Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80563 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ade Yonata
"Latar Belakang: Dalam dekade terakhir terjadi peningkatan bakterimia Multi-Drug Resistant (MDR) Gram negatif. Bakterimia MDR Gram negatif tidak hanya meningkatkan angka kematian, tetapi juga dapat dikaitkan dengan peningkatan morbiditas pasien, lama perawatan dan biaya perawatan rumah sakit. Faktor-faktor risiko terjadinya bakterimia MDR Gram negatif di ruang rawat inap penting untuk diketahui sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian terhadap faktor-faktor risiko tersebut dan menurunkan kejadian bakterimia MDR Gram negatif pada pasien rawat inap.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya bakterimia MDR Gram negatif pada pasien rawat inap.
Metode: Faktor risiko diidentifikasi menggunakan studi kasus kontrol. Data dikumpulkan dari catatan rekam medis pasien rawat inap RSCM yang memiliki kultur darah positif tumbuh bakteri patogen Gram negatif. Kelompok kasus adalah subjek dengan bakterimia MDR Gram negatif, kelompok kontrol adalah subjek dengan bakterimia non-MDR Gram negatif. Kedua kelompok kasus dan kontrol diambil secara konsekutif dikarenakan kurangnya sampel. Analisis bivariat dilakukan pada variabel bebas yaitu riwayat antibiotik sebelumnya, pemberian antibiotik kombinasi, fokus infeksi, riwayat hospitalisasi, lama perawatan, Charlson index >2, pemberian kemoterapi, kortikosteroid, keganasan, kolonisasi, absolute neutrophile count (ANC) <500, perawatan di ICU/HCU, prosedur medis invasif, hipoalbuminemia. Semua variabel yang mempunyai nilai p <0,25 pada analisis bivariat dimasukkan ke dalam analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Selama periode penelitian didapatkan 131 pasien yang memenuhi kriteria, 42 pasien dengan bakterimia MDR Gram negatif (kasus), dan 89 pasien dengan bakterimia non-MDR Gram negatif (kontrol). Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan 2 variabel yang memiliki kemaknaan secara statistik yaitu riwayat ICU/HCU (p= 0.003) dan riwayat ventilator (p=0.030). Pada analisa multivariat lebih lanjut terdapat satu varibel bermakna secara statistik, yaitu riwayat ICU/HCU (OR: 3.118; IK 95% : 1.443 – 6.736; p=0,004).
Simpulan: Riwayat ICU/HCU merupakan faktor risiko terjadinya bakterimia MDR Gram negatif pada pasien rawat inap.

Background: Over the past decade, the numbers of bloodstream infections caused by multidrug-resistant (MDR) Gram-negative bacteria have risen sharply. MDR Gramnegative bacteremia increases not only mortality, but may also be associated with increased patient morbidity, length of treatment and hospitalization costs. It is important to identify risk factors of MDR Gram-negative bacteremia among hospitalized patients in order to prevent and to control these risk factors and thus to lower the incidence of MDR Gram-negative infections among hospitalized patients.
Aim: To identify the risk factors associated with the occurrence of MDR Gramnegative bacteremia among hospitalized patients.
Method: Risk factors were identified by a case-control study. Data was collected from inpatients medical record that had positive blood cultures of Gram negative bacterial pathogens. Both case and control samples were collected consecutively due to lack of samples available. The case group was subjects who had MDR Gram-negative bacteremia, and the control group was subjects who had non-MDR Gram negative bacteremia. Bivariate analysis was performed on several independent variables, which were previous antibiotic history, antibiotic combination, source of infection, history of hospitalization, duration of hospitalization, Charlson index> 2, administration of chemotherapy, use of corticosteroid, malignancy, colonization, ANC <500, history of treatment in ICU / HCU, invasive medical procedures and hypoalbuminemia. All variables that had a value of p <0.25 on bivariate analysis were included in multivariate analysis using logistic regression.
Result: During the study period, there were 131 patients fulfilled the criteria, which consisted of 42 patients who had MDR Gram-negative pathogen bacteremia (case) and 89 patients who had non-MDR Gram-negative pathogen bacteremia patients (control group). Based on the bivariate analysis, there were two variables statistically significance, which were history of treatment in ICU / HCU (p=0.003) and history of ventilator (p=0.030). Further multivariate analysis showed that there was one variable statistically significance, which was history of treatment in ICU / HCU (OR: 3.118; CI 95% : 1.443 – 6.736; p=0,004).
Conclusion: History of treatment in ICU / HCU was risk factor of MDR Gram negative bacteremia among hospitalized patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bonita Effendi
"Latar Belakang Sepsis masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Diagnosis dini dan inisiasi bundle care dapat memperbaiki luaran pasien dengan sepsis. Namun, akurasi diagnosis sepsis masih sulit. Bakteremia Gram-negatif memiliki risiko syok sepsis lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk. Tujuan penelitian adalah mengetahui peran skor qSOFA, prokalsitonin, serta gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin untuk memprediksi mortalitas pasien sepsis bakteremia Gram-negatif.
Metode Penelitian kohort retrospektif dan prospektif menggunakan data rekam medik dan registri pasien sepsis Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM melibatkan pasien berusia >18 tahun yang dirawat di RSCM selama Maret 2017-Oktober 2020. Data yang diekstraksi adalah karakteristik sampel, data pemeriksaan klinis dan laboratorium, serta luaran yaitu mortalitas dalam perawatan rumah sakit selama 28 hari pemantauan.
Hasil 128 subyek penelitian terdiri atas 50,8% pasien laki-laki dengan median usia 48 (RIK 46-51) tahun. Mortalitas pasien dengan bakteremia Gram-negatif terjadi pada 51,6% dengan kesintasan kumulatif 48,4% (SE 0,96%). Peran skor qSOFA terbaik untuk memprediksi mortalitas dalam 28 hari perawatan dengan (AUROC 0,74; IK95% 0,66-0,82). Prokalsitonin menunjukkan performa yang buruk (AUROC 0,45; IK 95% 0,36-0,54) dalam memprediksi mortalitas pasien bakteremia Gram-negatif di RSCM. Bila dibandingkan dengan hasil nilai titik potong skor qSOFA, nilai AUROC skor qSOFA ditambah prokalsitonin, tidak berbeda bermakna AUROC 0,74 vs AUROC 0,75.
Kesimpulan Performa skor qSOFA merupakan sistem skor terbaik dalam memprediksi mortalitas pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM. Performa gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin tidak memberikan penambahan performa prediktor mortalitas dalam perawatan pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM.

Background. Sepsis is a leading cause of mortality and morbidity globally. Early diagnosis and initiation of bundle care may improve the outcome. However, accurate diagnosis of sepsis is still challenging. Gram-negative bacteremia was reported to have higher risk of septic shock and poor prognosis. Aim of this study is to evaluate the role of qSOFA and procalcitonin in predicting mortality risk in patients with Gram-negative bacteremia, furthermore adding procalcitonin to the qSOFA score may improve the ability to predict mortality.
Methods. This was a retrospective and prospective cohort study performed based on medical records and sepsis registry of Tropical and Infectious Disease Division, Internal Medicine Department of Cipto Mangunkusumo Hospital, conducted on patients aged > 18 years of age hospitalized from March 2017 until October 2020. The following data were obtained: sample characteristics, laboratory parameters, and 28-day mortality outcomes during hospitality.
Results. 128 patients were enrolled. There are 50.8% male patients with median (IQR) of age 48 (46-51) years. Mortality rate of Gram-negative bacteremia is 51.6% with cumulative survival 48.4% (SE 0.96%). The role of qSOFA score to predict 28-day mortality rate is (AUROC 0.74; 95% CI 0.66-0.82). Procalcitonin shows poor performance in predicting mortality of patients with Gram-negative bacteremia (AUROC 0.45, 95% CI 0.36-.0.54). Combining qSOFA score with procalcitonin does not improve the ability to predict the 28-day mortality risk (AUROC 0.75, 95% CI 0.66-0.84).
Conclusion. qSOFA score shows good performance in predicting mortality of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia. By adding procalcitonin does not improve its ability to predict mortality risk of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Masra Lena
"Latar belakang. Bakteremia yang disebabkan oleh kuman resisten antibiotik Escherichia coli (E. coli) penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) dipengaruhi beberapa faktor risiko. Kondisi ini dapat berlanjut menjadi sepsis yang dapat meningkatkan tingginya morbiditas dan mortalitas. Prevalensi bakteremia yang disebabkan E. coli penghasil ESBL cukup tinggi mencapai 57,7%. Pentingnya melakukan penelitian untuk mengevaluasi faktor risiko pada terjadinya bakteremia E. coli penghasil ESBL yang dapat menyebabkan tingginya biaya perawatan dan penggunaan antibiotik yang tidak sesuai di awal sebagai antisipasi terhadap kejadian mortalitas. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko bakteremia E. coli penghasil ESBL dan menentukan faktor risiko terhadap mortalitas.
Metode. Penelitian kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien kultur darah positif E. coli yang di rawat pada dua Rumah Sakit Rujukan di Jakarta yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan periode Januari sampai Desember 2019. Faktor risiko terjadinya ESBL yang dicari sesuai dengan kepustakaan adalah usia, komorbiditas berdasarkan indeks Charlson, pemakaian alat medis, riwayat terapi antibiotik dan riwayat perawatan sebelumnya serta faktor risiko terhadap mortalitas. Uji bivariat perbedaan dua kelompok kategorik (Chi-square atau Fisher) dan uji regresi logistik multivariat dilakukan untuk menentukan faktor yang berpengaruh terhadap bakteremia ESBL dan mortalitas.
Hasil. Total 116 subjek dalam kurun waktu penelitian dengan usia ≥18 tahun sebanyak 81% subjek, didominasi 52,6% berjenis kelamin laki-laki. Sumber lokasi infeksi terbanyak berasal dari saluran cerna dan intra abdomen yang ditemukan pada 43 subjek (37,1%) dan sebanyak 54 subjek (46,6%) memiliki komorbiditas keganasan. Faktor risiko yang bermakna secara statistik pada seluruh subjek adalah riwayat terapi antibiotik (adjusted OR 2,78; IK95% 1,20–6,45; p=0,017) dan pemakaian alat medis (adjusted OR 3,21; IK95% 1,10–9,34; p=0,033), sementara pada pasien ≥18 tahun (94 subjek) hanya faktor riwayat terapi antibiotik yang bermakna (adjusted OR 2,77; IK95% 1,13 – 6,81; p= 0,027). Tidak terdapat perbedaan mortalitas antara bakteremia E.coli penghasil ESBL dan non-ESBL (p=0,059). Proporsi mortalitas bakteremia E. coli penghasil ESBL adalah 55,7% dan faktor risiko mortalitas yang bermakna adalah usia (adjusted OR 15,0; IK95% 1,54–146,0; p=0,020) dan sepsis (adjusted OR 6,5; IK95% 1,91–22,16; p=0,003).
Simpulan. Faktor risiko terjadinya bakteremia E. coli penghasil ESBL adalah riwayat terapi antibiotik dan pemakaian alat medis. Lebih dari separuh pasien mengalami mortalitas dan faktor risiko yang berhubungan adalah usia dan sepsis.

Background. Bacteremia caused by the Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL)-producing Escherichia coli (E. coli) causing septicaemia and lead to high morbidity and mortality. Factors to ESBL bacteremia are important to recognize soon as patient admitted to hospital since the prevalence of ESBL bacteremia is as high as 57,7% among admitted patient to hospital. The understanding of the risk factors ESBL-producing E. coli bacteremia give the opportunity to provide costs effective treatment costs and antibiotics use to save the lives. This study aims to identify and analyze the risk factor in bacteremia patients with ESBL producing E. coli and its mortality.
Methods. A retrospective cohort study based on medical record data on all patients with a confirmed positive E. coli blood culture examinations were collected from January to December 2019 at two referral hospital in Jakarta, Cipto Mangunkusumo National Hospital and Persahabatan Hospital. Identified risk factors for ESBL-producing E. coli bacteremia were age, comorbidities based on the Charlson index, medical devices, history of hospitalization and history of antibiotics therapy including risk factors on mortality. Bivariate analysis of categorical group differences (Chi-square or Fisher test) and multivariate analysis with logistic regression tests were performed to identify the correlation of these factors to ESBL bacteremia and mortality.
Results. A total of 116 subjects E. coli bacteremia were included, eighty one percent of subjects ≥18 years old and 52.6% was male. The common site of infection was gastrointestinal tract 37.1% (43 subjects) and 54 subjects (46.6%) had malignancy comorbidity. History of antibiotic therapy (adjusted OR 2.78; 95%CI 1.20–6.45; p=0.017) and medical devices (adjusted OR 3.21; 95%CI 1.10–9.34; p=0.033) were associated with ESBL bacteremia. Among patients ≥18 years old (94 subjects) marely the history of antibiotics (adjusted OR 2.77; 95% CI 1.13 – 6.81; p= 0.027) was associated with ESBL-producing E. coli bacteremia. Mortality among bacteremia ESBL and non-ESBL-producing E. coli were not significantly different (p=0.059). Mortality was found 55,7% among ESBL-producing E. coli bacteremia and associated independent risk factors were age (adjusted OR 15.0; 95%CI 1.54–146.0; p=0.020) and sepsis (adjusted OR 6.5; 95%CI 1.91–22.16; p=0.003).
Conclusion. The risk factors for ESBL-producing E. coli bacteremia patients were a history of antibiotic therapy and medical devices. High mortality was found in patient with ESBL-producing E.coli bacteremia and the risk factors was associated with mortality were age and sepsis.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrieanta
"Pasien anak dengan keganasan dapat mengalami episode demam neutropenia. Etiologi bakterimia pada demam neutropenia berbeda-beda pada tiap pusat pelayan kesehatan dan berubah secara periodik. Antibiotik empiris diberikan pada pasien demam neutropenia berdasarkan klasifikasinya. Skor Rondinelli mengklasifikasikan pasien demam neutropenia menjadi risiko rendah dan risiko tinggi. Luaran dengan menggunakan skor Rondinelli belum pernah dilaporkan.
Tujuan : Mengetahui karakteristik etiologi dan perjalanan klinis demam neutropenia pada anak dengan keganasan yang dirawat inap di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM.
Metode : Penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Sampel diambil dari data sekunder berupa rekam medis pasien anak dengan keganasan yang mengalami demam neutropenia yang menjalani rawat inap di bangsal Departemen IKA FKUI/RSCM mulai bulan Januari 2010 hingga bulan September 2013.
Hasil : Penelitian dilakukan pada 86 pasien anak yang mengalami 96 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Prevalensi bakterimia pada episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 17%. Proporsi kuman penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia adalah Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumonia (19%) dan Escherichia coli (13%). Penelitian ini mendapatkan luaran episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 40% memiliki luaran sembuh, 49% memiliki luaran tidak sembuh dan 6% meninggal dunia. Berdasarkan skor Rondinelli didapatkan 30 (61%) episode demam neutropenia risiko rendah memiliki luaran sembuh dan hanya 13 (28%) episode demam neutropenia risiko tinggi yang memiliki luaran sembuh.
Simpulan : Sebagian besar hasil kultur darah pada demam neutropenia adalah steril. Kuman gram negatif penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia. Demam neutropenia memiliki morbiditas yang tinggi. Skor Rondinelli dapat digunakan untuk mengklasifikasikan demam neutropenia pada anak dengan keganasan.

Cancer children could have febrile neutropenia (FN) episodes. The bacteremia etiology of FN from each health center was different and periodically changed. Empirical antibiotic was given to the patient according to the classification. Rondinelli’s score classify FN patient to low risk and high risk. Outcome of Rondinelli’s score is not yet reported.
Purpose: To know the clinical pathway and characteristic of etiology FN in cancer children in Department of Child Health RSCM ward.
Methods: The retrospective descriptive study. Samples were taken from secondary data in medical report of a cancer child with FN in ward in Department of Child Health FKUI/RSCM from January 2010 to September 2013.
Results: There were 86 children with 96 FN episodes that fulfill the inclusion and exclusion criteria. Bacteremia prevalence in cancer child with FN episodes was 17%. The most frequent proportion bacteria as FN etiology were Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumoniae (19%), and Escherichia coli (13%). The outcome of cancer children with FN were 40% recover, 49% not recover, and 6% pass away. Rondinelli's score outcome showed 30 (61%) episodes of low risk FN recover and only 13 (28%) episodes of high risk FN recover.
Conclusions: Most of blood culture result of FN was sterile. Gram negative bacteria were the most frequent etiology for FN. FN has high morbidity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrieanta
"Pasien anak dengan keganasan dapat mengalami episode demam neutropenia. Etiologi bakterimia pada demam neutropenia berbeda-beda pada tiap pusat pelayan kesehatan dan berubah secara periodik. Antibiotik empiris diberikan pada pasien demam neutropenia berdasarkan klasifikasinya. Skor Rondinelli mengklasifikasikan pasien demam neutropenia menjadi risiko rendah dan risiko tinggi. Luaran dengan menggunakan skor Rondinelli belum pernah dilaporkan.
Tujuan : Mengetahui karakteristik etiologi dan perjalanan klinis demam neutropenia pada anak dengan keganasan yang dirawat inap di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM.
Metode : Penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Sampel diambil dari data sekunder berupa rekam medis pasien anak dengan keganasan yang mengalami demam neutropenia yang menjalani rawat inap di bangsal Departemen IKA FKUI/RSCM mulai bulan Januari 2010 hingga bulan September 2013.
Hasil : Penelitian dilakukan pada 86 pasien anak yang mengalami 96 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Prevalensi bakterimia pada episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 17%. Proporsi kuman penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia adalah Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumonia (19%) dan Escherichia coli (13%). Penelitian ini mendapatkan luaran episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 40% memiliki luaran sembuh, 49% memiliki luaran tidak sembuh dan 6% meninggal dunia. Berdasarkan skor Rondinelli didapatkan 30 (61%) episode demam neutropenia risiko rendah memiliki luaran sembuh dan hanya 13 (28%) episode demam neutropenia risiko tinggi yang memiliki luaran sembuh.
Simpulan : Sebagian besar hasil kultur darah pada demam neutropenia adalah steril. Kuman gram negatif penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia. Demam neutropenia memiliki morbiditas yang tinggi. Skor Rondinelli dapat digunakan untuk mengklasifikasikan demam neutropenia pada anak dengan keganasan.

Cancer children could have febrile neutropenia (FN) episodes. The bacteremia etiology of FN from each health center was different and periodically changed. Empirical antibiotic was given to the patient according to the classification. Rondinelli’s score classify FN patient to low risk and high risk. Outcome of Rondinelli’s score is not yet reported.
Purpose: To know the clinical pathway and characteristic of etiology FN in cancer children in Department of Child Health RSCM ward.
Methods: The retrospective descriptive study. Samples were taken from secondary data in medical report of a cancer child with FN in ward in Department of Child Health FKUI/RSCM from January 2010 to September 2013.
Results: There were 86 children with 96 FN episodes that fulfill the inclusion and exclusion criteria. Bacteremia prevalence in cancer child with FN episodes was 17%. The most frequent proportion bacteria as FN etiology were Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumoniae (19%), and Escherichia coli (13%). The outcome of cancer children with FN were 40% recover, 49% not recover, and 6% pass away. Rondinelli's score outcome showed 30 (61%) episodes of low risk FN recover and only 13 (28%) episodes of high risk FN recover.
Conclusions: Most of blood culture result of FN was sterile. Gram negative bacteria were the most frequent etiology for FN. FN has high morbidity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Sedjahteraa
"Kemunculan MDR-TB menghambat program pemberantasan TB dan berakibat pada meningkatnya angka kematian dan beban control TB. Tempat pengobatan TB, termasuk riwayat pengobatan, sangat mungkin merupakan predictor MDR-TB yang kuat. Tujuan dari studi ini ada untuk mengidentifikasi dan menganalisis tempat pengobatan TB primer sebagai salah satu factor yang mungkin berkontribusi dalam perkembangan TB menjadi MDR-TB. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Desember 2009 hingga Agustus 2010. Mengguanakan metode cross-sectional, data didapatkan melaui wawancara mendalam dengan 50 pasien MDR-TB yang sedang mendapatkan pengobatan di klinik MDR-TB RS Persahabatan. Dalam jumlah besar pasien MDR-TB mendapatkan pengobatan di puskesmas (38%) dan dokter praktik pribadi (28%). Tidak ditemukan adanya assosiasi antara tempat pengobatan TB pertama dan kepatuhan pasien sedangkan assosiasi terlihat antara tempat pengobatan TB pertama dan peresepan obat gratis.

The emergence of MDR-TB hampers TB eradication program which resulted in high fatality rate and increase burden of TB control. TB treatment place, including history of treatment, might be a strong predictor of MDR-TB. The purpose of this study is to identify and analyze primary TB treatment place as the contributing factor that may lead to the development of TB towards MDR-TB. The data collection was done from December 2009 to August 2010 at Persahabatan Hospital. Using cross-sectional method, data is obtained through thorough interview of 50 MDR-TB patients undergoing treatment in MDR-TB Clinic in Persahabatan Hospital. Large proportion of MDR-TB patient received their primary TB treatment at puskesmas (38%) and private Practice (28%). It is found that there is no association between primary TB treatment place and patient compliance while association appears between primary TB treatment place and free drug prescription."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Katarina Damayanti
"Latar Belakang: Target angka keberhasilan pengobatan TB MDR/TB RR 2015 adalah ≥ 75 %. Angka keberhasilan pengobatan menurut WHO tahun 2013 adalah 52%. Kesenjangan antara target dan pencapaian masih sangat besar.
Metode: Penelitian cross sectional/potong lintang berdasarkan data rekam medis pasien TB MDR yang sudah ada hasil pengobatan sejak Januari 2013 sampai dengan Desember 2016. Hasil: Dari 409 pasien TB MDR di RSUP Persahabatan keberhasilan pengobatan 61,4% dengan hasil akhir pengobatan sembuh 243 subjek (59,4%), pengobatan lengkap 8 subjek (2%), meninggal 44 subjek (10,8%), loss to follow up 106 subjek (25,9%) dan gagal 8 subjek (2%). Pada penelitian ini 243 subjek (59,4%) laki-laki dengan rerata umur 38,79 ± 11,887 tahun, mayoritas gizi kurang dan terdapat pengobatan TB sebelumnya, resistensi terbanyak RHES dan efek samping terbanyak efek samping sedang (kelompok 2). Faktor umur, riwayat penggunaan alkohol dan komorbid DM mempunyai hubungan bermakna terhadap hasil akhir pengobatan (p<0,05). Riwayat penggunaan alkohol merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap hasil akhir pengobatan.
Kesimpulan: Keberhasilan pengobatan TB MDR di RSUP Persahabatan adalah sebesar 61,4% dan faktor yang berhubungan bermakna adalah umur, riwayat penggunaan alkohol dan terdapatnya komorbid DM.

Background: The target of treatment success rate of MDR TB/RR TB in 2015 is ≥ 75 %. The success rate in WHO 2013 is 52%. The gap between target and achievement is still very large.
Method: A cross sectional design based on medical record data of MDR TB patients who have been treatment outcomes from January 2013 to December 2016.
Result: Of a total 409 MDR TB patients at Persahabatan Hospital succes rate of treatment is 61,4% with the final outcome consist of cured 243 subjects (59,4%), complete treatment 8 subjects (2%), death 44 subjects (10,8%), loss to follow up 106 subjects (25,9%) dan failed 8 subjects (2%). Patients in this study were male 243 subjects (59,4%) with mean age of subjects 38,79 ± 11,887 years old, majority is malnutrition and had previous TB treatment, the most resistance is RHES and the most side effects is moderate. The age, alcohol user and comorbid DM were found to have significant relationship to treatment outcomes (p<0,05). The alcohol user is the most influential factor to the treatment outcomes.
Conclusion: The success rate of treatment outcome of MDR TB in Persahabatan hospital is 61,4% and associated factors is the age, alcohol user dan comorbid DM. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Titania Nur Shelly
"Latar Belakang: Kondisi bakteremia merupakan penyebab sepsis yang mengancam jiwa, sehingga deteksi awal terhadap etiologi bakteremia sangat penting. Pengetahuan mengenai pola resistensi bakteri terhadap berbagai antimikroba dapat berguna sebagai landasan bagi pengobatan empirik pasien dengan dugaan sepsis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil dan pola resistensi bakteri yang diperoleh dari isolat darah terhadap antibiotik sefalosporin generasi tiga di LMK FKUI pada tahun 2001-2006. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data hasil kultur darah positif dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (LMK-FKUI) tahun 2001-2006 yang dimasukkan ke dalam piranti lunak WHOnet 5.4. Dari seluruh isolat, dibandingkan antara persentase bakteri gram positif dan negatif dan dilakukan pendataan pola resistensi bakteri yang ada di dalam darah terhadap sefalosporin generasi tiga. Pada seftriakson, analisis dilakukan pada 2 periode, yaitu 2001-2003 dan 2004-2006. Data yang diperoleh kemudian dianalisis. Hasil: Dari data yang ada, didapatkan 791 isolat darah positif, yang terdiri dari 66,37% bakteri gram negatif dan 33,63% bakteri gram positif. A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, dan E.aerogenes merupakan bakteri gram negatif tersering. Pada keempat bakteri tersebut, yang resisten terhadap sefotaksim adalah sebesar 10%; 27,4%; 14,3%; 20,5%, sedangkan terhadap seftazidim ialah 8%;9,5%; 22,9%; 9,4%; terhadap seftizoksim, jumlah isolat sebanyak 1,9%; 22,4%; 10,5%; 4,2%. Pada bakteri gram positif, S.aureus dan S.epidemidis merupakan bakteri tersering. Dari data yang di bagi pada 2 periode, pola kepekaan bakteri dalam darah cenderung meningkat tajam pada K.pneumonia dari 41,7% menjadi 81,2%. Kesimpulan: Dari hasil kultur darah di LMK FKUI 2001-2006, bakteri gram negatif merupakan bakteri tersering yang ditemukan pada kultur darah di LMK FKUI periode 2001-2006. Bakteri gram negatif terbanyak yang didapatkan adalah A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, dan E.aerogenes. Akan tetapi, bakteri yang paing sering ditemukan diantara seluruh isolat adalah stafilokokus koagulase negatif. Didapatnya isolat A.anitratus dan stafilokokus koagulase negatif pada perlu dipertimbangkan kemaknaannya secara klinis sebagai penyebab sepsis karena beberapa penelitian menyampaikan bahwa adanya kedua bakteri merupakan kontaminan yang sering didapatkan pada kultur darah. Kurangnya data mengenai riwayat pasien dan penanganan spesimen, serta teknis pengerjaan kultur menyebabkan hasil sulit diinterpretasikan.

Introduction: Bacteremia is one of the common etiology of sepsis, so that its early detection is important. Knowledge about bacteria resistance pattern toward various antimicrobial therapies is essential to give empirical therapy for patients with sepsis in clinical practice. The objective of this research is to know the bacterias profile and resistance pattern from blood culture towards third generation cephalosporins in Clinical Microbiology Laboratory Faculty of Medicine, University of Indonesia (CML-FMUI) 2001-2006. Methods: We used positive blood culture datas in CML-FMUI 2001-2006, from software WHOnet 5.4. The proportion of negative- and positive-gram bacteria isolates were collected. Their resistance pattern towards third generation cephalosporins was made in table and diagram. the resistance pattern towards ceftriaxone was made in 2 periodes of time (2001-2003 and 2004- 2006). In discussion, we analyzed the datas compared to other researches. Results: From all 791 positive-isolates, gram negative bacteria accounted for 66,37%, higher than 33,63% of gram-positive bacteria. A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, and E.aerogenes was the most common negative-gram bacterias isolated from blood culture. Their resistance pattern towards cefotaxime were 10%; 27,4%; 14,3%; 20,5%, towards ceftazidime were 8%;9,5%; 22,9%; 9,4% and towards ceftizoxime were 1,9%; 22,4%; 10,5%; 4,2%. Two most frequent positive-gram bacterias were S.aureus and S.epidermidis. Toward ceftriaxone, there was dramatic changes of K.pneumonia’s resistance pattern in 2 periodes, from 41,7% to 81,2%. Conclusions: Negative-gram bacteria was the major bacteria in blood culture result in CMLFEUI 2001-2006. The most frequent of these bacteria were A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, and E.aerogenes. However, the highest number of isolates among all blood culture results was Coagulase-negative staphylococci. Isolations of A.anitratus and Coagulase-negative staphylococci need to be evaluated clinically as the cause of sepsis, because some studies suggested that those organisms were the common blood culture contaminants. Lack of data about patients history, specimen handling, and methods of blood culture made the positive blood culture results difficult to be interpreted."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Prabowo Wirjodigdo
"Diperkirakan sekitar 15% penderita diabetes akan mengalami diabetic foot ulcer (DFU). Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) terbukti lebih efektif dibandingkan dengan perawatan konvensional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang memengaruhi lama rawat DFU dengan NPWT. Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan desain cross sectional analitik pada 105 subjek yang dirawat pada Januari 2016 sampai Desember 2018 di RS dr. Cipto Mangunkusumo. Lama rawat DFU dengan NPWT adalah 19,9 ± 19,3 hari. Faktor risiko yang mempengaruhi lama rawat adalah riwayat ulkus (r = 0,01; p = 0,034), kedalaman luka (r = 0,292; p = 0.003), Hb (r = 0,05; p = 0,039), HbA1c (r = 0,06; p = 0,033), albumin (r = 0,06; p = 0,017), PCT (r = 0,10; p = 0,035), dan lama menderita DM (r = 0,193; p = 0,009). Penelitian ini menunjukkan bahwa lama rawat DFU dengan NPWT dipengaruhi oleh faktor sitemik (lama menderita DM, Hb, HbA1c, albumin, dan PCT) dan faktor lokal (riwayat ulkus sebelumnya dan kedalaman luka). Kedalaman luka merupakan faktor yang paling berhubungan positif terhadap lama perawatan DFU pasca NPWT (r = 0,292, p = 0,003). Intervensi pada faktor risiko patut dilakukan untuk memaksimalkan penggunaan NPWT dan mengurangi lama perawatan.

It is estimated that around 15% of diabetic patients will experience diabetic foot ulcer (DFU). Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) is proven to be more effective than conventional treatments. This study was conducted to determine the risk factors that affect the length of stay of DFU with NPWT. This research is a retrospective study with a cross-sectional analytic design of 105 subjects treated in January 2016 to December 2018 at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. The average length of stay of DFU with NPWT was 19.9 ± 19.3 days. Risk factors affecting the length of stay were history of ulcers (r = 0.01; p = 0.034), wound depth (r = 0.292; p = 0.003), Hb (r = 0.05; p = 0.039), HbA1c (r = 0.06; p = 0.033), albumin (r = 0.06; p = 0.017), PCT (r = 0.10; p = 0.035), and duration of DM (r = 0.193; p = 0.009). This study showed that the length of stay of DFU with NPWT was influenced by systemic factors (duration of DM, Hb, HbA1c, albumin, and PCT) and local factors (history of previous ulcers and wound depth). Depth of the wound was themost positively related factor to the length of stay in DFU post NPWT (r = 0.292; p = 0.003). Interventions on the risk factors may amplify the result of NPWT and reduce the length of treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni
"Pada tahun 2015 Indonesia berada pada peringkat 2 dari 20 negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak di bawah India. Pengobatan tuberkulosis cukup lama dan polifarmasi sehingga meningkatkan keluhan efek samping obat yang akan mempengaruhi kepatuhan dan kesuksesan pengobatan. Penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan efek samping obat anti tuberkulosis. Desain penelitian adalah kasus kontrol. Kasus adalah pasien yang mengalami efek samping obat dan kontrol adalah pasien yang tidak mengalami
efek samping obat antituberkulosis. Jumlah sampel 342 terdiri dari 171 kasus dan 171 kontrol. Akhir analisis multivariat membuktikan ada 4 faktor yang berhubungan dengan efek samping obat yaitu umur, jenis kelamin, BTA(+) dan riwayat pengobatan TB dengan peran yang berbeda terhadap efek samping ringan dan efek samping berat. Faktor yang berhubungan dengan kejadian efek samping ringan adalah usia ≥40 tahun (OR = 2.17, 95% CI: 1.60 ? 4.75), jenis kelamin perempuan (OR= 4.67, 95% CI: 1.26 ? 17.33); faktor yang berhubungan dengan kejadian efek samping berat adalah usia ≥40 tahun (OR = 3.22, 95% CI: 1.73 - 5.96), jenis kelamin perempuan (OR= 2.92 95% CI: 1.07 ? 7.97), BTA(+) (OR=0.59, 95% CI: 0.35 ? 0.98) dan riwayat pengobatan TB (OR= 3.19, 95% CI: 1.16
? 8.74).

Indonesia was ranked 2nd out of 20 countries with the highest tuberculosis patients in the world after India. Long term exposure to anti-tuberculosis medication and polypharmacy increase risk of adverse drug reaction and which might determine adherence and therefore theraphy succes. The aim of this study was to determine factors associated with anti-tuberculosis adverse drugs reactions.
A case control study was performed. Controls were defined as not having reported as side effect, receiving anti-TB during the same time that the case had appeared. A total of 342 patients (171 cases and 171 controls) were analyzed. At the end of multivariate model prooved 4 factors (age, gender, BTA+ and previous anti-Tb therapy) associated with adverse drug reaction in different role. In multivariable model, age especially those over 40 years (OR = 2.17, 95% CI: 1.60 - 4.75), gender (OR= 4.67, 95% CI: 1.26 - 17.33) were independently associated with mild-adverse drug reaction and age over 40 years (OR = 3.22, 95% CI: 1.73 ? 5.96), gender (OR= 2.92 95% CI: 1.07 - 7.97), BTA(+) (OR= 0.59, 95% CI: 0.35 - 0.98) and previous anti-Tb therapy (OR= 3.19, 95% CI: 1.16 - 8.74) were independently associated with severe-adverse drug reaction.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>