Pada skripsi ini dipresentasikan desain rangkaian novel dc-dc flyback converter untuk mendukung teknologi 48 volt. Kebaruan dari rangkaian ini adalah pengaplikasian parallel input seried output dan umpan balik pada dc-dc flyback converter untuk mengubah 12V DC ke 48V DC. Disamping itu penggunaan transformator pada rangkaian yang berjumlah lebih dari satu berfungsi untuk membagi beban kerja induksi magnetik pada inti transformator. Desain umpan balik memanfaatkan arduino untuk memproses sinyal umpan balik sehingga menggerakan komponen penghasil sinyal PWM berdasarkan sinyal umpan balik yang diterima dan tegangan keluaran yang dihasilkan mencapai 48 volt meskipun dilakukan variasi beban. Rangkaian usulan terdiri atas keempat model yang berbeda, yaitu model tanpa umpan balik, model arduino-TL494CN, arduino saja, dan arduino-MCP4725-TL494CN. Hasil dari penelitian ini menyatakan model arduino-MCP4725-TL494CN memiliki presisi yang tinggi yaitu nilai defiasi yang paling rendah 0.02765 %⁄int dan tidak mengalami overshoot pada inisiasi rangkaian.
This essay presented dc-dc flyback converter for supporting 48 volt technology. This circuit merge parallel input seried output and feedback application. The new design development consist of parallel input seried output and feedback in dc-dc flyback converter to converter 12V DC to 48 V DC. Aside that, the function of using transformer more than one in circuit is for splitting magnetic induction workload for transformer core. Feedback design using arduino is for proccessing feedback signal so that driving PWM generator component based on received feedback signal and output voltage reach at 48 volt even the load is changing. The proposed circuit consist of four different model, that are no feedback model, arduino-TL494CN model, arduino only, and arduino-MCP4725-TL494CN model. Result of this research stated arduino-MCP4725-TL494CN model has the lowest deviation value 0.02765 %⁄int and preventing overshoot at circuit initiation.
"Berbeda dengan arsitektur monolith, arsitektur microservice dapat melakukan scaling secara independen pada service tertentu saja, memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menanggapi lonjakan traffic dan tentunya lebih menghemat resource dibanding monolith. Tidak semua service pada suatu aplikasi perlu dilakukan scaling, hanya service dengan load processing tertinggi saat menerima banyak request yang perlu dilakukan horizontal scaling untuk menghemat resource. Tetapi penentuan service yang harus dilakukan scaling harus dilakukan secara benar agar sesuai dengan kebutuhan pengguna. Salah satu metode yang bisa digunakan adalah Customer Behavior Model Graph (CBMG) dengan melihat probabilitas perpindahan halaman yang dilakukan oleh pengguna. Dari metode tersebut dapat ditemukan halaman yang paling sering diakses oleh pengguna sebelum akhirnya ditentukan service dengan load processing tertinggi. Salah satu teknik yang dimiliki oleh kubernetes adalah Horizontal Pod Autoscaling (HPA) yang memungkinkan untuk melakukan scaling hanya pada salah satu pod. Pada kubernetes, service lebih dikenal sebagai pod. Dari pengimplementasian HPA didapatkan bahwa pada percobaan terjadi penurunan access failure rate dari sebelum implementasi sebesar 17.19% dan 20.52% dan setelah implementasi turun menjadi 4.86% dan 5.44%. Selain itu terdapat kenaikan throughput pada percobaan dari sebelum implementasi sebesar 25.00 request/detik dan 41.30 request/detik, setelah implementasi didapatkan sebesar 39.30 request/detik dan 51.10 request/detik. Pada percobaan lainnya didapatkan sebelum implementasi sebesar 4.60 request/detik dan 4.20 request/detik, setelah implementasi didapatkan sebesar 15.50 request/detik dan 13.80 request/detik. Dari hasil implementasi bisa dilihat bahwa melakukan peningkatan pada salah satu pod sudah cukup untuk meningkatkan kinerja aplikasi website dengan resource yang tersedia dan dapat dioptimalkan dengan maksimal. Implementasi dilakukan pada salah satu aplikasi website microservice teastore, dengan strategi scaling berdasarkan CBMG, optimasi yg dilakukan berhasil menurunkan access failure rate dan meningkatkan throughput, meksipun menggunakan jumlah resource yang sama. dengan kata lain, setelah strategi yang dirancang diimplementasikan, penggunaan resource menjadi lebih optimal untuk melayani request-request yang ada.