Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152319 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Pentingnya industri hilir kelapa sawit (HKS) telah mendorong pemerintah dan dunia usaha untuk menyelenggarakan konferensi Pengembangan Industri Minyak Sawit (Palm Oil Industry Development Conference/POIDeC) di Jakarta pada 16-17 Oktober 2013 ..."
SEKNEG 30 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Saleh Husin
"Sebagai produsen sawit terbesar di dunia, Indonesia seharusnya dapat mengendalikan perdagangan sawit pada pasar internasional. Disertasi ini membuktikan bahwa hilirisasi dapat memperkuat perekonomian nasional dengan meningkatkan nilai ekspor, menurunkan impor, menghemat devisa, sehingga menambah produk domestik bruto. hilirisasi meningkatkan produktivitas petani sawit, maupun industri pengolahan sawit, sehingga menyerap tenaga kerja lebih banyak. Hilirisasi membuat Indonesia memiliki kemampuan lebih besar dalam mengendalikan harga sawit internasional, karena industri sawit nasional tidak lagi tergantung pada ekspor. Besar kecilnya suplai sawit pada pasar internasional dikendalikan oleh Indonesia sesuai dengan besar kecilnya kebutuhan sawit di dalam negeri. Disertasi ini menyarankan strategi investasi, produksi dan ekspor serta kebijakan pengembangan hilirisasi industri sawit nasional. Pemerintah perlu memberikan insentif perpajakan untuk mengundang investasi pada produk hilir kelapa sawit pada tingkat akhir, seperti produk kosmetika, makanan kemasan, dan bahan bakar sawit. Kebijakan industri sawit dalam PP No. 74 Tahun 2022 tetap dilanjutkan dan dipercepat pelaksanaannya. Ekspor sawit perlu didukung oleh peraturan-peraturan yang lebih sederhana, serta pemberian insentif untuk ekspor produk hilir. Aktivitas bursa sawit Indonesia terus ditingkatkan sehingga pengendalian harga sawit internasional dapat berada di Indonesia.

As the world's largest palm oil producer, Indonesia is expected to exert control over the palm oil trade in the international market. This dissertation demonstrates that downstreaming can fortify the national economy by increasing export value, diminishing imports, conserving foreign exchange, and consequently contributing to the gross domestic product. Downstreaming elevates the productivity of both palm oil farmers and processing industries, thereby fostering increased employment. It grants Indonesia a more considerable capacity to influence international palm oil prices, as the national palm oil industry is no longer reliant on exports. The magnitude of the palm oil supply in the international market is governed by Indonesia in accordance with the domestic demand for palm oil. This dissertation proposes strategies for investment, production, and export, along with policies for the downstreaming development in the national palm oil industry. The government needs to provide tax incentives to attract investment in downstream palm oil products at the final stage, such as cosmetics, packaged foods, and palm oil-based fuels. The policies outlined in the palm oil industry, as per Government Regulation (Peraturan Pemerintah) No. 74 of 2022, should persist and their implementation expedited. Palm oil exports require support through streamlined regulations and incentives for the export of downstream products. The activities of the Indonesian palm oil exchange should be intensified to maintain control over international palm oil within Indonesia.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Istasius Angger Anindito
"Indonesia adalah negara penghasil kelapa sawit terbesar kedua di dunia. Dalam periode yang dianalisis (1998-2006), pertumbuhan industri kelapa sawit menunjukkan angka yang sangat tinggi. Namun ternyata angka kenaikan produksi kelapa sawit ini diikuti dengan
angka pertumbuhan ekspor yang jauh lebih besar daripada konsumsi domestiknya. Implikasinya ialah hilangnya potensi nilai tambah yang dapat diperoleh masyatakat Indonesia. Apabila kelapa sawit tersebut tidak diekspor dalam bentuk mentah (CPO) tetapi diekspor dalam bentuk produk industri hilirnya (seperti minyak goreng) maka industri ini akan lebih banyak memberikan sumbangan nilai tambah bagi masyarakat Indonesia. Penelitian ini menguji pertama: apakah kenaikan proporsi ekspor terhadap konsumsi dalam negeri tersebut dikarenakan industri hilirnya lamban; dan kedua: melihat faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan industri hilir CPO tersebut. Dalam penelitian ini industri hilir CPO yang digunakan ialah industri minyak goreng sawit dan menggunakan teori pertumbuhan perusahaan (Firm Growth dan Firm Survival). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa industri minyak goreng sawit benar relatif lamban
dibandingkan dengan industri CPO; dan faktor-faktor yang terbukti secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan perusahaan ialah umur perusahaan, ukuran perusahaan, dan besar pangsa output perusahaan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edid Erdiman
"Dalam perekonomian Indonesia minyak sawit merupakan salah satu bahan baku utama minyak goreng. Minyak goreng merupakan salah satu dari barang kebutuhan pokok masyarakat. Dari tahun 1979-1998, luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat sebesar 11,3% per tahun, produksi minyak sawit meningkat sebesar 11,6% per tahun, dan ekspor minyak sawit Indonesia meningkat 12,2% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi minyak sawit Indonesia mempunyai peranan, potensi dan prospek yang baik bagi perekonomian Indonesia.
Namun di dalam pelaksanaannya, penawaran minyak sawit Indonesia sering dihadapkan pada dua pilihan yang agak rumit antara apakah lebih ke pasar ekspor atau lebih ke pasar domestik. Keadaan dilema tersebut, diduga sering menjadikan penawaran minyak sawit Indonesia tidak mencapai tingkat keseimbangan antara produsen, konsumen di dalam negeri, dan pemerintah. Begitupun kebijakan Pemerintahnya diduga lebih mementingkan kepentingan Pemerintah (stabilitas harga dan inflasi).
Analisis Kebijakan industri Minyak Sawit Indonesia: Orientasi Ekspor dan Domestik, Marimba mengungkap dan menganalisanya. Analisis ini bertujuan untuk:
i) Memberikan gambaran penawaran minyak sawit Indonesia;
ii) Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran minyak sawit Indonesia;
iii) Memberikan gambaran kebutuhan minyak sawit industri minyak goreng di dalam negeri dan ekspor,
iv) Memberikan gambaran arah atau orientasi kebijakan penawaran industri minyak sawit Indonesia, dan
v) Memberi masukan pada pengembangan kebijakan pemerintah pada industri minyak sawit.
Penelitian ini menggunakan pendekatan:
i) Secara deskriptif pada: luas areal perkebunan, produksi minyak sawit, produktivitas tenaga kerja, alokasi penawaran ke pasar ekspor dan domestik, harga minyak sawit, perdagangan minyak sawit dunia;
ii) Analisa Regresi pada penawaran minyak sawit Indonesia di pasar ekspor dan domestik; dan
iii) Analisa Struktur Pasar pada industri minyak sawit dan minyak goreng sawit Indonesia.
Dari hasil penelitian didapat temuan dan kesimpulan sebagai berikut:
1) Dari tahun 1979-1985 perkebunan kelapa sawit Indonesia paling besar dikuasai oleh Perkebunan Besar Negara, yaitu luas arealnya 64%-67% dari luas areal kelapa sawit seluruh Indonesia. Dari tahun 1989-1998 paling besar dikuasai oleh Perkebunan Besar Swasta, yaitu luas arealnya 37%-50% dari luas areal kelapa sawit seluruh Indonesia.
2) Pada tahun 1997 luas areal kelapa sawit Indonesia terkonseritrasi di propinsi Sumatera Utara yaitu 42,4% dari luas areal seluruh Indonesia.
3) Dari tahun 1979-1988 produksi minyak sawit Indonesia yang paling besar dihasilkan dari Perkebunan besar Negara, 47%-68% dari seluruh produksi minyak sawit Indonesia. Dari tahun 1989-1998 produksi minyak sawit yang paling besar dihasilkan dari Perkebunan Besar Swasta, 39%-50% dari produksi minyak sawit di Indonesia.
4) Dari tahun 1979-1998 rata-rata produksi per ha per tahun Perkebunan Rakyat adalah 0,85 ton/ha, Perkebunan Besar Negara adalah 3,18 ton/ha, dan Perkebunan Besar Swasta adalah 2,09 ton/ha. Rata-rata produksi per ha per tahun nasional adalah 2,21 ton/ha. Produksi per ha perkebunan kelapa sawit Indonesia per tahun masih rendah masih dapat ditingkatkan.
5) Produktivitas tenaga kerja per tahun industri minyak sawit Indonesia pada tahun 1993 adalah 46,4 ton/tk (tk= tenaga kerja), dan pada tahun 1997 adalah sebesar 103 ton/tk. Pada tahun 1996 produktivitas tenaga kerja per tahun mencapai yang paling tinggi yaitu sebesar 133,6 ton/tk. Produktivitas tenaga kerja industri minyak sawit Indonesia masih rendah, masih dapat ditingkatkan misalnya sebesar yang dicapai pada tahun 1996.
6) Dari tahun 1993-1997 industri minyak sawit Indonesia merupakan pemasok terbesar minyak makan nabati Indonesia. Jumlah produksi industri minyak sawit Indonesia dari tahun 1993-1997 adalah antara 88,5%-92,6% dari seluruh produksi industri minyak nabati Indonesia. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa dari tahun 1993-1997 penawaran minyak nabati di pasar domestik dikuasai oleh penawaran industri minyak sawit Indonesia.
7) Dari tahun 1988-1997 pabrik pengolahan minyak sawit Indonesia telah berkembang cukup pesat, yaitu dalam 9 tahun dari tahun 1988 jumlah pabrik telah meningkat sebesar 135 pabrik (195,6%), kapasitasnya meningkat sebesar 6.020 ton TBS/jam (293%).
8) Struktur pasar industri minyak sawit Indonesia di dalam negeri dari tahun 1993-1997 mempunyai tingkat konsentrasi (CR4) yang relatif rendah yaitu antara 0,10-0,20. Hal ini berarti di pasar domestik minyak sawit Indonesia tidak terdapat sekelompok kecil yang cukup dominan menguasai pasar atau sisi penawaran industri minyak sawit Indonesia di pasar domestik tidak dikuasai oleh sekelompok kecil perusahaan. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa sering terjadinya ketidakseimbangan penawaran dan permintaan di pasar dalam negeri bukan karena kondisi struktur pasar industri minyak sawit.
9) Struktur pasar industri minyak goreng sawit Indonesia di dalam negeri terkonsentrasi cukup tinggi yaitu angka CR4-nya sekitar 0,65-0,80. Karena angka CR4 dihitung dari pangsa jumlah pengadaan bahan baku, make berarti pasar minyak sawit di dalam negeri telah dikuasai oleh pembelian bahan baku 4 perusahaan terbesar industri minyak goreng sawit Indonesia. Atau penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar dalam negeri dikuasai oleh 4 perusahaan terbesar industri minyak goreng sawit.
10) Realisasi alokasi penawaran minyak sawit Indonesia di pasar ekspor dari tahun 1967-1980 antara 55%-97% dari seluruh produksi minyak sawit Indonesia. Berarti dari tahun 1967-1980 arah penawaran industri minyak sawit Indonesia lebih ke pasar ekspor dari pada pasar dalam negeri.
11) Realisasi alokasi penawaran minyak sawit Indonesia di pasar dalam negeri dari tahun 1981-1996 adalah rata-rata per tahun 50% dari produksi minyak sawit seluruh Indonesia. Berarti dari tahun 1981-1996 arah penawaran industri minyak sawit Indonesia lebih ke pasar dalam negeri.
12) Beralihnya arah atau orientasi penawaran minyak sawit Indonesia diantaranya karena kebutuhan minyak sawit di dalam negeri memang meningkat banyak dan diarahkan oleh pemerintah melalui kebijakan pajak ekspor.
13) Perilaku penawaran minyak sawit Indonesia di pasar domestik dan ekspor dapat digambarkan dengan model regresi sebagai berikut:
LQDN t = 4,68 + 1,39 LHSD t - 0,54 LHSI t + 0,58 LKURS t LQEK , = 2,69 + 0,16 LHSD , + 0,79 LHSI t + 0,80 LKURS1 QDN = jumlah penawaran di pasar dalam negeri QEK = jumlah penawaran di pasar ekspor HSD = harga minyak sawit di pasar dalam negeri HIS= harga minyak sawit di pasar ekspor KURS = nilai tukar rupiah terhadap dolar.
14) Pasar ekspor memang sangat menggiurkan produsen minyak sawit Indonesia. Hal ini karena disamping harganya di pasar internasional cenderung meningkat terus, harga minyak sawit di luar negeri dalam nilai rupiah selalu lebih tinggi dari harga di dalam negeri, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar jugs cenderung meningkat terus.
15) Di dalam perdagangan minyak sawit dunia, minyak sawit Indonesia masih mempunyai peranan yang cukup besar dan penting. Produksi dan ekspor minyak sawit Indonesia menduduki posisi terbesar ke dua di dunia setelah negara Malayasia. Pangsa ekspor dan produksi minyak sawit Indonesia dalam perdagangan minyak sawit dunia pada tahun 1997 adalah 24% untuk ekspor dan 29% untuk produksi semua. Oleh karena itu pasar ekspor dapat menjadi aiternatif yang menguntungkan.
16) Penawaran minyak sawit Indonesia lebih menguntungkan jika penawarannya ditujukan di pasar ekspor semua dari pada untuk pasar domestik.
17) Di dalam perdagangan minyak sawit dunia, komoditi minyak sawit Indonesia mempunyai peluang yang cukup besar untuk ditingkatkan. Produksi minyak sawit dunia masih di bawah kebutuhan minyak sawit dunia. Permintaan minyak sawit Indonesia di pasar ekspor juga cenderung meningkat terus.
18) Kebutuhan minyak sawit industri minyak goreng Indonesia adalah pada tahun 1979 sebesar 0,13 juta ton, pada tahun 1997 adalah sebesar 3,15 juta ton atau telah naik sebesar 19,3% per tahun.
19) Dari tahun 1978-1997 terdapat 3 kebijakan pemerintah pada industri minyak sawit Indonesia yaitu: (1).kebijakan pengadaan minyak sawit di dalam negeri; (2) kebijakan penetapan harga minyak sawit di dalam negeri; dan (3) kebijakan pajak ekspor minyak sawit. Yang sering dilaksanakan pemerintah adalah kebijakan pajak ekspor minyak sawit Indonesia.
20) Kebijakan-kebijakan pemerintah pada industri minyak, sawit Indonesia dapat dikatakan kurang tepat karena tujuannya hanya untuk stabilitas harga di pasar domestik. Terbukti jika targetnya tercapai, sifatnya sementara, dan kemudian sering muncui ketidak seimbangan permintaan dan penawarannya.
Sebenarnya kebijakan pemerintah pada industri minyak sawit Indonesia dapat dikatakan tidak berhasil mencapai sasarannya dan tujuannya. Target yang diharapkan pemerintah dan konsumen di dalam negeri, hampir semuanya tidak tercapai. Harga minyak sawit dan harga minyak goreng di dalam negeri terlihat sering tidak stabil dan sering bergejolak. Pasokan minyak sawit di dalam negeri sering terjadi kelangkaan. Ekspor minyak sawit juga sering berfluktuasi tajam.
21) Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah yang diperlukan industri minyak sawit Indonesia adalah kebijakan untuk mendorong peningkatan produksi dan produktivitas. Dengan meningkatkan produksi minyak sawit di dalam negeri, maka permintaan di pasar ekspor dan pasar domestik dapat dipenuhi semua serta pasar ekspor dapat dipelihara tetap meningkat untuk mengumpulkan devisa. Harga di dalam negeri juga dapat dipelihara stabil karena kebutuhannya terpenuhi.
Untuk jangka pajang kebijakan publik yang diperlukan adalah kebijakan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di pulau Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya yang cocok untuk tanaman kelapa sawit dan mempunyai potensi yang cukup besar.
22) Juga dapat disimpulkan yang menjadi masalah utama industri minyak sawit Indnesia adalah masalah penentuan alokasi penawaran untuk pasar ekspor dan pasar dalam negeri, bagaimana agar dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi produsen dan petani minyak sawit di dalam negeri, konsumen di dalam negeri (khususnya konsumen minyak goreng), dan pemerintah."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T1662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Paradigma Cipta Yastigama, 2001
320.092 GEO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fitriani Agustina Rezeki
"Telah dilakukan analisis terhadap minyak kelapa, minyak kelapa sawit, dan virgin coconut oil berdasarkan parameter yang terdapat pada SNI minyak kelapa seperti kadar air, bilangan peroksida, bilangan iod, bilangan penyabunan, dan bilangan asam, dengan menggunakan metode titrasi. Pada pengamatan hasil analisis terhadap dua sampel virgin coconut oil dari produk yang berbeda, terdapat perbedaan kualitas berdasarkan parameter SNI. Untuk minyak kelapa, minyak kelapa sawit, dan virgin coconut oil, perbedaan kualitas berdasarkan parameter SNI tidak terlalu besar antara ketiganya. Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap asam laurat dalam keempat sampel minyak tersebut secara kromatografi lapis tipis(KLT) densitometri, namun metode ini tidak berhasil untuk menganalisanya.
Analysis of coconut oil, palm oil, and virgin coconut oil has been carried out based on SNI parameter such as water content, peroxide value, iodine value, saponification value, and acid number by using titration method. The analysis result of virgin coconut oil from difference products has showed differences quality based on SNI parameter. For the coconut oil, palm oil, and virgin coconut oil, there were small differences among them. It was also carried out Analyzing of lauric acid for all samples by thin layer chromatography densitometry, but the method applied did not work well."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S33050
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roni Dwi Susanto
"Semakin pentingnya kedudukan kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng dan perolehan devisa telah menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kepentingan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok atau kepentingan untuk meningkatkan perolehan devisa, melalui ekspor crude palm oil (CPO).
Mengingat bahwa industri minyak goreng sawit Indonesia sampai saat ini masih belum berjalan dengan kapasitas penuh, bahkan menurut beberapa survei hanya berkisar 50-60 persen dari kapasitas terpasang, maka kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri minyak goreng. Untuk itu pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan, baik melalui penghapusan bea masuk maupun pengenaan pajak ekspor serta alokasi CPO kepada Badan Urusan Logistik (BULOG).
Dari gambaran intervensi pemerintah yang telah dilakukan selama ini terhadap minyak sawit Indonesia terlihat bahwa senantiasa terjadi benturan-benturan kepentingan dalam penerapan kebijakan. Dua dilema kebijakan yang dihadapi yaitu:
1. Pilihan antara pengembangan industri minyak goreng dalam negeri atau mengimpor minyak goreng dan mengekspor bahan mentah pembuatan minyak goreng (CPO) sebagai penghasil devisa;
2. Pilihan antara menggunakan instrumen minyak goreng impor atau pengaturan produksi minyak goreng dalam negeri untuk pengelolaan (stabilisasi) harga minyak goreng dalam negeri.Dilema ke dua ini langsung terkait dengan jaminan ketersediaan minyak goreng dalam negeri, dengan demikian harga minyak goreng tidak akan berfluktuasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terhadap kondisi penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia dan pengaruhnya terhadap industri minyak goreng serta gejolak harga minyak goreng di pasar domestik. Untuk itu dalam penelitian ini diidentifikasi faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit domestik dan pengaruhnya terhadap harga minyak goreng. Disamping itu penelitian ini juga berupaya mengkaji kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan pemerintah yang pada dasarnya bertujuan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng. Analisis yang digunakan meliputi analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan pendekatan ekonometrika.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan harga bahan baku industri minyak goreng (CPO) maka harga minyak gorengpun akan naik, atau dengan kata lain harga minyak goreng berbanding lurus dengan harga CPO domestik. Secara teoritis hal ini sangat wajar, karena dengan naiknya salah satu harga input produksi maka perusahaan yang rasional akan menaikkan harga outputnya agar tetap dapat mempertahankan keuntungannya. Ditunjukkan bahwa apabila harga CPO domestik naik sebesar Rp. 1000,00 per ton maka harga minyak goreng sawit akan naik sebesar Rp. 2000,15 per ton. Hasil ini nyata pada tingkat kepercayaan di atas 90%. Sedangkan perubahan harga CPO di pasar internasional juga berpengaruh positif terhadap perubahan harga minyak goreng. Berdasarkan hasil regresi ditunjukkan bahwa kenaikan harga CPO di pasar internasional sebesar US$ 1 per ton akan menaikkan harga minyak goreng sebesar Rp. 0.42 per ton, cateris paribus.
Harga minyak goreng berhubungan negatif dengan penawaran CPO domestik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa apabila pasokan CPO di pasar domestik meningkat maka akan dapat menurunkan harga minyak goreng sawit. Apabila penawaran CPO di pasar domestik meningkat sebesar 1 ton maka harga minyak goreng akan dapat turun sebesar Rp. 0,11 per ton, cateris paribus. Apabila pasokan CPO berkurang, maka produksi minyak goreng berkurang yang pada gilirannya menyebabkan minyak goreng di pasaran menjadi berkurang sehingga memicu kenaikan harga minyak goreng.
Bagi produsen CPO rangsangan untuk mengekspor CPO lebih menarik dibandingkan dengan kewajiban mereka dalam memenuhi kebutuhan domestik. Walaupun telah ditetapkan pajak ekspor, selama kegiatan ekspor masih memberikan keuntungan yang lebih besar daripada menjual di dalam negeri maka produsen CPO akan berusaha untuk mengekspor. Sehingga sering ditemukan ekspor CPO secara illegal. Dengan demikian catatan jumlah ekspor resmi berbeda dengan kenyataan aktual CPO yang dilarikan ke luar negeri yang cenderung lebih besar dari catatan volume ekspor. Sehingga jumlah CPO yang dipasok di dalam negeri berkurang lebih besar dari jumlah CPO yang diekspor.
Semakin meningkatnya kebutuhan minyak goreng masyarakat, maka kebutuhan CPO sebagai bahan baku industri minyak goreng juga meningkat. Dari hasil pengujian ditunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan permintaan bahan baku CPO untuk industri minyak goreng maka akan diikuti dengan kenaikan jumlah penawaran CPO di pasar domestik, walaupun kenaikan penawaran CPO di pasar domestik tidak sebesar permintaan CPO. Apabila permintaan CPO untuk industri minyak goreng meningkat sebanyak 10 ribu ton maka penawaran CPO domestik juga akan meningkat tetapi hanya sebesar 2,1 ribu ton, cateris paribus. Oleh karena itu untuk menutupi kesenjangan lonjakan permintaan tersebut, pemerintah seringkali harus campur tangan guna menjamin ketersediaan pasokan CPO.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi CPO adalah melalui pembukaan areal perkebunan kelapa sawit. Pengukuran terhadap pengaruh perubahan variabel luas areal perkebunan kelapa sawit terhadap penawaran CPO domestik menunjukkan bahwa apabila terjadi pertambahan areal perkebunan kelapa sawit seluas 1000 hektar maka akan terjadi kenaikan penawaran CPO di pasar domestik sebesar 2,13 ribu ton CPO, cateris paribus. Data Ditjen Perkebunan (1998) menunjukkan bahwa dari areal perkebunan kelapa sawit seluas 2,79 juta hektar-dihasilkan 5.64 juta ton CPO atau rata-rata satu hektar perkebunan kelapa sawit menghasilkan 2.02 ton CPO.
Untuk variabel kebijakan pemerintah tentang produksi dan tata niaga minyak sawit terlihat bahwa dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah sejak tahun 1979 telah berhasil meningkatkan penawaran minyak sawit domestik (berpengaruh positif). Akan tetapi pengaruhnya belum dapat memberikan dampak yang berarti dalam menjamin ketersedian pasokan CPO di pasar domestik, karena dengan adanya kebijakan tersebut penawaran CPO domestik hanya meningkat sebesar 199,84 ribu ton dalam kurun waktu 19 tahun.
Ketidakefektifan kebijakan pemerintah dalam menjamin ketersediaan CPO untuk keperluan industri minyak goreng dalam negeri menyebabkan harga minyak goreng senantiasa mengalami gejolak. Kebijakan pemerintah melalui instrumen alokasi CPO dalam negeri dan alokasi CPO untuk ekspor hanya bertahan dalam jangka pendek. Disamping itu kebijakan tersebut harus dibayar cukup mahal karena dalam jangka panjang menghambat promosi ekspor dan dalam jangka pendek menurunkan perolehan devisa negara melalui ekspor CPO.
Upaya stabilisasi harga minyak goreng melalui mekanisme alokasi dan penetapan harga bahan baku dinilai banyak kalangan tidak efektif. Dapat dikemukakan beberapa faktor sebagai penyebabnya, seperti:
a. Permintaan dunia terhadap minyak sawit (CPO) terus mengalami peningkatan dan harga di pasar internasional juga meningkat cukup pesat.
b. Secara operasional mekanisme alokasi CPO produksi PTP melalui KPB (Kantor Pemasaran Bersama) tidak lagi banyak pengaruhnya pada pemenuhan kebutuhan bahan baku industri minyak goreng.
c. CPO tidak hanya digunakan oleh industri minyak goreng. Penggunaan CPO untuk bahan baku industri lain (bukan industri minyak goreng) dalam negeri juga terus meningkat. Jenis industri tersebut antara lain adalah margarin, sabun dan oleokimia.
d. Mekanisme alokasi dan penetapan harga CPO yang disertai operasi pasar minyak goreng pada saat-saat tertentu (seperti menjelang tahun baru, bulan puasa dan lebaran) menyebabkan margin keuntungan produsen minyak goreng sangat tipis.
e. Harga CPO akan cenderung tetap tinggi karena permintaan domestiknya lebih besar daripada kapasitas produksi CPO.
Dari hasil perhitungan elastisitas harga CPO internasional terhadap penawaran CPO domestik menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga CPO di pasar internasional sebesar 1% akan menurunkan penawaran CPO domestik sebesar 0,32%.
Harga CPO internasional berpengaruh negatif terhadap penawaran CPO domestik, ditunjukkan dengan nilai dugaan parameter sebesar -0.69, yang berarti apabila terjadi kenaikan harga CPO di pasar internasional sebesar 1 dollar US maka penawaran CPO domestik akan turun sebesar 0.69 ribu ton.
Dari hasil pendugaan dapat dinyatakan bahwa permintaan CPO domestik searah dengan jumlah produksi minyak sawit. Permintaan minyak sawit domestik sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi minyak goreng sawit walaupun tidak dapat diabaikan permintaan CPO oleh industri margarin dan sabun yang konsumsinya meningkat di atas 15% dari tahun ke tahun.
Pertumbahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan per kapita, berpengaruh positif terhadap permintaan minyak sawit domestik, hal ini ditunjukkan oleh koefisien yang bertanda positif sebesar 0.003 yang berarti setiap kenaikan penduduk 1.000 orang akan meningkatkan permintaan minyak sawit domestik sebesar 3 ton. Sedangkan hasil pendugaan parameter untuk pendapatan per kapita terhadap permintaan minyak sawit domestik sebesar 0,0006 menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan pendapatan per kapita sebesar Rp. 1000 maka akan meningkatkan permintaan CPO domestik sebanyak 0,6 ton, dan sebaliknya.
Dalam jangka pendek, kebijakan yang berorientasi pada pengembangan industri minyak goreng dalam negeri jelas lebih buruk dalam hal perolehan devisa. Hal ini terjadi karena dalam jangka pendek, kebijakan ini bersifat sebagai subtitusi impor, sehingga akan menurunkan penerimaan ekspor. Disamping itu, kebijakan ini mungkin saja kurang efisien dalam jangka pendek karena teknologi dan manajemen industri pengelolaan pada umumnya belum dapat dikuasai dengan baik.
Namun demikian, faktor negatif kebijakan yang berorientasi pada pengembangan industri minyak goreng dalam negeri mestinya dapat diatasi dalam jangka panjang. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong industri minyak goreng untuk terus menerus meningkatkan efisiensinya. Dalam kaitan ini, strategi yang perlu ditempuh adalah pemberian insentif dan kemudahan (proefisiensi) dalam proses produksi, bukan proteksi. Salah satu bentuk kebijakan yang bersifat proefisiensi ialah penghapusan berbagai faktor yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi seperti perizinan usaha dan biaya-biaya non-fungsional. Bila hal ini dapat dilakukan, maka, dalam jangka panjang industri minyak goreng dalam negeri akan berubah dari industri yang bersifat subtitusi impor menjadi industri yang bersifat promosi ekspor."
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T7501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Irawan
"ABSTRAK
Sejak tahun 2006, Industri minyak sawit khususnya Indonesia bertumbuh secara signifikan dan menjadi industri yang sangat penting bagi Indonesia. Besarnya produksi CPO Indonesia berdampak langsung pada peningkatan volume dan nilai ekspor CPO. Selama ini, Indonesia hanya menekankan pada ekspor CPO sehingga nilai tambah yang diperoleh masih rendah. Konsumsi CPO domestik hanya sekitar 30%, sedangkan 70% CPO Indonesia di ekspor ke pasar internasional. Tingginya peluang pasar dan produksi CPO Indonesia harus dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia dengan cara mengembangkan industri hilir. Dalam mendukung pengembangan industri hilir CPO di Indonesia, pada tahun 2011 pemerintah menerapkan kebijakan hilirisasi industri kelapa sawit dengan menerapkan bea keluar pada CPO dan produk turunannya berdasarkan PMK No. 128/11. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari kebijakan hilirisasi yang diterapkan pemerintah terhadap konsumsi CPO pada industri hilir. Teknik analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah fixed effect model pada data panel dari industri-industri hilir CPO dengan periode tahun penelitian 2000-2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah perusahaan, harga CPO internasional mempunyai pengaruh yang postif dan signifikan, sedangkan gap harga dan output produksi tahun sebelumnya berpengaruh negatif signifikan terhadap konsumsi CPO pada industri hilir. namun, nilai tukar riil, kebijakan hilirisasi, kebijakan penerapan bea keluar pada CPO dan produk turunannya tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi CPO. Hal lain juga ditunjukkan dalam penelitian ini bahwa industri yang berpengaruh signifikan dalam menyerap CPO domestik adalah industri minyak goreng kelapa sawit, industri ransum makanan hewan, industri kimia dasar organik yang bersumber dari pertanian dan juga industri minyak makan dan lemak nabati lainnya. Sedangkan industri minyak goreng kelapa dan industri sabun dan bahan pembersih keperluan rumah tidak berpengaruh secara signifikan

ABSTRACT
Since 2006, the palm oil industry, especially Indonesia, has grown significantly and has become a very important industry for Indonesia. The size of Indonesia's CPO production has a direct impact on increasing the volume and value of CPO exports. So far, Indonesia has only emphasized on CPO exports so that the added value obtained is still low. Domestic CPO consumption is only around 30%, while 70% of Indonesia's CPO is exported to international markets. The high market opportunities and CPO production in Indonesia must be put to good use by Indonesia by developing downstream industries. In supporting the development of the downstream CPO industry in Indonesia, in 2011 the government implemented a downstream policy on the palm oil industry by applying export duties on CPO and its derivative products based on PMK No. 128/11. This study aims to analyze the impact of the downstream policy adopted by the government on CPO consumption in the downstream industry. The analysis technique used in this study is a fixed effect model on panel data from downstream CPO industries with a period of 2000-2015 research. The results showed that the number of companies, international CPO prices had a positive and significant effect, while the price gap and production output of the previous year had a significant negative effect on CPO consumption in the downstream industry. however, the real exchange rate, downstream policy, policy of applying export duty on CPO and its derivative products do not have a significant effect on CPO consumption. Another thing also shown in this study is that industries that have a significant influence in absorbing domestic CPO are the palm cooking oil industry, the animal feed ration industry, the organic basic chemical industry which is sourced from agriculture and also the edible oil and other vegetable fats industry. While the coconut cooking oil industry and the soap industry and household cleaning agents have no significant effect"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>