Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12207 dokumen yang sesuai dengan query
cover
JIP 44(2014) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
cover
Edy Sutrisno
"Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki kedudukan sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan strategis tersebut mengalami banyak tantangan dan permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengapa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak efektif dan untuk merumuskan konstruksi kedudukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam sistem pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan teknik analisis data deskriptif analitis. Pengumpulan data dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jawa Timur dengan melakukan serangkaian wawancara mendalam dan diskusi aktif dengan berbagai narasumber mulai dari gubernur, bupati/walikota, instansi vertikal, ahli dan praktisi pemerintahan daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berjalan tidak efektif yang disebabkan oleh 6 (enam) determinant factor, yaitu lemahnya dukungan instrumen kebijakan, ketiadaan institusi kelembagaan, ketiadaan personil aparatur, ketidakjelasan anggaran, kepemimpinan, dan political will pemerintah. Hasil penelitian merumuskan dua desain sistem pemerintahan daerah. Pertama, provinsi wilayah administrasi dan daerah otonom - kabupaten/kota daerah otonom. Kedua, provinsi daerah wilayah administrasi dan daerah otonom ? kabupaten/kota wilayah administrasi dan daerah otonom. Kedua desain tersebut meletakkan dekonsentrasi dan desentralisasi pada provinsi dan mendudukkan gubernur baik sebagai wakil pemerintah pusat mapun selaku kepala daerah. Hasil penelitian juga menunjukkan perlunya institusi kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang dalam penelitian ini dirumuskan sebagai intermediate government dalam bentuk deputi dekonsentrasi.

Governor as the Central Government representative has a very important position on the local government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia. The strategic position have faced lots of challenges and problems. This study aims to analyze why the position of the governor as the central government representative is ineffective and to formulate the construction of the governor?s position, role and function as the Central Government representative on the local government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia for the future. This study applied qualitative paradigm with descriptive data analysis techniques. The data were collected in the Central Kalimantan Province and East Java Province by conducting a series of in-depth interviews and active discussions with various sources ranging from the governors, regents/mayors, vertical institutions, experts and practitioners of local government.
The results show that the governor's position as the central government representative is ineffective. The ineffectiveness determinant factors are the lack of support in policy instruments, institutions, personnel officers, budget uncertainty, leadership, and political will of the governments. This study formulates two designs for the local administration system. First, the provinces are both an administrative area and an autonomous region, then the regencies/municipalities arean autonomous region. Second, both the provinces and regencies/municipalities are an administrative area and an autonomous region. Both designs set deconcentration and decentralization at the provinceas well asgovernor as the Central Government representative and as the head area. This study indicate the needof governor's institution as the central government representative which in this study is formulated as an intermediate government in the deconcentration deputy format.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2076
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Uyan Wiryadi
"Salah satu permasalahan yang mengemuka pasca runtuhnya kekuasaan pemerintahan Presiden Suharto adalah masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Persoalan ini sebenarnya sudah berkembang sedemikian rupa pada pemerintahan Soekarno. Karena itu, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah setelah runtuhnya rezim Suharto menjadi salah satu agenda reformasi yang harus diupayakan.
Kondisi tahun 1950-an sebenarnya awal gejolak politik nasional dewasa itu. Misalnya terdapat sejumiah pemberontakan daerah yang menuntut kemerdekaan, seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Selain itu masih terdapat pemberontakan kecil yang antara lain terjadi di Jawa Barat di awal 1960-an yang terkait dengan isu etnis Cina. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode tersebut merupakan permasalahan politik yang pelik dari kedua pemerintahan tersebut.
Upaya untuk memperbaiki kondisi pemerintahan daerah era Suharto dimulai dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Secara teoritis undang-undang tersebut menganut model efisiensi struktural (Structural Efficiency Model) yang menekankan pada efisiensi penyelenggaraan pemerintah berupa uniformitas dan pengendalian sebagai pintu intervensi pemerintah dan pengendalian sebagai pintu intervensi pemerintah pusat. Berdasarkan kriterium ini, pemerintah pusat memangkas jumlah susunan daerah otonom, pembatasan peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat. Selain itu juga ditandai oleh keengganan Pusat untuk menyerahkan wewenang dan diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom. Cenderung mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Paradoks di antara efisiensi yang memerlukan wilayah daerah otonom yang luas agar tersedia sumber daya yang memadai dengan kekhawatiran separatisme jika daerah otonom terlalu luas.
Ekses dalam pengaturan pemerintahan daerah seperti tercermin dalam Undang-undang No. 5/1974 tersebut pasca pemerintahan Suharto mendapat reaksi untuk segera diubah. Karena itu muncul gagasan untuk reformasi pemerintahan daerah."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
"Sejak VOC menguasai wilayah Hindia Timur, banyak masalah tidak pernah ditangani secara tuntas oleh pemerintah. Masalah-masalah itu antara lain pemberantasan korupsi, penyuapan kepada penguasa dengan dalih pemberian hadiah, atau penyelewengan lain yang merugikan pemerintah. Masalah itu seakan telah mengakar dan "membudaya", sehingga sulit untuk diatasi. Upaya mengatasi penyelewengan itu pernah dilakukan. Namun, sejak kapan upaya untuk mengatasi masalah-masalah itu pernah dilakukan, merupakan pertanyaan yang dapat dijawab oleh sejarawan, khususnya yang mempelajari sejarah kolonial.
Berkaitan dengan upaya menertibkan sistem administrasi pemerintahan pada masa kolonial, diketahui bahwa pembenahan itu pernah dilakukan dan dimulai pertama kali oleh Gubemur Jenderal Herman Willem Daendels (selanjutnya disebut Daendels) yang menjabat Gubernur Jenderal di wilayah koloni Hindia Timur dari tanggal 14 Januari 1808 hingga 16 Mei 1811 (3 tahun 4 bulan). Daendels melakukan upaya itu dalam rangka melaksanakan perintah yang diberikan oleh Napoleon Bonaparte kepadanya, yang saat itu menguasai Belanda.
Daendels disebut sebagai "orang asing" oleh orang Eropa yang bertugas di Batavia. Hal ini disebabkan karena sebelum kedatangannya di Jawa, ia belum pemah bekerja atau bahkan belum pernah mengunjungi wilayah koloni ini. Daendels tidak memiliki pengalaman karir kolonial. Padahal, telah menjadi kebiasaan di koloni Hindia Timur, yang menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Timur adalah para pejabat Eropa yang telah bertugas di wilayah ini, khususnya kelompok penguasa di Batavia. Mereka itu biasanya menjadi sumber bakal calon Gubernur Jenderal dan Gubernur.
Selain disebut sebagai "orang asing", Daendels juga disebut sebagai seorang "revolusioner" oleh para sejarawan. Sebutan itu diberikan kepadanya karena sebelum ditugaskan menjadi Gubernur Jenderal, ia menjadi bagian dari penganut paham Revolusi Prancis yang sangat dikaguminya. Ia adalah pemimpin patriot, bahkan bersama dengan pasukan Prancis, ia menyerbu Belanda dan berhasil menggulingkan Republik Belanda Bersatu (Republiek der Verenigde Nederlanden) yang dianggap bersekutu dengan pihak Inggris dan Prusia Daendels juga membantu upaya Prancis dalam mendirikan Republik Bataf di Belanda (Ong Hok Ham 1991:107)
Ong Hok Ham juga menyatakan bahwa Republik Bataf memiliki ciri pemerintahan yang sentralistis dan birokratis. Dikatakan sentralistis karena semua hal yang berkaitan dengan kenegaraan diatur oleh pusat, sementara disebut birokratis karena pemerintahan dijalankan oleh pegawai pemerintah yang memiliki hirarki dan jenjang jabatan. Dengan pemerintahan seperti ini, Belanda dan Prancis dianggap sebagai dua negara pertama di Eropa yang menerapkan birokrasi modern. Belanda meniru Republik Prancis yang baru, khususnya setelah kemenangan kelompok Unitaris, yang menggunakan sistem pemerintahan yang sentralistis dan demokratis.
Pada tahun 1806, Republik Bataf dibubarkan. Sebagai gantinya, didirikan pemerintahan kerajaan di bawah kekuasaan Raja Belanda Louis Napoleon, adik kandung Napoleon Bonaparte. Ia menjadi Raja Belanda dari tahun 1806 hingga 1810. Setelah penandatangan kesepakatan Rembouillet (Juli 1810), negara Belanda dijadikan bagian dari kekaisaran Prancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte.
Konflik antara Prancis dan Inggris tidak dapat dilepaskan dari sejarah kedua bangsa Eropa itu. Konflik yang sering diikuti dengan perang bermula dari abad XIV, sejak Prancis diperintah oleh raja Charles VII (1403-1461). Konflik antardua negara ini terus berlangsung sarnpai masa Napoleon Bonaparte berkuasa. Bahkan hingga akhir abad XX, hubungan kedua negara itu masih sering menemui kendala. Oleh karena itu, untuk memahami pembenahan yang dilakukan oleh Daendels dan kebijakannya di Hindia Timur dari tahun 1808-1811 hal itu hanya bisa dipahami dalam konteks sejarah Eropa pada awal abad MX."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
D544
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Saleh
"Melihat realita yang berlangsung sekarang ini di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, baik di lingkungan internal organisasi birokrasi, maupun di lingkungan eksternal -lingkungan sosial, politik, dan budaya masyarakat- belum terlihat adanya tanda-tanda kesiapan ke arah perubahan sejalan dengan semangat dan jiwa UU Nomor 22/99.
Secara nasional, pemikiran, sikap, tindakan, dan bahkan "jargon-jargon" rerlormasi total terus beriangsung di lingkungan ekstemal birokrasi, namun di lingkungan internal belum ada tanda-tanda dimulainya perubahan dan belum terdorong untuk bergegas mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan sekaligus sebagai tuntutan yang harus dipenuhi. Isyarat terpenting untuk diwujudkan dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan perubahan secara nasional, demokratis, transparan, efisien, mandiri, berdaya, adil, serta berkemampuan dan bertanggung jawab, juga belum menampakkan gejala ke arah pergeseran nilai dan implementasinya di kedua lingkungan birokrasi tersebut.
Tantangan utama yang menghadang Pemerintah daerah Kabupaten Maros dalam melaksanakan UU Nomor 22/99 adalah tuntutan penyesuaian (daya adaptasi) yang tinggi sesuai dengan kebutuhan nyata birokrasi dan masyarakat berdasarkan kondisi saat ini dan di masa yang akan datang. Kebutuhan-kebutuhan mendesak yang menuntut pemecahan di masa datang tersebut adalah: perubahan penampilan dan penerapan kekuasaan, kewenangan yang rasional dan obyektif termasuk pemantapan dan penentuan sejumlah kewenangan, penetapan besaran organisasi, penyederhanaan sistem dan prosedur, pergeseran kultur birokrasi, kemampuan dan integritas birokrat, sumber-sumber keuanganfpendapatan, dukungan sarana dan prasarana, peluang keikutsertaan seluruh komponen lokal, dan lain-lain. Pokok permasalahan dalam menghadapi penerapan UU Nomor 22/99 adalah perwujudan perubahan yang menuntut daya penyesuaian sejalan dengan jiwa dan kehendak sistem birokrasi yang bare sehingga tujuan otonomi daerah dapat tercapai.
Apa yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan selama ini adalah penerapan kekuasaan dan pengelolaan kewenangan yang sentralistis: kendali . pelaksanaan sejumlah urusan organisasi birokrasi dilakukan secara seragam, sistem dan prosedur interaksi yang rumit (complicated) antar-instansi/unit organisasi atau dengan masyarakat sehingga berakibat pada tidak efektifnya organisasi dan tidak efisiennya penyelenggaraan pemerintahan, dan pada gilirannya, organisasi pemerintahan tidak mampu mencapai tujuannya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif-analitik. dengan metode ini, penulis ingin membuat satu deskripsi analisis, yaitu membuat gambaran yang sistematis berdasarkan fakta, sifat serta hubungan antara fenomena-fenomena yang terjadi pada sistem birokrasi yang dijalankan selama ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>