Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115990 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nungki Ratna Martina
"Latar Belakang : Acute kidney injury (AKI) adalah komplikasi tersering pada pasien luka bakar. Disfungsi renal akut adalah komplikasi mayor yang disebabkan oleh trauma panas akibat luka bakar dan dikaitkan dengan tingginya angka mortalitas terutama pada pasien anak. Patofisiologi dari AKI pada luka bakar masih sedikit dibahas dalam studi. Faktor yang mempengaruhi terjadinya AKI adalah berkurangnya perfusi ginjal dan inflamasi. Managemen awal pada luka bakar merupakan hal yang penting dan kritis. Penggantian cairan pada pasien luka bakar memiliki efek protektif melawan gagal ginjal. Pada studi ini, kami mencoba mengevaluasi angka kejadian AKI dihubungkan dengan resusitasi cairan 24 jam pertama pada pasien luka bakar anak.
Metode : Penelitian ini merupakan studi retrospektif pada pasien luka bakar anak yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM Jakarta dari Januari 2012 hingga Desember 2013. Kami bagi menjadi dua kelompok, kelompok AKI dan non-AKI dengan menggunakan kriteria pRIFLE. Dilakukan penghitungan Parkland Score pada masing-masing kelompok dan dibandingkan menggunakan analisa t-test.
Hasil : Terdapat 43 pasien luka bakar anak yang memenuhi kriteria dan pencatatan rekam medis yang lengkap. Angka kejadian AKI adalah 18.6% (8 pasien), sedangkan non-AKI 81.4% (35 pasien). Median dari usia pasien adalah 36 bulan (min-maks 6-192 bulan), berat badan pasien 14 kg (7-60 kg), total area luka bakar (%TBSA) adalah 18% (10-60%), waktu masuk ke RS pasca-trauma adalah 5 jam (1-20 jam), dan lama waktu rawat 11 hari (3-47 hari). Rerata Parkland Score dari kelompok AKI adalah 0.79, sedangkan kelompok non-AKI adalah 0.94. Dengan analisa t-test didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok (p=0.33). Kemudian dilakukan analisa karakteristik pasien antar kelompok, tidak terdapat perbedaan nilai yang bermakna pada karakteristik pasien antar kelompok (p value > 0.05).
Simpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara angka kejadian AKI dengan resusitasi cairan pada 24 jam pertama. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena terdapat faktor lain yang mempengaruhi terjadinya AKI pada luka bakar anak. Iskemia ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya AKI kemungkinan hal yang kurang bermakna pada fase akut seperti yang diduga sebelumnya, melainkan inflamasi dan apoptosis sel ginjal yang memegang peranan penting terjadinya AKI.

Background : Acute kidney injury (AKI) is a frequent complication in patients with severe burn injury. Acute renal dysfunction is a major complication affecting the thermally injured individual and is commonly associated with a high mortality rate especially among children patients. The pathophysiology of AKI in burn injury is less well studied. Contributing factors for the development of AKI are decreased renal perfusion and inflammation. Initial management of the burn individual to be critically important to overall survival. Fluid replacement therapy was demonstrated to have a protective affect against acute renal failure. In this study, we try to evaluate volume of fluid resuscitation in first 24 hours with acute kidney injury following pediatric major burn injury.
Method : This research is retrospective study evaluating the relationship between fluid resuscitation in first 24 hours and acute kidney injury (AKI) in pediatric major burn injury patients admitted to Burn Unit Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from January 2012 untill December 2013. We divided into two groups, AKI group and non-AKI group using pRIFLE criteria, then we compared actual volume resuscitation with volume resuscitation in Parkland formula (Parkland score) between groups.
Results : There was 43 pediatric major burn patients with complete fluid and laboratory result data. The incidence of Acute Kidney Injury (AKI) among all patients was 18.6% (8 patients), while non-AKI was 81.4% (35 patients). The median of patient age was 36 months (min-max 6-192 months), patient weight was 14 kgs (7-60 kgs), total body surface area burned (%TBSA) was 18% (10-60%), time to hospital admission was 5 hours after injury (1-20 hours), and length of stay was 11 days (3-47 days). The mean Parkland Score from AKI group was 0.79, while in non-AKI group was 0.94. With independent t-test analysis, there was no significant difference between groups (p=0.33). Then we analyzed patients characteristics between group. We found there was no significant value between patients characteristics in both groups (p value > 0.05).
Conclusions : Parkland Score that we used to estimate total fluid resuscitation in first 24 hours did not shown significant difference between groups. This could be indicated that fluid resuscitation in our burn unit is sufficient for resuscitation or there was other factor influence the incidence of AKI. Renal ischemia that can lead to acute kidney injury is probably less important in the acute phase of burn injury than originally presumed. Instead, inflammation and apoptosis are probably playing an important role.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mulianah Daya
"Latar belakang:
Luka bakar derajat berat merupakan trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Salah satu komplikasi pada luka bakar derajat berat yang sering ditemui adalah gangguan ginjal akut (GGA) dan ketidakseimbangan elektrolit. Hal ini menyebabkan hiperkatabolisme yang berkepanjangan dan berujung pada malnutrisi. Terapi medik gizi yang komprehensif dan holistik diperlukan untuk mencegah bertambahnya progresivitas penyakit dan malnutrisi yang memengaruhi kualitas hidup pasien.
Kasus:
Pada serial kasus ini terdapat 4 pasien laki-laki, berusia 37-70 tahun dengan diagnosis luka bakar derajat II-III, 24-79% LPT yang disebabkan karena api dan listrik. Status nutrisi pasien bervariasi dari berat badan normal hingga obes 2. Target pemberian nutrisi berdasarkan rekomendasi ESPEN SCCM dan ASPEN untuk pasien kritikal dan luka bakar. Namun, kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis, data laboratorium, dan toleransi asupan harian.
Hasil:
Selama perawatan, seluruh pasien memiliki riwayat asupan energi total <35 kkal/kgBB dan protein <1,5 g/kgBB Tiga pasien menjalani hemodialisis suportif. Terapi medik gizi diberikan sesuai kondisi klinis pasien dengan target protein 0,8-1 g/kgBB/hari pada GGA tanpa dialiasis dan 1-1,5 g/kgBB/hari dengan dialisis. Terapi nutrisi juga menyesuaikan ketidakseimbangan elektrolit pada pasien. Penurunan berat badan pada keempat kasus <10% selama perawatan. Mikronutrien diberikan untuk penyembuhan luka namun dosis menyesuaikan dengan fungsi ginjal.
Kesimpulan:
Terapi medik gizi yang adekuat mencegah progresivitas penyakit dan malnutrisi pada pasien luka bakar derajat berat dengan GGA dan ketidakseimbangan elektrolit.

Background:
Severe burn injury is a trauma with a serious morbidity and mortality. One of the most complication in severe burn injury is acute renal injury (AKI) and electrolyte imbalance. They could cause a prolonged hypercatabolism that susceptible to develop malnutrition. Comprehensive and holistic nutritional medical therapy is needed to prevent development or rapid progression of malnutrition which affects the quality of life of patients.
Methods:
The case series consists of four men, aged 37-70 years with a diagnosis of severe burn injury, degree II-III, 24-79% of TBSA caused by fire and electricity. The nutritional status of patients varies from normal body weight to obese 2. Target of nutrition based on ESPEN SCCM and ASPEN recommendation for critical and burn patients. However, nutritional requirements are adjusted according to clinical conditions and daily intake tolerance.
Results:
All patients had a history of total energy intake <35 kcal/kgs with protein <1.5 g/ kgs. Three of them underwent supportive hemodialysis. Nutritional medical therapy was given according to the clinical condition of each patient with a protein target of 0.8 -1 g/kgs/day in AKI without dialysis and 1-1.5 g/kgs/day on dialysis. Nutritional therapy also adjusts for electrolyte imbalances. Weight loss in all four cases <10% during treatment. Micronutrients are given for wound healing but the dosage adjusts to kidney function.
Conclusions:
Adequate nutritional medical therapy in severe burn injury with AKI and electrolyte imbalance preventing development of rapid progression of malnutrition in critical ill patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
David Christian El Gah
"Latar belakang: Luka bakar adalah keadaan gawat darurat medis yang membutuhkan penanganan komprehensif sesuai dengan penyebab dan tingkat keparahan. Terapi resusitasi cairan sangat penting untuk mencegah atau mengatasi syok hipovolemik. Prinsipnya adalah memberikan cairan secara konservatif untuk mencapai tujuan resusitasi tanpa menyebabkan ekstravasasi cairan, yang dapat meningkatkan tekanan intraabdomen (TIA). TIA yang tinggi dan persisten dapat menyebabkan hipertensi intraabdomen (HIA) dan sindrom kompartemen abdomen (SKA). Formula Parkland tetap menjadi standar untuk resusitasi cairan, dengan menggunakan produksi urine (UO) sebagai penilaian kecukupan resusitasi.
Metode: Subjek dalam penelitian ini adalah pasien luka bakar yang mendapatkan resusitasi cairan di ULB RSCM dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional untuk mengetahui korelasi antara TIA dan UO dan bersumber dari data primer. Pengambilan data dilakukan selama fase resusitasi cairan 24 jam pertama. Pengukuran TIA dilakukan setiap 6 jam, sedangkan pengukuran UO dilakukan setiap 1 jam.
Hasil: 12 pasien terinklusi dalam penelitian ini. Korelasi antara TIA dan UO 6 jam pertama bernilai lemah positif (r =0,225), pada 6 jam kedua korelasi lemah negatif (r = -0,226), pada 6 jam ketiga korelasi sedang negatif (r = -0,524), pada 6 jam keempat tidak terdapat korelasi (r = -0,120), pada korelasi secara keseluruhan selama 24 jam didapatkan korelasi lemah negatif (r = -0,208) tanpa adanya signifikansi secara keseluruhan (p > 0,05). Lebih lanjut, ditemukan korelasi antara %TBSA dengan jumlah cairan resusitasi selama 24 jam tergolong sangat kuat (r = 0,890) dan signifikan, korelasi antara %TBSA dengan rerata TIA selama 24 jam tergolong lemah positif (r = 0,226, p > 0,05), dan korelasi antara jumlah cairan resusitasi dan TIA rerata tergolong sedang positif (r = 0,467, p > 0.05).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi secara signifikan (p > 0.05) antara tekanan intraabdomen terhadap urine output pada pasien luka bakar selama fase 24 jam resusitasi cairan pertama di ULB RSCM.

Introduction: Burns are urgent medical emergencies requiring comprehensive management based on etiology and severity. Fluid resuscitation therapy is crucial to prevent or manage hypovolemic shock. The principle is to administer fluid conservatively to achieve resuscitation goals without causing fluid extravasation, which can lead to intra-abdominal pressure (IAP) elevation. Persistent high IAP can result in intra-abdominal hypertension (IAH) and abdominal compartment syndrome (ACS). The Parkland formula remains standard for fluid resuscitation, utilizing urine output (UO) to assess adequacy.
Methods: Subjects in this study were burn patients who received fluid resuscitation at ULB RSCM and met the inclusion and exclusion criteria. This research uses a cross-sectional study design to determine the correlation between TIA and UO and is sourced from primary data. Data collection was carried out during the first 24 hours of fluid resuscitation phase. IAP measurements are carried out every 6 hours, while UO measurements are carried out every 1 hour.
Result: 12 patients were included in this study. The correlation between IAP and UO in the first 6 hours was weakly positive (r = 0.225), in the second 6 hours the correlation was weakly negative (r = -0.226), in the third 6 hours the correlation was moderately negative (r = -0.524), in the fourth 6 hours it was not there is a correlation (r = -0.120), in the overall correlation for 24 hours there is a weak negative correlation (r = -0.208) with no overall significance (p > 0.05). Furthermore, it was found that the correlation between %TBSA and the amount of resuscitation fluid for 24 hours was classified as very strong (r = 0.890) and significant, the correlation between %TBSA and average IAP for 24 hours was classified as weakly positive (r = 0.226, p > 0.05), and the correlation between the amount of resuscitation fluid and average IAP was moderately positive (r = 0.467, p > 0.05).
Conclusion: There is no significant correlation (p>0.05) between intra-abdominal pressure and urine output in burn patients during the first 24hour phase of fluid resuscitation at ULB RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"[Latar Belakang : Luka bakar listrik berpotensi untuk menjadi penyebab terjadinya gagal multiorgan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Kombinasi antara luka bakar pada kulit yang luas serta kerusakan organ dalam menyebabkan meningkatnya kebutuhan cairan akibat banyaknya cairan yang hilang. Kerusakan pada jantung dan otot dapat menyebabkan myoglobulinuria. Myoglobin menyebabkan obsruksi dan vasokontriksi serta mebyebabkan gagal ginjal. Resusitasi cairan menggunakan metode parkland dan titrasi diharapkan dapat merehidrasi, mengembalikan fungsi ginjal serta mencegah komplikasi pada ginjal akibat myoglobin pada urin. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi angka kejadian gagal ginjal pada pasien luka bakar listrik yang di resusitasi dengan formula parkland dan titrasi.
Metode : Penelitian ini merupakan studi retrospektif pada pasien luka bakar listrik yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM Jakarta dari Januari 2010 hingga Januari 2014. Data yang dikumpulkan meliputi identitas, jumlah cairan saat resusitasi 24 jam pertama, nilai kreatinin hari pertama dan ketiga, warna urin, riwayat gagal ginjal, waktu kejadian dan kedatangan pasien ke RS dan luas luka bakar. Kami bagi menjadi dua kelompok, kelompok AKI dan non-AKI dengan menggunakan kriteria RIFLE. Dilakukan penghitungan Parkland Score pada masing-masing kelompok dan dibandingkan menggunakan analisa t-test.
Hasil : Terdapat 49 pasien luka bakar listrik yang memenuhi kriteria inklusi. 36 pasien datang dengan myoglobulinuria. 64.8% (n=24) pasien tidak mengalami gagal ginjal tapi 35.1% mengalami gagal ginjal (n=13). Pada metode T Test didapatkan hasil bermakna antara penggunaan parkland score dengan angka kejadian gagal ginjal (P<0.05). variable lainnya seperti umur, waktu keterlambatan, berat badan serta luas luka bakar tidak memberikan hasil yang bermakna. Tidak adanya hubungan bermakna antara hemoglobinuria dengan kejadian gagal ginjal.
kesimpulan : Resusitasi cairan yang adekuat sangat penting dalam manajeman dini luka bakar. Formula parkland sudah banyak digunakan sebagai dasar perhitungan cairan resusitasi. Terdapat hasil yang bermakna pada hubungan antara pemberian cairan menggunakan formula parland dan titrasi dengan angka kejadian gagal ginjal. Study ini membuktikan bahwa pemberian cairan berdasarkan formula parkland dan titrasi dapat menurunkan angka kejadian gagal ginjal pada luka bakar listrik. Myoglobulinuria sendiri tidak menunjukkan hubungan dengan angka kejadian gagal ginjal akut, kemungkinan disebabkan karena myoglobulinuria sendiri hanya merupakan salah satu faktor penyebab gagal gagal ginjal pada luka bakar listrik., Background: Electrical burn injury has potential cause of multisystem injury with high morbidity and mortality. The combination of extensive burns and significant internal injury in cases of severe high voltage electrical injury leads to increase fluid requirements due to fluid extravasation and ongoing fluid losses, Cardiac complication and muscle destruction that cause myoglobinuria. Myoglobin causes renal obstruction and intrarenal vasoconstriction and could result in acute kidney injury. Fluid resuscitation using parkland titration method is applied to rehidrate, restore renal function and prevent further damage caused by myoglobin. The study aimed to evaluate the incidence of Acute Kidney Injury related to the first 24 hour fluid resuscitation using the parkland formula and titration method in electrical burn injury.
Method: This is a retrospective cohort design, recruited from medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital from january 2010 to january 2014. Data will be collected at baseline and after resuscitation. Patients information included age, time of refferal, cause of burn, resuscitation fluid , urine production, urine colour, serum creatinin level at day 1-3. We divide all electrical burn injury patients into two group, AKI (Acute Kidney Injury) group and non-AKI group, using RIFLE classification. Then we compare the fluid resuscitation using Parkland score within two group. We also compare other risk factor contributing AKI in electrical burn injury including delayed time characteristic.
Results: A total of 49 patiens of electrical burn injury mets the study inculsion criteria, 36 patients presented with myoglobulinuria during admission to the hospital. 64.8% (n=24) did not have AKI while 35.1% had AKI (n=13). Independent T test showed significant differences between parkland score and the occurence of Acute Kidney Injury (P < 0,05). Other variables such as age, delayed time, weight and percentage of burn did not show any significant differences related to acute kidney injury. The presence of hemoglobinuria supposed to increase the number of acute kidney injury but in contrary it did not have significance result related to acute kidney injury (P>0.05).
Conclusions: Adequate resuscitation is essential in a succesful early burn management.. Parkland formula had been used widely as guidelines for fluid resuscitation. There is a significant result relating th use of parkland formula with titration and acute kidney injury. This study confimed that administering resuscitation fluid according to the parkland formula and maintaning the hidration using titration method could decreased the number of acute kidney injury. Clearly, Myoglobinurea alone can not be held accountable as predictor of an acute kidney injury, it is only one of several causes of acute kidney injury.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rike Triana
"Kerusakan intrarenal pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Acute Kidney Injury (AKI) menyebabkan zat sisa metabolisme tidak dapat terbuang melalui urin serta terjadi kelebihan cairan. Terapi farmakologi seperti kortikosteroid dan imunosupresan turut memperparah overload cairan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi manajemen cairan pada pasien SLE dengan komplikasi AKI terhadap masalah overload cairan. Manajemen cairan yang dilakukan pada pasien meliputi restriksi cairan; pemantauan asupan dan keluaran cairan; tekanan darah, edema dan asites, nilai laboratorium: ureum, kreatinin dan albumin; edukasi manajemen cairan serta kolaborasi pemberian diuretic dan albumin. Hasil intervensi menunjukkan balans cairan mencapai target (-) 1000 cc, asites berkurang dengan penurunan lingkar abdomen dari 105 menjadi 84 cm, adanya perbaikan fungsi ginjal dengan penurunan ureum kreatinin, pengetahuan pasien terkait pentingnya restriksi cairan meningkat dan pasien menunjukkan penerimaan terhadap perawatan. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid dan imunosupresan pada pasien SLE harus disertai dengan intervensi manajemen cairan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan intervensi manajemen cairan untuk dilakukan pada pasien SLE dengan komplikasi acute kidney injury.


Intrarenal damage in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with complicated Kidney Injury (AKI) causes metabolic waste substances to not be wasted through urine and excess fluid occurs. Pharmacological therapies such as corticosteroids and immunosuppressants also contribute to fluid overload. This study aims to analyze fluid management in SLE patients with complications of AKI to overcome fluid overload. Fluid management performed on patients includes fluid restriction; monitoring fluid intake and output; blood pressure, edema and ascites, laboratory values: urea, creatinine and albumin; fluid management education and collaboration in the administration of diuretics and albumin. The results of the intervention showed that the fluid balance reached the target (-) 1000 cc, ascites decreased with a decrease in the abdominal circumference of 105 to 84 cm, an improvement in kidney function with a decrease in creatinine ureum, the patient's knowledge regarding the importance of fluid restriction increased and the patient showed acceptance of treatment. These results indicate that corticosteroid therapy and immunosuppressants in SLE patients must be accompanied by fluid management interventions. Therefore, the authors recommend fluid management interventions to be performed in SLE patients with complications of acute kidney injury."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bernardine Godong
"AKI disebabkan oleh pengaruh gangguan sistemik atau lokal hemodinamik yang menyebabkan terjadinya stres atau kerusakan pada sel tubular yang dapat berlanjut menjadi gagal ginjal kronik. Pasien yang mengalami malnutrisi dengan peningkatan prevalensi kejadian AKI sebanyak 2,25 kali. Skrining pasien malnutrisi dilakukan dalam 24 hingga 48 jam pertama saat pasien masuk ke rumah sakit menggunakan alat skrining, salah satunya adalah NRS-2002. Penelitian menggunakan desain kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di RSUPN dr. CIpto Mangunkusumo dan RSUI. Diperoleh 64 subjek dengan kelompok skor NRS-2002 ≥ 3 sebanyak 36 subjek dan kelompok skor NRS < 3 sebanyak 28 subjek. Jumlah pasien laki-laki sebanyak 40 (62,5%) subjek, dan perempuan sebanyak 24 (37,5%) subjek, dengan usia rerata 50,95 tahun. Berdasarkan indeks massa tubuh, kelompok IMT dengan malnutrisi adalah kelompok terbanyak dengan jumlah 21 (32,8%) subjek. Pasien dengan faktor risiko hipertensi sebanyak 18 (28,1%) subjek. Subjek dengan Skor NRS ≥ 3 didapatkan 36 subjek dengan 10 orang yang mengalami AKI. Subjek dengan skor NRS <3 didapatkan sebanyak 28 orang dengan 1 orang mengalami AKI. Hasil uji statistik menggunakan uji fischer’s exact test diperoleh nilai p 0,017 ( RR 7,78, CI 95% 1,06-57,20). Hal ini menyatakan bahwa didapatkan hubungan bermakna antara skor Nutritional Risk Screening – 2002 dengan kejadian acute kidney injury pada pasien sakit kritis

AKI is caused by systemic or local hemodynamic disturbances that result in stress or damage to tubular cells, which can progress to chronic kidney failure. Patients experiencing malnutrition have a 2.25 times higher prevalence of AKI. Screening for malnutrition is conducted within the first 24 to 48 hours of hospital admission using screening tools such as the NRS-2002. This study used a prospective cohort design on subjects aged ≥18 years who were treated at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. A total of 64 subjects were obtained, with 36 subjects having an NRS-2002 score ≥ 3 and 28 subjects having an NRS score < 3. There were 40 male subjects (62.5%) and 24 female subjects (37.5%), with an average age of 50.95 years. Based on body mass index, the group with malnutrition was the largest group, with 21 subjects (32.8%). There were 18 subjects (28.1%) with hypertension as a risk factor. Subjects with an NRS score ≥ 3 included 36 subjects, with 10 of them experiencing AKI. Subjects with an NRS score <3 included 28 people, with 1 person experiencing AKI. The results of the statistical test using Fischer's exact test obtained a p-value of 0.017 (RR 7.78, CI 95% 1.06-57.20). This indicates a significant relationship between the Nutritional Risk Screening - 2002 score and the incidence of acute kidney injury in critically ill patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Maya Sari
"Pendahuluan: Acute kidney injury AKI merupakan komplikasi gagal organ pada sepsis yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas di ICU.
Hasil dan pembahasan: Pemenuhan nutrisi pada pasien sepsis dengan AKI sangat tergantung pada keadaan klinis pasien dan terapi AKI. Pada serial kasus ini terdapat satu pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 dan 3 pasien dengan AKI klasifikasi AKIN 3. Kebutuhan nutrisi pada pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 maupun sepsis dengan AKI AKIN 3 selama perawatan di ICU diberikan dengan target energi 30 kkal/kg BB/hari dan protein 1,5 g/kg BB/hari. Perburukan fungsi ginjal pada pasien sepsis dengan AKI tidak disebabkan oleh pemberian nutrisi tinggi protein melainkan disebabkan oleh keadaan sepsis yang tidak teratasi. Terapi renal replacement therapy RRT dibutuhkan pada pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 dan AKIN 3 agar nutrisi dapat diberikan secara optimal untuk menunjang perbaikan klinis. Terapi nutrisi optimal pada pasien sepsis dengan AKI dapat mempertahankan lean body mass, memperbaiki sistem imun, dan memperbaiki fungsi metabolik.
Kesimpulan: Terapi nutrisi yang adekuat dengan energi 30 kkal/kg BB/hari dan protein 1,5 g/kg BB/hari pada pasien sepsis dengan AKI dapat menunjang perbaikan klinis.

Introduction Acute kidney injury AKI is an organ failure complication in sepsis that increased morbidity and mortality in ICU.Results and discussion Nutrition in sepsis with AKI patients are dependent on clinical condition and AKI treatment. In this serial case displayed one case septic AKI classification AKIN 2 and three cases septic AKI classification AKIN 3.
Nutritional requirements for sepsis with AKI classification AKIN 2 and AKI classification AKIN 3 in ICU setting were targetted at 30 kkal kg body weight day and protein 1,5 g kg body weight day. Worsening renal function in sepsis with AKI are not caused by high protein intake but caused by unresolved infection. Renal replacement therapy is required in sepsis with AKI classification AKIN 2 and AKIN 3 to maintain adequate nutritional therapy for better clinical outcomes.
The optimal nutritional therapy in sepsis with AKI aimed to maintain lean body mass, improved immune function, and metabolism.Conclusion Adequate nutritional therapy with energy 30 kkal kg body weight day and protein 1,5 g kg body weight day in sepsis with AKI can bolster better clinical outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Diana Christie
"Latar belakang : Luka bakar merupakan salah satu penyebab kecacatan sementara, permanen maupun kematian pada anak. Insiden dan kematian akibat luka bakar bervariasi di setiap negara dan dipengaruhi karakteristik luka bakar. Saat ini belum ada data yang mengungkap karakteristik, angka mortalitas serta menilai skor PELOD 2 pada anak dengan luka bakar di Indonesia. Pengenalan karakteristik, angka mortalitas dan penilaian skor PELOD dapat memengaruhi pencegahan dan tata laksana luka bakar yang lebih baik.
Tujuan : Mengetahui karakteristik dan angka mortalitas pasien anak dengan luka bakar yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM, serta mengetahui apakah skor PELOD 2 dapat digunakan untuk menilai keparahan luka bakar dan memprediksi mortalitas.
Metode : Penelitian retrospektif deskriptif berdasarkan data pasien anak yang dirawat dengan luka bakar yang tercatat di rekam medis sejak Januari 2012 - Januari 2017. Subyek penelitian dipilih secara total sampling.
Hasil : Subyek yang memenuhi kriteria penelitian yaitu 148 pasien. Sebagian besar subyek berusia 0-<4 tahun, jenis kelamin laki-laki, gizi baik, rujukan rumah sakit lain dan lokasi kejadian umumnya di rumah. Etiologi luka bakar terbanyak adalah air panas, dengan luas luka bakar <20%, kedalaman luka bakar derajat II. Angka mortalitas anak dengan luka bakar di RSCM adalah 20,3% dengan penyebab kematian sebagian besar sepsis (43,3%). Etiologi terbanyak subyek yang meninggal adalah api, luas luka bakar >40%, dan kedalaman luka bakar derajat II-III. Sebagian besar subyek yang meninggal memiliki skor PELOD 2 ≥ 10 dan mengalami trauma inhalasi.
Simpulan : Angka kematian anak dengan luka bakar di RSCM masih tinggi. Skor PELOD 2 dapat digunakan sebagai metode skrining awal untuk menilai berat ringannya kondisi pasien serta memprediksi mortalitas.

Background : Burn injury is one of the leading causes of temporary, permanent disability and death. Incidence and mortality of burns injury vary among different countries, and its affected by burns characteristic. Currently there is no data reported about characteristic, mortality rate and assessment of the performance PELOD score 2 in pediatric burn injury in Indonesia. Identification characteristic, mortality rate and PELOD score 2 assesment will influence the prevention and better management of burn injury.
Objective : To identify the characteristics and mortality rates of children with burn injury hopitalized in Burn Centre Cipto Mangunkusumo Hospital, and to assess whether the PELOD score 2 can be used for assessment of illness severity and predict mortality.
Methods : A descriptive retrospective study based on data of pediatric patients hospitalized with burns injury in medical records from January 2012 to January 2017. The subjects were selected in total sampling.
Results : Subjects who fullfill criteria are 148 patients. The greatest number of pediatric burns occured in the age group 0-<4 years old, most were boys, normal nutritional status, referral patients, and commonly occured in the patient’s home. Most etiology of burn injury were scalds, extent of burns < 20% total body surface area and second degree burns. The mortality rate of pediatric burn injury in Cipto Mangunkusumo Hospital is 20,3% and sepsis is the leading caused of death (43,3%). The etiology of most subject who died was fire, extent of burns > 40% total body surface and depth burn grade II-III. Most of the subjects who died had PELOD score-2 ≥10 and inhalation injury.
Conclusion : The mortality rate of children with burns in RSCM is still high. PELOD score-2 can be used as an initial screening method to assess the severity of the illness and predict mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyvia Mega
"Pemantauan cairan merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dilakukan pada semua pasien COVID-19, terutama yang memiliki risiko dan masalah keseimbangan cairan seperti acute kidney injury (AKI). Intervensi ini menjadi krusial karena balans cairan pasien dapat mempengaruhi status oksigenasi pasien COVID-19. Sebuah kasus pasien laki-laki berusia 62 tahun yang dirawat di ruang rawat inap isolasi COVID-19, dengan COVID-19 terkonfirmasi derajat sedang disertai penyakit penyerta hipertensi dan diabetes melitus, serta mengalami komplikasi AKI, menjelaskan bagaimana hasil pemantauan cairan menjadi data awal kecurigaan perawat bahwa pasien mengalami masalah ketidakseimbangan cairan setelah status oksigenasinya semakin menurun. Pada akhir perawatan pasien mengalami perburukan kondisi karena fungsi ginjal yang terus menurun. Intervensi pemantauan cairan dapat dilakukan secara mandiri oleh perawat, dan secara kolaboratif dimana hasilnya dapat digunakan dalam mengevaluasi status oksigenasi dan kebutuhan terapi oksigen pasien, menentukan kebutuhan terapi cairan, dan mengevaluasi penggunaan diuretik sebagai upaya mencapai keseimbangan cairan pasien. Melalui hasil pemantauan cairan, perawat seharusnya bisa memberikan tanda peringatan kemungkinan kejadian AKI lebih awal pada pasien.

Fluid monitoring is one of the interventions carried out in all COVID-19 patients, especially those who have risks and fluid balance problems such as acute kidney injury (AKI). This intervention is crucial because the patient's fluid balance can affect the impaired oxygenation status in COVID-19 patients. A case of a 62-year-old male patient who was treated in an inpatient COVID-19 isolation ward, with a confirmed moderate degree of COVID-19 accompanied by comorbidities of hypertension and diabetes mellitus, as well as experiencing complications of AKI, explained how fluid monitoring is the initial data for suspicion that the patient has fluid imbalance after his oxygenation status has decreased. At the end of treatment, the patient's condition worsened due to declining kidney function. Fluid monitoring interventions can be carried out independently by nurses, and collaboratively where the results can be used in evaluating the patient's oxygenation status and oxygen therapy needs, determining the need for fluid therapy, and evaluating the use of diuretics as an effort to achieve patient fluid balance. Through the results of fluid monitoring, nurses should be able to provide warning signs of possible AKI events earlier in patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Amaliah
"Latar belakang: Hiperglikemia dan AKI merupakan komorbiditas yang sering dijumpai pada anak sakit kritis. Keduanya berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Hubungan antara hiperglikemia dan AKI pada anak sakit kritis belum banyak diketahui.
Tujuan: Diketahuinya perbedaan proporsi AKI pada kelompok anak sakit kritis dengan hiperglikemia dan nonhiperglikemia. Diketahuinya perbedaan rerata kadar gula darah admisi, kadar gula darah puncak, dan durasi hiperglikemia pada kelompok anak sakit kritis dengan AKI dan tanpa AKI.
Metode: Penelitian kohort prospektif dilakukan pada anak sakit kritis usia 1 bulan-18 tahun di ruang resusitasi IGD dan perawatan intensif anak RSCM selama bulan Agustus-Desember 2016. Pemeriksaan kadar gula darah, kreatinin serum, dan kadar NGAL urine dilakukan pada saat admisi. Pemantauan kadar gula darah dilakukan dengan interval 2 jam pada kelompok hiperglikemia. Seluruh subyek diikuti sampai keluar ruang perawatan intensif.
Hasil: Proporsi subyek anak sakit kritis yang mengalami hiperglikemia adalah 46,5 IK 95 36,8-56,2 . Proporsi subyek dengan hiperglikemia yang mengalami AKI menurut kriteria AKIN adalah 30,7 IK 95 21,8 ndash;39,6 , sedangkan proporsi subyek dengan hiperglikemia yang memiliki kadar NGAL urine >135 ng/mL adalah 21,8 IK 95 13,8 ndash;29,8 . Acute kidney injury menurut kriteria AKIN maupun kadar NGAL urine lebih banyak dijumpai pada subyek dengan hiperglikemia, namun perbedaan proporsi tersebut tidak bermakna secara statistik kriteria AKIN: RR 2,08; IK 95 0,93-4,67; P 0,072; NGAL urine >135 ng/mL: RR 1,34; IK 95 0,81-2,1; P 0,243 . Paparan hiperglikemia pada perawatan intensif dengan durasi ge;4 jam risiko AKI meningkat sebesar 2,38 kali IK 95 1,25 ndash;4,56.
Simpulan: Acute kidney injury banyak dijumpai pada anak sakit kritis yang mengalami hiperglikemia. Paparan hiperglikemia ge;4 jam pada perawatan intensif berkaitan dengan peningkatan risiko AKI pada anak sakit kritis.

Background Hyperglycemia and AKI are common in critically ill children. Both conditions are associated with increasing mortality and morbidity. The association of hyperglycemia and AKI in critically ill children is still not well understood.
Objective To evaluate the difference in proportion of AKI between critically ill children with and without hyperglycemia. To evaluate the mean difference of initial blood glucose, peak blood glucose, and the duration of hyperglycemia between critically ill children with and without AKI.
Method A prospective cohort study was conducted in critically ill children aged 1 month to 18 years at the emergency unit and the pediatric intensive care unit at Cipto Mangunkusumo Hospital between August December 2016. Blood glucose, creatinine serum, and urine NGAL was examined at admission. Blood glucose was monitored every 2 hours in hyperglycemic subjects. All of the subjects were followed until time of discharge from the intensive care unit.
Result Hyperglycemia in critically ill children was found in 46.5 subject 95 CI 36.8 56.2. Acute kidney injury based on the AKIN criteria was found in 30.7 hyperglycemic subjects 95 CI 21,8 ndash 39,6, and hyperglycemia with an increased urine NGAL level 135 ng mL was found in 21.8 subjects 95 CI 13.8 ndash 29.8. Acute kidney injury and an increased urine NGAL were more frequently found in subjects with hyperglycemia, however, the difference in the proportion was statistically insignificant AKIN criteria RR 2,08 95 CI 0,93 4,67 P 0,072 urine NGAL level 135 ng mL RR 1,34 95 CI 0,81 2,1 P 0,243 . The duration of hyperglycemia ge 4 hours at the intensive care unit increases the risk of AKI up to 2.38 times CI 95 1.25 ndash 4.56.
Conclusion Acute kidney injury are frequently seen in hyperglycemic critically ill children. A duration of hyperglycemia of ge 4 hours in intensive care unit is associated with an increased risk of AKI in critically ill children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>