Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166867 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Fitri
"Klassieke Model merupakan sebuah teori yang menggunakan konsep Legpuzzel atau puzzle yang membantu pembelajar bahasa asing dalam proses pemahaman suatu makna kata. Metode legpuzzel ini menggunakan perumpamaan konsep Legpuzzel dengan menganalisis dan menghimpun komponen-komponen pembentuk makna kata dengan bantuan tabel dan kolom yang diibaratkan sebagai himpunan potongan-potongan puzzle yang akan membentuk kesatuan puzzle yang utuh. Dalam jurnal ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dan survey untuk mencoba meneliti proses mahasiswa tingkat III Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia mengenai konsep legpuzzel dengan menguji 9 responden menggunakan dua kosakata berbahasa Belanda, yaitu kata wrijftelefoon dan facebookrellen. Dari hasil penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa metode Legpuzzel memang mempermudah pembelajar bahasa asing dalam hal proses pemahaman kata-kata baru. Konsep legpuzzel pun dinilai cukup membantu responden dalam menebak makna kata berbahasa asing yang baru dikenal oleh para responden.

The Klassieke Model is a theory that uses the concept of jigsaw puzzle that helps to ease a language learner to understand, apply and to absorb new meanings. This Legpuzzel Method can be used by foreign language learners to ease them translating a word into their mother language. The aim of this journal is to analyze and compare the process of identifying and acknowledging two dutch words facebookrellen and wrijftelefoon among nine 3rd year students of the Dutch Department of Faculty of Humanities University of Indonesia. The result shows that the students generally concluded one of two meanings correctly by using the Legpuzzel Method. The Legpuzzel Method plays an important role in the process of identifying new words and their meaning and also helping students in summing up the meaning of new words in Dutch.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kaban, Abdul Manan Akbar
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46946
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Laksman-Huntley
"ABSTRAK
Sejak diputuskan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta, para ahli bahasa sibuk membenahi dan mengembangkan norma-norma bahasa tersebut. keputusan untuk menentukan cara penulisan, tata bahasa dan perbendaharaan kata muncul pada Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 di Solo (Java Tengah). Bahasa Indonesia lebih terpacu untuk berkembang pada masa penjajahan Jepang karena bahasa ini merupakan satu-satunya cara untuk berkomunikasi dan akhirnva menjadi lambang kesatuan nasional Bahasa Indonesia memiliki peran yang penting sebagai lambang kesatuan nasional. Sejak dibentuk Komisi Bahasa Indonesia pada tanggal 20 Oktober 1942. penyempurnaan bahasa terutama normalisasi tata bahasa selalu dilaksanakan. Berkat komisi ini juga pada akhir penjajahan Jepang tahun 1945 bahasa Indonesia diperkaya dengan sekitar 7.000 istilah haru (St. T. Alisjahbana, 1983: 15).
Komisi kerja yang di bentuk pada 18 Juni 1945 berhasil menyelesaikan istilah-istilah ilmiah dan teknik serta mencatat 5.000 kata-kata baru. Setelah perpindahan/serah terima teknik serta mencatat 5.000 kata-kata baru. Setelah perpindahan/serah terima kekuasaan pekerjaan di atas dilanjutkan oleh Komisi Istilah T'eknik yang bertugas menyusun kamus baru dan menyempurnakan yang sudah ada untuk pengajaran."
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
E. Zaenal Arifin
"ABSTRAK
Konsep jumlah tergolong kategori semantik, seperti halnya jenis kelamin, modalitas, aspektualitas, dan temporalitas yang masing-masing berpasangan dengan kategori gramatikal bilangan, jenis (gender), modus (mood), aspek (aspect), dan kala (tense). Konsep jumlah tersebut merupakan gambaran di dalam pikiran manusia yang menyatakan satu atau tunggal dan lebih dari satu atau jamak tentang maujud, hal, atau peristiwa di dunia nyata atau yang dibayangkan.
"Pengungkapan konsep jumlah di dalam bahasa Sunda" ini berlatar pokok bahasan semantik, yaitu berlatar masalah pengacuan, sedangkan pengungkapannya harus diamati pada tataran morfologi dan sintaksis. Dari sudut semantik ditelusuri berjenis jenis pengacuan yang disandang pleb konsep ketunggalan dan kejamakan. Dari sudut morfologi dan sintaksis analisis data diarahkan pada pemarkahan, pembentukan, dan distribusi ungkapan yang berkonsep ketunggalan dan kejamakan. Di samping 1W, ungkapan tertentu mempertimbangkan juga aspek pragmatik, yaitu yang menghubungkan sistem bahasa dengan pemakaian bahasa di dalam komunikasi (Kridalaksana et al. 1985:6; Verhaar 1996:14; Levinson 1997:9), yang di dalam hal ini siapa pembicara, kawan bicara, di mana, dan kapan diproduksinya ungkapan yang berkonsep jumlah tersebut (Brown dan Yule 1996:27).
Pertanyaan tentang bagaimana pengungkapan konsep jumlah, baik secara leksikal maupun secara gramatikal, belum dirinci dengan jelas. Alat apakah yang dipergunakan sebagai pemarkah jumlah secara leksikal, dan alat apa pula yang dipergunakan secara gramatikal, baik secara morfologis maupun secara sintaktis, belum juga dibahas dengan memadai.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar pokok bahasan pada tujuan penelitian ini adalah:
(a) mengamati, memerikan, dan menjelaskan jenis pengacuan yang disandang each ungkapan yang berkonsep ketunggalan dan kejamakan;
(b) mengamati, memerikan, dan menjelaskan bermacam-macam pemarkah jumlah, baik secara leksikal maupun secara gramatikal;
(c) mengamati, memerikan, dan menjelaskan kendala konstruksi dan distribusi ungkapan yang berpengacuan ketunggalan dan kejamakan.

ABSTRACT
Concepts of numbers are classified as a semantic category, likewise sex, modality, aspectuality and temporality, each of which can be paired with the grammatical category of numeral, gender, mood, aspect, and of tense. Such a concept is formulated in one's mind as being one or singular and being more than one or plural about entities, conditions, and phenomena in a real or imagined world.
The act of expressing the concepts of number in Sundanese concerns mainly with semantic issues, namely references, whereas it has to be observed at the levels of morphology and syntax. From semantic points of view, various referring expressions endowed in the concepts for singularity and plurality are thoroughly analysed in this study. From morphological and syntactical points of view, an analysis is conducted with the focus on the process of marking, forming, and distributing expressions of the concepts for singalurity and plurality. Besides, certain expressions are analysed with some considerations on the aspects of pragmatic, namely those interconnecting a language system and a language use (Kridalaksana et at. 1985:6; Verhaar 1996:14; Livinson 1997:9), and those concerning the speaker, hearer, setting, and time of producing an expression of the concept of number (Brown and Yule 1996:27).
2. Research Objectives
In line with the background stated earlier, the research study aims to
(a) observe, describe, and explain various references shown by the expressions of the concepts for singularity and plurality;
(b) observe, describe, and explain various markers of number, both lexically and grammatically;
(c) observe, describe, and explain the constraints on the formation and distribution of referring expressions of singularity and plurality.
"
2000
D39
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teeuw, Andries, 1921-
Jakarta: Bhratara, 1973
499.2 TEE p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Setiyo Prutanto
"Penelitian ini membahas ciri-ciri bahasa laki-laki dan perempuan yang terdapat pada rubrik Wat zou u doen? dalam majalah suplemen Het Volkskrant Magazine. Rubrik ini merupakan rubrik tanya jawab yang melibatkan pembaca De Volkskrant, baik laki-laki maupun perempuan. De Volkskrant adalah sebuah media massa yang berbentuk surat kabar di Belanda dan Het Volkskrant Magazine merupakan suplemen dari koran tersebut yang disisipkan pada setiap akhir pekan. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis tanggapan-tanggapan yang terdapat dalam rubrik tersebut dan mengaitkannya dengan ciri-ciri bahasa laki-laki dan perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, dan bertujuan untuk mendeskripsikan serta menjelaskan ciri-ciri bahasa laki-laki dan perempuan melalui tanggapan mereka dalam rubrik tersebut. Penulis menggunakan data berupa 13 tanggapan yang diperoleh dari dua rubrik Wat zou u doen? yang berjudul Wanneer vertel ik mijn dochtertje dat ik van travestie houd? dan Klikken over de oppas? yang dianalisis dengan menggunakan teori ciriciri bahasa laki-laki dan perempuan. Setelah dianalisis, ciri-ciri bahasa laki-laki yang dominan adalah adanya unsur bahasa yang menunjukkan ketegasan dan mengaitkan masalah dengan pengalaman atau fakta, sedangkan ciri-ciri bahasa perempuan yang ditemukan adalah penggunaan bentuk pertanyaan, penggunaan unsur emosi atau perasaan, dan mengaitkan masalah dengan kehidupan sehari-hari atau aspek kehidupan lainnya.

This research explains about the differences between language characteristics and ‒behavior of men and women in Wat zou u doen? column in Het Volkskrant Magazine. This is a question and answer column which involves the readers of De Volkskrant. De Volkskrant is a newspaper in the Netherlands and Het Volkskrant Magazine is a supplement which is published on weekends. In this research, the writer tries to analyze the feedbacks from each dialogue and to connect them with the characteristics of the language of men and women. This research is based on the qualitative and quantitative methods, which is aimed to explain the characteristics of men and women‟s languages through dialogues within the column of the supplement pages. As primary data, the writer uses 13 dialogues from Wat zou u doen? titled Wanneer vertel ik mijn dochtertje dat ik van travestie houd? and Klikken over de oppas?. The dialogues are analyzed by the writer with the theory of the language of men and women. Concluding the research, men tend to be more assertive and connect the problem with facts or experiences, while women tend to use a question which is influenced by emotions or feelings and tend to connect the problem with daily life or other aspects.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Sanditya Kusuma
"Salah satu metode promosi yang terkenal yang dilakukan oleh para pramuniaga di Indonesia adalah metode sapa. Ketika para pramuniaga melakukannya, mereka mengucapkan beberapa kata mengundang secara agak keras untuk menarik pelanggan baik untuk melihat produk mereka atau untuk datang ke toko mereka. Kata-kata penyambut yang khas adalah "Silakan!" dan "Boleh!". Makalah ini menganalisis ekspresi yang digunakan oleh para pramuniaga kafe XXI terutama pada kekuatan metode sapa pelanggan dan keberadaan fungsi direktif dalam kata-kata dan dampaknya. Penelitian ini dilakukan dengan bantuan dari para mahasiswa Departemen Inggris Universitas Indonesia. Studi ini menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk direktif dari metode sapa adalah deklaratif yang dimodifikasi, dan hasil survei adalah bahwa meskipun sebagian besar responden tidak merasa terganggu atau terganggu oleh penyapaan tersebut, mereka juga tidak merasa disambut dan cenderung mengabaikannya.

One of the famous promotion methods by salesclerks among Indonesian is the greeting method When salesclerks do it they chant some inviting words loud to attracts customers either to look at their products or to come into their shops The typical greeted words are Silakan and Boleh This paper analyzes these expressions used by XXI cafe salesclerks on the power of customer greetings and the existence of directive function within the words and the impact of them The research of the greetings 39 impact was conducted with the help of English Department students of Universitas Indonesia The study concludes that the directive forms of the greeting is the modified declarative and the result of the survey is that although most of respondents do not feel disturbed or annoyed by the greeting they also do not feel welcomed and tend to ignore it .
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Anton M. Moeliono
"Bahasa Indonesia sering dijadikan contoh keberhasilan di dalam perencanaan bahasa, khususnya di dalam fungsinya selaku bahasa kebangsaan. Tidak dapat diingkari bahwa kedudukannya di dalam sejarah bahasa, sosial, dan politik Indonesia sangat penting. Beberapa monografi mutakhir memerikan aspek luar-bahasa itu dari berbagai sudut pandangan. Bodenstedt (1967), misalnya, dengan menggunakan ancangan (approach) sosiologi, berusaha menjelaskan tata hubungan antara bahasa kebangsaan dan gerakan politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Khaidir Anwar (1976) menangani masalah yang berhubungan dengan pengangkatan bahasa Malaya menjadi bahasa kesatuan nasional di Indonesia dan peranannya kemudian sebagai bahasa negara yang resmi di dalam perspektif sosiolinguistik. Aspek sejarah dan sosiolinguistik juga menjadi perhatian Husen Abas (1978) yang membahas peranan bahasa Indonesia sebagai bahasa, pemersatu di dalam jaringan kornunikasi antarsuku dan antarbudaya.
Kemiripan telaah penulis ini dengan ketiga tesis yang disebut di atas terletak pada minat terhadap masalah kebahasaan dan cara pemecahannya. Perbedaannya akan tampak di dalam ancangannya yang menempatkan berbagai masalah itu di dalam kerangka teori perencanaan bahasa yang sedang berkembang. Studi ini berusaha mensistemkan konsep-konsep pokok di dalam teori itu dengan bertolak dari praktek pengembangan dan pembinaan bahasa di Indonesia selama ini. Penelaahan itu menghasilkan kerangka acuan baru, yang pada hemat penulis ini, dapat memadukan bermacam-macam pandangan perencanaan bahasa ke dalam kesatuan yang lebih bersistem. Walaupun penulis ini tidak ingin dituduh hanya bermain dengan istilah yang lazim dipakai di dalam kepustakaan perencanaan bahasa, salah satu usaha awalnya, yang dirasakannya perlu dilakukan di dalam kalangan ini, justru berupa pencermatan pembatasan makna istilah yang kadang-kadang masih bersimpang-siur.
Di samping itu, sebagai pengarang yang menulis di dalam bahasa Indonesia, penulis ini juga berhadapan dengan masalah pengungkapan pikirannya di dalam ragam bahasa ilmiah. Atas kepercayaan bahwa perkembangan ilmu dan ragam bahasa ilmiah gantung-bergantung, maka di dalam tulisan ini akan ditemukan sejumlah istilah Indonesia yang mungkin digunakan untuk pertama kali untuk merujuk ke konsep yang pelambangannya di dalam bahasa Inggris sudah disepakati oleh kalangan ahli sosiolinguistik. Penulis ini pun ingin menunjukkan bahwa pergumulannya dengan materi pembahasannya, yang harus direkamkannya di dalam bahasa yang masih sering dianggap orang kurang terkembang, merupakan proses yang kreatif baginya.
Di dalam proses penulisan itu, penulis ini banyak dipengaruhi oleh gagasan Haugen, pelopor teori perencanaan bahasa, yang lewat karangannya turut mewarnai penafsiran pelbagai pokok bahasan studi ini. Penulis ini juga merasa diperkaya oleh wawasan Ferguson, Fishman, Rubin, Neustupny, dan Jernudd, yang baik lewat percakapan pribadi maupun lewat tulisannya, merupakan sumber bagi apa pun yang berharga di dalam studi ini. Dengan sendirinya penyimpangan anggapan terhadap apa yang disebut perencanaan bahasa yang sekarang dianut oleh penulis ini tidak dapat dipulangkan kepada mereka. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1981
D1004
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudaryono
"ABSTRAK
karena perubahan itu dapat berarti pembatalan, penolakan, atau peniadaan yang kesemuanya itu akan menentukan tindak lanjut komunikasi yang sedang dilakukan. Mengingat pentingnya negasi bagi kelanjutan suatu komunikasi, maka negasi menjadi pusat perhatian dalam pembentukan dan pemahaman makna suatu tuturan.
Pentingnya negasi dalam suatu bahasa dikemukakan oleh Lehmann. Melalui penelitiannya terhadap tiga puluh bahasa di dunia Lehmann (1973:52-53) berasumsi bahwa konstituen negatif, bersama dengan konstituen lain yang disebut qualifier, bersifat universal. Keuniversalan negasi juga ditunjukkan oleh Bloomfield (1933:249), Greenberg (1963), Langacker (1972:22), dan Payne (1985:233). Fakta bahwa negasi itu bersifat universal menunjukkan bahwa kehadirannya dalam setiap bahasa mendukung fungsi yang panting.
Khusus dalam bahasa Indonesia pentingnya negasi, disamping fungi utamanya sebagai alnt untuk menyangkal sesuatu, jugs ditunjukkan oleh terpakainya konstituen negatif sebagai salah satu parameter dalam penggolongan kata, terutama tidak den bukan untuk menentukan verba dan nomina. Beberapa ahli bahasa Indonesia itu menentukan verba sebagai kelas kata yang dapat bergabung dengan tidak, dan nomina sebagai kelas kata yang dapat bergabung dengan bukan dan tidak dengan tidak dalam konstruksi negatif. Walaupun negasi bukanlah parameter utama dan memadai2 untuk mengklasifikasikan kata-kata bahasa Indonesia, namun nomina den verba yang ditentu--ken olehnya adalah kelas kata yang utama dalam semua bahasa.
Kajian terhadap negasi dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa dan beberapa bahasa yang lain telah banyak dilakukan.3 Bahkan disertasi tentang negasi dalam bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia telah banyak ditulis, misalnya disertasi yang ditulis oleh Chasagrande (1968), Lasnik (1972), Coombs {1976), Bhatia (1978), De Abrew (881), dan Choi (1983). Akan tetapi penelitian yang mendalam don tuntas mengenai negasi dalam bahasa Indonesia sampai saat ini belum pernah dilakukan. Dalam survei Teeuw (1961) dan Uhlenbeck (1971) juga tidak dijumpai pembahasan masalah negasi dalam bahasa Indonesia. Dalam buku-buku tatabahasa Indonesia masalah negasi juga hanya disinggung secara dangkal, dan itu pun tidak terdapat dalam memos buku tatabahasa Indonesia.
Lazimnya pembahasan masalah negasi dalam buku-buku tatabahasa Indonesia dimasukkan ke dalam pembicaraan mengenai penggolongan kata. Dalam sepuluh buku tatabahasa yang telah penulis amati (yaitu Mees (1953), Alisjahbana (1954), Simorangkir-Simandjuntak (1955), Poedjawijatna (1958), Hadidjaja (1968), Fokker (1972), Safioedin (1973) dan (1978), Keraf (1973), dan Ramlan (1978)) tidak satu pun pengarang membahas secara khusus don mendalam masalah negasi dalam bahasa Indonesia. Begitu pule. dalam Tate Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1888) dan dalam buku-buku pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing, seperti yang ditulis oleh MacDonald (1967), Wolff (1972), Soebardi (1973), Danusoegondo (1976) dan Nothofer (1986) masalah negasi juga tidak dibahas secara khusus."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
D333
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saputra Effendi Sumadinata
"ABSTRAK
Dalam bab ini berturut-turut akan dikemukakan beberapa masalah yang menjadi pusat perhatian telaah ini (1.1), tujuan yang hendak dicapai telaah serta ruang lingkup masalahnya (1.2), sumber serta korpus data yang digunakan dalam telaah dan alasan pemilihannya (1.3), garis besar analisis data yang digunakan dalam upaya mengungkapkan perilaku sintaktis dan semantis (1.4), dan organisasi penyajian hasil telaah (1.5).
Sebelum dipaparkan masalah yang menjadi pusat perhatian telaah ini, akari dikemukakan masalah penggunaan istilah yang dapat menimbulkan salah pengertian, yakni istilah adverbiaadverbial, dan kategori fungsi.
Dalam kepustakaan tata bahasa tradisional bahasa Indo
nesia lazim digunakan istilah seperti jenis kata dan jabatan kalimat. Istilah seperti kata sifat atau kata keadaan (adjektiva) dan kata keterangan atau kata tambahan (adverbia) termasuk ke dalam istilah jenis kata, sedangkan istilah seperti subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan termasuk ke dalam istilah jabatan kalimat, istilah yang mengacu kepada fungsi (kelompok) kata dalam kalimat. Akan tetapi, dalam analisis kalimat, pembedaan kedua istilah itu sering kabur dan bahkan terkacaukan. Misalnya, kata batu pada (1),
(1) Rumah itu batu.
dianggap sebagai kata keadaan karena kata itu berfungsi menerangkan kata benda rumah, dan kata cepat pada (2),
(2) Kami berjalan cepat.
dianggap sebagai kata keterangan karena kata itu berfungsi menerangkan kata kerja berjalan .Dalam kepustakaan tats bahasa Indonesia mutakhir digunakan istilah kategori kata untuk jenis kata atau kelas kata dan istilah fungsi untuk jabatan (kelompok) kata dalam kalimat. Dalam telaah ini kedua istilah itu jugs akan digunakan dengan catatan bahwa istilah kategori kata dan fungsi itu digunakan sebagaimana dimaksudkan Lyons."
1992
D342
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>