Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71355 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"Kajian ini mengelaborasi konstruksi pertentangan norma huku dalam skema pengujian Undang-undang. Hasil analisis, meliputi: Pancasila dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai "pertentangan norma", Mahkamah Konstitusi menguji seluruh undang-undnag yang lahir sebelum dan sesudah amandemen dengan tolak ukur UUD 1945 yang sedang berlaku: Undnag-undang dasar 1945 harus dimaknai sebagai konstitusi yang hidup ( the living constitution) guna menegakan hukum dan keadilan; Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dalam menguji Undang-undang terhadap UUD baik secara vertikal maupun horizontal."
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Kajian ini mengelaborasi konstruksi pertentangan norma hukum dalam skema pengujian Undang-Undang. Hasil analisis, meliputi: Pancasila dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai “pertentangan norma”; Mahkamah Konstitusi menguji seluruh Undang-Undang yang lahir sebelum dan sesudah amandemen dengan tolok ukur UUD 1945 yang sedang berlaku; Undang-Undang Dasar 1945 harus dimaknai sebagai konstitusi yang hidup (the living constitution) guna menegakan hukum dan keadilan; Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dalam menguji Undang-Undang terhadap UUD baik secara vertikal maupun horizontal; aspek keberlakuan sebuah Undang-Undang merupakan bagian dari pengujian materiil, bukan pengujian formil; makna “bertentangan dengan UUD 1945” harus dielaborasi secara komprehensif dalam putusan dengan mengutamakan tegaknya hukum dan keadilan; Mahkamah Konstitusi tidak boleh mengutamakan penafsiran original intent dan mengenyampingkan model penafsiran lain jika hal tersebut justru menyebabkan tidak berjalannya konstitusi; ketentuan non konstitusi dapat dibenarkan dalam pengujian formil, namun dalam pengujian materiil tidaklah tepat; pengeyampingan asas hukum acara “nemo judex idoneus in propria causa” dapat dibenarkan demi tegaknya konstitusi dan mengutamakan asas curia novit, pertentangan norma secara fomil dapat disimpangi oleh asas kemanfaatan demi substansi Undnag-Undang; putusan berlaku surut menyebabkan ketidakpastian hukum yang adil"
Lengkap +
JK 11(1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Syamsiati D.
"Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2a) perubahan ketiga UUD 1945, kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dari empat kewenangan Mahkamah Konstitusi, salah satunya adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan pengujian undang-undang terhadap konstitusi yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Sebagaimana hukum acara pada umumnya, hukum acara pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi memiliki proses-proses yang harus dilalui. Dari sekian proses tersebut, pengujian mengenai kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon, merupakan tahapan yang paling penting untuk dapat beracara di Mahkamah Konstitusi.
Dalam praktik, hakim Mahkamah Konstitusi menerapkan dua persyaratan yang harus dipenuhi pemohon agar memiliki legal standing, yaitu harus menyatakan termasuk empat kualifikasi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK< kemudian menjelaskan bahwa Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian tersebut harus spesifik aktual maupun potensial, adanya hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya undang-undang, dan kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan tersebut kerugian tidak akan terjadi lagi.
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga membahas hal yang masih terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang yaitu dalam mengenai ketiadaan norma sebagai obyek pengujian dalam Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 51 ayat (3) huruf b UUMK, mewajibkan pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 untuk menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang- undang yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Dalam dalam praktek, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perkara pengujian undang-undang dalam hal ketiadaan norma. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena pembentukan UUMK sendiri dilakukan sangat singkat dan cakupan masalah yang dirumuskan dalam kaidah-kaidah yang dikandungnya masih sangat sederhana. Sehingga Mahkamah Konstitusi berusaha mengatur masalah-masalah yang dihadapi dalam praktek dengan membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Based on the provisions in Article 24, paragraph (2a) changes the third of the 1945 Constitution, judicial power is held by a Supreme Court (MA) and the judicial body that is located underneath the environment in general, the religious environment, the military environment, the environment administration of justice, and by a Constitutional Court. Four of the authority of the Constitution Court, one of which is to test the laws of the 1945 Constitution. The authority of the laws of the constitution of the Constitutional Court is the protection of constitutional rights of citizens. As the law in general, the law of the law on the Constitutional Court have the processes that must be passed. Of the process, the position of the law (legal standing) from the applicant, is the most important stages to be able to be in session in the Constitutional Court.
In practice, the judge Constitutional Court to apply the two requirements that must be fulfilled so that the applicant has legal standing, the claim must include the four applicant qualifications as specified in Article 51, paragraph (1) UUMK then explained that the applicant has a constitutional right given to the 1945 Constitution, constitutional rights are disadvantaged by the introduction of the law, damages must be specific and actual potential, the relationship between loss causalities with the introduction of laws, and possibly with the application to be granted loss will not occur again.
In writing this essay author also discusses the things that are related to the Constitutional Court the authority to test the law in the absence of norms as a test object in the Constitutional Court as the law in the Constitutional Court in the event. Based on the provisions in article 51 paragraph (3) letter b UUMK, require the applicant in the application of laws against the 1945 Constitution to construe the clear material in the cargo clause, article, and/or part of the law deems contrary to the 1945 Constitution.
In practice, the Constitution Court grant the application of the law in the absence of norms. This may happen because the establishment of their own UUMK is very short and the scope of the problem formulated in the convention to be contain the rule is very simple. So that the Constitutional Court seeks to set up the problems faced in practice with the Constitutional Court Rules form. Keywords: Constitutional Court, Legal Standing, Object Testing."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S22591
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Mahrus Ali
"Pengujian norma konkret dalam putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya tidak menjadi kewenangan MK. Pengujian terhadap norma secara teoritis haruslah bertitiktolak dari norma abstrak sebagai implikasi kedudukan MK yang menjadi pengadilan norma dan mengujinya terhadap konstitusi. Untuk menilai konstitusionalitas norma undang-undang, maka norma abstraklah yang seharusnya ditafsirkan oleh MK. Sedangkan norma konkret lebih menitikberatkan implementasi atau penerapan dari norma itu sendiri. Penerapan norma tidak dapat dilepaskan dari legalitas norma, sedangkan konstitusionalitas norma adalah menguji kebersesuain norma tesebut dengan konstitusi. Apabila landasan pengujian norma adalah Undang-Undang Dasar 1945 maka norma abstrak yang seharusnya menjadi materi utama untuk diuji. Sebaliknya ketika norma konkret yang akan diuji, maka yang harus dipertimbangkan juga adalah penerapan dari norma tersebut yang sudah sudah masuk dalam kasus konkret yang terjadi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kasus (case approach) yaitu 15 (lima belas) putusan Mahkamah Konstitusi sepanjang 2003-2013 dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 secara materiil yang memfokuskan pada ratio decidendi hakim konstitusi dalam menentukan konstitusionalitas norma. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa MK dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tidak memisahkan secara dikotomis antara norma abtrak dan norma konkret. Dalam upaya melindungai hak-hak konstitusional warga negara, tidak adanya upaya hukum lanjutan yang akan ditempuh oleh Pemohon, serta untuk memberikan kepastian hukum yang adil, MK mengabulkan pengujian norma konkret. Meskipun MK tetap tegas menyatakan bahwa hal tersebut adalah norma konkret, sehingga permohonan pemohon hanya dikabulkan sebagian pada pengujian norma abstraknya saja. Sedangkan dalam hal putusan MK yang menolak pengujian norma konkret karena norma yang diujikan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan penerapan norma dan permintaan putusan provisi (putusan sela) yang tidak relevan dengan pokok perkara. Pengujian norma konkret dalam putusan menolak adalah bentuk kehatian-hatian MK agar tidak mengadili perkara yang menjadi kewenangan peradilan lain yaitu Mahkamah Agung serta peradilan di bawahnya. Adapun terkait putusan yang menyatakan tidak dapat diterima, MK menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum serta MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji norma tersebut. Akhirnya, ke depan MK dalam perlu menegaskan perihal kedudukan norma sebelum melakukan pemeriksaan lebih mendalam terhadap permohonan yang diajukan. Di samping itu MK perlu diberikan kewenangan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) atau pertanyaan konstittusional (constitutional question) sehingga terciptanya harmonisasi penafsiran berdasarkan konstitusi.

The review of conrete norms in the decision of judicial review of laws against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia basically does not constitute authority of the Constitutional Court. Theoretically, norms review should be starting from abstract norms as the implications of the Constitutional Court authority. In order to review the constitutionality of laws, norms and abstract norms should be interpreted by the Constitutional Court. While concrete norms focuse more on the implementation or application of the norm itself. The application of norms cannot be separated from the legality of the norms, while constitutionality of norms is related to its coherence with with the Constitution. If the basis of norms review is the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia then abstract norms should be the main subject matter to be reviewed. Otherwise, when concrete norms are the subject matters to be reviewed, then the implementation of the norms that have been applied in concrete cases. This research is using normative juridical method with case approach in which 15 (fifteen) verdicts of the Constitutional Court of Republic of Indonesia over the period of 2003-2013 in judicial review of laws against the 1945 Constitution are analyzed. The focus is on the ratio decidendi of the Constitutional Court judges in determining the constitutionality of norms. The result of this research shows that, the Constitutional Court, in the judicial review of laws against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia does not separate abstract norms and concrete norms dichotomously. In an attempt to protect the constitutional rights of citizens, the absence of legal remedies that can be further pursued by the applicant, as well as to provide legal certainty, the Constitutional Court, granted, in its decision, the review of concrete norms. Even though the Constitutional Court remains firm in satting that it is a concrete norm, the applicant's petition is granted in part which is concerning the review the abstract norms only. Whereas, with respect to the verdict of the constitutional court that rejected the review of concrete norms, it is because the review is not on the constitutionality of norms but the application of the norms and also concerns a petition for an interlocutory decision which is irrelevant to the subject matter of the case. The review of concrete norms in a rejecting ruling is a form of prudence by the Constitutional Court in order not to prosecute the matters which constitute the authority the other judicial bodies, namely the Supreme Court and the lower courts. As for the ruling which declared a petition inadmissible, the Constitutional Court stated that the applicant has no legal standing and the Constitutional Court does not have the authority to test these norms. Finally, in the future, the Constitutional Court needs to affirm the status of norms before further examining in depth the petition filed. In addition, the Constitutional Court should be conferred with the authority to hear constitutional complaint and constitutional question in order to create the harmonization of interpretation based on the Constitution.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafli Fadilah Achmad
"Pengujian undang-undang merupakan kewenangan yang paling dominan terjadi di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi hingga empat belas tahun Mahkamah Konstitusi dibentuk belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai batas waktu penyelesaiannya. Tesis ini membahas sekaligus merumuskan urgensi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan perbandingan lima negara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa telah terjadi standar ganda antara batas waktu pengujian undang-undang dengan sengketa yang lain dimana sengketa pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum dan impeachment memiliki batas waktu penyelesaian sedangkan pengujian undang-undang yang notabenenya adalah kewenangan dominan dari Mahkamah Konstitusi justru tidak memiliki batas waktu penyelesaiannya.Selain itu ketiadaan batas waktu penyelesaian juga terbukti menciptakan suatu kondisi yang dinamakan justice delayed is justice denied, dimana baik Pemohon, Masyarakat dan Mahkamah Agung tidak mengetahui kepastian waktu tentang putusan pengujian undang-undang akan memiliki kekuatan hukum tetap. Kasus korupsi mantan Hakim Konstitusi berinisial "PA" juga menjadi studi dalam penelitian ini yang membuktikan bahwa ketiadaan batas waktu menciptakan ruang negosiasi antara para pihak dan oknum pengadilan untuk melakukan tindakan koruptif. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan tiga formulasi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang dalam suatu rumusan norma. Ketiga rumusan tersebut adalah batas waktu pengujian undang-undang yang bersifat kerugian potensial terhadap peristiwa konkret, batas waktu penyelesaian terhadap PERPU, dan batas waktu secara umum. Apabila Mahkamah Konstitusi memutus lebih dari waktu yang telah ditentukan maka terdapat konsekuensi hukum yang harus dilakukan berupa melakukan notifikasi dan penjelasan yang rasional kepada Pemohon dan Masyarakat.

Judicial Review represents the most dominant authority at the Constitutional Court. However, it has been fourteen years since the establishment of the Constitutional Court and the regulation to specifically determine a definite deadline for case resolution has yet to be issued. This theses discusses and also formulate the urgency to establish case resolution deadline for judicial review at the Constitutional Court of the Republic of Indonesia. The research method applied utilizes normative research method improvised with comparative study from three countries. Research results revealed signs of double standards between the deadlines for judicial review with other judicial disputes, whereas political party dissolution dispute, general election results dispute and impeachment presented definite deadline for case resolution while judicial review which supposedly represents the domain jurisdiction of the Constitutional Court fails to submit any deadline for case resolution. In alternative, that the vacuum in such deadline has generated the condition known as "justice delayed is justice denied", in which the Applicant, Public and the Supreme Court is shrouded concerning the definite deadline for the judicial review, to interpret any legal binding effect out of it. The corruption case of "PA" as former Constitutional Court was also investigated in this research as an evidence that the vacuum in the deadline has in turn created a negotiation room between parties and court officials to conduct corruptive actions. As such, the necessity to revised the Law on Constitutional Court is of paramount importance by adding three formula on deadline for case resolution within a normative framework. Those three formulations constitutes deadline in judicial review for laws with potential laws in nature to concrete events, deadline in judicial review to PERPU, and general deadline. In the event that the Constitutional Court issued a decision for such case beyond the agreed deadline, then such act will trigger mandatory legal consequences comprised of issuing notification and rational reasoning to the Applicant and Public at large.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Yasrif Watampone, 2005
347.012 JIM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Konstitusi Press, 2006
340 JIM h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Sinar Grafika, 2012
340 JIM h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2004
342.039 HUK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>