Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124607 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mulya Juarsa
"Kejadian kecelakaan parah pada PLTN telah menjadi momentum penelitian perpindahan panas pendidihan pada celah sempit yang terbentuk antara dinding bejana reaktor dan debris, sehingga penelitian sejenis akan memperkuat manajemen termal guna mengantisipasi parahnya kecelakaan PLTN. Penelitian perpindahan panas pada celah anulus dan rektangular sempit telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti, namun kompleksitas parameter termohidrolika yang muncul dalam proses pendinginan melalui aliran dua fasa yang melibatkan proses pendidihan pada celah sempit masih menyebabkan perbedaan antara korelasi-korelasi yang telah dikemukakan oleh beberapa peneliti. Dalam kaitan ini, pengaruh berbagai parameter masih menjadi bahasan penting, khususnya melalui simulasi eksperimental.
Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan dua bagian uji HeaTiNG-01 (celah anulus) dan HeaTiNG-02 (celah rektangular) dan semua dilakukan pada posisi vertikal. Eksperimental perpindahan kalor pendidihan di celah anulus sempit menampilkan parameter ukuran celah 1 mm, dan variasi temperatur awal batang panas 150oC, 250oC, 350oC, 450oC, 550oC, dan 650oC, serta variasi temperatur air pendingin 75oC, 85oC dan 95oC menggunakan 9 titik termokopel. Eksperimental perpindahan kalor pendidihan di celah rektangular sempit menampilkan parameter ukuran celah dengan variasi 1 mm, 2 mm dan 3 mm. Sedangkan temperatur awal pelat utama mencapai 600oC menggunakan 6 titik termokopel.
Hasil penelitian pada kedua celah menunjukkan adanya kehadiran rejim didih yang terdiri dari didih film, didih transisi dan didih inti. Kecepatan rewetting dapat diperkirakan dan dipengaruhi oleh ukuran celah dan temperatur awal batang panas dan temperatur pendinginan untuk kasus anulus. Korelasi kecepatan rewetting untuk celah anulus sempit telah diperoleh. Korelasi kecepatan rewetting pada celah rektangular sempit telah diperoleh. Nilai CHF pada celah rektangular sempit meningkat sekitar 29,12 % dibandingkan dengan CHF pada celah berukuran 1 mm, namun mengalami kenaikan sekitar 77,30 % untuk ukuran celah 3 mm. Sedangkan CHF pada celah anulus sempit untuk temperatur pendingin 850C dan 950C nilainya berdekatan. CHF maksimum temperatur 750C adalah 230 kW/m2, sedangkan CHF maksimum temperatur 95oC kW adalah 282 kW/m2. Korelasi non-dimensional untuk CHF dan fluks aliran massa telah diperoleh dengan dimodifikasi korelasi Mishima berdasarkan eksperimen. Untuk kasus perpindahan kalor pendidihan di celah rektangular dengan gradien 0,22 dari gradient korelasi Mishima.

A severe accident in nuclear power plants become a momentum research at boiling heat transfer in narrow channel which was formed between the wall of the reactor vessel and debris, so that similar studies will cultivate the thermal management in order to anticipate the severity of the nuclear plant accident. The study of heat transfer in the annulus and the rectangular narrow channel has been studied by several researchers, but the complexity of thermal hydraulics parameters that appear during cooling process through twophase flow which involving boiling process in narrow channel is still cause the differences between the correlations that have been proposed by several researchers. In this regard, the influence of various parameters remains a critical discussion, particularly through experimental simulations.
The study was carried out experimentally using a two test section which called HeaTiNG-01 (for annulus channel) and HeaTiNG-02 (for rectangular channel). The position of test section was intalled in a vertical position. The experimental of boiling heat transfer in a narrow channels annulus presented the parameters with channel size of 1 mm, and initial temperature of hot rods of 150oC, 250oC, 350oC, 450oC, 550oC, and 650oC. Also using cooling water with temperature temperature of 75oC, 85oC and 95oC using a nine-points of thermocouple. The experimental of boiling heat transfer in a rectangular narrow channel presented parameters of channel size variations of 1 mm, 2 mm and 3 mm. While the initial temperature reaches 600oC in main plate using six-point thermocouples.
The results of the research in both channel geometri showed that the presence of boiling regime consisting of the film boiling, transition boiling and nucleat boilin. Rewetting velocity can be predicted and it is influenced by the size of the gap and the initial temperature of the hot rod and the cooling temperature for the case of the annulus. Value of CHF in narrow rectangular channel increases around 29.12% as compared with CHF in channel size of 1 mm, but an increase about 77.30% for narrow chanel size of 3 mm. While CHF in narrow annulus channel for cooler temperatures 85oC and 95oC with both value almost close. CHF maximum temperature of 75oC is 230 kW/m2, while the maximum temperature of 95°C kW CHF is 282 kW/m2. Nondimensional correlation for CHF and mass flow flux has been obtained with the modified correlation of Mishima based experiments. For the case of boiling heat transfer in rectangular channel with a gradient of 0.22 Mishima correlation gradient."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D1957
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hadi Kusuma
"Fenomena rewetting pada celah sempit persegi selama proses quenching berhubungan dengan manajemen termal ketika terjadinya suatu kecelakaan nuklir, baik kecelakaan karena kehilangan air pendingin maupun kecelakaan lain yang mengakibatkan lelehnya teras reaktor nuklir. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang hal tersebut di atas agar didapatkan pemahaman yang benar tentang keselamatan reaktor nuklir dari sisi pendinginan khususnya fenomena rewetting di celah sempit persegi selama proses quenching dan juga dapat berguna bagi perbaikan desain reaktor generasi selanjutnya.
Penelitian difokuskan pada penentuan suhu, waktu, dan kecepatan rewetting di celah sempit persegi berukuran 1 mm dengan 3 variasi suhu awal pelat persegi dan 3 variasi laju aliran air pendingin. Eksperimen dilakukan dengan menginjeksikan air pada laju aliran 0,1-0,3 liter/detik pada suhu air pendingin 85oC. Data transien suhu hasil pengukuran direkam melalui sistem akuisisi data. Data tersebut digunakan untuk mengetahui suhu transien pendinginan celah sempit persegi dan menentukan suhu, waktu, dan kecepatan rewetting dari proses quenching tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data eksperimen perubahan suhu dinding pelat panas selama proses quenching pada celah sempit persegi, memahami fenomena rewetting pada proses quenching pada celah sempit persegi, dan mempelajari pengaruh suhu awal pelat panas dan laju alir air pendingin terhadap rewetting. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada suhu 205°C dengan debit aliran 0,1-0,3 liter/detik, suhu rewetting terletak pada rentang 201,38-205°C, waktu rewetting terjadi pada 0 detik dan kecepatan rerata rewetting pada 0 meter/detik. Pada suhu 400°C dengan debit aliran 0,1-0,3 liter/detik, suhu rewetting terletak pada rentang 358,66-387,5°C, waktu rewetting terjadi pada 2,73-44,48 detik, dan kecepatan rewetting pada 0,0094-0,1037 meter/detik. Pada suhu 600°C dengan debit aliran 0,1-0,3 liter/detik, suhu rewetting terletak pada rentang 426,63-480,55°C, waktu rewetting terjadi pada 34,77-88,23 detik, dan kecepatan rerata rewetting pada 0,0025-0,0072 meter/detik.
Dari penelitian ini menunjukkan suhu terjadinya rewetting akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu permukaan pelat panas persegi. Pada suhu permukaan pelat panas persegi yang sama, semakin besar debit aliran air pendingin yang dilewatkan melalui celah sempit maka waktu dan kecepatan rewetting yang dibutuhkan untuk mendinginkan permukaan pelat persegi tersebut akan semakin cepat. Meningkatnya suhu pelat panas persegi bagian tengah pada suatu debit aliran yang sama akan menyebabkan semakin lamanya waktu yang dibutuhkan oleh air pendingin untuk melakukan rewetting. Dapat diperkirakan bahwa gelembung uap yang terbentuk akibat pemanasan pelat persegi tersebut bergerak ke atas dan mengakibatkan terjadinya counter current yang menghambat laju aliran air pendingin untuk melakukan pendinginan celah sempit persegi.

Rewetting phenomena on a rectangular narrow gap during quenching process is related to thermal management when the occurrence of a nuclear accident due to loss of coolant accident or other kind of accidents resulting in core melted. In order to address the problem, it is crucial to conduct research to get a better understanding of nuclear safety reactor regarding to cooling especially in rewetting phenomena in a rectangular narrow gap during quenching process. The influence of the initial temperature of the hot plate and cooling water flow rate of rewetting was also observed.
The study focused on determining the temperature, time, and velocity of rewetting in 1 mm narrow gap with 3 variations of the initial temperature of hot plates and 3 variations of the cooling water flow rate. Experiments were carried out by injecting water into the hot plate whose temperature ranging from 205 to 600°C at a flow rate 0.1-0.3 liters/sec to 85°C cooling water temperature. Data of transient temperature measurements were recorded using a data acquisition system in order to record the temperature, time, and velocity of rewetting during the quenching process.
This study aims to understand the phenomenon of rewetting during the quenching process and to study the influence of the initial temperature of the hot plate and cooling water flow rate of rewetting on a rectangular narrow gap. The results shows that at 205°C with a flow rate 0.1-0.3 l/s, rewetting temperature range 201.38 - 205°C, rewetting time occurred at 0 second, and average rewetting velocity is 0 m/s. At 400°C with flow rates 0 - 0.3 l/s, rewetting temperature is 358.66 ? 387.5°C, the rewetting time is 2.73 ? 44.48 seconds, and average rewetting velocity is 0.0094 - 0.1037 m/s. At 600°C with flow rates from 0.1- 0.3 l/s, rewetting temperature range from 426.63 to 480.55°C, the rewetting time from 34.77 ? 88.23 seconds, and the average rewetting velocity from 0.0025 -0.0072 m/s.
The results indicates that rewetting temperature will increase with rising temperature of rectangular hot plate. At the same temperature of hot plate, the greater flow rate of cooling water passed through a rectangular narrow gap the faster the resulted time and velocity of rewetting will be. Increasing the temperature of the hot plate on the center plate in a similar flow rate will cause the length of time required by the cooling water for rewetting. It is estimated that the amount of gas formed by heating a rectangular plate moved up and resulted a counter current that inhibits the cooling water flow rate in the cooling of rectangular hot plate."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30394
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Brilliand Tegar Verlambang
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mencari karakteristik termal dari Vertical Two Phase Closed Thermosyphon (VTPCT) yang berfungsi sebagai pendingin pasif Spent Fuel Storage Pool di reaktor nuklir. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah eksperimental. Eksperimen yang dilakukan berfokus pada pencarian nilai resistansi termal dan performa terbaik dari VTPCT dengan beberapa variasi parameter uji. Parameter yang divariasikan adalah tekanan inisiasi, laju aliran air pendingin, dan beban kalor. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa tekanan inisiasi -740 mmHg dan laju aliran pendingin 4 liter/menit akan menghasilkan resistansi termal dan performa terbaik pada beban kalor maksimal.

ABSTRACT
The objective of this research is to find the thermal characteristic of vertical two-phase closed thermosyphon as a passive cooling system in spent fuel storage pool nuclear reactor. The method that used in this research is experimental. The focus of the experiment is to investigate the influence of some parameters on VTPCT?s performance and thermal resistance. Parameters are varied in initial pressure, coolant flow rate, and heat input. Based on the experiment result, we can conclude that the performance and thermal resistance of VTPCT will reach the best value when the initial pressure and the coolant flow rate are -740 mmH and 4 liters/minutes."
2016
S63091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farisy Yogatama Sulistyo
"High Temperature Gas-Cooled Reactor (HTGR) merupakan reaktor generasi keempat yang mempunyai sistem keselamatan pasif. Salah satu komponen penting dari reaktor ini adalah Hot Gas Duct (HGD). HGD merupakan komponen yang menghubungkan teras reaktor dengan steam generator secara langsung. Didalam HGD terdapat dua fluida helium yang berbeda arah dan temperatur. Salah satu masalah yang timbul dari perbedaan dua aliran ini adalah homogenitas temperatur yang akan menjadi input dari teras reaktor dan steam generator sehingga dimungkinkan akan terjadi gangguan pada operasi reaktor. Penelitian mengenai dua aliran ini penting dilakukan untuk memahami mengenai sifat aliran fluida di dalam HGD. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perpindahan panas pada fluida dan material insulasi melalui simulasi Computational Fluids Dynamics (CFD) dengan mengambil subjek pada Hot Gas Duct Reaktor Daya Eksperimental serta melakukan optimasi desain. Hasil perilaku fluida CFD divalidasi dengan kondisi eksperimen yang dilakukan. Perbandingan antara hasil eksperimen Hot Gas Duct experimental apparatus dengan model CFD memberikan hasil yang cukup dekat dengan nilai perbedaan deviasi maksimal -21,6% dan rata-rata deviasi sebesar -5,9% dengan ketidakpastian sebesar ±3.36%. Desain optimasi ketebalan insulasi pada HGD didapatkan dengan nilai D1 sebesar 267mm dan D2 sebesar 590mm. Dengan ketebatan insulasi optimal ini akan didapatkan temperatur rata-rata outlet gas panas 690,76 C dan temperatur rata-rata outlet gas dingin sebesar 239,34 C sedangkan beda tekanan sebesar -0,000521 MPa pada jalur gas panas dan 0,0000203 MPa pada jalur gas dingin

Hot Gas Duct (HGD) is a component that connects the reactor core with the steam generator directly. Inside the HGD there are two helium fluids with different directions and temperatures. One of the problems is the homogeneity of the temperature that will be the input from and to the reactor core and steam generator so it is possible that there will be disturbances in the operation of the reactor due to this homogeneity. This research aims to study heat transfer in fluids and insulation materials through Computational Fluids Dynamics simulation by taking the subject of Experimental Power Reactor Hot Gas Duct and performing optimization on the existing design. The results of CFD behavior were validated under the experimental conditions named Hot Gas Duct experimental apparatus (HGDea). The temperature comparison are quite close, the maximum deviation value is -21.6% and the average deviation is -5.9% with an uncertainty of ±3.36%. The optimization design of the insulation thickness on HGD was obtained with a value of D1 of 267mm and D2 of 590mm. With this optimal insulation thickness, the average hot gas outlet temperature is 690.76 C and the cold gas outlet average temperature is 239.34 C, while the pressure difference is -0.000521 MPa on the hot gas channel and 0.00000203 MPa on the cold gas cha"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raedi Dipanegara
"Risks are encountered in any activity that is done everyday. Risk management measures are necessary to avoid adverse impacts generated. This study aims to identify the hazards, determine the control that has been done, conduct a risk assessment and seek appropriate risk control. This study assesses safety risks in frame manufacture phase of passive cooling system for nuclear reactor Simulation Project at PTKRN-Batan Serpong Workshop in June 2015. This study used a crosssectional study design using the hazard tools identification and risk assessment in accordance to Perka Batan No. 020 / KA / I / 2012. In the activities of making frame for passive cooling system in a nuclear reactor simulation project, it is found that the existence of safety hazards stemming from the danger of mechanical, electrical and physical hazards. Researcher found 19 safety risks with the lowest risk in the process of preparing iron cutting tools, and the risk of the most common hazards wounded by grinding and fire caused by electrical short circuit.

Risiko ditemui dalam setiap aktivitas yang dilakukan setiap hari. Diperlukan adanya upaya pengelolaan risiko untuk menghindari dampak merugikan yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya, menentukan pengendalian yang telah dilakukan, melakukan penilaian risiko dan mencari pengendalian risiko yang tepat. Penelitian ini menilai risiko keselamatan kerja pada tahap pembuatan rangka proyek pembangunan simulasi passive cooling system pada reaktor nuklir di bengkel PTKRN-Batan Serpong pada bulan Juni 2015. Penelitian ini menggunakan desain studi crossectional dengan menggunakan tools identifikasi bahaya dan penilaian risiko sesuai dengan Perka Batan No. 020/KA/I/2012. Pada aktivitas pembuatan rangka proyek pembangunan simulasi passive cooling system pada reaktor nuklir ini ditemukan adanya sumber bahaya keselamatan yang berasal dari bahaya mekanik, listrik dan bahaya fisik. Ditemukan 19 risiko keselamatan dengan risiko terendah pada proses penyiapan alat pemotong besi, dan risiko yang paling banyak ditemui bahaya terluka akibat gerinda serta kebakaran akibat korsleting listrik."
Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ficky Augusta Imawan
"ABSTRAK
Sistem pendinginan pada spent fuel pool saat ini masih memiliki
ketergantungan terhadap sistem pendingin aktif. Sistem pendingin aktif adalah
sistem pendingin yang memiliki ketergantungan terhadap energi listrik. Pada saat
terjadi Station Blackout (SBO), sistem pendingin spent fuel pool tidak bekerja dan
lama kelamaan dapat menyebabkan peristiwa loss of pool coolant, serta dapat
menyebakan radiasi radioaktif kelingkungan. Salah satu alat penukar kalor yang
dapat dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah heat
pipe. Pada penelitian ini, dilakukan pengujian heat pipe jenis two-phase closed
thermosyphon (TPCT). TPCT merupakan alat penukar kalor pasif yang memiliki
konduktivitas termal yang sangat tinggi dan sudah banyak dikembangkan pada
banyak aplikasi. Geometri dari kontainer TPCT yang diuji adalah sepanjang 1,5m
diameter 1 inch, serta rasio yang sama pada bagian evaporator, adiabatik, dan
kondenser. Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh filling ratio fluida
kerja dan inisiasi tekanan terhadap kinerja TPCT. Dari penelitian ini, diperoleh
filling ratio optimum adalah pada 60% volume evaporator dan variasi inisiasi
tekanan memberikan karakteristik temperatur pada dinding TPCT yang berbeda.
ABSTRACT
The spent fuel pool cooling system nowadays still has dependency to
active cooling system.. Active cooling system is a cooling system that still has
dependency to electrical power. When Station Blackout (SBO) occurs, the spent
radioactive radiation released to the environment. One of the heat exchanger that
can be used to solve this problem is heat pipe. In this research, two phase closed
thermosyphon were examined. TPCT is a passive heat transfer device which has a
very high thermal conductivity and has been used for many applications, The
length, 1 inch diameter, and each evaporator,
adiabatic, and condenser has same ratio. The goal in this research are to find the
From this research it has been found that the optimum filling ratio were 60% of
evaporator volume, and pressure initiation variation gave some difference on"
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S58697
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Werdi Putra Daeng Beta
"Energi nuklir telah dimanfaatkan di Indonesia untuk berbagai kegiatan. Pemanfaatan energi nuklir harus memperhatikan keamanan dan keselamatan masyarakat dan lingkungan. Dampak lingkungan dari operasi reaktor adalah risiko meningkatnya gross radioaktivitas lingkungan, risiko terlepasnya radionuklida ke lingkungan, risiko pemajanan radiasi pada para pekerja dan pada masyarakat sekitar. Semua risiko tersebut harus dikendalikan pada kondisi yang tidak membahayakan pekerja, masyarakat sekitar dan lingkungan. Oleh karena itu, untuk mengendalikan risiko-risiko tersebut diperlukan sistem peringatan dini.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui sistem peringatan dini reaktor nuklir dalam menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat dan lingkungan. Selain itu ada 3 tujuan khusus, yaitu: (1) Untuk mengetahui pengaruh parameter daya reaktor terhadap kemungkinan kejadian kedaruratan nuklir; (2) Untuk mengetahui pengaruh parameter pendingin primer terhadap kemungkinan kejadian kedaruratan nuklir; dan (3) Untuk mengetahui apakah sistem peringatan dini dapat mencegah pencemaran lingkungan disebabkan oleh kecelakaan nuklir.
Adapun hipotesis claim penelitian ini adalah:
a) Terdapat hubungan yang positif antara parameter daya reaktor dengan kemungkinan terjadinya kedaruratan nuklir.
b) Terdapat hubungan yang positif antara parameter pendingin primer reaktor dengan kemungkinan terjadinya kedaruratan nuklir
c) Sistem peringatan dini reaktor nuklir bekerja secara efisien dan efektif.
d) Sistem peringatan dini reaktor dapat mencegah pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir.
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan pendekatan simulasi sistem reaktor nuklir. Metode penelitian dilakukan dengan pengamatan atau observasi data lapangan maupun simulasi di laboratorium dan menjalankan program perhitungan permodelan sebaran radionuklida di lingkungan. Sifat penelitian adalah kuantitatif, deskriptif analitik.
Teknik analisis data dilakukan dengan pengkajian keselamatan deterministik (deterministic safely assessment, atau disingkat DSA) berdasarkan spesifikasi teknis dan sistem dengan pengujian 2 variabel babas yang ditinjau dalam penelitian ini mempunyai nilai detenninistik terbesar yang mengakibatkan terjadi kegagalan sistem; serta dengan menerapkan dua skenario kecelakaan terparah yaitu penyumbatan kanal pendingin elemen bakar (Flow Blockage to Single Cooling Channels) dan pelelehan pelat elemen bakar (Local melting of a Few Fuel Plates) yang terjadi secara berurutan. Kemudian dilakukan perhitungan matematis dan pengkajian kecelakaan yang timbuI serta penanggulangan yang mungkin dapat dilakukan dengan berfokus pada penyelamatan manusia dan lingkungan; penetapan serta pengelolaan zona kedaruratan dan zona pendukungnya dalam rangka proteksi terhadap masyarakat dan lingkungan.
Hasil penelitian ini adalah semakin lama reaktor dioperasikan pada daya tinggi maka akan semakin besar peluang untuk terjadinya kedaruratan atau kecelakaan nuklir. Laju alir pendingin primer tetap konstan selama operasi daya tinggi dengan fluktuasi yang dapat diabaikan atau masih dalam batas aman.
Penelitian ini juga berhasil menghitung nilai dosis efektif kolektif pada simulasi kecelakaan pelelehan 6 elemen bakar reaktor (beyond design basic accident, BDBA) dengan asumsi-asumsi yang ketat diperoleh nilai 0,0288 man Sievert. Hal ini berarti bahwa setiap orang yang berada pada radius 0-5 km dari reaktor pada saat kecelakaan akan menerima dosis rata-rata 0,0288 Sy atau 28,8 mSv atau berarti hampir 6 kali dari dosis tahunan untuk masyarakat umum yaitu 5 mSvlth. Berdasarkan grafik standar efek probabilistik risiko kematian karena kanker pada dosis 28,8 mSv ini diketahui bahwa angka risiko kematian adalah sekitar 2 x 10-3 atau 2 kasus pada setiap 1000 penduduk setiap tahunnya atau 20 kasus per 10.000 penduduk per tahun (Camber, 1992). Artinya jika jumlah penduduk yang terpajan radiasi 176224 orang (sampai dengan radius 5 km) maka ada kebolehjadian sekitar 176 kasus kematian karena kanker setiap tahunnya. Sistem peringatan dini dalam hat ini adalah benteng pertama (first barrier) yang harus diperkuat dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup guna mempertahankan kualitas lingkungan menuju pemanfaatan tenaga nuklir yang aman dan selamat.
Menurut rekomendasi IAEA jika skenario terburuk terjadi maka masyarakat disekitar reaktor pada radius 0.5 - 5 km harus diungsikan sementara (selama 2 hari - 1 minggu) untuk menghindari pemajanan radiasi (1AEA, 2003). Pembatasan atau pengendalian bahan makanan (food restriction zone) karena diduga tercemar oleh auen kecelakaan nuklir yang melalui rantai makanan (produk daging temak, produk susu, vegetasi atau sayuran dan buah-buahan) direkomendasikan dilakukan pada radius 5 - 50 km dari lokasi kecelakaan (IAEA, 2003).
Kesimpulan penelitian ini adalah:
1. Sistem Peringatan Dini adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional. Oleh karena itu, Sistem Peringatan Dini reaktor nuklir dapat bekerja menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat dan lingkungan jika didukung oleh sarana dan prasarana pendukungnya termasuk manusia (sumberdaya manusia) sebagai pelaksana penanggulangan keadaan darurat.
2. Parameter laju alir pendingin primer konstan selama operasi daya tinggi, sehingga lebih kecil peluangnya bagi kemungkinan kecelakaan nuklir. Pada kondisi kecelakaan, laju alir pendingin primer menurun hingga melampaui batas aman.
3. Daya reaktor lebih peka bagi kemungkinan kecelakaan nuklir. Semakin lama reaktor dioperasikan pada daya tinggi maka semakin besar peluang untuk terjadinya kedaruratan nuklir.
4. Efektivitas dan efisiensi sistem peringatan dini bergantung pada skenario yang ada dan tim-tim penanggulangan kedaruratan dalam mengurangi risiko dampak yang timbul, mencegah eskalasi tingkat kecelakaan yang tidak diinginkan serta mencegah penyebaran dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan karena kecelakaan nuklir.
Berdasarkan kendala dan keterbatasan penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut:
1. Mengingat belum ada data baik dalam laporan keselamatan reaktor maupun dokumen-dokumen lainnya maka sebaiknya kecelakaan BDBA dimasukkan ke dalam dokumen keselamatan agar dapat diantisipasi secara dini penanggulangannya.
2. Efektivitas dan efisiensi sistem peringatan dini sebaiknya diukur lebih hati-hati dan dilaksanakan dengan cara latihan penanggulangan kedaruratan secara rutin dengan melibatkan instansi atau lembaga terkait dan mengevaluasinya dengan seksama.
3. Perlu dilaksanakan studi parameter-parameter lainnya selain parameter yang telah diteliti dalam penelitian ini untuk mengetahui untuk kerja sistem peringatan dini secara menyeluruh.
4. Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan validasi atau verifikasi model dan studi evaluasi pada rasio percabangan (branching ratio) pemajanan radioaktif ke lingkungan dan bagaimana kerugian ekonomi jika sistem peringatan dini tidak berfungsi dengan balk.
5. Perlu ada sosialisasi tentang penerapan sistem peringatan dini dan potensi bahaya kecelakaan reaktor nuklir kepada masyarakat agar mereka tetap waspada dan bersiap siaga jika potensi bahaya tersebut berkembang dan benar-benar terjadi. Sosialisasi dapat dilaksanakan dengan penyuluhan masyarakat tentang nuklir serta aspek keselamatan masyarakat dan lingkungan; penyebaran brosur-brosur tentang keselamatan nuklir, kedaruratan nuklir dan menyelenggarakan latihan-latihan kedaruratan nuklir yang melibatkan peranserta masyarakat. Sosialisasi ini harus dilaksanakan oleh BATAN, BAPETEN, PEMDA setempat, Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (BAKORNAS PBP), Kepolisian, dan instansi terkait lainnya.

Nuclear energy has been utilized for much kind of activities in Indonesia, included nuclear reactor operation. Environmental impacts of its operation are increasing of gross environmental radioactivity, radionuclide release to the environment, and radiation exposure risks to workers and public. All of those risks should be controlled and monitored properly to ensure security and safety of the public and environment. To control and monitor of that risks, early warning system is needed.
General purpose of this research is to recognize the role of early warning system in ensuring security and safety of the public and environment. There are three specific purposes of research, namely: (1) to recognize power reactor parameter influence to probability of nuclear emergency; (2) to recognize influence of primary cooling system parameter to probability of nuclear emergency; and (3) to recognize whether early warning system is able to prevent environmental pollution caused by nuclear accident.
Hypothesis of the research are:
a) There is a positive relationship between power reactor parameter and probability of nuclear emergency;
b) There is a positive relationship between primary cooling system parameter and probability of nuclear emergency;
c) Early warning system works effectively and efficiently.
d) Early warning system of nuclear reactor can prevent environmental pollution caused by nuclear accident.
The type of the research is experimental research laboratory scale, with nuclear reactor simulation system approach. Research methods are observation field data then laboratory simulation and running computer modeling calculation program of radionuclide distribution and release to the environment. The nature of this research are quantitative and analitical descriptive.
Data analitical technique is deterministic safety assessment based on technical specification of the system by testing two independent variables reviewed have big deterministic values which cause system failed. By applying two scenarios of fatal accidents, namely Flow Blockage to Single Cooling Channels and Local melting of a Few Fuel Plates sequentially. Then, mathematical calculation, accident assessment and its anticipation have to be done by focused on saving people and environment; emergency and supporting zones establishment and management in purpose of public and environmental protection. Research results are the longer reactor operation in high power, the bigger probability of nuclear emergency would be happened. In the history of nuclear accident, namely Chernobyl accident, Uni Sovyet, was caused by graphite moderation failure then fuel temperature increased dramatically to initiate power transient leads to core damaged and fuel elements melt down and then widespread of contamination of radionuclide substances to the environment. In this experiment, flow rate of coolant in primay system was constant during high power operation with slightly fluctuation in safety margin, except when accident happened.
This research was successful to calculate collective effective dose of radiation in accident simulation of six fuel elements meltdown (BDBA) with stringent assumptions. Collective effective dose is 0,0288 man Sievert, meaning, everyone within radius of 0-5 km receives average radiation dose of 0,0288 Sv or 28,8 mSv. This means almost six times of yearly radiation dose of the public (5 mSvlyear). Based on standard graph (Cember, 1992) of probabilistic death of cancer at dose of 28,8 mSv is 2 x 10-3 or 2 cases per 1000 population per year. It means that there are more than 176 cases per 176224 people (within 0-5 km radius of accident) will die every year. Early Warning System is the first barrier that should be strengthened in purpose of environmental management for maintaining quality of environment on safe and secure utilization of nuclear energy.
According to IAEA's (International Atomic Energy Agency) recommendation, if worse scenario of accident happened, people within radius of 0.5 - 5 km of accident location should be temporary sheltered or evacuated ( 2 days - 1 week) to avoid radiation exposure (IAEA, 2003). While food restriction zone should be applied, within radius 5 - 50 km from the location (IAEA, 2003).
Based on research results and discussion, it can be concluded as follows:
1. Early Warning System is an integrated part of National Nuclear Emergency Preparedness System. So that, it would be working to ensure security and safety of the public and environment if and only if it is supported by strong management and infrastructures, manpower included as emergency response teams to relieve the situation.
2. Reactor power is more sensitive toward probability of nuclear emergency. So, the longer reactor operated in high power, the bigger probability of nuclear emergency would be happened.
3. Primary coolant flow rate is constant during high power operation, so it has smaller probability of nuclear emergency than the power parameter itself. While in accident, the primary coolant flow rate is dropped exceeding safety margin.
4. Effectively and efficiency of Early Warning System are depending upon applied emergency scenario and alertness of the team personnel to reduce accident's risk and impact, to prevent escalation of the accident and to prevent propagation of environmental pollution and damage because of nuclear accident.
Based on constraints and limitations of the research and the discussion, it can be given some suggestions as follows:
1. Because there is no BDBA data available in safety analysis report and other documents, it would be a wise step to include BDBA accident analysis in the documents. So that people are more prepared in early anticipating the accident if it actually happens. This is to be discussed by BATAN and BAPETEN.
2. Effectively and efficiency of early warning system should be judged cautiously and to be done by emergency response exercises regularly, and to involve other institutions and to evaluate it carefully.
3. It needs to be done the study of other parameters to recognize total performance early warning system.
4. It needs to be done model verification and study of branching ratio of radioactivity exposure to the environment and economic loss identification if early warning system does not function properly.
5. There should be socializations of early warning system application and potential danger of nuclear accident to the public. This is to ensure that the people alert and prepared of the actual danger. Socialization can be done by public counseling of nuclear and its safety aspects; dissemination of information via nuclear safety and emergency brochures; and to arrange nuclear emergency exercises with public involvement. These activities have to be done by BATAN, BAPETEN, local governments, BAKORNAS PBP, Police Department, and other institutions.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hadi Kusuma
"Untuk meningkatkan keselamatan termal pada saat terjadi kecelakaan akibat station blackout, vertical straight wickless-heat pipe pipa kalor lurus tanpa sumbu kapiler yang diletakkan secara vertikal diusulkan sebagai sistem pendingin pasif baru untuk pembuangan panas sisa hasil peluruhan di kolam penyimpanan bahan bakar bekas nuklir. Pipa kalor akan membuang panas peluruhan dari kolam penyimpanan bahan bakar bekas nuklir dan dapat menjaga sistem tetap aman. Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi karakteristik, fenomena perpindahan kalor, dan unjuk kerja termal pipa kalor yang digunakan mencari pengaruh kecepatan pendinginan dengan besarnya kalor yang harus dibuang, menganalisis keserupaan dimensi dari pipa kalor yang digunakan, dan mengetahui teknologi pipa kalor yang dapat digunakan sebagai sistem keselamatan pasif di instalasi nuklir pada kondisi kecelakaan akibat station blackout. Investigasi secara eksperimen dilakukan dengan mempertimbangkan pengaruh tekanan awal pipa kalor, evaporator filling ratio, beban kalor evaporator, dan laju aliran pendingin di water jacket. Air pendingin disirkulasikan dalam water jacket sebagai penyerap kalor di bagian condenser. Simulasi dengan program perhitungan termohidraulika RELAP5/MOD3.2 dilakukan untuk mendukung dan membandingkan dengan hasil eksperimen yang didapatkan. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa unjuk kerja termal terbaik pipa kalor didapatkan pada tahanan termal 0,016 C/W. Unjuk kerja termal terbaik didapatkan pada saat pipa kalor diberikan filling ratio 80 , tekanan awal terendah, laju aliran pendingin tertinggi, dan beban kalor evaporator tertinggi. Dari nilai tahanan termal tersebut didapatkan bahwa pipa kalor ini memiliki kemampuan memindahkan kalor 199 kali lebih besar jika dibandingkan dengan batang pejal tembaga dengan geometri yang sama. Model pipa kalor dalam simulasi dengan RELAP5/MOD3.2 dapat digunakan untuk mendukung investigasi secara eksperimen dalam memprediksi fenomena yang berlangung di bagian dalam pipa kalor. Analisis dimensi dan keserupaan pipa kalor yang didapatkan bisa digunakan untuk merancang pipa kalor lain dengan geometri yang berbeda namun tetap menghasilkan unjuk kerja termal yang sama. Kesimpulan investigasi yang dilakukan menunjukkan bahwa pipa kalor ini memiliki unjuk kerja termal yang tinggi dan dapat digunakan sebagai sistem pendingin pasif di kolam penyimpanan bahan bakar bekas nuklir pada saat terjadinya kecelakaan akibat station blackout.

To enhance the thermal safety when station blackout accident occurs, a vertical straight wickless heat pipe is proposed as a new passive residual heat removal system in nuclear spent fuel storage pool. The heat pipe will remove the decay heat from nuclear spent fuel pool and keep the system safe. The objective of this research is to investigate the characteristics, heat transfer phenomena, and thermal performance of heat pipe, to analyse the effect of coolant flowrate against heat to be removed, analysing the dimensional similarity of heat pipe, and to know the heat pipe technology that could be used as passive safety system in nuclear installation during to station blackout accident. The experimental investigation was conducted to investigate the heat transfer phenomena and heat pipe thermal performance with considering the influence of heat pipe initial pressure, evaporator filling ratio, evaporator heat load, and coolant volumetric flow rate of water jacket. Cooling water was circulated in water jacket as condenser cooling system. A numerical simulation with nuclear reactor thermal hydraulic code RELAP5 MOD3.2 was performed to support and to compare with the experimental results. The experimental results showed that the best thermal performance was obtained at thermal resistance of 0.016 C W, with filling ratio of 80 , the lower initial pressure, higher coolant volumetric flow rate, and higher heat load of evaporator. From thermal resistance analysis, it is found that the heat pipe has the ability to remove heat 199 times greater than copper rod with the same geometry. The RELAP5 MOD3.2 simulation model can be used to support experimental investigation and to predict the phenomena inside the heat pipe. The dimensional analysis and similitude of the heat pipe can be applied to design the other heat pipe with different geometries with produces the same thermal performance. The conclusion of investigation showed that vertical straight wickless heat pipe has higher thermal performance and can be used as passive residual heat removal system of nuclear spent fuel pool when station blackout occurs."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
D2297
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Holman, Jack Philip
Jakarta: Erlangga, 1991
536.2 HOL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Holman, Jack Philip
Jakarta: Erlangga, 1984
536.2 HOL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>