Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98026 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mochammading
"Latar belakang: Duktus Arteriosus Persisten (DAP) adalah penyakit jantung bawaan yang paling umum terjadi pada bayi prematur. Penutupan DA spontan pada bayi prematur berhubungan langsung dengan maturitas lumen duktus dan sensitivitas DA terhadap kadar prostaglandin E2 (PGE2).
Tujuan: Untuk mengetahui korelasi antara kadar prostaglandin E2 (PGE2) dengan ukuran duktus arteriosus persisten (DAP) pada bayi prematur.
Metode: Penelitian observasional dengan metode pengukuran berulang atau repeatedmeasure pada bayi yang terdeteksi DAP pada hari ke 2-3 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, dari bulan April-Mei 2014. Diagnosis DAP menggunakan ekokardiografi 2-D dan analisis kuantitatif kadar PGE2 menggunakan sistim immunoassay ELISA. Korelasi antara kadar PGE2 dengan diameter DA secara statistik dievaluasi menggunakan uji Korelasi Pearson.
Hasilnya: Tiga puluh tiga bayi prematur {(UG rerata 31 (28-32) minggu, BL rerata 1360 (1000-1500) gram)} yang terdaftar pada penelitian ini. Hampir dua pertiga dari pasien adalah laki-laki. Hampir semua (30 dari 33) subyek mengalami penutupan spontan DA sebelum usia 10 hari. Rerata diameter DA adalah 2,9 (SD 0.5) mm dengan kecepatan maksimum aliran transduktal (DVmax) adalah 0,2 (SD 0,06) cm/detik dan rasio LA/Ao 1,5 (SD 0,2). Masing-masing rerata kadar PGE2 serum pada usia 2-3, 5-7, dan setelah 10 hari adalah 5238,6 (SD 1.225,2), 4178,2 (SD 1.534,5), dan 915,2, (SD 151,6) pg ml. Pada hari ke 2-3 kadar PGE2 serum berkorelasi dengan diameter DA (r = 0,667, p <0,001), tetapi tidak pada hari 5-7 (r = 0.292, p = 0,105) atau hari ke-10 (r = 0.041, p = 0,941).
Kesimpulan: Ada korelasi positip yang kuat antara kadar PGE2 dengan diameter DA bayi prematur pada usia 2-3 hari, namun tidak ada korelasi yang bermakna antara kadar PGE2 dengan menetapnya DAP.

Background: Persistent ductus arteriosus (PDA) is a congenital heart disease most commonly occuring in premature infants. Spontaneous DA closure in premature infants has been suggested to be associated with the maturity of duct lumen and the sensitivity of DA to prostaglandin E2 (PGE2).
Objectives: To determine the correlation between the serum levels of prostaglandin E2 (PGE2) to the size of a persistent ductus arteriosus (PDA) in premature infants.
Methods: Observational study using repeated measures on premature infants with PDA detected at day 2-3 in Cipto Mangunkusumo Hospital and Fatmawati Hospital, Jakarta, from April-May 2014. Diagnosis of PDA using a 2-D echocardiography and the quantitative analysis of PGE2 levels using immunoassay ELISA system. The correlation between PGE2 level with DA diameter were statistically evaluated using the Pearson Correlation test.
Results: Thirty-three premature infants (median gestational age 31 (28-32) weeks of gestational age, median birth weight 1360 (1000-1500) grams) were enrolled. Almost two thirds of patients were male. Almost all (30 of 33) subjects had spontaneous closure of DA before the age of 10 days. Mean DA diameter was 2.9 (SD 0.5) mm with maximum flow velocity of 0.2 (SD 0.06) cm/sec and LA/Ao of 1.5 (SD 0.2). Mean levels of PGE2 at the age of 2-3, 5-7, and after 10 days were 5238.6 (SD 1225.2), 4178.2 (SD 1534.5), and 915.2 (SD 151.6) pg/ml, respectively. The level of PGE2 level at day 2-3 was correlated with DA diameter (r = 0.667, p < 0.001), but not at day 5-7 (r = 0.292, p = 0.105) or day 10 (r = 0.041, p = 0.941).
Conclusion: There is a quite strong correlation positive between the levels of PGE2 in DA diameter in preterm infants at 2-3 days of age, although the correlation between levels of PGE2 by the persistence of PDA was not significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Adriansyah
"ABSTRAK
Latar Belakang. Indometasin dan ibuprofen merupakan standar obat yang digunakan untuk menutup duktus arteriosus persisten dengan gangguan hemodinamik signifikan (hemodinamically significant patent ductus arteriosus, hs-PDA). Sediaan injeksi intravena dari kedua obat tersebut belum tersedia di Indonesia. Beberapa laporan kasus serial sebelumnya menunjukkan parasetamol intravena dapat menjadi alternatif pengobatan hs-PDA pada bayi prematur.
Tujuan. Untuk mengevaluasi efek parasetamol intravena dalam penutupan PDA pada bayi prematur.
Metode. Desain kuasi-eksperimental dilakukan mulai 15 Mei sampai 31 Agustus 2014 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kriteria diagnosis hs-PDA berdasarkan ekokardiografi dan diameter duktus diukur dari pandangan parasternal sumbu pendek atau pandangan suprasternal sumbu panjang. Bayi prematur usia 2-7 hari diberikan parasetamol intravena dosis 15 mg/kg tiap 6 jam diberikan selama 3-6 hari dan dipantau sampai usia kronologis 14 hari. Uji Fischer exact digunakan untuk menilai hubungan antara kelompok bayi dengan penutupan PDA. Uji t berpasangan digunakan untuk menilai perubahan diameter duktus antara sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian dinyatakan bermakna jika P<0,05.
Hasil. Sebanyak 29 bayi diikutsertakan dalam penelitian. Rerata usia gestasi 30,8 minggu dan berat lahir 1347 gram. Sembilan belas berhasil menutup, 1 reopening, 9 gagal menutup, dan tidak ditemukan intoksikasi hati. Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok bayi berdasarkan usia gestasi dan berat lahir dalam penutupan PDA. Rerata diameter duktus sebelum intervensi 3,0 mm dan saat pemantauan usia empatbelas hari 0,6 mm. Diameter duktus berkurang sebelum dan sesudah intervensi (P<0,0001).
Kesimpulan. Parasetamol intravena efektif dalam penutupan PDA pada bayi prematur.

ABSTRACT
Introduction. Indomethacin and ibuprofen are standard drugs for closing hemodynamically significant patent ductus arteriosus (hs-PDA) in premature babies. Intravenous injection for both drugs is not yet available in Indonesia. Some previous case series shown intravenous paracetamol can be used as an alternative treatment of hs-PDA in premature babies.
Objective. To evaluate intravenous paracetamol effect on closure of PDA in premature babies.
Methods. Quasi-experimental design was conducted from May 15th to August 31th 2014 in the Dr. Ciptomangunkusumo General Hospital. Echocardiographic diagnosis of PDA was measured from parasternal-short-axis-view or suprasternal-long-axis-view. The premature babies aged 2 to 7 days were administered intravenous paracetamol of 15 mg/kg every six hours for a-3 day cycle and followed up to chronological age of 14 days. Fischer exact test was used to assess the association between babies group and closure of PDA. Pair t test was used to evaluate duct diameter between before, after intervention, and a-14 day follow up. P<0.05 was considered as statistically significant.
Results. Twenty-nine babies were included. Mean of gestational age was 30.8 weeks and birth weight was 1347 gram. Nineteen (65.5%) cases were successfully closed, 1 case reopening, 8 cases failed, and no hepatic intoxication seen. No significant differences between babies group on closure of PDA. The mean of duct diameter before, after intervention, and a-14 day follow up were 3.0 mm, 0.9 mm, and 0.6 mm, respectively (P<0.0001).
Conclusion. Intravenous paracetamol is quite effective on closure of PDA in premature babies."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Veny Kartika Yantie
"Latar belakang: Morbiditas akibat duktus arteriosus paten (DAP) pada neonatus cukup bulan (NCB) cukup tinggi. Peran prostaglandin E2 (PGE2), trombosit (immature platelet fraction, IPF), dan vascular endothelial growth factor (VEGF) pada penutupan DA secara fungsional dan anatomis pada NCB belum banyak diteliti. Patofisiologi terjadinya DAP dapat memengaruhi tata laksana farmakologi dini yang belum terstandardisasi pada NCB. Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid seperti ibuprofen dimungkinkan dapat menghambat jalur sintesis prostaglandin dengan efek samping minimal.
Tujuan: Mengkaji peran prostaglandin E2, VEGF, IPF, dan efek pemberian ibuprofen oral dalam proses penutupan DA pada NCB.
Metode: Penelitian dilakukan di rumah sakit (RS) Sanglah Denpasar, RS Prima Medika Denpasar, dan RS Umum Daerah Wangaya Denpasar, dalam periode Maret sampai Agustus 2015. Penelitian terdiri dari 2 desain, pertama desain potong lintang pada pasien dengan DAP dan tanpa DAP secara consecutive sampling dan desain kedua uji klinis acak terkontrol ganda pada pasien DAP usia ≥ 48 jam. Pasien dengan DAP kemudian dimasukkan dalam uji klinis, dilakukan randomisasi untuk diberikan perlakuan ibuprofen oral dosis hari pertama 10 mg/kg, hari kedua dan ketiga 5 mg/kg atau plasebo. Pemantauan hemodinamik dan efek samping obat dilakukan selama pemberian perlakuan. Pemeriksaan ekokardiografi, PGE2, VEGF, IPF, dan kreatinin dilakukan pada hari pertama dan keempat pascapemberian perlakuan.
Hasil: Terdapat 64 subjek yang diteliti pada desain pertama dan 32 subjek pada desain kedua. Rerata kadar PGE2 lebih tinggi pada kelompok dengan DAP dibanding tanpa DAP, sedangkan rerata kadar VEGF dan IPF tidak berbeda. Ibuprofen oral tidak terbukti menurunkan diameter DA pascaperlakuan, tidak terdapat perbedaan rerata diameter pada kedua kelompok. Terdapat hubungan positif sedang terhadap perubahan kadar PGE2 dengan perubahan diameter DAP pascaperlakuan. Tidak terdapat perubahan hemodinamik atau efek samping akibat pemberian ibuprofen oral atau plasebo pada NCB dengan DAP.
Simpulan: Tingginya kadar PGE2 terbukti berperan dalam patensi DA pada NCB. Ibuprofen oral dosis 10 - 5 - 5 mg/kgBB tidak mengecilkan diameter DAP.

Background: Serious morbidity impact due to patent ductus arteriosus (PDA) in full-term neonates remains high. The functional role of prostaglandin E2 (PGE2), platelet (immature platelet fraction, IPF), and vascular endothelial growth factor (VEGF) has not been studied in the closure mechanism of ductus arteriosus (DA). Understanding of pathophysiology of PDA may influence early pharmacological treatments, which have not been standardized in full-term neonates. The use of non-steroidal anti-inflammatory drugs such as ibuprofen can be beneficial as a pharmacological agent in enhancing the closure of PDA with minimal adverse effects.
Objectives: To evaluate the role of prostaglandin E2, VEGF, IPF, and the effect of oral ibuprofen in the process of DA closure in full-term neonates.
Methods: This study was conducted in Sanglah General Hospital, Prima Medika Hospital, and Wangaya Hospital Denpasar. The study consisted of two designs, the first was cross-sectional design in subjects with and without PDA using consecutive sampling and the second was double blind randomized controlled trial in full-term infant aged ≥ 48 hours. Subjects with PDA were randomized to oral ibuprofen and placebo administration, in which ibuprofen was given consecutively 10 - 5 - 5 mg/kg. All subjects underwent echocardiography, PGE2, VEGF, and IPF assays. Hemodynamics monitoring was evaluated during trial and adverse effect due to ibuprofen was recorded by measuring urine volume and plasma creatinine level.
Results: From March to August 2015, there were 64 subjects recruited for the first design and 32 subjects in the second design. The mean level of PGE2 was higher significantly in the group with PDA than non PDA group, while the mean levels of VEGF and IPF showed no difference. In the second design, oral ibuprofen showed no effect in reducing DA diameter after treatment. There were no differences in mean diameter of DA in both groups before and after treatments. There was moderate positive relationship between levels of PGE2 and the change of PDA diameter. There were neither hemodynamic changes nor adverse effect due to the administration of oral ibuprofen or placebo.
Conclusions: A high level of PGE2 appears to play a pivotal role in DA patency of full-term neonates. Administration of oral ibuprofen in 10 - 5 - 5 mg/kg schedule could not induce PDA closure in full-term neonates.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poetrie Febrinadya
"Pendahuluan: Pergerakan gigi ortodonti akan merangsang terjadinya proses inflamasi sehingga mengeluarkan mediator inflamasi. Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu mediator inflamasi yang dikeluarkan selama pergerakan ortodonti dan berperan dalam resorpsi tulang. Proses inflamasi ini terjadi pada semua pergerakan ortodonti termasuk pada penggunaan sistem self-ligating. Walaupun sistem self-ligating diklaim banyak memiliki keuntungan, termasuk efeknya pada ligamen periodontal, akan tetapi belum ada penelitian secara biomolekular yang membandingkan mediator inflamasi dalam ligamen periodontal.
Metode: Duabelas pasien dari klinik ortodonti, FKG-UI, dengan kasus nonekstraksi dan indeks iregularitas pada insisif mandibula sebesar 4-9 mm, mendapatkan perawatan ortodonti dengan sistem self-ligating pasif (Damon Q, Ormco) dan sistem konvensional preskripsi MBT (Agile, 3M). Cairan krevikular gingiva diambil dari sisi labial regio insisif mandibula pada 0 jam (sebagai kontrol), 24 jam, dan 4 minggu. Kadar PGE2 diperiksa menggunakan ELISA.
Hasil: Walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan kadar PGE2 pada pemakaian braket self-ligating dibandingkan dengan konvensional pada 0 jam, 24 jam (p=0,815), dan 4 minggu (p=0,534), namun secara deskriptif kelompok selfligating memiliki kadar PGE2 lebih tinggi dari konvensional secara konsisten pada 0, 24jam, dan 4 minggu. Pada waktu 24 jam, kadar PGE2 meningkat dibandingkan saat 0 jam, pada kedua sistem, dan kadar PGE2 pada kelompok self-ligating pasif (302,55±26,33 pg/ mL) lebih besar daripada kelompok konvensional (264,43±83,08 pg/mL). Pada waktu 4 minggu, kadar PGE2 menurun dibandingkan dengan waktu pengambilan 0 jam dan 24 jam, pada kedua kelompok sistem, dan kadar PGE2 pada kelompok self-ligating (236,17±42,63 pg/mL) lebih besar dari kelompok konvensional (208,267±81,83 pg/mL).
Kesimpulan: Penelitian kami menyimpulkan bahwa sistem self-ligating memberikan respon selular yang berbeda dibandingkan sistem konvensional.

Introduction: Inflammation process, as a result of orthodontic tooth movement, will trigger the release of inflammatory mediator. Prostaglandin E2 (PGE2) is one of the inflammatory mediator that is released during the orthodontic movement and plays an important role in bone resorption. These inflammatory process occurred in all orthodontic movement included in orthodontic treatment using self-ligating system. Although self-ligating system?s advantages have been claimed, including the effect of the system in periodontal ligament, there are still no research in biomolecular level comparing the mediator release in periodontal ligament.
Objective: The purpose of this study was to examine PGE2 concentration in gingival crevicular fluid (GCF) during initial alignment of anterior mandible, using two different system brackets, passive self-ligating and conventional bracket.
Methods: Twelve patients with mandibular incisor irregularities of 4 to 9 mm and prescribed nonextraction cases, from orthodontic clinic, faculty of dentistry, Universitas Indonesia, were having orthodontic treatment. They were divided into 2 groups, each group were using Damon passive self-ligating system (Damon Q, Ormco), and conventionally ligated bracket with MBT?s prescription (Agile, 3M). GCF were taken from labial site of mandibular incisors at 0 hour (served as control), 24 hours, and 4 weeks. PGE2 level was determined using ELISA kit.
Results: There was no statistically difference in PGE2 level in self-ligating system group compared with conventional group, at 0, 24 hours, and 4 weeks, but from descriptive view self-ligating group had higher PGE2 levels than conventional at 0, 24 hours, and 4 weeks. At 24 hours, mean of PGE2 level was elevated from 0 hour, in both groups, and mean of PGE2 level was higher in self-ligating group (302,55±26,33 pg/ mL) than conventional group (264,43±83,08 pg/mL). At 4 weeks, mean of PGE2 level was decrease from 0, and 24 hours in both groups, and mean of PGE2 level was still higher in self-ligating group (236,17±42,63 pg/mL) than conventional group (208,267±81,83 pg/mL).
Conclusion: Our findings suggest that self-ligating giving difference cellular response than conventional systems during orthodontic tooth movement
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T31294
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Dasraf
"Latar Belakang: Duktus arteriosus persisten (patent ductus arteiosus, PDA) merupakan penyakit jantung bawaan yang sering ditemukan pada bayi, terutama bayi prematur. Ekokardiografi menjadi baku emas untuk mendiagnosis PDA dengan gangguan hemodinamik signifikan (hs-PDA) pada bayi prematur. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa, pemeriksaan biomarker darah Amino-Terminal pro-Brain Natriuretic Peptide (NT-proBNP) bermanfaat untuk diagnosis dan penatalaksanaan hs-PDA. Namun, di Indonesia penelitian seperti ini belum pernah dilakukan; padahal akurasi diagnostik NT-proBNP untuk hs-PDA sangat dipengaruhi oleh karakteristik assay (assay kit dan nilai ambangnya), serta karakteristik pasien (gestational dan usia kronologis).
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara nilai NT-proBNP dan hs-PDA
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan di RSCM dari bulan Desember 2015? Febuari 2016 terhadap 49 neonatus prematur dengan usia gestasi <37 minggu dan berat lahir di bawah 2000 gram. Diagnosis PDA dipastikan dengan menggunakan ekokardiografi. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok tanpa PDA, non hs-PDA dan hs-PDA. Pemeriksaan NT-proBNP dikerjakan pada neonatus dengan PDA, kemudian dibandingkan nilai NT-proBNP pada kelompok non hs-PDA dan hs-PDA.
Hasil: Pada 49 subyek yang diteliti, terdapat 33 neonatus dengan PDA, 16 diantaranya dengan hs-PDA. Terdapat korelasi bermakna antara nilai NT-proBNP dengan hs-PDA (p<0,0001).
Kesimpulan: Peningkatan NT-proBNP berkorelasi dengan PDA hemodinamik signifikan.

Background: Persistent ductus arteriosus is one of the most frequently congenital heart disease found in infant mainly in preterm infant. Echocardiography is the gold standard for the diagnosis of hemodinamically significant patent ductus arteriosus (hs-PDA) in preterm neonates. There are few studies demonstrate that the examination of simple blood assay such as N Terminal-proBrain Natriuretic Peptide (NT- proBNP) may be useful in determining the diagnosis and management of hs-PDA. However in Indonesia there are no studies have been done before even though the level of NT-proBNP accuracy in determining hs-PDA is influenced by the assay kit, and the characteristic of the patient (gestational age and chronological age).
Objective: To determine the association between NT-proBNP level and the prevalence of hs-PDA.
Methods: Across sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from Desember 2015 to February 2016. Forty-nine preterm neonates with gestational age less than 37 weeks and birthweight of less than 2000 gram were performed echocardiography to determine PDA, subsequently these patients were divided into three groups: non PDA, non hs-PDA, and hs-PDA. Further, in the non hs-PDA and hs-PDA groups, blood NT pro-BNP was examined. We then compared the level of NT pro-BNP between these groups.
Results: Among 49 neonates, there were 33 patients with PDA, of those 16 patients were hs-PDA. There was an association between the level of NT pro-BNP and hs-PDA (p<0,0001).
Conclusion: This study found a significant association between the NT-proBNP level and hs-PDA"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Herlia Nur Istindiah
"Pendahuluan : Beberapa penelitian melaporkan bahwa injeksi prostaglandin pada mukosa bukal dikombinasikan dengan tekanan ortodonti telah terbukti dapat meningkatkan kecepatan pergerakan gigi. Namun sediaan dalam bentuk injeksi mempunyai kekurangan yaitu resorpsi tulang alveolar dan akar gigi yang besar, serta rasa sakit. Penggunaan PGE2 dalam bentuk gel diharapkan dapat mengatasi kekurangan pemberian PGE2 secara injeksi tersebut. Dalam kedokteran gigi belum ada gel PGE2 dan belum diketahui efek penetrasinya pada tulang alveolar.
Tujuan : Untuk membuktikan gel PGE2 dapat berpenetrasi ke tulang alveolar tikus berdasarkan hitung jumlah sel osteoklas.
Metode : Desain penelitian adalah eksperimental laboratorik in vivo. Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus Sprague Dawley jantan, dibagi menjadi 12 tikus kelompok : perlakuan (rahang bawah sisi kanan) dan kontrol (rahang bawah sisi kiri) serta 12 tikus kelompok normal. Gel PGE2 dioleskan pada mukosa bukal rahang bawah kanan selama 2 menit dan gel tanpa PGE2 (gel CMC) dioleskan pada mukosa bukal rahang bawah kiri selama 2 menit. Pengolesan gel dilakukan berulang dengan interval jam ke 0, 4 dan 8 pada hari ke 0, 1, 2, 3 dan 4. Tikus disacrifice pada hari ke 1, 3 dan 5. Jumlah osteoklas dihitung pada sediaan histologi dengan pewarnaan Hematoxycillin – Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 100X.
Hasil : Pada uji one way ANOVA, terdapat peningkatan jumlah osteoklas yang bermakna pada hari ke 1, 3 dan 5 pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol dan normal. Terdapat perbedaan jumlah osteoklas yang bermakna pada hari ke 1, 3 dan 5 pada kelompok perlakuan. Peningkatan jumlah osteoklas tertinggi terdapat pada hari ke 3 pengamatan. Pada hari ke 5, terdapat penurunan jumlah osteoklas yang bermakna namun masih lebih tinggi dibandingkan hari ke 1.
Kesimpulan : Gel PGE2 dapat berpenetrasi mencapai tulang alveolar. Efek penetrasi gel PGE2 pada tulang alveolar menunjukkan adanya peningkatan jumlah osteoklas setelah pengolesan berulang pada hari 1, 3 dan 5 pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol.

Introduction: Several studies have reported that injection of prostaglandin on the buccal mucosa combined with orthodontic pressure could increase the speed of tooth movement. But PGE2 injection has disadvantages effect, such as pain, high resorption of alveolar bone and tooth root. PGE2 in form of gel is used to overcome the negative effect of PGE2 injection. In dentistry, until recently there is no PGE2 in form of gel and it’s penetration effect on alveolar bone is still unknown.
Objective: To proved that PGE2 gel could penetrate into rat alveolar bone based on osteoclast cell-count.
Methods: The study design is an experimental laboratory in vivo. This study, using 24 male Sprague Dawley that were divided into 12 rats with topical PGE2 gel on mandibular right buccal mucosa as a experiment group and mandibular left buccal mucosa with topical gel without PGE2 as a control group. Rats with no interference as a normal group. PGE2 gel and gel without PGE2 were applied on mandibular buccal mucosa for 2 minutes, with interval at 0 hour, 4 hour, and 8 hour of application on days 0, 1, 2, 3 and 4. Then, rats were sacrificed on days 1, 3 and 5. After that, the samples were prepared for histological examination with Hematoxyllin and Eosin (H&E). Osteoclasts cell-count using a light microscope, set 100x magnification.
Results: ANOVA one way test showed that there was a significant difference of osteoclasts cell-count on days 1, 3 and 5 in the experiment group compared to control and normal. In experiment group, there were significant differences of osteoclasts cell-count on days 1, 3 and 5. The highest of increasing of osteoclast cell-count were on day 3 observations. On day 5, there was a significant decrease of osteoclasts cell-count, but still higher than day 1.
Conclusion: PGE2 gel can penetrate into rats alveolar bone. The effects of topical application of PGE2 gel in alveolar bone showed an increased number of osteoclasts cellcount after repeated applications on days 1, 3 and 5 in the treatment group compared to controls.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Priharnanto
"Latar belakang: Periodontitis merupakan infeksi yang melibatkan jaringan pendukung gigi disebabkan oleh biofilm plak gigi pada permukaan gigi dan inflamasi sebagai penyebab dari respons imun pejamu. Prostaglandin E2 (PGE2) sebagai mediator inflamasi terlibat dalam patogenesis berbagai penyakit inflamasi kronis, termasuk periodontitis dan sebagai regulator tekanan darah. Tujuan: Untuk membandingkan kadar prostaglandin dalam cairan krevikular gingiva pasien periodontitis dengan hipertensi dan non-hipertensi. Metode: Sampel total 60 pasien diperiksa. Terdiri dari 44 pasien kelompok hipertensi dan 16 pasien kelompok non-hipertensi sebagai kontrol. Keadaan hipertensi diukur dengan tekanan darah berdasarkan anamnesis dan menggunakan sphygmomanometer merkuri. Sampel klinis dikumpulkan dari 60 CKG subjek periodontitis. Pengukuran parameter klinis kedalaman poket (PD), dan perdarahan saat probing (BOP ≥1) dimasukkan sebagai kriteria diagnostik. Kedalaman poket dan kehilangan perlekatan klinis (CAL) dicatat sebagai kriteria subjek apabila PD ≥5 mm dan CAL adalah ≥1 mm. Kadar Prostaglandin E2 diperkirakan dalam sampel cairan crevicular gingiva dengan menggunakan uji immunosorbent link-enzyme. Hasil: Tingkat PGE2 signifikan secara statistik dalam kelompok hipertensi dibandingkan dengan kelompok non-hipertensi (p<0,05). Perbedaan yang signifikan dalam kedalaman poket, resesi, dan kehilangan perlekatan klinis (p<0,05). Kesimpulan: Tekanan darah yang lebih tinggi memiliki potensi risiko peradangan dan perkembangan penyakit periodontal.

ackground: Periodontitis is an infection that involved tooth supporting tissues by dental plaque biofilm on the tooth surface and host immune response as causal to as inflammation resolution. Prostaglandin E2 (PGE2) as an inflammatory mediator has been implicated in the pathogenesis of various chronic inflammatory diseases, including periodontitis, and as a regulator of blood pressure. Objective: To compare the levels of prostaglandin in the gingival crevicular fluid of periodontitis patients with hypertension and non-hypertension. Methods: A total sample of 60 patients was examined. Consists of 44 patients were hypertension group and 16 patients were non-hypertension groups as a control. Hypertension state was measured by blood pressure based on anamnesis and using sphygmomanometer mercury. The clinical sample was collected from 60 gingival crevicular fluids (GCF) of periodontal disease subject. Measurement of the clinical parameter of probing pocket depth (PD) and bleeding on probing (BOP ≥1) was included as a diagnostic requisition. The pocket depth and clinical attachment loss (CAL) was defined as present if the PD was ≥5 mm and CAL was ≥1 mm. Prostaglandin E2 level was estimated in gingival crevicular fluid samples by using the enzyme-linked immunosorbent assay. Results: The level of PGE2 was statically significant difference in hypertension patient compare with non-hypertension (p<0.05). There was a significant difference in pocket depth, recession, and clinical attachment loss (p<0.05). Conclusion: Higher blood pressure related to the potential risk of inflammation and progression periodontal disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Kautsar
"Latar belakang: Duktus arteriosus persisten signifikan hemodinamik (DAPsh) ditandai dengan peningkatan aliran darah paru dan penurunan aliran darah sistemik. Hipoperfusi sitemik yang menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan dapat dideteksi menggunakan near-infrared spectroscopy (NIRS) yang dipasang di area serebral, renal, dan abdomen.
Tujuan: Mencari nilai diagnsotik dari NIRS serebral, renal, dan abdominal dalam mendeteksi dini DAPsh pada bayi <32 minggu.
Metode: Sebanyak 43 subjek bayi prematur dilakukan pemantauan dengan memasang NIRS serebral, renal, dan abdomen pada 3 jam pertama selama 72 jam. Semua subjek dilakukan pemeriksaan dengan ekokardiografi dalam 24 jam pertama untuk menilai adanya DAPsh. Kriteria ekokardiografi yang digunakan termasuk parameter oversirkulasi paru dan pola aliran doppler di serebral, renal, dan abdominal. Nilai rerata dari NIRS selama 72 jam dibandingkan antara kelompok DAPhs dan non-DAPhs.
Hasil: Terdapat 10 subjek dengan DAPsh dan 33 subjek tanpa DAPsh. Median dari nilai RrSO2 pada kelompok dengan DAPsh lebih rendah dibanding kelompok tanpa DAPsh, 72 (44-87) vs 78 (48-89) (p=0,044). Dengan menggunakan kurva ROC, nilai titik potong < 74% memiliki sensitivitas sebesar 80% dan spesifisitas sebesar 70%. Sedangkan nilai CrSO2 dan SrSO2 tidak bermakna secara statistik.
Simpulan: Nilai RrSO2 < 74% dapat memprediksi adanya DAPsh pada bayi <32 minggu.

Background: Hemodynamically significant patent ductus arteriosus (hsPDA) is characterised by systemic hypoperfusion and pulmonary overcirculation. Systemic hypoperfusion with subsequent decrease of tissue oxygenation can be detected using near-infrared spectroscopy (NIRS) applied at the cerebral, renal, and abdominal areas.
Objective: To seek the diagnostic value of cerebral, renal, and splanchnic NIRS to detect hsPDA in infants < 32 weeks of gestation.
Methods: Forty-three very preterm infants (birth weight <1500 gr and gestational age <32 weeks) were monitored continuously with cerebral, renal, and abdominal NIRS within three hours after birth for 72 hours. All infants were prospectively evaluated using echocardiography to detect hsPDA within 24 hours after birth daily during the NIRS application. Echocardiography criteria to diagnose hsPDA included indices of pulmonary overcirculation and organ Doppler pattern at cerebral, renal, and splanchnic. The mean value of regional NIRS during its application was compared between the hsPDA and no- hsPDA groups.
Results: Of 43 infants, there were 10 infants with hsPDA and 33 with no hsPDA. A lower median of mean RrSO2 was noted in hsPDA groups compared to no-hsPDA groups, 72 (44-87) vs 78 (48-89), respectively (p=0.044), while no significant difference was found in CrSO2 and SrSO2. Using ROC curves, Mean RrSO2 < 74% identified an hsPDA with a sensitivity of 80% and specificity of 70%, while CrSO2 and SrSO2 were not significant
Conclusion : Low RrSO2 <74% was associated with the presence of hsPDA in infants < 32 weeks of gestation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Fahreza Akbar
"ABSTRAK
>
Latar Belakang: Selenium secara tidak langsung dapat berpengaruh pada kadar hemoglobin melalui fungsi proteksinya, namun tidak diketahui efeknya secara langsung pada bayi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi Kadar Selenium dengan Kadar Hemoglobin Bayi Usia 8-10 Bulan di Jakarta Pusat. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional yang dilakukan pada 75 sampel sesuai dengan kriteria penelitian. Kadar selenium dalam serum diukur dengan metode LC-MS/MS Liquid Chromatography ndash; Tandem Mass Spectrometry dan kadar hemoglobin diukur menggunakan HemoCue Hemoglobin system yang dilakukan oleh tenaga terlatih. Data penelitian dianalisis menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan uji korelasi Pearson korelasi bermakna jika diperoleh p0,05. Kesimpulan: Dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar selenium dengan kadar hemoglobin bayi 8-10 bulan di Jakarta Pusat.

ABSTRACT
Background Selenium can indirectly influence haemoglobin levels by its protective function, but its effect is unknown on infants. Objective This study is aimed to observe the correlation between selenium levels and haemoglobin levels on 8 to 10 months old infants in Central Jakarta. Method This study applies the crosssectional design which was conducted on 75 samples based on study criteria. Selenium levels were measured by LC MS MS Liquid Chromatography ndash Tandem Mass Spectrometry method and haemoglobin levels were assessed using HemoCue Hemoglobin system by trained personnel. The data was analyzed with KolmogorovSmirnov test and Spearman correlation test significant correlation if p0.05 . Discussion In conclusion, there was no significant correlation between selenium levels and haemoglobin levels on 8 to 10months old infants in Central Jakarta. p 0.53."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Naura Assyifa
"

Vitamin D dapat mempengaruhi pertumbuhan tulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi kadar vitamin D dengan panjang badan bayi di Jakarta Pusat. Studi cross-sectional dilakukan terhadap 75 subjek yang memenuhi kriteria penelitian. Kadar vitamin D dalam serum diukur dengan metode CLIA (Chemiluminescence Immunoassay), dan panjang badan bayi diukur dengan teknik terstandarisasi dengan ketelitian 1mm oleh tenaga terlatih. Data dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan uji korelasi Pearson (korelasi bermakna jika p<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek penelitian (80%) tidak memiliki asupan vitamin D yang cukup. Nilai tengah kadar vitamin D bayi berusia 8-10 bulan di Jakarta Pusat sebesar 26,4 ng/dL, sedangkan nilai tengah panjang badan bayi 70,63 cm. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar vitamin D dengan panjang badan bayi 8-10 bulan di Jakarta Pusat (p=0,563).

 


 

Vitamin D can influence bone growth. This study aims to determine the correlation between vitamin D levels and body length on 8 to 10 months old infants in Central Jakarta. Cross-sectional study was conducted on 75 infants which met the criteria. Serum vitamin D levels were measured with CLIA (Chemiluminescence Immunoassasy), while body length was measures by antropometric standardized technique by trained personnel. The data was analyzed with Kolmogorov-Smirnov test and Pearson test (significant correlation if p<0,05). The result shows that the majority of subjects (80%) do not have adequate vitamin D intake. The median value of vitamin D levels on 8 to 10 months old infants in Central Jakarta is 26.4 ng/dL, while the median value of body length is 70.63 cm. The result shows that there are no significant correlation between vitamin D levels and body length on 8 to 10 months old infants in Central Jakarta (p=0,563).

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>