Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171102 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Jessica Janice Luhur
"Latar belakang: Sebagian besar pasien karsinoma sel hati (KSH) tahap lanjut memiliki masalah vaskular seperti trombus tumoral vena porta. Terapi sistemik yang direkomendasikan cenderung mahal dan belum terjangkau oleh banyak pasien. Oleh karena itu, perlu mencari alternatif terapi, seperti transarterial chemoembolization (TACE). Di Indonesia, TACE telah menjadi pilihan terapi untuk pasien dengan trombus tumoral vena porta (TTVP) berdasarkan PNPK, tetapi belum ada penelitian yang mengkaji hubungan antara TTVP parsial pada KSH dan respons terapi sesuai mRECIST setelah TACE.
Tujuan: Untuk menganalisa hubungan antara respons terapi secara mRECIST pasca TACE dengan ada tidaknya TTVP parsial pada pasien KSH.
Metode: Selama periode Januari 2020 hingga Juli 2023 terdapat 36 pasien KSH diterapi TACE dan memiliki imaging sebelum serta sesudah tindakan. Respons terapi dievaluasi berdasarkan modified Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (mRECIST).
Hasil: Terdapat 36 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dengan 27 pasien KSH tanpa TTVP dan 9 pasien KSH dengan TTVP parsial. Setelah TACE, 22% pasien dengan TTVP parsial masuk dalam kategori responder, sedangkan pada kelompok tanpa TTVP, 41% pasien termasuk dalam kategori responder, dengan nilai p = 0,438.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan respons tumor yang bermakna antara kelompok subjek KSH dengan TTVP parsial dan kelompok tanpa TTVP. Meskipun proporsi non responder pada kelompok TTVP parsial lebih banyak dibandingkan kelompok tanpa TTVP, namun masih terdapat 22% yang menunjukkan respons subjektif sehingga TACE masih dapat dipertimbangkan sebagai terapi pada pasien KSH dengan TTVP.

Background: Most advanced-stage hepatocellular carcinoma (HCC) patients face vascular complications such as portal vein tumor thrombus (PVTT). Recommended systemic therapies tend to be costly and often inaccessible to many patients. Therefore, alternative treatments, such as transarterial chemoembolization (TACE), need to be explored. In Indonesia, TACE has become a treatment option for patients with portal vein tumor thrombus (PVTT) based on national guidelines, but no studies have yet examined the relationship between partial PVTT in HCC and treatment response according to mRECIST.
Objective: : To analyze the relationship between post-TACE treatment response according to mRECIST and the presence of partial PVTT in HCC patients. Methods: From January 2020 to July 2023, 36 HCC patients underwent TACE and had pre- and post-procedure imaging. Treatment response was evaluated using modified Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (mRECIST).
Results: Among the 36 included patients, 27 had HCC without partial PVTT, and 9 had HCC with partial PVTT. After TACE, 22% of patients with partial PVTT were classified as responders, while in the group without partial PVTT, 41% were responders, with a p-value of 0.438.
Conclusion: There was no significant difference in tumor response between the HCC patient groups with partial PVTT and those without. Despite a higher proportion of non-responders in the partial PVTT group, 22% still showed subjective response, suggesting that TACE may still be considered as a treatment option for HCC patients with partial PVTT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marscha Iradyta Ais
"Latar Belakang: Jumlah kasus KPKBSK diperkirakan 85% dari seluruh kasus kanker paru dan 40% diantaranya adalah jenis adenokarsinoma. Sebanyak 10%-30% pasien adenokarsinoma mengalami mutasi EGFR dan mendapatkan terapi EGFR-TKI. Mayoritas pasien KPKBSK memiliki respons dan toleransi baik terhadap terapi EGFR- TKI tetapi sebagian kecil pasien mengalami penyakit paru interstisial akibat EGFR- TKI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi gambaran penyakit paru interstisial pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendeketan kohort retrospektif yang dilakukan bulan Januari 2021 hingga Juni 2022. Subjek penelitian adalah pasien KPKBSK yang mendapatkan terapi EGFR-TKI. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data melalu data sekunder berupa rekam medis dan hasil CT scan toraks pasien yang kontrol di poliklinik onkologi RSUP Persahabatan.
Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 73 subjek penelitian, pasien KPKBSK dengan mutasi EGFR yang mendapatkan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan. Sebanyak 12 dari 73 subjek penelitian mengalami gambaran ILD yang dievaluasi berdasarkan CT scan toraks RECIST I dan II dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki (22,2%), kelompok usia 40-59 tahun (19,4%), perokok (24,1%), indeks brinkman berat (42,9%) dan mendapatkan terapi afatinib (26,1%). Proporsi gambaran ILD pada pasien KBPKBSK dengan terapi EGFR-TKI adalah opasitas retikular (58,3%), parenchymal band (33,3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) dan crazy paving pattern (8,3%). Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, jenis EGFR-TKI, riwayat merokok, indeks brinkman, riwayat penyakit paru dan tampilan status terhadap gambaran ILD.
Kesimpulan: Gambaran ILD pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI meliputi opasitas retikular, parenchymal band, ground-glass opacities, traction bronchiectasis dan crazy paving pattern. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara faktor-faktor yang memengaruhi terhadap gambaran ILD.

Background: The number of cases of NSCLC is estimated around 85% of all lung cancer cases and 40% among them are adenocarcinoma. Approximately 10%-30% of adenocarcinoma patients have EGFR mutations and receive EGFR-TKI therapy. The majority of NSCLC patients have a good response and tolerance to EGFR-TKI therapy, but a small group of patients experience EGFR-TKI induced interstitial lung disease. This study aims to determine the proportion of features of interstitial lung disease ini NSCLC patients treated with EGFR-TKI at Persahabatan Hospital.
Methods: This study was an analytic observational with a retrospective cohort approach that was conducted from January 2021 until June 2022. The subject were NSCLC patients who received EGFR-TKI treatment. The inclusion and exclusion criteria were used to determine which subjects will be included in the study. Data collection through secondary data from medical record and chest CT scan results of patients controlled at oncology polyclinic at Persahabatan Hospital.
Result : In this study, there were 73 subjects of NSCLC with EGFR mutations and received EGFR-TKI therapy at Persahabatan Hospital. There were 12 out of 73 subjects had ILD features which were evaluated based on RECIST I and II chest CT scan with predominant of male (22.2%), age group 40-59 years old (19.4%), smokers (24.1%), severe Brinkman index (42.9%) and received afatinib (26.1%). The proportion of ILD features in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy are reticular opacities (58.3%), parenchymal bands (33.3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) and crazy paving pattern (8.3%). The results of bivariate and multivariate analyzes showed that there was no differences between factors such as sex, age, type of GEFR-TKI, smoking history, Brinkman index, history of lung disease and performance status with features of ILD.
Conclusion: Features of ILD in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy include reticular opacities, parenchymal bands, ground-glass opacities, traction bronchiectasis and crazy paving pattern. There is no statistically significa
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"There are many Indonesian pilgrim who have smoking habits. Smoking can cause pulmonary function disorder. Pulmonary function could be normal, obstructive, restrictive, or mixed. Previous studies had showed a close association between smoking behavior and respiratory tract disease ..."
UI-IJCHEST 2:3 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, M. Yusuf Hanafiah
"Saat ini kasus kanker paru meningkat jumlahnya dan menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia juga di Indonesia. Data yang dikemukakan World Health Organization (WHO) menunjukkan kanker pare adalah penyebab utama pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki-laki tetapi juga pada perempuan. Di Indonesia kanker paru menduduki peringkat ke-3 atau ke-4 di antara tumor ganas yang paling sering ditemukan di beberapa rumah sakit. Jumlah penderita kanker paru di RS Persahabatan 239 kasus pada tahun 1996, 311 kasus tahun 1997 dan 251 kasus di tahun 1998. Lebih dari 90% penderita kanker paru datang berobat pada keadaan penyakit yang sudah lanjut, hanya 6% penderita masih dapat dibedah.
Prognosis buruk penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan penderita yang jarang datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam tahap awal. Hasil penelitian pada penderita kanker pare pascabedah menunjukkan bahwa rerata angka tahan hidup 5 tahun stage 1 jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika dibandingkan dengan penderita kanker pare stadium lanjut. Masa tengah hidup penderita kanker part stage lanjut yang diobati adalah 9 bulan.
Kanker pare adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis ini membutuhkan keterampilan dan sarana yang tidak sederhana serta memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerjasama yang erat dan terpadu antara ahli pare dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radioterapi, ahli bedah toraks dan ahli-ahli lainnya. Pengobatan atau penatalaksanaan penyakit ini sangat tergantung pada kecekatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker part pada stage dini akan sangat membantu penderita dan penemuan diagnosis dalam waktu lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualiti hidup yang lebih baik.
Diagnosis pasti penyakit kanker ditentukan oleh basil pemeriksaan patologi anatomi. Dasar pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan mikroskopik terhadap perubahan sel atau jaringan organ akibat penyakit. Terdapat dua jenis pemeriksaan patologi anatomi yaitu pemeriksaan histopatologi dan sitologi. Pemeriksaan histopatologi bertujuan memeriksa jaringan tubuh, sedangkan pemeriksaan sitologi memeriksa kelompok sel penyusun jaringan tersebut. Pemeriksaan histopatologi merupakan diagnosis pasti (baku emas). Pemeriksaan sitologi mampu memeriksa sel kanker sebelum tindakan bedah sehingga bermanfaat untuk deteksi pertumbuhan kanker, bahkan sebelum timbul manifestasi klinis penyakit kanker.
Diagnostik kanker paru memang tidak mudah khususnya pada lesi dini. Pemeriksaan sitologi sputum merupakan satu-satunya pemeriksaan noninvasif yang dapat mendeteksi kanker pare tetapi nilai ketajamannya rendah. Pengambilan bahan pemeriksaan sel/jaringan pare banyak dilakukan dengan cara invasif seperti biopsi pare tembus dada (transthoracic biopsy/TTB), bronkoskopi atau torakoskopi. Teknik ini jauh lebih noninvasif dibandingkan biopsi pare terbuka dengan cara pembedahan yang sudah banyak ditinggalkan. Di RS Persahabatan jumlah penderita kanker paru yang dapat dibedah masih dibawah 10%, angka ini masih sangat kecil dibandingkan negara lain yang dapat mencapai angka sekitar 30%. Data yang belum dipublikasi dari bagian bedah toraks RS Persahabatan dari tahun 2000-2004 mencatat 33 kasus kanker paru yang dibedah, rata-rata hanya sekitar 6-7 pasien pertahun, itupun bukan untuk tujuan diagnostik tetapi untuk penatalaksanaan. Hal ini menjadikan pemeriksaan sitologi masih akan tetap menjadi alat utama untuk diagnostik kanker paru.
Berbagai teknik pemeriksaan sitologi dan histopatologi memberikan akurasi basil yang berbeda-beda dan umumnya tidak membandingkan akurasi berbagai teknik pemeriksaan sitologi tersebut dengan baku emas pemeriksaan histopatologi. Perbandingan akurasi basil berbagai teknik pemeriksaan tersebut akan berguna untuk menentukan pilihan pemeriksaan yang paling efektif dan efisien."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18032
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hapsari Retno Dewanti
"Latar Belakang: Kanker paru menjadi penyebab kematian utama akibat keganasan pada laki-laki sebesar 31% dan perempuan sebesar 27%. Pada pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi pada exon 20 T790M memberikan respons yang buruk terhadap terapi EGFR-TKI generasi pertama maupun generasi kedua.
Tujuan: Mengetahui profil serta angka tahan hidup 1 tahun pasien kanker paru jenis Adenokarsinoma dengan mutasi exon 20 T790M primer.
Metode: Penelitian menggunakan desain kohort terhadap pasien-pasien adenokarsinoma paru stadium IV dengan mutasi exon 20 T790M primer dari bulan September 2015 sampai Desember 2017 di RSUP Persahabatan. Variabel yang diteliti adalah karakteristik klinis dan angka kesintasanberdasarkan kurva Kaplan Meier. Hasil analisis dinyatakan berbeda bermakna apabila nilai p<0,05.
Hasil: Didapatkan 27 subjek penelitian dengan rerata usia 58,5 tahun dan berjenis kelamin laki-laki (70,6%). Keluhan utama berupa sesak napas (73,5%) dan nyeri dada (55,9%). Mutasi genetik tunggal pada Exon 20 T790M (64,7%), sedangkan mutasi Exon 20 T790M dengan Exon 21 L858R (11,8%) dan mutasi Exon 20 T790M dengan 21 L861Q (8,8%). Organ target metastasis adalah efusi pleura (73,5%), tulang (26,5%) dan otak (20,6%). Angka kesintasan 360 dan 990 hari sebesar 35% dan 20% dengan median kesintasan sebesar 213 hari.
Kesimpulan: Mutasi exon 20 T790M pada adenokarsinoma paru memegang peranan penting terhadap kesintasan dan prediktor responsterhadap terapi yang diberikan.

Background: Lung cancer causes mortality in men (31%) and in women (27%). Lung adenocarcinoma patients with exon 20 T790Mepidermal growth factor receptor(EGFR) mutation showed poor response to the first generation and second generation of EGFR tyrosine kinase inhibitor (TKI) therapy.
Purpose: This study aims to reveal the characteristics and one year survival rate of lung adenocarcinoma patients with primary exon 20 T790M EGFR mutations treated at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia.
Methods: The cohort study involved patients with primary exon 20 T790M EGFR mutation between September 2015 to December 2017 in Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. The survival rate was observed from Kaplan Meier estimator curve and was statistically analyzed.
Results: There were 27 subjects with mean age of 58.5 years and were predominated male (70.6%). The most common chief complaints were shortness of breath (73.5%) and chest pain (55.9%). The EGFR mutations detected were exon 20 T790M (64.7%), exon 20 T790M with exon 21 L858R (11.8%) and exon 20 T790M with exon 21 L861Q (8.8%). Metastatic target organs were pleural effusions (73.5%), bone (26.5%) and brain (20.6%). Survival rate of 360 and 990 days was 35% and 20% respectively with median survival rate was 213 days.
Conclusion: Exon 20 T790M EGFR mutation in lung adenocarcinoma was revealed to be an important factor in survival and in predicting response to EGFR TKI chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tempat kerja dengan angka kejadian kanker paru pada wanita. Pertanyaan penelitian adalah apakah ada hubungan antara tempat kerja dengan angka kejadian kanker paru pada wanita dan seberapa jauh hubungan tempat kerja dengan angka kejadian kanker paru tersebut. Asumsi tempat kerja akan berpengaruh terhadap angka kejadian kanker paru pada wanita. Disain penelitian menggunakan metode deskriptif korelatif dimana untuk mengidentifikasi hubungan tempat kerja dengan angka kejadian kanker paru pada wanita. Responden penelitian adalah ibuibu dengan kanker paru yang telah bekerja di dalam rumah atau di luar rumah dengan lama kerja minimal 10 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan daftar pertanyaan kepada responden untuk diisi lalu di kumpulkan kembali. Data yang terkumpul ditabulasi, dianalisa dengan rumus korelasi product moment (r) lalu diuji tingkat kemaknaan dengan uji t. Hasil penelitian menunjukkan korelasi sedang (r = 0,53). Kesimpulannya pada uji tingkat kemaknaan (t) memperlihatkan hasil tidak bermakna oleh karena jumlah sampel yang terbatas sekali (hanya 8 responden)."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5180
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Kurniawan Putra
"Latar belakang dan tujuan: Kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi masalah regional terutama di Asia Tenggara. Pada bulan Juni-Desember 2015 sebaran titik panas akibat kebakaran hutan tertinggi terdapat di Provinsi Riau. Data dari Dinas Kesehatan 2015 terdapat peningkatan gangguan kesehatan di masyarakat provinsi Riau. Sampai saat ini belum terdapat data mengenai faal paru pada petugas pemadam kebakaran di Provinsi Riau.
Metode: Penelitian cross sectional / potong lintang pada petugas pemadam kebakaran kota Pekanbaru di kantor pusat dinas pemadam kebakaran kota Pekanbaru pada bulan Mei 2016 pasca kebakaran pada tahun 2015.
Hasil: Pada penelitian ini terdapat65 petugas pemadam kebakaran didominasi jenis kelamin laki-laki 96,9 , umur 53,8 di 30-39 tahun, tingkat pendidikan terbanyak SLTA 73,8 , 66,2 perokok, dengan indeks brinkman sedang 33,8 , 56,9 yang memakai APD, 38,5 obesitas, lama terpajan 58,5 dengan durasi 2-5 jam dan lama kerja terbanyak di 5-10 tahun sebanyak 67,7 . Keluhan pernapasan yang dialami bulan Mei tahun 2016 terbanyak adalah batuk berdahak 43,1 , sesak dada atau napas 32,3 dan batuk 20 . Gambaran faal paru pada bulan Mei tahun 2016 terbanyak gambaran normal sebanyak 49,2 , restriksi 43,1 , obstruksi 4,6 , dan campuran 3,1 . Nilai rerata kavasitas vital paksa KVP 3223,92 630,190, rerata nilai volume ekspirasi paksa detik pertama VEP1 2685,82 571,862 dan VEP1/KVP sebesar 87,9754 8,23283.
Kesimpulan: Faktor-faktorkarakteristik sosiodemografi yang dominan pada pemadam kebakaran di Riau pasca kebakaran hutan 2015 adalah jenis kelamin laki-laki, umur 30-39 tahun, pendidikan SLTA, perokok dengan indeks brinkman sedang, obesitas, dengan lama terpajan 2-5 jam, dominan yang menggunakan APD, lama kerja 5-10 tahun. Pada pemeriksaan spirometri terdapat gangguan restriksi sebanyak 43,3 , gangguan obstruksi 4,4 dan gangguan campuran 3,3 . Keluhan respirasi yang terbanyak adalah batuk berdahak. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti efek asap kebakaran hutan jangka panjang pada pemadam kebakaran dengan melakukan pemeriksaan faal paru secara berkala

Background:Forest fires in Indonesia have become a regional problem especially in Southeast Asia. In June-December 2015 hot spots caused by the highest forest fire in Riau Province. Data from the Health Office 2015 there is an increase in health problems in the Riau provincial community. Until now there has been no data about lung function in firefighters in Riau Province.
Methods: Cross sectional study at Pekanbaru firefighters at Pekanbaru fire department head office in May 2016after the forest fire in 2015
Results: Sample of this study was 65 firefighters were male dominated 96.9 , age 53.8 in 30-39 years, 73.8 highest level of education is senior high school, 66.2 of smokers, with brinkman index classification of moderate smokers 33,8 , 56.9 were using personal protective equipment PPE , 38.5 obesity, 58.5 exposure duration and 2-5 hours duration and duration of 5-10 years were 67.7 . Respiratory complaints that occurred in May of 2016 most are cough with phlegm 43.1 , chest tightness or shortness of breath 32.3 and cough 20 . The lung function in May of 2016 was normalized by 49.2 , restriction 43.1 , obstruction 4.6 , and 3.1 mixture. The mean expiratory forced vital capacity FVC value is 3223,92 630,190, the mean expiration volume value in one second FEV1 is 2685,82 571,862 and FEV1 / FVC is 87,9754 8,23283.
Conclusion: The dominant sociodemographic characteristics of firefighters in Riau after the 2015 forest fires were male gender, age 30-39 years old, senior high school education, smokers with moderate brinkman index, obesity, with 2-5 hours of exposure, dominant use of PPE, 5-10 year work duration. On spirometry examination there are 43.3 restriction disorder, obstruction disorder 4.4 and mixed disorder 3.3 . Most respiratory complaints are cough with phlegm. Further research is needed to investigate the effects of long-term forest fire fumes on firefighting by regularly checking lung function."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58624
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eky Pramitha Dwi Putri
"PM2,5 adalah indikator penting untuk mengetahui risiko kesehatan yang disebabkan oleh polusi partikulat. Pajanan konsentrasi PM2,5 di udara dalam ruang telah banyak dikaitkan dengan kejadian penurunan fungsi paru. Oleh karena itu, program intervensi harus dimulai dari faktor lingkungan.
Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi PM2,5 di udara dalam ruang dengan penurunan fungsi paru pada orang dewasa. Studi potong lintang dilakukan di sekitar kawasan industri Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Penelitian dilakukan dari bulan maret sampai mei 2012. Peneliti memilih secara acak 109 orang dewasa yang berusia 20-65 tahun dengan menggunakan metode statifikasi acak sampel. Hal ini dilakukan untuk menentukan kejadian penurunan fungsi paru dan hubungannya dengan konsentrasi PM2,5 di udara dalam ruang. Fungsi paru diperiksa dengan menggunakan spirometri tes untuk mendapatkan nilai VC, FCV, FEV1, dan FEV1/FCV. Konsentrasi PM2,5 di udara dalam ruang diukur dengan menggunakan alat dust track. Setelah itu, analisis dilakukan dengan menggunakan model regresi logistik untuk mendapatkan nilai OR dari konsentrasi PM2,5 di udara dalam ruang dengan penurunan fungsi paru pada orang dewasa. Selain itu, variabel karakteristik individu dan faktor lingkungan rumah juga dianalisis dengan kejadian penurunan fungsi paru. Prevalensi penurunan fungsi paru pada orang dewasa di sekitar kawasan industri Pulo Gadung sebesar 38,5%.
Hasil analisis menunjukkan hubungan yang signifikan antara konsentrasi PM2,5 di udara dalam ruang dengan penurunan fungsi paru pada orang dewasa (OR = 3,31; nilai p = 0,003). Faktor lain yang mempengaruhi penurunan fungsi paru pada orang dewasa adalah jenis kelamin laki-laki (OR = 2,84; nilai p = 0,025), durasi pajanan (OR = 3,56; nilai p = 0,002), merokok (OR = 2,60; nilai p = 0,040), ventilasi (OR = 3,35; nilai p = 0,026), dan kelembaban (OR = 3,12; nilai p = 0,016). Akhirnya, kesimpulan dari penelitian ini adalah konsentrasi PM2,5 di udara dalam ruang berhubungan signifikan dengan penurunan fungsi paru pada orang dewasa.
PM2,5 is an important indicator of risk to health from particulate pollution. Exposure to indoor air pollution of PM2,5 has been associated with an increase in lung function impairment. Consequently, the intervention program must be started from environmental factors.
The aim of the study was to better understand the association between indoor PM2.5 concentration and the decline of adult lung function. Cross sectional study was conducted at the surrounding of Pulo Gadung Industries, East Jakarta.
This study was extended from March to May 2012. Researcher has selected 109 adults from 20 to 65 years of age by the stratified random sample to determine the incidence of lung function impairment and its relationship to indoor air pollution due to PM2.5. Lung function was measured by spirometry test to get the value of VC, FCV, FEV1, and FEV1/FCV. Indoor PM2.5 concentration was obtained from measurement by dust track. The Odds Ratio (OR) for the effect of indoor PM2,5 concentration on lung function in adult was analyzed by logistic regression model. Besides that, individual variables and health housing variables were analyzed with the decline of adult lung function too. The prevalence of the decline of adult lung function in the surrounding of Pulo Gadung Industries was 38,5%.
The analysis showed significantly association between indoor PM2.5 concentration and the decline of adult lung function (OR = 3,31; p value = 0,003). Another factors that influenced the decline of adult lung function were the men gender (OR = 2,84; p value = 0,025), the duration of exposure (OR = 3,56; p value = 0,002 ), smoking (OR = 2,60; p value = 0,040), ventilation (OR = 3,35; p value = 0,026), and humidity (OR = 3,12; p value = 0,016). Finally, the conclusion of this study is indoor PM2,5 concentration was significantly associated with the decline of adult lung function.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nieniek Ritianingsih
"ABSTRAK
PPOK merupakan penyakit yang mengarah kepada adanya beberapa gangguan yang
mempengaruhi keluar masuknya udara paru-paru. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia
terutama kebutuhan oksigen dapat terganggu dengan adanya PPOK, sehingga untuk
mengoptimalkan kesehatan pasien kembali diperlukan tindakan keperawatan yang tepat.
Salah satu tindakan mandiri keperawatan guna mempertahankan fungsi ventilasi paru
adalah mengatur posisi pasien PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
perbedaan pengaruh posisi duduk high fowler dan orthopneic terhadap fungsi ventilasi
paru pada asuhan keperawatan pasien PPOK di RS Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo
Bogor. Desain penelitian menggunakan metoda kuasi eksperimental dengan pendekatan
pre test post test group design. Sampel berjumlah 36 orang yang diambil secara
purposive sampling. Pasien diberikan tindakan pengaturan posisi high fowler dan
orthopneic. Hasil penelitian menunjukkan posisi high fowler dan orthopneic dapat
meningkatakan fungsi ventilasi paru (p=0,0005), tetapi posisi orthopneic dapat
meningkatkan fungsi ventilasi paru lebih baik dibandingkan high fowler (p=0,0005).
Usia berhubungan terhadap peningkatan fungsi ventilasi paru pasien PPOK baik pada
posisi high fowler (p=0,0048) maupun pada orthopneic (p=0,0005). Tinggi badan
(p=0,453 dan p=0,456), berat badan (p=0,385 dan p=0,411), dan jenis kelamin (p=0,240
dan 0,164) tidak mempengaruhi peningkatan fungsi ventilasi paru baik pada posisi high
fowler maupun orthopneic. Rekomendasi hasil penelitian adalah perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pasien PPOK dengan dispnea sebaiknya memberikan
posisi orthopneic sehingga fungsi ventilasi paru pasien dapat ditingkatkan

ABSTRACT
Fungsi ventilasi paru dapat terganggu dengan adanya penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Salah satu tindakan mandiri keperawatan guna mempertahankan fungsi
ventilasi paru adalah mengatur posisi pasien PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan perbedaan pengaruh posisi duduk high fowler dan orthopneic terhadap
fungsi ventilasi paru pada asuhan keperawatan pasien PPOK di RS Paru Dr. M.
Goenawan Partowidigdo Bogor. Desain penelitian menggunakan metoda kuasi
eksperimental dengan pendekatan pre test post test group design. Sampel berjumlah 36
orang yang diambil secara purposive sampling. Pasien diberikan pengaturan posisi high
fowler dan orthopneic. Hasil penelitian frekuensi nafas memiliki nilai yang sama. Posisi
high fowler dan orthopneic dapat meningkatkan nilai APE (p=0,0005), tetapi posisi
orthopneic dapat meningkatkan nilai APE lebih baik dibandingkan high fowler
(p=0,0005). Usia berhubungan terhadap peningkatan nilai APE pasien PPOK baik pada
posisi high fowler (p=0,0048) maupun pada orthopneic (p=0,0005). Tinggi badan, berat
badan, dan jenis kelamin tidak mempengaruhi fungsi ventilasi paru baik pada posisi high
fowler maupun orthopneic. Rekomendasi hasil penelitian adalah perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pasien PPOK dengan dispnea sebaiknya memberikan
posisi orthopneic sehingga fungsi ventilasi paru pasien dapat ditingkatkan
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T24772
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>