR method. Samples were taken from nasopharyngeal swab from 161 adult ≥ 50 years old. Susceptibility test was also done by disc diffusion to determine resistance characteristic in MRSA isolates. DNA fragment for nuc and mecA genes was detected in 255 bp and 527 bp. About 12 MRSA isolates (7,5%) showed resistance toward oxacillin and cefoxitin which belong to β lactame antibiotics. There were variety of resistance in MRSA isolates to other antibiotics, such as erythromycin, tetracycline, gentamicin, chloramphenicol, and trimethophim/sulfametoxazole. The results indicate that amplification of nuc and mecA genes by PCR can be used for MRSA detection from nasopharyngeal swab."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S56009
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hiradipta Ardining
"ABSTRAK
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus MRSA merupakan strain S aureus yang resisten terhadap antibiotik golongan beta-laktam. Antibiotik yang efektif untuk mengobati MRSA adalah vankomisin, yang bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri. Namun, strain yang resisten terhadap vankomisin mulai bermunculan, sehingga dibutuhkan obat alternatif untuk melawan infeksi MRSA. Pada penelitian ini, diteliti aktivitas antibakteri ekstrak daun Samanea saman KHM dan KBM terhadap MRSA karena tanaman ini sering digunakan untuk pengobatan herbal dan sudah diteliti memiliki aktivitas antimikroba terhadap organisme tertentu. Penelitian ini menggunakan metode makrodilusi, dimana ekstrak daun Samanea saman pada konsentrasi 1280 g/mL, 640 g/mL, 320 g/mL, 160 g/mL, 80 g/mL, 40 g/mL, 20 g/mL, 10 g/mL, 5 g/mL, 2.5 g/mL, 1.25 g/mL, dan 0,625 g/mL, dicampur dengan suspensi MRSA 0,5 McFarland didalam tabung reaksi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun Samanea saman tidak memiliki KHM maupun KBM terhadap MRSA dalam rentang konsentrasi didalam percobaan ini.

ABSTRACT
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus MRSA is one of S aureus strain which is resistant to beta lactam antibiotics. The effective antibiotic towards MRSA is vancomycin, which works by inhibiting the synthesis of bacteria rsquo s cell wall. However, vancomycin resistant strain starts to emerge, thus an alternative drug to cure MRSA infection is needed. In this research, the antibacterial activity of Samanea saman rsquo s leaf crude extract was assessed because this plant is usually used for herbal treatment and has antimicrobial activity towards several organisms. This research used macrodilution method, in which Samanea saman rsquo s leaf crude extract with concentration of 1280 g mL, 640 g mL, 320 g mL, 160 g mL, 80 g mL, 40 g mL, 20 g mL, 10 g mL, 5 g mL, 2.5 g mL, 1.25 g mL, and 0,625 g mL, were mixed with 0,5 McFarland MRSA suspension in reaction tubes. From this research, it can be inferred that Samanea saman rsquo s crude leaf extract does not have MHC and MIC toward MRSA in the concentration range of this research."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70351
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>