Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116894 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta : Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemdikbud RI, 2012
959.868 END
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Masalah yang paling mendasar dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai bentuk dan fungsi ritual dan kepercayaan masyarakat Ende, serta nilai-nilai yang terkandung dalam ritual dan kepercayaan masyarakat Ende?, dengan menggunakan landasan teori yaitu seperti teori klasik, teori integrasi, teori interaksi simbolik dan teori akulturasi. Untuk memperoleh data yang relevan dan akurat terkait dengan permasalahan tersebut, digunakan metode kualitatif. Sumber data terdiri dari data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi, serta data sekunder diperoleh melalui perpustakaan. Analisis data bersifat kualitatif yang dilakukan melalui reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil analisis data disajikan dengan deskripsi. Sebagai sebuah penelitian yang bersifat Ilmiah Populer, maka penelitian ini bertujuan tidak semata-mata mengetahui, mengidentifikasikan, serta mendeskripsikan fokus bahasan, akan tetapi juga akan dapat memberikan gambaran atau informasi yang utuh kepada masyarakat pada umumnya tentang ritual dan kepercayaan masyarakat Ende, sehingga diharapkan dapat memunculkan sikap cinta terhadap budaya sendiri. Hasil penelitian menunjukkan : Pertama, beberapa bentuk kepercayaan yang dikenal dalam masyarakat Ende adalah :(1) Wujud Tertinggi Keilahian; (2) Bobo-Mamo Embu-Kajo; dan (3) Nitu Pa'i. Kedua, ritual adat yang masih hidup dan berkembang pada masyarakat Ende umumnya dan masyarakat Wolotopo Timur khususnya adalah sebagai berikut : (1) Upacara Adat Membuka Lahan Kebun Baru; (2) Upacara ka poo; (3) Upacara ka poka; (4) Upacara joka ju; (5) Upacara Mure atau upacara mohon curah hujan; dan (6) Upacara Mopo. Sedangkan fungsi ritual adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Lio-Ende yang berkaitan dengan tata berladang, pada intinya adalah: (1) Penghormatan terhadap Maha Pencipta/Dewa Tertinggi, serta roh Leluhur; (2) Memohon kesuburan dan kelimpahan panen; (3) Fungsi untuk menumbuhkembangkan sikap solidaritas; (4) Konservasi sumberdaya alam. Di dalam keseluruhan bentuk kepercayaan dan ritual masyarakat Ende di dalamnya mengandung nilai-nilai luhur yaitu : (1) Nilai sangat menghargai dan mencintai alam; (2) Nilai kebajikan, berhati suci, sikap hidup saling tolong menolong, saling menghargai sesama, membentuk moral bangsa yang berakhlak mulia, bermartabat dan berkeadilan; dan (3) Nilai mencintai tanah airnya sendiri."
JNANA 18:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Arief Wicaksono
"Tulisan ini membahas tentang berkurangnya signifikansi ritual dan aktivitas pertanian yang terjadi di masyarakat Lio pada Desa Nggela, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Saya berpandangan bahwa dalam kurun waktu empat dekade terakhir, telah terjadi peruhahan dominasi mode produksi pada masyarakat Nggela seiring dengan munculnya sumber-sumber penghasilan baru di luar pertanian, mulai dari mode produksi perkebunan tanaman komoditas, tenunan, dan pariwisata. Perubahan dominasi mode produksi ini berimplikasi pada perubahan-perubahan sosial pada aturan dan implementasi adat, ritual, serta pola perkawinan dan kekerabatan yang cenderung mengarah pada kondisi semakin berkurangnya signifikansi ritual serta relevansinya dengan aktivitas pertanian. Selain berfokus pada aspek perubahan cara produksi dan hubungan produksi dalam kerangka mode produksi, saya juga menggunakan pendekatan produksi sosial, praktik, dan sejarah untuk melihat bagaimana peristiwa-peristiwa yang terjadi menimbulkan dinamika internal yang berimplikasi pada hubungan-hubungan antara manusia, alam, tenaga kerja, dan hubungan antarmanusia itu sendiri di Nggela. Hasil penelitian adalah sebagai berikut: pertama, masyarakat Nggela masih terikat pada prinsip-prinsip kekerabatan dan di dalamnya terdapat lebih dari satu produksi. Kedua, kisah asal-usul masih menjadi dasar legitimasi otoritas pemimpin adat di Nggela. Ketiga, perubahan-perubahan yang terjadi pada pola perkawinan dan kekerabatan serta fenomena migrasi keluar, meskipun tidak secara langsung menyebabkan perubahan pada mode produksi pertanian, tetapi menciptakan kondisi yang mengarah pada perubahan tersebut. Keempat, perubahan mode produksi tidak hanya terjadi pada produksi material, tetapi juga perlu diproblematisasi perihal produksi sosialnya. Kelima, sejumlah peristiwa yang terjadi dalam empat dekade terakhir meniumbulkan dinamika internal yang menyebabkan stransformasi sosial-ekonomi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode etnografi dengan teknik pengamatan terlibat dan wawancara mendalam.

This paper discusses the less significance of rituals and agricultural activities among the Lio in Nggela Village, Ende, Flores, Eastern Nusa Tenggara. In my idea, in the last four decades, there has been a shift in the dominance of production modes in the Nggela people along with the emergence of new sources of income outside of agriculture, ranging from modes of production of commodity crop plantations, weaving, and tourism. This change in the dominance of mode of production has implications for social changes in the rules and implementation of customs, rituals, marriage and kinship patterns that tend to lead to conditions of diminishing ritual significance and relevance to agricultural activities. In addition to focusing on aspects of changing ways of production and production relations within the framework of modes of production, I also use social production, practice, and historical approaches to see how the events that occur give rise to internal dynamics that have implications for the relations between humans, nature, labor, and human relations themselves in Nggela. The results of the study are as follows: first, the Nggela people are still bound to the principles of kinship and in it there is more than one modes of production. Second, the origin story is still the basis for the legitimacy of the authority of indigenous leaders in Nggela. Third, the changes that occur in the patterns of marriage and kinship and the phenomenon of outward migration, although not directly causing changes in the mode of agricultural production, but creating conditions that lead to such changes. Fourth, changes in the mode of production do not only occur in material production, but also need to be problematized regarding social production. Fifth, a number of historical moment that have occurred in the last four decades have caused internal dynamics that have led to socio-economic transformation.This research was conducted using ethnographic methods with participant observation techniques and in-depth interviews. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Hargono
"Peranserta masyarakat merupakan suatu keharusan (conditio sine qua non) dalam berbagai program pembangunan termasuk program pembangunan kesehatan masyarakat. Walau demikian, belum ada indikator dan cara pengukurannya yang bersifat menyeluruh sesuai dengan konsep peranserta itu sendiri. Hal tersebut disebabkan karena peranserta masyarakat hanya dianggap sebagai pendekatan untuk mencapai tujuan sehingga banyak upaya untuk menumbuhkan peranserta daripada menelaah peranserta itu sendiri. Disamping itu, komponen utama peranserta, yaitu motivasi, tidak mudah untuk diamati.
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan indikator peranserta masyarakat yang menyeluruh dan cara pengukurannya pada program pembangunan kesehatan, Sebagai area uji coba adalah program posyandu karena secara konseptual program posyandu memakai pendekatan peranserta masyarakat, berbagai kelompok dalam masyarakat ikut terlibat, dan telah lama dilaksanakan sehingga besar kemungkinannya semua komponen peranserta masyarakat akan didapatkan.
Penelitian ini berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap eksplorasi untuk mendapatkan data mengenai berbagai kegiatan yang dilakukan pelaku yang terlibat pada program posyandu. Berbagai kegiatan tersebut dapat dipergunakan sebagai indikator yang teramati dan terukur. Data dikumpulkan dengan metode wawancara mendalam terhadap semua pelaku yang terlibat pada program posyandu disertai pengamatan kegiatan sehingga didapatkan gambaran menyeluruh kegiatan posyandu. Data dianalisis dengan metode telaah etnografis untuk mengetahui ranah dari peranserta masyarakat. Selanjutnya dilakukan klasifikasi dan kategorisasi tiap kegiatan dalam suatu terminologi indikator. Selanjutnya tiap indicator ditentukan gradasinya sehingga dapat dipakai sebagai acuan pengukuran. Hasil tahap pertama berupa instrumen daftar indikator dan cara- pengukuran indikator tersebut.
Tahap kedua merupakan uji coba instrumen indikator dan pengkuran peranserta masyarakat pada program posyandu di dua daerah yang mempunyai karakteristik kegiatan posyandu yang berbeda, yaitu di Kecamatan Ndona dan Ngaluroga, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, dan Kecamatan Garut Kota dan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Perbedaan tersebut mencakup karakteristik geografi, usia kegiatan, karakteristik kader, model pembinaan, dan. latar belakang sosial dan budaya. Perbedaan tersebut secara teoritis berpengaruh pada derajat peranserta masyarakatnya. Mempunya instrumen hasil penelitian tahap I menampakkan perbedaan derajat peranserta masyarakat menunjukkan bahwa instrumen tersebut dapat dipakai untuk mengukur derajat peranserta masyarakat.
Analisis faktor dengan rotasi varimax dilakukan terhadap data tahap II sebagai konfirmasi klasifikasi dan kategorisasi variabel pembentuk indikator hasil telaah etnografi tahap I. Untuk membedakan derajat peranserta masyarakat di dua daerah yang berbeda dipakai uji `t-test' dengan derajat kebermaknaan 95%.
Hasil tahap I menunjukkan terdapat 3 kelompok anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan posyandu yaitu (1) kelompok tokoh masyarakat, sebagai pemimpin dan pembina semua kegiatan pembangunan di wilayahnya, (2) kelompok kader, sebagai pelaksanan kegiatan, dan (3) kelompok balita, ibu hamil, dan ibu dalam periode menyusui sebagai pemanfaat pelayanan posyandu. Didapatkan 5 indikator yang merupakan komponen peranserta masyarakat sebagai hasil analisis peran ketiga kelompok tersebut pada program posyandu, yaitu (l) indikator pengelolaan yang menilai peranserta masyarakat pada aspek proses pengambilan keputusan, pembinaan, dan pengorganisasian, (2) indikator administrasi, yang menilai aspek pencatatan dan pelaporan. (3) indikator kontribusi, yang menilai besar kontribusi anggota masyarakat baik kontribusi tenaga, finansial, material dan saran, (4) indikator pemanfaatan, yang menilai tingkat pemanfaatan posyandu oleh kelompok sasaran, dan (5) indikator pendukung kegiatan yang menilai berbagai kegiatan sebagai pendukung kegiatan yang mengarah pada perkembangan posyandu.
Analisis tahap II menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada seluruh indikator peranserta masyarakat antara Kabupaten Garut dan Kabupaten Ende, dengan nilai untuk kabupaten Garut lebih tinggi sebagaimana yang diharapkan. Namun beberapa catatan perlu diperhatikan untuk beberapa indikator. Dengan adanya perbedaan sosial dan budaya pada masyarakat yang berbeda, diperlukan analisis sub komponen indikator pengelolaan. Secara keselunthan, nilai indikator pengelolaan di kedua daerah adalah sama. Namun pada analisis sub komponen terlihat bahwa sub komponen satu lebih menonjol di satu daerah dan sebaliknya sub komponen lain lebih menonjol di daerah yang lain.
Dengan adanya perbedaan jenis kegiatan yang disebabkan perbedaan usia program yang berdampak pada perbedaan kemampuan pelaksana program dan kemampuan penyelenggaraan posyandu, posyandu yang mempunyai jenis kegiatan lebih banyak akan mempunyai nilai lebih tinggi untuk indikator administrasi dibandingkan posyandu dengan jenis kegiatan yang lebih sedikit. Untuk membuat supaya sebanding, kegiatan pencatatan sebagia variabel indikator administrasi perlu dipecah menjadi kelompok pencatatan utama yaitu pencatatan kegiatan yang langsung berhubungan dengan penimbangan dan PMT, yang merupakan kegiatan minimal posyandu, dan pencatatan lain yaitu pencatatan yang tidak langsung berhubungan dengan penimbangan dan PMT seperti pencatatan kegiatan imunisasi, pembagian tablet besi dan vitamin kepada ibu hamil dan ibu pasca persalinan, dan kegiatan lain. Walaupun kegiatan perawatan pra persalinan dari pasca persalinan juga merupakan kegiatan utama posyandu, sehingga juga merupakan tugas kader, namun pada kenyataannya kegiatan tersebut masih sangat tergantung pada petugas kesehatan sehingga dalam pengukurannya pencatatan perlu dipisahkan dari penimbangan dan PMT.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa instrumen ini dapat dipergunakan dalam mengukur derajat peranserta masyarakat pada program posyandu karena cukup mudah melakukannya, dapat menunjukkan adanya perbedaan derajat peranserta masyarakat, dan dapat dilakukan pada daerah dengan kondisi sosial dan budaya yang berbeda. Walaupun penelitian ini terbatas pada kegiatan posyandu. namun tidak tertutup kemungkinan memanfaatkan hasil penelitian ini untuk menganalisis derajat peranserta masyarakat pada program kesehatan yang lain, tetapi dengan sedikit modifikasi disesuaikan dengan karakteristik program yang akan dianalisis.
Dengan hasil tersebut, instrumen ini disarankan untuk dipergunakan dalam menelaah peranserta masyarakat dalam program kesehatan, terutama program posyandu. Akhirnya, masih diperlukan penelitian lebih mendalam untuk meningkatkan validitas eksternal yang belum dilakukan secara mendalam pada penelitian ini.

Community participation is considered as 'conditio sine qua non' in community development including community health development. As declaration of Alma-Ata has been stated by WHO, Indonesia enhanced community participation in health development through Village Community Health Development (VCHD) or Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Although community participation has been stated clearly by WHO, its implementation occurs differently in different site, so in Indonesia. This difference caused by different point of view of program planners in translating the concept of community participation, which resulting in different execution of the community participation in health program As a result, these differences also suggesting different community participation indicators which resulting in absent of community participation indicator standard.
This study attempt to find out community participation indicators in health development program through qualitative researches approach. Two stages of study have been carried out. First stage, explorative in nature, tried to explore all possible variables by observing and asking every activity done by every people involved in health activities, which used community participation approach, that is Integrated Health Services or Posyandu. The first stage of study has been done in Ende Sub-district by the reason that intensive community participation health program carries out in this area.
The data have been collected was analyzed by employing ethnography assessment. The result of this analysis is a set of groups of variables which suggesting as community participation indicators.
To verify, implementing these indicators in posyandu has done in second stage of the study. Succeeding to differentiate the degree of community participation in two different site of posyandu, which is different in factors influencing the degree of community participation, suggesting that these indicators can be used in analyzing the degree of community participation in health program. This stage of the study has been carried out in Ende Sub-district, East Nusa Tenggara, and Garut Sub-district, West Java. Factor analysis has been used to verify the grouping of variable from the first stage, and student 't' test has been employed to analyze indicator differences between sites.
Five components of community participation, which is suggesting as community participation indicators, have been extracted from first stage of the study. These indicators are (1) Management, (2) Administration, (3) Contribution, (4) Utilization, and (5) Supporting Activities. A management indicator composes of (a) Leadership indicator and (b) Organization indicator. Four components of variables are suggesting as leadership indicator. These are decision-making processes variable, problem-solving variable, assisting variable, and attending variable. Two components of indicator suggesting as an organization indicator, these are existence of organization and consistency of organization.
Second stage of study reveals that these indicators succeed to differentiate the degree of community participation between Ende Sub-district and Garut Sub-district. Even though there is no difference in leadership indicator (p=0.113), there is a difference in the four component of leadership which indicate social and cultural differences between sites. Ende has high degree in attending variable (p=0.0000), while Garut has high degree in decision-making process variable, assisting variable, and problem solving variable (p=4.003, 0.001, and 0.008 consecutively). Contribution indicator cannot be used as community participation indicator as the same amount of financial contribution should be collected from service users.
More attention should be made when analyzing utilization indicator, which count the ratio of the number of under-five child weighing in posyandu and the number of all under-five children. High weighing utilization in one weighing activity does not relate to high degree of utilization in a period of time. Changing attendance of weighing resulting in inconsistency of utilization, which is suggesting 'not high' degree of participation. Counting the number who are continuously weighing in several consecutive months will give more precise degree of utilization indicator of participation.
It has been suggested using these indicators to analyze the degree of community participation in health program. By using these indicators, program planners are able to analyze community participation in health program comprehensively. Furthermore, analyzing community participation in health program by using these indicators directs program planners to weak components of community participation that can be treated promptly. Finally, further study is needed to find out the relationship between the degree of community participation and the behavior changes, which component of community participation has great impact on behavior changes.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
D55
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarsisius Florentinus Sio Sewa
"Interaksi antaretnis dan antarbudaya adalah realitas sosial yang tidak dapat dihindari terlebih di era globalisasi dewasa ini. Interaksi yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan konflik dan ketidakseimbangan relasi. Interaksi yang tidak sehat dapat saja terjadi oleh karena stereotype, prejudice dan sikap etnosentrisme. Padahal interaksi yang baik menuntut adanya saling keterbukaan, saling pengertian dan upaya untuk masuk dan beradaptasi dengan budaya lain.
Hal yang sama dapat saja terjadi dalam interaksi antara etnis Ende dan Lio dengan etnis Cina dan Padang di Kota Ende, yang menjadi subyek penelitian Tesis ini. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan komunikasi antarbudaya, penulis menjelajahi realitas "communicative-style" ke-empat kelompok etnis yang saling berinteraksi, termasuk latarbelakang sosio-budaya, sosio-ekonomi dan sosio-religius yang mempengaruhinya.
Untuk memahami pola komunikasi dari mereka yang berinteraksi, penelitian tersebut secara khusus menyoroti enam ( 6 ) elemen Communicative-style Barnlund yang relevant 1) tema pembicaraan, 2) bentuk interaksi, 3) tatacara berkomunikasi, 4) cara merespons, 5) penyingkapan diri, dan 6) emphaty.
Etnis Ende, dengan karakter ekstrovert: banyak berbicara, bicara dengan suara keras dan emosi yang kadang tak terkendali, tidak sulit berinteraksi terutama dengan etnis Padang dan Lio. Mereka cenderung lebih dekat dengan etnis Padang karena kesamaan agama dan etnis Lio karena hubungan darah dan adat serta bahasa dan budaya yang relatif hampir sama. Berhadapan dengan Etnis Lio dan Padang, mereka dapat berbicara apa saja, mulai dari obrolan santai, obrolan serius, penyingkapan diri dan bahkan dengan etnis Lio sampai kepada tingkat emphaty. Sementara itu, interaksinya dengan etnis Cina masih sebatas tegur-sapa dan transaksi jual-beli. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh medan interaksi yang terbatas antara keduanya.
Dengan karakter yang relatif lebih tenang, santun, ramah dan terbuka, etnis Lio dengan mudah dapat berinteraksi dengan etnis Padang, Cina dan Ende. Dalam interaksi di antara mereka, tampak bahwa etnis Cina cenderung lebih dekat dengan etnis Lio karena kesamaan agama dan karena medan interaksi yang cukup luas. Walaupun jarang ada emphaty dan penyingkapan diri; namun tegur-sapa, basa-basi, obrolan santai dan kadangkala obrolan serius, sering menjadi bagian dari komunikasi dan interaksi di antara mereka.
Meminjam istilah Norton dengan sembilan (9) "Communication characteristic"-nya, etnis Ende lebih banyak memperlihatkan perilaku: dominant, dramatic, contentious dan animated; dibandingkan dengan etnis Lio yang cenderung bersikap: relaxed, attentive, open dan Friendly. Sementara itu, etnis Cina cenderung berperilaku: Relaxed, Friendly, attentive khusus dengan etnis Lio dan dramatic, khusus dalam mempromosi barang dagangannya. Sedangkan etnis Padang sering menunjukkan perilaku yang Relaxed, Friendly dan kadangkala attentive khusus dalam interaksinya dengan etnis Ende.
Pemahaman yang baik tentang communicative-style akan membantu mereka yang berinteraksi untuk dapat "menempatkan diri" sebagai subyek yang trampil dan kompeten dalam berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian, keanekaan budaya yang tampak dalam keanekaan cara orang berkomunikasi, tidak menjadi halangan bagi terciptanya iklim komunikasi yang baik; tetapi sebaliknya, menyadarkan orang menerima perbedaan yang ada sebagai "kondisi terberi" guna saling melengkapi dan menyempurnakan demi "bonum commune" (kebaikan bersama). Karena kebaikan bersama adalah impian semua manusia, siapapun dia dan dari mana asalnya!

Interethnic and intercultural interaction is a social reality which can not be avoided, especially at the era of globalization, nowadays. Unmanaged interaction will bring conflict and unbalanced relation. Unhealthy interaction would be caused by stereotype, prejudice and ethnocentrism among communication participants. It could be concluded that a pleasant interethnic and intercultural interaction required openness, a deep insight and require effort to put our self in the other culture and also to adapt with that culture.
The same assumption may apply in communication and interaction between Endenese, Lionese and Chinese, Padangnesse in Ende, which is the subject of this Thesis research. By using Constructivism paradigm and intercultural communication approach, the researcher try to explore "communicative-style" of those four ethnics in their interaction including the influence of social-cultural, social-economic and social-religious background.
To understand the behavior of the communication participants, this research reflects six (6) elements of Barnlund's Communicative-Style: The Topics people prefer to discuss, their favorite forms of interaction ritual, repartee, self disclosure and the depth of involvement they demand of each other.
Endenese with their extrovert characters: speaks frequently, interrupts and un-controls conversations, speaks in a loud voice, have no difficulties to interact with the Padangnese and Lionese. They tend go closer with the Padangnese because of similarities in social-religious factor; and with the Lionese because of family and customary relationships, resembling in similar language and culture. With them, Endenese can cover various topics of conversation, beginning with a short conversation, serious-talk, self-disclosure and than empathy. Their interaction with the Chinese still restricted to small-talks and subjects related to trading. This fact is influenced by their restricted interactions-setting.
Lionese with their relaxed character: calm, simple, modest, friendly and open, can interact with Padangnese, Chinese and Endenese, easily. The Chinese tends go closer with the Lionese because of similarities in social religious factors and their interactions-setting is broad enough. Although, in daily interaction they seldom display empathy and self disclosure; but small-talks, a short conversation and serious-talk occasionally, often can be a part of their communication and interaction.
Based on Nortons technical-term and his nine (9) communication-characteristics, Endenese much more display these communication traits: dominant, dramatic, contentious and animated; comparing with Lionese which is relaxed, attentive, open and friendly. The Chinese tend to be relaxed, friendly, attentive, especially with the Lionese and dramatic especially in promoting their trading goods. Padangnese often are relaxed, friendly and sometimes attentive, especially with the Endenese.
A good understanding about communicative-style and its influencing factors would help the communication participants: Endenese, Lionese, Chinese and Padangnese, to "put themselves" as "competent-subject" in intercultural communication and interaction. Therefore, the variety of cultures that appear on the diversity communicative-styles, should not become a constraint to develop a good communication-climate; but on the other hand should make someone more aware of the importance of accepting differences with honesty and sincerity, to reach "bonumcommune". Because "bonum-commune" is a vision of all mankind, whoever and wherever they come!
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johannes Emmed Madjid Prijoharjono
"This article discusses the relevance of applying the concepts of source of origin and system of precedence, that provide legitimacy for the Mosalaki of Lio in their construction and production as well as reproduction of power in everyday life, especially in their traditional political system. The data analyzed in this article is the result of fieldwork undertaken in the villages of Nggela and Tenda, District of Wolojita, the Regency of Ende Lio, Flores, with qualitative methods, specifically through the techniques of in-depth interviews and participant observation. The Mosalakis, as a matter of a fact, dominate the traditional political system as rulers of adat and adat land. Their practices of power are manifested mainly in ritual activities and the management of traditional land rights. The legitimated rights are transmitted through patrilineal descent, and is based upon source of origin and system of precedence, that are embeded in Lio culture."
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Remigius Dewa
[place of publication not identified]: [publiser not identified], 1995
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadus Guru
"Keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah memerlukan keikutsertaan mayarakat, keterbukaan dan pertanggung jawaban kepada masyarakat yang diupayakan dengan menerapkan azas desentralisasi, dekonsetrasi dan azas tugas pembantuan.
Dalam rangka menerapkan azas desentralisasi yang diwujudkan melalui pelaksanaan otonomi daerah, diharapkan dapat memberikan peluang bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dan berhasil guna; maka dibutuhkan pengaturan perimbangan keeuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pengaturan mina berdasarkan atas hubungan fungsi yaitu berupa sistim keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan.
Realisasi pelaksanaan otonomi daerah (desentralisasi) sebagai penjabaran dari Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, dimana otonomi daerah dititik beratkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; setidaknya dilakukan karena dalam kenyataan adanya kesenjangan antar daerah. Selain itu karena daerah kurang memiliki dana dalam membiayai kegiatan pelayanan publik di daerah, juga disebabkan oleh pengaturan pusat yang terlalu sentralistis; sehingga seperti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II; telah dilakukan uji coba otonomi daerah pada daerah percontohan.
Namun kondisi otonomi daerah selama ini terutama di daerah Kabupaten/Kota, masih semu karena kemandirian yang diciptakan berbalik menjadi ketergantungan pada Pemerintah Pusat dan atau Daerah Propinsi. Otonomi daerah yang dititik beratkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, hakekatnya adalah juga untuk memberdayakan Pemerintah Daerah dalam usaha melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang selama ini masih dirasakan adanya masalah dalam melakukan tugas pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat. Karena dalam negara yang menganut sistim negara kesatuan, persoalan otonomi daerah merupakan hal sangat panting yaitu tentaug pembagian kewenangan politik atau .kewenangan pengambilan keputusan dan kewenangan pengelolaan keuangan.
Untuk mengukur kemampuan atau kemandiriau suatu Daerah Kabupaten dan Daerah Kota minimal dapat dipergunakan dua ( 2) variabel pokok yaitu oleb rendahnya mutu sumber daya manusia dan kemampuan keuangan. Rendahnya mutu sumber daya manusia dapat diketahui dari rendahnya bidang pendidikan, rendahnya kemampuan aparatur, rendahnya kemampuan partisipasi masyarakat dan kemampuan organisasi soma administrasi. Khusus untuk mengatasi kemampuan keuangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, salah satu cara adalah dengan ditetapkannya Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang merupakan pedoman dalam pengelolaan penerimaan keuangan daerah.
Walaupun demikiari seharusnya dalam negara yang berbentuk kesatuan, biaya bagi penyelenggaraan otonomi daerah tidak harus hanya dan sumber pendapatan asli daerah saja; tetapi juga dana dan pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dana yang bersumber dari APBN yang diterimakan kepada daerah berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 adalah dana perimbangan.
Dalam tesis ini Kabupaten Ende sebagai salah satu Kabupaten dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur, akan dilihat kemandiriannya berdasarkan ukuran kemampuan keuangan daerah dan seberapa besar nilai ketergantungan pada dana eksternal yang berasal dari Pemerintah Pusat berupa dana perimbangan,, berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tabun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kemampuan keuangan daerah dianalisis dari struktur penerimaan daerah yang merupakan total pendapatan daerah dan ini tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Ende. Demikian pula dengan dana perimbangan akan dilihat seberapa besar jumlah komulatif yang diterima bagi daerah Kabupaten Ende jika Undang-Undang ini dilaksanakan dalam menunjang keuangan daerah guna dapat digunakan bagi kelancaran dalam komponen belanja rutin dan belanja pembangunan.
Demikian juga dilihat kebutuhan dan kapasitas Pemerintah Daerah Kabupaten Ende agar dapat melaksanakan pelayanan publik minimal sesuai standar sebagai sebuah daerah otonom dengan besarnya jumlah dana perimbangan sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.
Judah komulatif dana perimbangan dihitung sebagai berikut:
a. PBB dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1985.
b, BPHTB dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Talnm 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1997.
c. Bagian daerah dari penerimaan hasil sumber daya alam, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Friska Indah Kartika
"Skripsi ini mengenai pelabuhan Ende dalam jaringan pelayaran di kawasan Laut Sawu dan Sekitarnya sejak tahun 1839-1930. Sejak dibuka sebagai sebuah pelabuhan perdagangan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1839, kegiatan pelayaran dan perdagangan di pelabuhan Ende terus berkembang sampai tahun 1929. Perkembangan tersebut didukung oleh indutri kapal tradisional di Pulau Ende, tersedianya komoditas perdagangan, berbagai kebijakan baru yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial, dan pelayaran yang dilakukan oleh orang Ende. Kegiatan pelayaran dan perdagangan di pelabuhan Ende telah membentuk sebuah jaringan yang luas. Pada tahun 1930, kedudukan pelabuhan Ende dalam jaringan pelayaran mengalami penurunan akibat depresi ekonomi.

Abstract
The focus of this study is about the Ende port in shipping network of Sawu Sea region and outers since 1839-1930. Soon after the Netherlands East Indies colonial government declared Ende Port as the trade port in 1839, that was the development of Ende port until 1929. The development of Ende port supported by the traditional ship industry in Ende Island, the raising of Ende_s shipping and trading commodities, and the new policies are ruled by the Netherlands East Indies colonial government. In 1930, it happened the decreasing of trade that was caused by economic depression."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S12323
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rifa Ikhsan
"Likuifaksi merupakan fenomena yang tidak bisa dilepaskan dalam rekayasa geoteknik. Metode evaluasi tahanan tanah terhadap likuifaksi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Metode yang paling umum ialah metode evaluasi CPT dan SPT. Hasil dari berbagai metode seharusnya mengacu pada nilai yang sama. Nilai dari tahanan tanah terhadap likuifaksi (CRR) menjadi perhatian khusus sehingga harus dibandingkan dari masing-masing metode yang dilakukan pada area lokasi yang sama. Dalam hal ini, PLTU Ende Nusa Tenggara Timur menjadi sarana evaluasi perhitungan kedua metode yaitu CPT dan SPT dengan studi literatur yang ada.

Likuifaksi is a phenomenon that can not be released in geotechnical engineering. Evaluation method of liquefaction resistance of soil can be calculated with various ways. The most common method is CPT and SPT evaluation method. Results of various methods should refer to the same value. A value of CRR is a major concern and should be compared from each method performed at the same location area. In this case, PLTU Ende Nusa Tenggara Timur becomes a means of evaluation of both methods of calculation of CPT and SPT to study the existing literature."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S1046
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>