Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188441 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Suzi Marsitawati
"ABSTRAK
Permukiman Menteng merupakan kota taman pertama di Indonesia yang dilindungi oleh suatu penetapan sebagai kawasan Cagar Budaya yaitu Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. D.IV-6098 1 d 1 33 11975 tentang Penetapan Daerah Menteng Sebagai Lingkungan Pemugaran. Namun disayangkan banyak perubahan terjadi baik pada lansekap maupun bentuk bangunan yang seharusnya dipertahankan karena Menteng merupakan kawasan permukiman yang terletak ditengah kota, dibangun pada jaman pemerintahan Hindia Belanda dan merupakan salah satu perumahan kolonial yang mempunyai kualitas lingkungan yang baik ; bersih, asri, aman dan nyaman.
Terperolehnya perubahan karakteristik lansekap kota taman permukiman Menteng, terindentifikasi faktor - faktor yang menyebabkan perubahan lansekap kota taman pada permukiman Menteng Jakarta Pusat dan terperoleh penjelasan upaya Pemerintah Daerah dan pemilik kapling dalam melindungi kawasan permukiman Menteng sebagai Kawasan Cagar Budaya adalah tujuan penelitian ini dalam upaya menjawab masalah penelitian yaitu mengapa terjadi perubahan lansekap kota taman pada permukiman Menteng Jakarta Pusat.
Metode Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang mengumpulkan data melalui wawancara dengan pedoman kepada pemilik kapling lama,pemilik kapling baru, Pemerintah Daerah dan informan lainya yang mempunyai pengetahuan tentang permukiman Menteng.
Berdasarkan hasil penelitian ternyata makin mahalnya PBB, tidak pahamnya pemilik kapling, berkurangnya luasan ruang terbuka hijau, tidak adanya insentif yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, kurangnya sosialisasi, dan kurangnya pengawasan yang ketat dari Pemerintah Daerah merupakan faktor penyebab terjadinya perubahan lansekap kota taman pada perrnukiman Menteng.
Dari hasil wawancara dengan pedoman, beberapa informan memberikan usulan jika program Pemerintah Daerah ingin berhasil masyarakat harus dilibatkan sejak awal, diberikan sosialisasi dan diperhatikan insentif kepada masyarakat yang terkena program Pemerintah seperti SK Cagar Budaya Permukiman Menteng.

ABSTRACT
Menteng Settlement has been the first garden city in Indonesia protected by a regulation as a cultural preserve as stated in the Jakarta Governor's Decree No D.IV-60981d 133 1 1975 to decide Menteng Settlement Area as an Environmental Restoration. But it is quite a pity that there are a lot of changes happening either in landscaping or in the form of the building which actually should be maintained since Menteng area is an settlement area located in the middle of the city built during the Netherlands East Indies as a colonial settlement which has better, clean, beautiful, safe and comfortable environmental quality.
Based on the fact-findings on the change of garden city landscape of Menteng settlement, we could identify some factors which can cause changes in garden city landscape and obtain clarification from the Jakarta Provincial Government as well as from land-lot owners in protecting Menteng settlement area as a Cultural Preserve Area is the objective of this study in trying to clarify problems why should there be changes of garden city landscape in Menteng settlement of Central Jakarta.
The researcher is using Qualitative Approach by collecting data through interview with old and new land-lot owners, Local Government and other informants who know about Menteng settlement.
Research has shown that the more expensive land and building tax, lack of understanding of the lot owners, the decrease of green open space, lack of incentives given by the Local Government, lack of socialization, and lack of tight control from the Local Government have become main factors of the change of garden city landscape in Menteng settlement.
The result of interview based on guidelines, some informants gave some suggestion that the community be involved from the beginning in this preservation program. Involvement of the community should be done earlier through socialization of the program while incentives should be given especially to those affected by the preservation project of the Local government as stated in the Decree of cultural Preservation of Menteng Settlement.
"
2007
T20691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamilton, Lawrence S.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1988
574.526 H 33 tt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawati Sugiyo
"Kota Semarang merupakan kota metropolitan terbesar kelima di Indonesia. Berbagai permasalahan lingkungan sering timbul sebagai dampak dari banyaknya konversi lahan di wilayah pesisir maupun perbukitan. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perubahan lanskap dan penutup lahan di Kota Semarang periode tahun 1996-2016. Pengolahan Citra Landsat tahun 1996, 2003, dan 2016 dilakukan untuk memperoleh klasifikasi penutup lahan. Penggunaan Indeks Lanskap seperti PD, PLAND, LPI, LSI, MNN, IJI, SHDI, dan SHEI dilakukan untuk menganalisis struktur dan pola lanskap. Regresi Logistik Biner digunakan untuk membuat model perubahan lanskap dan penutup lahan serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Faktor fisik, sosial ekonomi, dan lingkungan digunakan sebagai variabel prediktor dari model tersebut. Pada periode tahun 1996-2016, lahan yang ada semakin terfragmentasi dengan tingkat percampuran dan pola persebaran antar penutup lahan yang tinggi. Pada tahun 1996-2003, hal tersebut dominan terjadi di wilayah ketinggian 25-100 mdpl, sedangkan pada periode tahun 2003-2016, hal tersebut terjadi di wilayah ketinggian 100-500 mdpl. Model perubahan lanskap dan penutup lahan Kota Semarang paling baik diterapkan pada wilayah ketinggian 100-500 mdpl. Berdasarkan model tersebut, probabilitas perubahan lanskap dan penutup lahan paling tinggi adalah ketika berada di wilayah yang tinggi dan datar, kerapatan sungai dan jalan yang relatif tinggi, kepadatan penduduk tinggi, status tanah berupa Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan, nilai tanah yang rendah, dan jarak yang relatif jauh dari pusat kota.

Semarang City is one of the largest city in Indonesia. Tidal flooding, flash floods, sea water intrusion at the coast and landslide at the hills, are the issues the city currently dealt with as a side effect of land conversion. The study on spatial pattern and its change of landscape land cover is important for a better understanding in environmental management at this city. Landsat images from 1996, 2003 and 2016 and eight landscape indices PD, PLAND, LPI, LSI, MNN, IJI, SHDI, dan SHEI were used to analyze landscape land cover pattern and its change. Binary Logistic Regression and geography information system were used to build a mathematical and spatial modelling of landscape land cover change using driving factors such as elevation, slope, land subsidence, population density, land ownership, land price, street density, drainage density, and distance from city center. Landscape indices shows that the highest land utilization higher PD, LSI, MNN, IJI, SHDI, SHEI and lower LPI mostly occurred at elevation 25 100 meter in 1996 and 2003 and in 2016, it occurred at elevation 100 500 meter. In the period of 1996 2003, land fragmentation with high mixing and diversity occurred at elevation 25 100 meter, while in the period 2003 2016, it occurred at elevation 100 500 meter. Spatial modeling of landscape land cover at Semarang City is best applied at elevation 100 500 meter. The probability of landscape land cover change is high when located at the high and flat areas, high drainage and street density, highest population density, and lowest land price.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gardhika Waskita Paksi
Bandung: Mahasiswa Pencinta Alam, Universitas Katolik Parahyangan, 2011
R 719.32 RAN s
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Puspita Sari
"ABSTRAK
Kebutuhan akan ruang berkumpul dan berinteraksi membuat Third Place menjadi ruang yang penting untuk individu melepas kepenatan melalui pendekatan relaksasi sosial. Fenomena kelab pantai yang diintegrasikan dengan lanskap pesisir semakin marak di Pulau Bali khususnya di daerah Bali Selatan. Pada dasarnya kelab merupakan ruang yang mengakomodir kegiatan sosialisasi, sementara pantai biasa digunakan sebagai tempat rekreasi dan relaksasi fisik. Sehingga menjadi menarik untuk mencari tahu pengaruh lanskap pesisir terhadap proses interaksi yang terjadi dalam kelab pantai sebagai suatu Third Place. Melalui studi literatur dan studi kasus terhadap kelab pantai di pesisir selatan pulau Bali, diketahui bahwa masing ndash; masing lanskap pesisir maupun Third Place memiliki perananya tersendiri sebagai media relaksasi. Namun kehadiran kelab pantailah yang menyatukan keduanya sehingga individu maupun kelompok dapat merasakan relaksasi fisik dan relaksasi sosial dalam waktu dan tempat yang sama.

ABSTRACT
The need of gathering and interacting space makes Third Place as an essential space for individuals to unwind through a social relaxation approach. The Integration of beach club phenomenon with the coastal landscape is increasingly prevalent on the island of Bali, especially in the South Bali area. Basically, club is a space that accommodates socializing activities, while the beach is usually used as a place for recreation and physical relaxation. In doing so, it becomes interesting to find out the effect of the coastal landscape to interaction process happened inside the beach club as a Third Place. Through literature studies and case studies of beach clubs on the southern coast of the island of Bali, it is known that each coastal landscape and Third Place have their own role as a medium of relaxation. Lastly, the beach club presence unify the third place and coastal landscape, causing individuals and groups feel relax both physically and mentally at the same time and place."
[, , ]: 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jepriyadi A Lumbu
"Pulau Belitung merupakan sebuah pulau yang memiliki potensi tinggalan budaya meliputi makam lama, masjid lama serta permukiman. Pada makam lama kebanyakan terletak pada dataran tinggi, daratan dan pantai. Makam yang berada diketinggian salah satunya adalah makam Syekh Abubakar Abdullah atau yang dikenal dengan sebutan Datuk Gunung Tajam, terletak pada ketinggian 500 Meter dari permukaan air laut (Mdpl). Kemudian pada keletakan masjid di Pulau Belitung berada pada persimpangan tiga dan persimpangan empat, hal ini merupakan bentuk kebiasaan masyarakat Belitung dalam memilih wilayah untuk dijadikan tempat pendirian masjid sebab tempat seperti itu merupakan temapat yang mudah untuk dijangkau dan bagian pusat keramaian. Pada permukiman mengikuti pola jalan besar/raya sehingga terlihat membentuk linier dan lebih teratur. Kemudian permukiman lama dan makam lama mempunyai konsep yang saling berhubungan sehingga membuat suatu pola tertentu. Dalam penelitian ini terdapat dua buah pertanyaan yaitu pertama, bentuk lansekap seperti apa pada makam, masjid dan permukiman di Pulua Belitung pada abad XVIII-XIX Masehi, kedua, makna apa yang terdapat pada lansekap makam, masjid dan pemukiman dalam Konteks Ideologi lokal pada masyarakat Belitung. Pada penelitian ini untuk menjawab suatu permasalahan perlu adanya metode yang digunakan, adapun metode yang digunakan yaitu metode kualitaif dengan menggunakan pendekatan arkeologi lansekap. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lansekap makam dan permukiman mempunyai 4 pola dan maknanya yaitu ada keterkaitan dalam perlakukan yang di makam, selain dari itu lansekap masjid memperlihatkan sebuah pola lokal yaitu letak masjid terdapat pada persimpangan jalan yang dimaknai bahwa masjid merupakan sebuah bangunan yang penting selain tempat beribadah juga sebagai tempat untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat di sekitar masjid.

Belitung Island is an island that has the potential of cultural relics including old tombs, old mosques, and settlements. In the old tombs mostly located in the highlands, land, and beaches. One of the tombs at the height of the tomb is Syekh Abubakar Abdullah, also known as Datuk Gunung Sharp, located at an altitude of 500 meters above sea level (masl). Then in the location of the mosque on the island of Belitung is at the intersection of three and crossing four, this is a form of Belitung peoples habits in choosing the area to be the place of construction of the mosque because such a place is an easy place to reach and the center of the crowd. In settlements following the pattern of major roads/highways so it looks to form linear and more orderly. Then the old settlements and old graves have interconnected concepts to make a certain pattern. In this study there are two questions: first, what kind of landscape in the tomb, mosque, and settlement in Pulau Belitung in the XVIII-XIX century AD, second, what is the meaning of the tomb, mosque, and settlement in the context of local ideology in the Belitung community. In this study to answer a problem, it is necessary to have a method used, while the method used is a qualitative method using a landscape archeological approach. The results of this research indicate that the grave landscape and settlement have 4 patterns and their meanings, namely there is a connection in the treatment of the tomb, besides that the mosque landscape shows a local pattern that is the location of the mosque at the crossroads which means that the mosque is an important building besides place of worship is also a place to convey information to the community around the mosque."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T52844
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabda Adhisurya
"Lanskap merupakan hasil dari proses interaksi manusia dengan lingkungan dalam waktu yang lama. Lanskap menyediakan jasa lingkungan seperti air dan udara yang bersih serta tanah yang lestari yang membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Saat ini banyak terjadi pengurangan lahan produksi pangan khususnya sawah sementara kebutuhan tiap tahun meningkat. Sehingga diperlukan upaya peningkatan produksi pangan dengan memperhatikan keberlanjutan lanskap pertanian. Kecamatan Nyalindung merupakan sebuah gambaran lanskap pertanian dengan karakteristik fisik beragam. Lanskap pertanian di Kecamatan Nyalindung menarik untuk dikaji karena kondisi fisik tersebut dengan kaitannya terhadap ketahanan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola lanskap 1999-2020 serta menganalisis hubungan pola lanskap di Kecamatan Nyalindung dengan produksi beras di Kecamatan Nyalindung. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggunaan lahan, struktur lanskap, produksi beras, jarak dari jalan dan jarak dari POI. Untuk meninjau struktur lanskap tahun 1999, 2010 dan 2020 dalam penelitian ini digunakan citra satelit dari Google Earth karena menyediakan citra resolusi tinggi. Pada penelitian ini digunakan indeks lanskap oleh McGarigal untuk mengkuantifikasi lanskap dalam unit analisis administrasi desa. Ditemukan bahwa Desa Bojongkalong dan Bojongsari memiliki struktur lanskap yang kurang baik. Desa Cijangkar, Cisitu, Mekarsari, Neglasari, Nyalindung dan Sukamaju memiliki struktur lanskap yang cukup baik. Serta Desa Kertaangsana dan Wangunreja memiliki struktur lanskap yang baik. Semakin baik struktur lanskap maka semakin besar pula produksi beras di suatu Desa.

Landscape is the result of a long process of human interaction with the environment. Landscapes provide environmental services such as clean water and air as well as sustainable land that helps humans to meet their basic needs. Currently there is a lot of reduction in food production areas, especially rice fields, while the need for each year is increasing. So it is necessary to increase food production by paying attention to the sustainability of the agricultural landscape. Nyalindung sub-district is a depiction of an agricultural landscape with various physical characteristics. The agricultural landscape in Nyalindung sub-district is interesting to study because of its physical condition in relation to food security. This study aims to analyze the landscape patterns from 1999 to 2020 as well as to analyze the relationship between landscape patterns in Nyalindung District and rice production in Nyalindung District. The variables used in this study were land use, landscape structure, rice production, distance from the road and distance from the POI. To review the landscape structure in 1999, 2010 and 2020 in this study, satellite imagery from Google Earth was used because it provides high-resolution imagery. In this study, McGarigal used a landscape index to quantify the landscape in the village administration analysis unit. It was found that Bojongkalong and Bojongsari Villages had poor landscape structures. The villages of Cijangkar, Cisitu, Mekarsari, Neglasari, Nyalindung and Sukamaju have quite good landscape structures. As well as the villages of Kertaangsana and Wangunreja have a good landscape structure. The better the landscape structure, the greater the rice production in a village."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Talita Dwiputri Purwitasari
"ABSTRAK

Australia memiliki bentang alam yang luar biasa dan itu membantu masyarakat zaman dahulu untuk bertahan hidup. Manusia dan hewan di Australia sudah terbiasa untuk memanfaatkan  sumber daya alam dengan baik  untuk mendapatkan makanan dan mendapatkan tempat tinggal di tanah Australia Barat ini. Tujuan dari tesis ini adalah untuk menunjukkan proses regenerasi tanah di Lefroy Road, Beaconsfield, Australia Barat, menjadi perumahan yang memberikan manfaat baik untuk lanskap dan melestarikan alam dengan adanya pemukiman ini. Cluster ini dibentuk berdasarkan jalanan yang terbuat untuk mengature aliran air hujan dan pemukiman ini terdiri dari area pertanian, wetland, pohon dipinggir dungai untuk mengatur aliran air, dan penanaman vegetasi asli Australia Barat untuk regenerasi lanskap. Inti dalam proposal proyek ini adalah untuk memanfaatkan interaksi antara manusia dan alam dalam perumahan ini sehingga penghuni di dalam Apartemen tetap memiliki hubungan tidak langsung antara manusia dan alam melalui batas secara visual dan tanpa batas walau didalam gedung. Laporan ini ditujukan untuk proses regenerasi lansekap untuk perumahan menengah keatas dan untuk mengintegrasikan transisi alam dalam perumahan dengan media visual tanpa batas untuk proyek residential dan Apartemen.


ABSTRACT
Australia is magnificent for their landscape, it helped the society to survived in the earlier days. Humans and animals are used to take benefit along the nature for their survival as for foods and especially to devise a safe shelter within the land in Australia. The purpose of this thesis is to show the process on regenerating the land on Lefroy Road, Beaconsfield, Western Australia, into a usefull landscape for both nature and mankind by establishing a residential that aid the human to be closer with the nature while preserving the landscape. The cluster is formed based from the rain water stream and the residentiary consists of farming area, wetland, tree keylines, and preserve native vegetations. The essence of the whole residential proposal strives to the apartment project that aims to the human interplay between them and nature. So the inhabitants in the Apartment has an indirect interaction between humans and nature through blurring the boundary visually with the non-boundary Apartment. This report aims to the process of  regenerating the landscape for medium Residentials and the Apartment as a media to integrate the transition towards the nature for an individual project.

 

"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emiliani Febrina Dewi
"ABSTRAK
Konsep triad Lefebvre mengandung penjelasan bahwa karya seni mampu berperan dalam menciptakan citra suatu ruang yang terwujud melalui persepsi pembuatnya terhadap ruang tersebut. Penelitian ini menjelaskan bagaimana suatu ruang terwujud melalui representasi sebuah novel. Penekanan dalam penelitian ini adalah persepsi penulis dan tokoh dalam novel 5 cm terhadap suatu ruang (Gunung Semeru). Persepsi manusia terhadap suatu ruang menghasilkan nilai lanskap yang dapat menjadi ciri dari ruang tersebut dan pada tahap selanjutnya, dapat melekat sebagai identitas ruang. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan metode hermeneutika, yang menjadikan penelitian ini selalu bergerak dalam sebuah konteks. Konteks besar dalam penelitian ini adalah pendakian. Ruang yang akan dibahas adalah ruang yang berkaitan dengan kegiatan pendakian Gunung Semeru, yaitu jalur pendakian.
Interpretasi narasi dan dialog dalam 5 cm menghasilkan 3 kelompok besar ruang dalam pendakian Gunung Semeru, yaitu ruang profan, ruang medium, dan ruang sakral. Terdapat 4 nilai lanskap yang tersebar dalam 3 kelompok ruang tersebut. Keempat nilai tersebut yaitu nilai estetik, nilai historis, nilai religi, dan therapeutic value. Ruang profan yang estetik berada pada kaki Gunung Semeru. Ruang medium yang historis berada pada bagian pertengahan jalur pendakian. Sedangkan ruang sakral yang historis dan religi berada pada bagian akhir jalur pendakian atau merupakan dua tempat tertinggi pada jalur. Adapun identitas Gunung Semeru yang terbentuk berdasarkan konteks nilai-nilai tersebut yaitu
indah, mistis, dan sakral.

ABSTRACT
Lefebvre’s triad concept contains an explanation that arts can make image of the space that formed through author’s perception about it. This research examine how space produced from a novel representation. The suppression is perception of the author and characters on 5 cm about the space (Mount Semeru). Human perception about space produces landscape values that can be its characteristics. Then, these characteristics may transform to its identity. This qualitative research used hermeneutics that makes this research always based on contexts, which the big context is about mountaineering. Space that discussed is
Mount Semeru’s track.
Interpretation of the narrations and dialogues on 5 cm produce 3 categories, these are profane space, medium space, and sacred space. There are 4 landscape
values spread on these, they are aesthetic, historic, religious, and therapeutic.
Aesthetic profane space is on foot of Mount Semeru. Historic medium space is on mid section of the track. Historic and religious sacred space is on the end of the track or the two highest place on it. The identity of Mount Semeru produced based on those values are beautiful, historical, and sacred."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Universitas Indonesia, 2015
S57294
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>