Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27561 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nainggolan, Ita Margaretha
"Mutasi kodon 59 (GGCglisinGACaspartat) pada gen globin 2 (HBA2:c.179G>A) merupakan jenis mutasi titik yang paling sering ditemukan pada pasien talasemia-  di Indonesia. Homosigot mutasi ini menyebabkan kematian janin dan berpotensi untuk menjadi penyebab komplikasi yang serius pada ibunya, padahal masih terdapat dua gen globin-α1 yang masih utuh. Pembawa sifat mutasi kodon 59 (Cd59) termasuk pembawa sifat talasemia-α ringan (talasemia-+). Fakta ini menjadi dasar dari pertanyaan penelitian: mengapa homosigot mutasi Cd59 sangat berat dan dapat menyebabkan kondisi yang sangat fatal. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari mekanisme molekuler penyebab talasemia-α berat yang disebabkan mutasi Cd59 yang mencakup studi ekspresi gen, protein dan stres oksidatif. Hasil studi ekspresi gen membuktikan bahwa mutasi Cd59 ditranskripsi dan ekspresi alel mutan (59) ini hampir sama banyak dibandingkan ekspresi alel wild type (wt). Alpha Hemoglobin Stabilizing Protein (AHSP) binding study menunjukkan bahwa rantai globin-α59 masih dapat berikatan dengan protein pembawanya (chaperone) AHSP. Akan tetapi, berbagai metode berbasis proteomik dalam penelitian ini tidak dapat membuktikan adanya rantai globin-α59 dan Hb Adana (5922) pada hemolisat pasien talasemia- yang membawa mutasi Cd59 dan delesi satu gen globin- (59/-3,7). Uji kestabilan hemoglobin memperlihatkan hasil yang negatif tetapi badan inklusi terlihat dalam retikulosit pada hapusan darah dengan pewarnaan supravital. Semua ini mengindikasikan bahwa walaupun secara in vitro rantai globin-α59 masih dapat mengikat AHSP seperti halnya αwt, hasil studi protein yang ditunjang dengan studi in silico memperlihatkan kemungkinan besar α59 sangat tidak stabil sejak baru disintesis sehingga terpresipitasi dan tidak dapat membentuk tetramer Hb Adana. Hasil tersebut juga dibuktikan dengan peningkatan stres oksidatif akibat kadar malondialdehid (MDA) yang meningkat pada pasien talasemia- yang dipelajari dalam penelitian ini

Codon 59 mutation GGCglycineGACaspartate (HBA2:c.179G>A) on 2 globin gene is a common point mutation present in -thalassemia patients in Indonesia. Homozygous state of this mutation causes fetal death and potentialy caused the serious morbidity of the mother, although there are still two α1-globin genes intact. Carriers of codon 59 (Cd59) mutation are categorized as mild α-thalassemia trait (+-thalassemia). These facts formed the foundation of our research question: why homozygous Cd59 is so severe and can cause a very fatal condition. This research aims to study molecular mechanism of severe α-thalassemia due to Cd59 mutation that includes gene expression study, protein, and oxidative stress. Gene expression study proved that Cd59 mutation was transcribed and expression of this mutant (59) was similar to the wild type (wt). Alpha Hemoglobin Stabilizing Protein (AHSP) binding study showed that α59-globin chain can still bind its chaperone protein, AHSP. However, various proteomic based methods in this research could not proved the presence of either α59-globin chain and Hb Adana (5922) in hemolysate of -thalassemia patients carrying this Cd59 mutation and one globin gene deletion (59/-3,7). Hemoglobin stability test showed negative result but inclusion bodies were visible in reticulocytes using supravital staining blood smear. All of these indicated that despite α59-globin chain can still bind AHSP in vitro like the αwt, protein study supported by in silico study showed that α59-globin chain most probably very unstable eventhough it was synthesized and then immediately precipitated, so that it could not formed Hb Adana. These results were further proven by an increase in oxidative stress due to the rise of malondialdehyde (MDA) level in -thalassemia patients studied in this reseach."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Widyastuti
"Pendahuluan: Imatinib mesilat (IM) merupakan tirosin kinase inhibitor pertama yang disetujui untuk terapi LGK. Imatinib cukup efektif, tapi diperkirakan sekitar 20-30% pasien mengalami resistensi terhadap imatinib. Kurang lebih 40% resistensi terhadap imatinib berhubungan dengan mutasi pada domain kinase BCR-ABL. Mutasi yang paling umum terjadi dan paling berbahaya adalah mutasi T315I. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara mutasi T315I dan pencapaian major molecular response (MMR) pada pasien LGK. Penelitian ini juga memeriksa adanya mutasi lain yang letaknya berdekatan dengan mutasi T315I yaitu F311I dan F317L.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian potong lintang (cross-sectional). Pada penelitian ini, sebesar 120 sampel darah dianalisis dari pasien LGK pada fase kronik yang mendapat imatinib mesilat selama ≥12 bulan. Dilakukan sekuensing dengan metode Sanger untuk mendeteksi adanya mutasi T315I, F311I, dan F317L.
Hasil: Tidak terdapat mutasi T315I, F311I, dan F317L yang ditemukan pada penelitian ini. Akan tetapi didapat adanya 36 substitusi dari A ke G pada posisi 163816 (posisi intron).
Kesimpulan: Tidak terdapat mutasi T315I, F311I, dan F317L yang ditemukan pada penelitian ini. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi pencapaian MMR pada penelitian ini
Kata Kunci: imatinib, BCR-ABL, T315I, F311I, leukemia granuloitik kronik

Background: Imatinib mesylat (IM) is the first tyrosine kinase inhibitor (TKI) that is approved for CML therapy. Imatinib is effective enough, but it is predicted that 20-30% patients  develop resistance to imatinib. Approximately, 40% of imatinib resistance is associated with BCR-ABL kinase domain mutation. The most common and dangerous mutation is T315I. This study aims to examine the association of  T315I mutation and major molecular response (MMR) achievement in CML patients. This study also examine other mutations adjacent to T315I, i.e F311I and F317L.
Methods: This is a cross-sectional study. In this study, we analyze 120 blood samples (whole blood) from CML patients in chronic phase who have received imatinib mesylate (IM) for ≥12 months.
Results: There is no T315I, F311I, dan F317L mutation found in this study. However we found   36 substitutions from A to G in position 163.816 (according to NG_012034.1)
Conclusions: There is no T315I, F311I, and F317L mutations found in this study. It suggests that there are other factors that influence the MMR achievement in our patients.
Keyword: imatinib, BCR-ABL, T315I, F311I, chronic myeloid leukemia"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Widyasari Oswari
"ABSTRAK
Deteksi mutasi sangat penting dilakukan terutama untuk diagnosis pranatal maupun staining neonatal. Dengan pemeriksaan DNA, kasus-kasus HAK dapat dideteksi sebelum gejala salt wasting, muntah, dan dehidrasi muncul sehingga dapat mengurangi morbiditas bahkan mortalitas yang mungkin terjadi. Pada kasus kehamilan yang dicurigai HAK, diagnosis HAK pranatal memungkinkan terapi sedini mungkin untuk mencegah virilisasi pranatal sehingga genitalia ambigus tidak terjadi dan operasi serta beban psikologis akibat kebingungan gender dapat dihindari. Sebaliknya bila HAK dapat disingkirkan maka terapi yang tidak perlu seperti pemberian deksametason pranatal juga dapat dihindari. Pengetahuan mengenai mutasi-mutasi tersering dalam populasi akan mempermudah deteksi mutasi pada kasus-kasus HAK Baru, mempercepat penegakan diagnosis dan menyingkirkan keraguan diagnosis.
Rumusan Masalah
1. Berapa proporsi tipe klasik (tipe SW dan SV) dan non klasik (NK) pada HAK karena karena defisiensi enzim 21-hidroksilase di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM?
2. Berapa frekuensi delesi/large gene conversion, mutasi I172N, I2 splice, dan R356W pada kasus-kasus HAK-21 hidroksilase dan apakah mutasi-mutasi tersebut seragam dengan yang dilaporkan di Asia?
3. Apakah terdapat konsistensi kesesuaian antara fenotip dan genotip pada kasuskasus HAK tersebut?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Mengetahui proporsi tipe klasik (tipe SW dan SV) dan non Wasik, pola mutasi dan konsistensi hubungan antara fenotip dan genotip pada kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim defisiensi 21-hidroksilase di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM.
Tujuan Khusus
a. Memperoleh data karakteristik HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase antara lain perbandingan jenis kelamin, penentuan gender, suku, konsanguinitas, usia gestasi, berat lahir, kematian saudara kandung, kejadian HAK pada saudara kandung, dan riwayat infertilitas pada keluarga.
b. Memperoleh data fenotip kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase (proporsi tipe klasik dan non kiasik kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dan derajat virilisasi genital).
c. Memperoleh data mengenai pola mutasi kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dengan acuan mutasi-mutasi yang sering ditemukan di wilayah Asia (delesi/large gene conversion, mutasi I172N, 12 splice, dan R356W).
d. Memperoleh data/bukti kesesuaian fenotip dan geno tip (mutasi) pasien HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dan membandingkannya dengan penelitian-penelitian lain.
"
2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliana
"Salah satu strategi eliminasi infeksi Soil transmitted Helminth (STH) adalah pemberian antelmintik seperti albendazol secara massal. Tetapi penggunaan antelmintik secara luas dalam jangka waktu lama dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya terjadi penurunan efikasi obat. Salah satu faktor yang bisa menyebabkan penurunan efikasinya adalah single nucleotide polymorphism (SNP) kodon 200 gen beta tubulin cacing.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui susunan basa kodon 200 pada A. lumbricoides dan T. trichiura yang bisa menyebabkan adanya perbedaan efikasi albendazol. DNA dari telur dan jaringan cacing diisolasi, diamplifikasi dengan PCR kemudian dilakukan proses sekuensing. Setelah itu pada hasil sekuensing dilakukan alignment dengan sekuens referensi untuk mengetahui susunan basa pada kodon 200 gen beta tubulin. Hasilnya pada dua cacing A. lumbricoides dan satu cacing T. trichiura didapatkan susunan basa TTC pada kodon 200.

One of the Soil transmitted Helminth (STH) infection elimination strategy is mass administration of anthelmintic such as albendazol. But the anthelmintic widespread use in a long term can cause decrease in efficacy. One of the factor that can cause decrease in efficacy is single nucleotide polymorphism (SNP) codon 200 beta tubulin gene of the worm.
This study aimed to determine codon 200 in A. lumbricoides and T. trichiura that can cause a difference in albendazol efficacy. DNA from worm eggs and tissue were isolated, amplificated by PCR and sequenced. Sequencing result were also aligned with the reference sequence to get the bases in codon 200 beta tubulin gene. The bases on codon 200 beta tubulin gene from two A. lumbricoides and one T. trichiura is TTC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roselina Panghiyangani
"Pendahuluan: Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan masalah reproduksi yang sering terjadi pada perempuan usia reproduksi, namun hingga saat ini etiopatogenesis SOPK masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan menganalisis peran sel granulosa folikel ovarium dalam etiologi SOPK, keterkaitan genotip FSHR Asn680Ser dengan patogenesis SOPK dan peran gen CYP19A1(aromatase) dalam patogenesis SOPK.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional berbentuk studi seran lintang (cross sectional study) dan dilakukan di Departemen Biologi FKUI, Klinik Yasmin-RSCM Kencana dan Laboratorium terpadu FKUI pada tahun 2011-2014. Sebanyak 142 subyek penelitian (66 pasien SOPK dan 76 pasien bukan SOPK) terlibat dalam penelitian ini. Sampel penelitian berupa darah tepi dan cairan folikel ovarium yang diaspirasi ketika proses ovum pick up sebagai sumber sel granulosa. Dilakukan isolasi DNA untuk analisis RFLP polimorfisme FSHR Asn680Ser, dilakukan kultur sel granulosa untuk mengetahui kemampuan proliferasi sel granulosa dan analisis ekspresi mRNA aromatase sel granulosa dengan metode RT-qPCR.
Hasil: Indeks proliferasi sel dan ekspresi mRNA aromatase sel granulosa pada kelompok SOPK lebih rendah secara bermakna dibandingkan bukan SOPK (p<0,05). Tidak ditemukan perbedaan bermakna distribusi genotip FSHR Asn680Ser antara kelompok SOPK dan bukan SOPK (p>0,05), tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar hormon FSH basal berdasarkan variasi genotip FSHR Asn680Ser pada kelompok SOPK dan bukan SOPK (p>0,05). Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna indeks proliferasi sel granulosa berdasarkan variasi genotip FSHR Asn680Ser baik pada kelompok SOPK maupun bukan SOPK (p>0,05). Tidak terdapat korelasi antara indeks proliferasi sel granulosa dengan ekspresi mRNA aromatase (p>0,05).
Kesimpulan: Indeks proliferasi sel dan tingkat ekspresi mRNA aromatase sel granulosa kelompok SOPK menurun dibandingkan kelompok bukan SOPK. Genotip FSHR Asn680Ser tidak menentukan kerentanan individu untuk menderita SOPK. Kadar hormon FSH basal dan indeks proliferasi sel granulosa tidak berbeda antara kelompok SOPK dan bukan SOPK berdasarkan variasi genotip FSHR Asn680Ser. Tidak ada korelasi antara indeks proliferasi sel dengan ekspresi mRNA aromatase sel granulosa pada penelitian ini.

Introduction: Polycystic ovary syndrome (PCOS) is a common reproductive problem in women at reproductive age, but until now aetiopathogenesis of PCOS has not been fully understood. The objective of this study was to analyse interrelationship between proliferation of ovarian follicular granulosa cells, CYP19A1 expression and polymorphism at codon 680 of FSHR towards the etiology of PCOS.
Methods: Observational analytic in the form of cross-sectional study was used in this research. The study was carried out between 2011-2014 at the Department of Biology, Integrated laboratory of Faculty of Medicine University of Indonesia and Yasmin clinic at the Cipto Mangunkusumo Hospital. A total of 142 subjects (66 patients with PCOS and 76 patients without PCOS) were involved in this study. Granulosa cells for culture were obtained from ovarian follicular fluid and total RNA was isolated from the cells. DNA samples were extracted from peripheral blood. Granulosa cell proliferation index was determined by counting under a phase-contrast microscope. CYP19A1 expression was measured by qRT-PCR, whereas polymorphism at Asn680Ser FSHR was performed by RFLP.
Result: Cell proliferation index and CYP19A1 mRNA expression levels in the granulosa cells of the PCOS group was significantly lower than non-PCOS (p < 0.05). There was no significant difference found in Asn680Ser FSHR genotype distribution between PCOS and non-PCOS group (p > 0.05). Based on Asn680Ser FSHR genotype variation, no significant difference was found between basal FSH hormone levels in the PCOS and non- PCOS group (p > 0.05) and FSHR genotype variation did not correlate with granulosa cell proliferation index between PCOS and non-PCOS group (p > 0.05). Moreover, there was no correlation between the granulosa cell proliferation index with aromatase mRNA expression levels (p > 0.05).
Conclusion: Cell proliferation index and CYPA1 expression of granulosa cells in PCOS group were lower compared to the non PCOS group although no correlation was found between the two parameters. Asn680Ser FSHR genotype did not correlate with individual susceptibility to PCOS. FSHR genotype variation did not correlate with basal FSH levels and granulosa cell proliferation index between PCOS and non-PCOS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maimunah
"COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 atau SARS-CoV-2. Penyakit ini telah menjadi pandemi sejak Desember 2019 dan menyebabkan dampak yang besar bagi kehidupan manusia. Meskipun saat ini kasus penyakit sudah mulai menurun, penyakit ini tetap menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan manajemen jangka panjang salah satunya dengan penggunaan terapi anti-virus yang potensial. Papain-like-protease (PLpro) adalah salah satu protease pada SARS-CoV-2 yang memiliki dua peran penting dalam siklus hidup virus sehingga inhibisi pada protein ini dapat menjadi agen terapi yang potensial. Proses penemuan agen terapeutik ini membutuhkan sejumlah protein yang soluble dan murni. Salah satu cara untuk mendapatkan protein adalah teknologi rekombinan dengan menyisipkan gen PLpro ke dalam bakteri. Agar proses tersebut dapat berlangsung secara efektif dan efisien, proses ekspresi harus dilakukan pada kondisi yang optimal diikuti dengan modifikasi sistem ekspresi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ekspresi pET21d(+)-PLpro pada Escherichia coli BL21(DE3) antara kodon yang dioptimasi dan tanpa optimasi serta mengetahui kondisi yang optimal saat proses ekspresi protein. Proses diawali dengan memperbanyak plasmid, verifikasi plasmid, dan transformasi ke E. coli BL21(DE3). Ekspresi PLpro dilakukan pada beberapa parameter dengan hasil yang optimal pada suhu inkubasi 19°C, induksi IPTG 0,1 mM selama 18 jam inkubasi. Hasil proses purifikasi PLpro sebesar 0,466 mg/mL (optimized) dan 0,738 mg/mL (non-optimized). Berdasarkan hasil pengamatan SDS-PAGE dan Western-Blot, masalah yang ada pada PLpro tanpa optimasi kodon, seperti leaky expresion, degradasi protein, jumlah protein yang tidak konsisten, dan ekspresi insoluble protein yang berlebihan dapat diatasi dengan proses optimasi kodon.

COVID-19 was a disease caused by the severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 or SARS-CoV-2. This disease has become a pandemic since December 2019 and had a major impact on human life. Although cases have started to decrease, this disease remains a public health problem. Therefore, long-term management was needed, one of which was the use of potential anti-viral therapy. Papain-like protease (PLpro) was one of the proteases in SARS-CoV-2 and has two crucial roles in the viral life cycle, so inhibition of this protein can be a potential therapeutic agent. The process of discovering these therapeutic agents required a large amount of pure, soluble protein. One way to obtain this was through recombinant technology, which involves inserting the PLpro gene into bacteria. For the process to take place effectively and efficiently, the expression must be carried out under optimal conditions, followed by a modification of the expression system. This study aimed to compare the expression of pET21d(+)-PLpro in Escherichia coli BL21(DE3) between optimized and non-optimized codons and to determine the optimal conditions during the protein expression process. It begins with plasmid amplification, verification, and transformation to E. coli BL21(DE3). PLpro expression was carried out on several parameters with optimal results at an incubation temperature of 19°C and 0.1 mM IPTG induction for 18 hours of incubation. The results of the PLpro purification were 0.466 mg/mL (optimized) and 0.738 mg/mL (non-optimized). Based on the result in SDS-PAGE and Western-Blot observations, problems that exist in PLpro without codon optimization, such as leaky expression, protein degradation, inconsistent amounts of protein, and excessive expression of insoluble protein, can be overcome by codon optimization."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melya Puspitasari
"Tuberkulosis merupakan penyakit yang masih menjadi masalah utama kesehatan bagi masyarakat di Indonesia. Berdasarkan Global TB Report 2021, Asia Tenggara merupakan wilayah dengan beban Tb paling tinggi dan Indonesia menyumbang sekitar 8% dari keseluruhan beban Tb didunia. Namun pasien Tb yang berhasil ditemukan, diobati dan dilaporkan kedalam sistem informasi nasional hanya sekitar 48%. Tb yang resisten terhadap obat terus menjadi ancaman kesehatan manusia. Resistensi terhadap obat anti tuberkulosis bisa terjadi akibat infeksi primer dengan bakteri Tb resisten atau bisa disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat, sehingga muncul strain yang resisten akibat adanya perubahan atau mutasi pada gen-gen tertentu dalam genom Mycobacterium tuberculosis. Saat ini sudah banyak teknologi dan metode yang digunakan untuk mendeteksi resistensi terhadap obat anti tuberculosis. Salah satunya adalah Next Generation Sequencing. Next Generation Sequencing merupakan teknologi sekuensing akurat, hemat biaya dan throughput tinggi yang memungkinkan penyelidikan genom termasuk Whole Genome Sequencing untuk studi epidemiologi dan untuk mendeteksi penanda resistensi obat dan keragaman strain. Analisis Whole Genome Sequencing dapat digunakan untuk mendeteksi resistensi terhadap obat anti tuberkulosis lini pertama y a n g sangat menjanjikan sebagai pengganti uji kepekaan obat konvensional. Hasil dari analisis Whole Genome Sequencing pada Mycobacterium tuberculosis yang resisten rifampisin menunjukkan adanya mutasi-mutasi yang ada pada wilayah operon Rpo terutama pada gen RpoB dan RpoC. Mutasi yang paling dominan pada gen RpoB adalah perubahan S450L (36,45%) dan pada gen RpoC adalah G594E (30,95%). Dan analisis whole genome sequencing juga menunjukkan adanya mutasi baru yang berbeda dengan mutasi-mutasi yang ada berdasarkan penelitian sebelumnya.

Tuberculosis is a disease that is still a major health problem for people in Indonesia. Based on the Global TB Report 2021, Southeast Asia is the region with the highest burden of TB and Indonesia produces around 8% of the total burden of TB in the world. However, only about 48% of TB patients who have been found, treated and reported to the national information system. Drugresistant TB continues to be a threat to human health. Resistance to anti-tuberculosis drugs can occur as a result of primary infection with resistant TB bacteria or can be caused by inadequate treatment, resulting in the emergence of resistant strains due to the presence or mutations in certain genes in the genome of Mycobacterium tuberculosis. Currently there are many technologies and methods used to detect resistance to anti-tuberculosis drugs. One of them is Next Generation Sequencing. Next Generation Sequencing is an accurate, cost-effective and highthroughput sequencing technology that enables genomic investigations including Whole Genome Sequencing to study epidemiology and to detect markers of drug resistance and strain diversity. Whole Genome Sequencing analysis can be used to detect resistance to first-line anti-tuberculosis drugs which are very promising as a substitute for conventional drug sensitivity tests. The results of Whole Genome Sequencing analysis on rifampicin-resistant Mycobacterium tuberculosis showed that there were mutations in the Rpo operon region, especially in the RpoB and RpoC genes. The most dominant mutation in the RpoB gene was the change in S450L (36.45%) and in the RpoC gene was G594E (30.95%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanod, Veronica Patricia
"Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Munculnya bakteri M.leprae yang resisten terhadap antibiotik semakin menyulitkan terapi. Diperlukan pemeriksaan untuk mendeteksi bakteri resisten agar penatalaksanaan penyakit kusta menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan uji genotipik untuk mengetahui resistensi M.leprae terhadap dapson, rifampisin, dan ofloksasin. Real time PCR dilakukan sebagai persyaratan analisis uji genotipik. Primer nested PCR dan sekuensing dirancang dengan Primer Designer software. Kondisi reaksi PCR yang dioptimasi yaitu suhu penempelan primer, volume cetakan DNA, dan jumlah siklus amplifikasi.
Hasil optimasi kemudian diterapkan pada spesimen kerokan jaringan kulit. Uji genotipik yang dikembangkan di penelitian ini dapat diterapkan pada spesimen kerokan jaringan kulit dengan nilai Ct real time PCR kurang dari 30. Suhu penempelan primer, volume cetakan DNA, dan jumlah siklus amplifikasi yang optimal yaitu 56 C PCR I dan II , 15 l cetakan DNA dalam volume reaksi 50 l PCR I dan 2 l cetakan DNA dalam volume reaksi 40 l PCR II , dan jumlah siklus amplifikasi PCR 40 PCR I dan 35 PCR II . Uji yang dioptimasi dapat menunjukkan genotipik 17 M.leprae dengan hasil 100 sensitif terhadap dapson dan rifampisin dan 5,9 resisten ofloksasin. PCR-direct sequencing pada penelitian ini dapat digunakan untuk mendeteksi resisten obat kusta dapson, rifampisin, dan ofloksasin.

Leprosy is a chronic infectious disease caused by Mycobacterium leprae and considered as health problem. Treatment of leprosy tends to complicated because of emergences of resistant M. leprae strains. Therefore, it is essential to have a test that can detect drug resistance M.leprae for better management of this disease. The aim of this study is to obtain a genotyping assay for detection of M.leprae resistant to dapsone, rifampicin, and ofloxacin. Real time PCR was performed for specimen requirement for genotyping analysis. Primers for nested PCR and DNA sequencing were designed by Primer Designer software and reaction condition of PCR was optimized including annealing temperature of primers, volume of DNA template, and number of thermal cycle.
The optimized nested PCR and DNA sequencing were applied for skin scrapings specimen. Genotyping assay developed in this study was applicable for skin scrap samples with real time PCR result of Ct less than 30. The optimal annealing temperature of primers, volume of DNA template, and number of thermal cycle were 56 C PCR I and II , 15 l DNA template in 50 l reaction PCR I and 2 l DNA template of 40 l reaction PCR II , and 40 PCR I and 35 PCR II thermal cycles, respectively. The optimized assay could genotype 17 M.leprae strains with 100 sensitive for dapsone and rifampicin and 5,9 resistant for ofloxacin. PCR direct sequencing in this study can be used to detect leprosy drug resistance dapsone, rifampicin, dan ofloxacin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gintang Prayogi
"Kanker kolorektal adalah penyakit neoplasma ganas yang tumbuh dan berkembang pada saluran usus besar dan atau rektum. Terapi anti EGFR menggunakan agen biologis antibodi monoklonal cetuximab dan panitumumab diketahui memberikan tingkat penyembuhan yang baik pada pasien kanker kolorektal. Pasien dengan mutasi pada gen NRAS dan KRAS cenderung resisten terhadap terapi anti EGFR, sehingga penting dilakukan pemeriksaan kedua gen tersebut sebelum pemberian terapi. Pemeriksaan gen NRAS belum tersedia di Indonesia karena minimnya data mengenai mutasi gen tersebut pada populasi Indonesia. Penelitian dilakukan untuk mengetahui profil mutasi pasien gen NRAS pada 58 sampel pasien kanker kolorektal di Jakarta. Pemeriksaan mutasi dilakukan pada exon 2(codon 12 & 13) dan exon 3 (codon 61) gen NRAS menggunakan metode sekuensing. Analisis elektroferogram sekuensing menunjukan mutasi gen NRAS ditemukan pada 6,9% (n=58) sampel uji. Hasil uji statistik fischer exact test dua arah menunjukan tidak adanya asosiasi mutasi gen dengan kelompok usia pasien dan jenis kelamin. Gen NRAS ditemukan termutasi pada codon 12 (1,7 %) dan codon 61 (5.2%). Tidak ditemukan adanya mutasi pada codon 13 gen NRAS.

Colorectal cancer is a neoplasm disease that arise in inner lining of colon or rectum. Anti EGFR therapy such as cetuximab and panitumumab were widely used to suppress metastases colorectal cancer in patient and decided as gold standard therapy. Mutation either KRAS or NRAS gene will reduced effectifity of anti EGFR therapy, hence genotyping of KRAS and NRAS gene must be executed before. NRAS genotyping test not yet available in Indonesia due to lack of information about this gene. This study was subjected to understanding profile of NRAS gene mutation in Jakartans colorectal cancer patient. Mutation screening was perform by sequencing method, notably exon 2 (codon 12&13) and exon 3 (codon 61). Electropherograms analysis shows that NRAS mutation found in 6,9% samples (n=58). NRAS mutation found in codon 12 (1,7%), codon 61 (5,2%), and there was no mutation found in codon 13. Fischer exact test statistical analysis summarized that there was no significant association of NRAS mutation with both sex and age."
Universitas Indonesia, 2014
S55386
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilda Fadila
"Latar belakang : Asosiasi Gastroenterologi Indonesia melaporkan bahwa infeksi H. pylori di Indonesia telah mencapai 22,1% dari pasien dengan gejala dispepsia. Salah satu masalah dalam pengobatan infeksi H.pylori yaitu terdapatnya resistensi H.pylori terhadap antibiotik. Metronidazol telah dilaporkan menunjukkan resistensi terbesar 46,7% di Indonesia, dan sampai saat ini metronidazol masih digunakan sebagai terapi lini pertama. Peneliti sebelumnya telah melaporkan bahwa terdapatnya mutasi gen rdxA H. pylori dapat digunakan sebagai penanda resistensi metronidazol. Bentuk kokoid dari H. pylori sulit dideteksi oleh biakan. Alternatif uji lain yaitu menggunakan uji biologi molekuler yaitu deteksi mutasi menggunakan uji PCR diikuti dengan sekuensing DNA. Tujuan : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru tentang pengembangan uji resistensi H. pylori, menambah literatur sekuens unik gen rdxA H.pylori dan untuk menentukan mutasi gen rdxA H. pylori yang diprediksi berperan dalam resistensi H. pylori terhadap metronidazol. Metode : Penelitian ini bersifat eksploratif menggunakan 34 sampel blok parafin biopsi lambung yang telah dikonfirmasi mengandung DNA H.pylori pada uji real time PCR. Penelitian ini menggunakan uji nested PCR dan diikuti uji sekuensing DNA, kemudian dilanjutkan analisis bioinformatika yang terdiri dari analisis perubahan asam amino, homologi, filogenetik, konformasi protein dan penambatan molekuler (docking). Hasil : Berdasarkan hasil penelitian, dijumpai terdapatnya mutasi pada gen rdxA akibat insersi dua asam amino, substitusi, frameshift, dan ditemukan premature stop codon. Hasil analisis docking menunjukkan bahwa senyawa metronidazol kurang efektif terhadap H.pylori yang memiliki mutasi insersi dua asam amino, sedangkan H.pylori yang memiliki mutasi substitusi (tanpa insersi) menunjukkan afinitas yang lemah antara metronidazol dan gen rdxA H.pylori. Kesimpulan : Metode molekuler dapat menjadi uji alternatif untuk menguji resistensi H. pylori terhadap antibiotik. Telah ditemukannya sekuens unik berupa insersi dua asam amino yang belum ditemukan pada literatur lain, dapat menambah ilmu pengetahuan bagi para ilmuwan dibidang sains kedokteran. Keberadaan gen rdxA H.pylori yang bermutasi telah dibuktikan dapat menyebabkan resistensi terhadap metronidazol melalui analisa docking.

Background : The Indonesian Gastroenterology Association reports that H. pylori infections has reached 22.1% of patients with dyspeptic symptoms in Indonesia. One of the problems in the prevention and treatment of H. pylori infection is H. pylori resistance to some antibiotics as first-line therapy. Metronidazole has been reported to show the greatest resistance of 46.7% in Indonesia, and to date metronidazole is still used as first-line therapy. The presence of rdxA gene mutations in H. pylori isolates can be used as a marker of metronidazole resistance. The cocoid form of H. pylori is difficult to detect by culture. Another alternative test is to use molecular biology tests, namely the detection of mutations using the PCR test followed by DNA sequencing. Aim : This research is expected to provide new information about the development of H. pylori resistance tests, add to the unique sequences H.pylori rdxA gene literatur and to determine the H. pylori rdxA gene mutation plays a role in H. pylori resistance to metronidazole. Methods : This explorative study used 34 samples of gastric biopsy paraffin blocks that were confirmed that were confirmed to contain H. pylori DNA Indonesian strain in a real time PCR test. The sample was analyzed using a nested PCR test and followed by DNA sequencing test, and bioinformatics analysis consisting of amino acid changes, homology, phylogenetics, protein conformation and molecular docking. Result : In this study, the results showed that mutations were found in the rdxA gene sequence due to the insertion of two amino acids, substitution, frameshift, and found premature stop codon. The results of the docking analysis showed that the metronidazole compound was less effective against H. pylori which had insertion of two amino acids, whereas H. pylori which had substitution (without insertion) showed a weak affinity between metronidazole and the rdxA gene. Conclusion : Molecular method can be an alternative to test H. pylori resistance to antibiotics. The discovery of a unique sequence in the form of the insertion of two amino acids that have not been found in other literature, can increase knowledge for scientists in the field of medical science. The presence of the mutated H. pylori rdxA gene has been shown to cause resistance to metronidazole through docking analysis. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>