Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53175 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Mustaqim
"ABSTRAK
Kabupaten Karawang selama ini dikenal sebagai lumbung pangan Jawa Barat karena keberhasilannya dalam pembangunan bidang pertanian. Selain kemajuan di bidang pertanian, di Kabupaten Karawang juga mulai berkembang sektor industri dan lapangan usaha perdagangan dan jasa. Tetapi kemajuan tersebut bersifat paradoks dimana banyak penduduk Karawang yang justru bekerja di luar daerah Karawang terutama menjadi TKI ke Arab Saudi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa interelasi antara perubahan struktur dan kultur pertanian, perubahan struktur industri serta proses sosial di Kabupaten Karawang yang menyebabkan terjadinya migrasi internasional ke Arab Saudi. Tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitis dengan studi kasus di Kampung Randumulya, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan studi dokumen.
Hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi perubahan struktur dan kultur di bidang pertanian dan industri serta proses sosial di Kabupaten Karawang. Perubahan struktur terkait dengan okupasi lahan oleh penduduk luar Karawang. Hal ini didorong oleh adanya perubahan pandangan terhadap nilai tanah, dimana kepemilikan tanah bersifat merata maka status sosial kemudian ditentukan oleh kepemilikan benda konsumtif seperti kendaraan bermotor dan rumah gedung. Perubahan struktur pertanian juga disebabkan adanya kebijakan pemerintah melalui Program Panca Usaha Tani yang merupakan bagian dari Revolusi Hijau. Akibatnya terjadi perubahan dalam pola pertanian yang semula banyak memanfaatkan tenaga manusia (man) menjadi tenaga mesin (machine). Hal ini kemudian berdampak kepada aspek kultural yaitu hancurnya kohesi sosial dan terdegradasinya budaya gotong-royong yang ada di masyarakat. Selain itu terdapat ceblokan yang tidak berkaitan dengan perubahan aspek struktural tetapi berlangsung secara bersamaan dan tidak diketahui asal mulanya. Terjadinya perubahan struktur industri dan ketenagakerjaan yaitu secara kuantitas jumlah industri terus meningkat, tetapi sayangnya pelung tersebut kurang bisa dimanfaatkan. Terdapat hambatan struktural yaitu mekanisme yang sulit untuk bekerja di industri serta rendahnya kualitas SDM dari penduduk asli Karawang sendiri. Selain itu juga terdapat hambatan kultural yaitu adanya sikap malas dan sikap terlalu memilih-milih pekerjaan menjadikan mereka sulit untuk bersaing dengan para ?urban? yang datang ke Karawang.
Aspek struktur juga mencakup kebijakan pemerintah mengenai penempatan dan perlindungan TKI dimana pemerintah pemerintah pusat dan daerah tidak sinergis sehingga Pemda tidak memahami kewenangan terkait proses penempatan TKI di luar negeri. Akibatnya muncul peran dari para sponsor yang mereka sebenarnya berada di luar struktur formal untuk memanfaatkan situasi.
Proses sosial terjadi dalam kaitannya dengan perubahan aspek stuktural dan kultural. Proses merupakan ruang baru yang tercipta ketika terjadi terjadi tekanan struktural dan kultural baik di sektor pertanian maupun industri. Hal ini memunculkan adanya ceruk (niche) jasa buruh ke luar negeri, karena pasar luar negeri terutama Arab Saudi sangat mudah untuk diakses dan dianggap sebagai katup pengaman (safety valve). Potensi pasar tenaga kerja ini kemudian berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh para sponsor yang bekerjasama dengan PPTKIS untuk mengirimkan TKI ke Arab Saudi. Proses menjadi semakin mudah karena para sponsor melakukan revolusi dan komodifikasi rekrutmen CTKI serta memanfaatkan modal sosial dalam bentuk trust.

ABSTRACT
Karawang regency is known as the rice barn of West Java because of its success in the development of agriculture sector. In addition to advances in agriculture, Karawang district also began to develop the industrial sector and the field of trade and services businesses. But the progress is paradoxical that many people who actually work outside of Karawang area mainly to become migrant workers to Saudi Arabia.
The purpose of this study was to analyze the interrelation between changes in the structure and culture of agriculture, changes in the structure and culture of industrial and social processes in Karawang that cause international migration to Saudi Arabia. This thesis uses a qualitative approach with descriptive analytical method with a case study in the Randumulya village, district of Pedes. The data was collected through in-depth interviews and document research.
The results showed that there have been changes in the structure and culture in agriculture and industry as well as the social processes in Karawang regency. Structural changes related to land occupation by residents outside Karawang. It is driven by change in the view of the value of land, where the land is spread evenly then social status is determined by ownership of consumer items such as motor vehicles and home building. Changes in farm structure also caused by government policy through Panca Usaha Tani programme, which is part of the Green Revolution. As a result there is a change in the pattern of the original farm are utilizing human labor (man) into mechanical power (machine).
This situation then affects the cultural aspects that is breakdown of social cohesion and cultural degradation of mutual help in the community. In addition there found ceblokan whom unrelated to changes in structural aspects but take place simultaneously and unknown origin. Changes in industrial structure and employment that is the quantity of the industry continue to rise, but unfortunately the opportunity less can be used. There are structural barriers that mechanism is difficult to work in the industry and the low quality of human resources. There are also cultural barriers, namely the lazy attitude and demeanor too particular job makes them difficult to compete with the "urban" who came to Karawang.
Aspects of the structure also includes government policy regarding the placement and protection of migrant workers which the central government and local governments are not synergistic so that local government does not understand the relevant authority in the placement of migrant workers abroad. As a result, the role of the sponsor appears that they actually are outside the formal structure to take advantage of the situation.
Social processes occur in relation to changes in structural and cultural aspects. The process is a new space that is created when there is a structural and cultural pressures both in agriculture and industry. This raises the niche labor services abroad, as overseas markets especially Saudi Arabia is very easy to access and is considered as a safety valve. Potential labor market is then successfully put to good use by the sponsors in cooperation with PPTKIS for sending workers to Saudi Arabia. Process becomes easier because the links do revolution and commodification CTKI recruitment and utilize social capital in the form of trust.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35693
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Nurbaeti Amien
"Kebijakan pembangunan perumahan di Kota dan Kabupaten Bandung ditetapkan untuk memenuhi laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan PAD. Namun kebijakan yang dicanangkan Iebih ditekankan pada upaya pengadaan atau pasokan rumah (housing supply) dan kurang disesuaikan dengan ketersediaan lahan dan tuntutan kebutuhan perumahan sebagai kebutuhan sosial dan kultural (socio-cultural demand) yang mengandung aspek kualitas lingkungan yang manusiawi baik bagi pengguna maupun bagi masyarakat di sekitarnya.
Berbagai permasalahan sosial yang terjadi pada kegiatan pembangunan perumahan adalah : a) terjadinya proses marjinalisasi, yaitu peminggiran secara sistematis masyarakat petani karena beralih ke sektor usaha non pertanian dengan semakin terbatasnya lahan, b) terjadinya segregasi permukiman, yaitu komunitas lokal dan penghuni perumahan terpisah (segregated) oleh pagar pembatas yang dikonsepkan para pengembang dan perilaku eksklusif penghuni perumahan c) terjadinya perubahan nilai dan norma masyarakat yang disebabkan oleh berbagai kegiatan wisata yang ditawarkan para pengembang untuk menarik konsumen dalam management estate-nya.
Atas dasar kondisi di atas, maka penelitian ini bertujuan: a) mendeskripsikan sampai sejauh mana kegiatan pembangunan perumahan dan wisata berpotensi menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang bertempat tinggal disekitamya, b) mendeskripsikan dan menguji keeratan hubungan antara variabel-variabel sosial ekonomi dan sosial budaya yang dijadikan indikator dampak sosial dalam penelitian ini, dan c) menyusun rekomendasi pengelolaan Iingkungan sosial yang efektif rneminimalkan dampak negatif dari kegiatan perumahan dan wisata di desa Cihideung.
Metode studi yang digunakan dalam kajian ini menggunakan metode deskriptif dan eksplanatori atau verifikatif. Janis penelitian yang digunakan adalah korelasional untuk melihat keeratan hubungan antara variabel-variahel kegiatan pembangunan perumahan dan wisata dengan variabel-variabel sosial ekonomi dan budaya. Berdasarkan hasil pengujian normalitas data, diperoleh hasil data penelitian tidak berdistribusi normal, sehingga data dianalisa dengan metode statistik nonparametrik yaitu Korelasi Rank Spearman.
Hasil analisis dampak pembangunan perumahan dan wisata terhadap kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat desa Cihideung menunjukan : a) Kegiatan pembangunan perumahan dan wisata tidak terintegrasi dengan kondisi social kultural masyarakat, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan fisik dan sosial balk primer maupun sekunder. Darnpak primer adalah terbatasnya lahan pertanian, pagar pembatas yang terlalu tinggi dan keragaman aktifitas wisata yang negatif. Terbatasnya lahan menimbulkan dampak lanjutan terhadap sumber air penduduk dan peluang kerja dan usaha. Keberadaan pagar pembatas telah menimbulkan dampak lanjutan berupa terspasialnya wilayah permukiman penduduk menjadi wilayah yang memiliki status ekonomi tinggi dan status ekonomi rendah. Aktifitas wisata telah menimbulkan dampak terhadap nilai, norma dan gangguan keamanan b) Analisis korelasi menunjukan perubahan pemilikan lahan tidak memiliki hubungan langsung dengan tingkat mobilitas mata pencahaarian tetapi memiliki hubungan positif dengan perubahan tingkat pendapatan, disatu sisi tingkat perubahan pendapatan memiiiki hubungan dengan tingkat mobilitas mata pencahariaan. Keragaman aktifitas perumahan memiliki hubungan dengan tingkat penilaian masyarakat terhadap aktifitas perumahan.
Kegiatan pembangunan perumahan yang tidak terintegrasi merupakan dimensi kekuasaan distributif yang dijalankan pare pengembang karena lemahnya kontrol Pemda Kabupaten Bandung terhadap kegiatan perumahan dan lemahnya partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan. Dibutuhkan strategi pembangunan perumahan dan wisata yang berbasis pada terbatasnya sumber daya alam dan budaya lokal secara berkelanjutan yang dijalankan secara kolektif oleh stakeholders. Model yang disarankan adalah pembentukan Forum Pembangunan dan Pengelolaan Lingkungan Desa Cihideung oleh stakeholders guna membahas berbagal persoalan seputar pembangunan perumahan dan wisata dan pengelolaan dampak negatifnya.
Kegiatan pembangunan yang tidak terintegrasi membutuhkan penanganan di tingkat kebijakan. Forum menyusun Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial Bidang Perumahan dan Wisata yang lebih lanjut dibahas bersama-sama DPRD dalam penyusunan Peraturan Daerah Pembangunan Perumahan dan Wisata.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14379
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mashudi
"Penelitian ini mengkaji tentang perubahan sosial akibat pembangunan perkebunan sawit di Desa Sembuluh, Kecamatan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan proses perubahan yang terjadi di tingkat masyarakat, yaitu bagaimana perubahan yang terjadi, dan bagaimana masyarakat merespon perubahan tersebut.
Kerangka konsep yang digunakan adalah pembangunan dan perubahan sosial. Pembangunan bukanlah istilah yang netral. Antara para perencana pembangunan dan masyarakat lokal mempunyai persepsi yang berbeda. Pada proses pembangunan perkebunan sawit, terdapat sebagian masyarakat yang mendukung, dan sebagian lainnya menolak program tersebut. Konsep perubahan sosial dalam penelitian ini mengacu pada konsep perubahan sosial menurut Soemardjan (1981) dan Cohen (1983). Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai sosia!, pola tingkah laku antara kelompok dalam masyarakat, dan organisasi sosial masyarakat. Penyebab terjadinya perubahan sosial adalah adanya kontak antara masyarakat lokal dengan pihak luar yang memperkenalkan sesuatu yang baru, yang mana terdapat proses dinamis dari perubahan tersebut.
Indikator yang digunakan untuk melihat perubahan sosial dalam penelitian ini adalah: pertama, mata pencaharian hidup masyarakat, yaitu perubahan sistem mata pencaharian hidup masyarakat dari pekerjaan-pekerjaan yang mengandalkan ketersediaan surnberdaya alam, menjadi buruh di perusahaan perkebunan sawit. Kedua, pengusaan lahan, yaitu perubahan dari pola penguasaan lahan komunal merijadi individual dan komersial. Ketiga, kepemimpinan lokal dan organisasi sosial, yaitu perubahan dari dari kepemimpinan kepala desa yang mewakili pemerintahan pusat menjadi kepemimpinan yang berperan ganda, yaitu mewakili pemerintahan pusat, dan mewakili masyarakat ketika berhubungan dengan perusahan perkebunan sawit."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T 21478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rd. Hasan Basri S.
"Masyarakat Suku Anak Dalam merupakan bagian dari kelompok masyarakat terasing yang berada di wilayah Propinsi Jambi dengan populasi seluruhnya 2.951 kepala keluarga atau 12.909 jiwa yang tersebar di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Bungo Tebo dan Kabupaten Sarolangun Bangko. Mereka ini hidupnya terpencil, terisolasi, tertinggal di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, politik dan agama. Untuk memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya dilakukan dengan cara mengumpulkan hasil hutan dan berburu binatang.
Dalam menangani masyarakat terasing ini, pemerintah [Departemen Sosial] telah mengeluarkan suatu kebijakan yang secara yuridis formal tertuang dalam Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 5/HUK/1994 tanggal 25 Januari 1994 tentang Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing [PKSMT]. Pertimbangan dikeluarkannya kebijakan tersebut adalah bahwa masyarakat terasing bagian dari masyarakat Indonesia, memiliki berbagai masalah sosial yang perlu memperoleh pembinaan secara sistematik untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Program PKSMT ini mempunyai tujuan terentasnya masyarakat terasing dari ketertinggalan dan terbelakangan di berbagai bidang dan dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial serta hidup sejajar dengan masyarakat lain yang lebih maju dan pada akhirnya menjadi masyarakat mandiri. Secara teknis program ini dilaksanakan melalui pola pendekatan Sistem Pemukiman Sosial [SPS] dengan empat tipe pemukiman yaitu: (1) tipe pemukiman di tempat asal atau insitu development (2) tipe pemukiman di tempat baru atau exsitu development (3) tipe stimulus pengembangan masyarakat, dan (4) tipe kesepakatan dan rujukan.
Dalam konteks ini maka pada tahun 1993/1994, Pemerintah Daerah Propinsi Jambi, Kanwil Departemen Sosial Propinsi Jambi dan instansi terkait telah melakukan pembinaan/bimbingan sosial kepada masyarakat Suku Anak Dalam khususnya yang berada di Desa Jebak Kecamatan Muara Tembesi Kabupaten Batang Hari. Pembinaan ini telah berhasil menetapkan masyarakat Suku Anak Dalam pada lokasi pemukiman menetap sebanyak 85 kepala keluarga atau 358 jiwa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, tipe permukiman di tempat asal [insitu development/ cukup berpengaruh terhadap penataan wilayah di tempat asal masyarakat Suku Anak Dalam. Adanya sarana umum/sarana sosial yang tersedia di lokasi pemukiman disertai pula dengan bantuan stimulus berupa kebutuhan hidup sehari-hari selama 24 bulan serta bantuan peralatan kerja merupakan bagian yang terpenting dalam merubah dan membentuk perilaku sosial masyarakat Suku Anak Dalam sebagaimana yang dikehendaki.
Mereka telah mengenal pola bertani secara menetap, berkebun karet, memakan hasil pertanian dan memasarkannya pada masyarakat desa, dan pasar-pasar tradisional [green market] dan telah dapat mengembangkan rumah menjadi rumah permanen. Di bidang pendidikan mereka telah dapat membaca, menulis, berhitung dan menyekolahkan anak-anak pada sekolah dasar, dibidang agama mereka telah memeluk salah satu agama [lslam] dan menjalankan perintah agama, di bidang kesehatan mcreka telah memanfaatkan sarana kesehatan [Puskesmas].
Walaupun di satu sisi program PKSMT telah menunjukkan hasil ke arah pencapaian sasaran yang dikehendaki, pada sisi lain akan dapat terjadi kecenderungan dampak negatif [social attitude negative] dalam kehidupan masyarakat Suku Anak Dalam yaitu hilangnya sebagian budaya seperti ritus acara perkawinan yang sebenarnya dapat dipertahankan sebagai momentum pengembangan wisata budaya yang dikombinasikan dengan wisata alam setempat. Potensi produk wisata ini akan dapat menjadi nilai tambah tersendiri untuk menarik minat peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke lokasi setempat. Semua perubahan-perubahan sosial (fisik dan non fisik) pada masyarakat Suku Anak Dalam di lokasi penelitian, kami sajikan secara keseluruhan dalam tesis ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nengah Tri Sumadana
"Apabila kita mengamati proses pelaksanaan pembangunan di desa Karama, maka kita dapat melihat adanya beberapa karakteristik pembangunan desa yang kurang memperhatikan pengembangan aspek sosial kultural masyarakat setempat antara lain seperti kebijakan, strategi dan program pembangunan desa yang cenderung top down planning daripada bottom up planning, pembangunan desa lebih mengutamakan pembangunan ekonomi dan politik tanpa memberi posisi yang sepadan bagi pengembangan aspek sosial kultural masyarakat setempat, pembangunan desa cenderung mengadopsi pola-pola perilaku manajemen pembangunan dari negara maju dan kurang memberikan peluang bagi adanya akulturasi terhadap nilai-nilai kultural lokal ke dalam proses pembangunan bahkan ingin langsung menggeser nilai-nilai tersebut dengan memaksakan masuknya nilai-nilai baru. Hal ini menyebabkan timbulnya perbenturan nilai-nilai, antara nilai kultural lokal dan nilai modernisasi yang terkandung dalam pembangunan dan masyarakat Karama pun kemudian terperangkap dalam sejumlah pilihan yaitu antara meninggalkan nilai-nilai lama, menerima nilai-nilai baru atau melakukan akulturasi nilai-nilai sendiri dengan nilai-nilai baru yang terkandung dalam pembangunan desa.
Dampak lebih jauh adalah adanya kesenjangan antara antusiasme masyarakat saat melibatkan diri dalam berbagai arena sosial kultural dengan antusiasme saat pelaksanaan pembangunan desa. Dalam arena kehidupan sosial kultural seperti pada acara perkawinan, kematian, peringatan hari-hari besar agama, kenaikan Haji dan lain-lain, masyarakat desa Karama sangat aktif terlibat dan menunjukkan kebersamaan dan kesatuan mereka sebagai sebuah komunitas. Dan hal seperti itu tidak dapat kita saksikan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan desa. Dengan demikian, masyarakat desa Karama pada dasarya memiliki sejumlah nilai-nilai kultural lokal yang aktif menuntun mereka dalam berucap, bersikap dan bertindak sebagaimana yang seharusnya dalam kehidupan sosial kulturalnya.
Mengingat keberhasilan pembangunan bukan hanya ditentukan oleh modal, teknologi dan ilmu pengetahuan tetapi juga faktor manusianya dan manusia dalam melakukan aktivitasnya digerakkan oleh serangkaian nilai-nilai yang tumbuh di dalam benak dan pikirannya yang diperolehnya dari kultur di mana dia tumbuh dewasa. Untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kultur masyarakat Karama sebagai bagian dari komunitas Mandar, maka kita perlu memahami institusi-institusi sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat Karama. Dalam penelitian ini, Penulis membatasi diri untuk meneliti institusi kekerabatan dan perkawinan adat Mandar di desa Karama. Dari pengkajian terhadap institusi tersebut, penulis mencoba menggali dan menguraikan nilai-nilai kultural yang terkandung didalamnya dan menganalisa peranan yang dapat dimainkan oleh nilai-nilai tersebut dalam proses pembangunan desa.
Untuk memahami sistem sosial kultural tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif dengan metode etnogafi. Penelitian ini melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Peneliti tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu peneliti belajar dari masyarakat. Melalui pengamatan terlibat dan wawancara mendalam, struktur analisa disusun dari hal yang dikatakan orang, dari cara orang bertindak, dan dari berbagai artefak yang digunakan orang.
Dan penelitian selama ini, Penulis menemukan sejumlah nilai-nilai kultural yang aktif menuntun masyarakat dalam setiap hubungan sosialnya. Nilai-nilai tersebut adalah (1) nilai siri' yang berarti malu, harga diri, martabat, dan tanggung jawab, (2) nilai dippakaraya yang mengkonsepsikan pernyataan hormat, (3) nilai siarioi mengkonsepsikan keharmonisan dalam setiap hubungan sosial, dan (4) sirondorondoi yang mengkonsepsikan solidaritas sosial yang kuat. Nilai-nilai tersebut memainkan sejumlah peranan dalam arena sosial mereka sehari-hari dan apabila nilai-nilai tersebut diakulturasi dan diadaptasi ke dalam pembangunan desa, diyakini akan dapat berperan positif bagi proses pembangunan di desa Karama."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7703
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parinduri, Anhar
"Studi ini bertujuan untuk mempelajari latar belakang munculnya Perkumpulan Kematian Gading Rejo (PKG) sekaligus mengetahui mekanisme kerja dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkumpulan kematian dimaksud. Penelitian ini dianggap penting, karena perkumpulan yang juga merupakan organisasi ini, berakar dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat dengan tetap memenuhi kebutuhan anggotanya walau telah berusia lebih dari 30 tahun. Semula perkumpulan ini memenuhi kebutuhan kematian dengan menyediakan peralatan kematian bagi anggota di RW 05 desa Gading Rejo. Namun sejak beberapa tahun yang lalu, perkumpulan ini juga meminjamkan peralatan pesta dengan sistem sewa. Fenomena ini yang menarik untuk diteliti.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para informan. Selain itu juga menggunakan metode PRA (Participatory Rural Appraisal) melalui pembuatan diagram Senn, yang dilakukan oleh sekelompok warga masyarakat RW 05. Penggunaan metode ini bertujuan untuk mengetahui organisasi di desa Gading Rejo yang memiliki kedekatan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Penggunaan metode PRA menghasilkan bahwa organisasi Perkumpulan Kematian Gading Rejo (PKG) RW 05 desa Gading Rejo merupakan organisasi yang memiliki hubungan kedekatan yang sangat baik dengan kehidupan masyarakat dibandingkan organisasi yang lainnya.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah, kemunculan perkumpulan kematian ini disebabkan karena adanya nilai-nilai, prilaku dan kebutuhan masyarakat terutama pada bidang kematian. Nilai-nilai dan prilaku dimaksud, yaitu tolong menolong meringankan beban pihak keluarga yang meninggal dunia, melayat atau bertakziah dan tahlilan.
Pada kehidupan sosial lainnya terdapat nilai dan prilaku masyarakat diantaranya keharusan menghadiri setiap bentuk undangan yang diadakan masyarakat seperti undangan pesta, hajatan atau sunatan; lagan atau tolong menolong dalam pelaksanaan kegiatan pesta yang dimulai tiga hari sebelum hari pelaksanaan dan berakhir hingga adanya pembubaran panitia pesta, dan nilai dan prilaku terakhir adalah berdiskusi atau berkumpul membicarakan semua hal baik yang menyangkut kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama di setiap pertemuan. Nilai dan prilaku yang telah melembaga ini serta adanya kebutuhan akan peralatan-peralatan kematian dan peralatan pesta, sehingga memunculkan sebuah organisasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal yang menarik, lembaga yang menyelenggarakan kebutuhan ini dapat berbentuk apa saja, namun yang penting telah melembaganya norma dan prilaku di masyarakat.
Dalam perjalanannya, perkumpulan kematian yang tidak memiliki AD/ART, tidak hanya memenuhi kebutuhan anggota yang ditimpa musibah kematian, namun juga memenuhi kebutuhan pesta bagi anggota dan orang lain dengan sistem sewa. Perkembangan ini disebabkan adanya akuntabilitas atau kepercayaan yang menjadi ciri utama dalam menjalankan roda organisasi, keikutsertaan anggota baik dalam merencanakan, evaluasi setiap kegiatan hingga pemilihan pengurus organisasi, sanksi sosial bagi pengurus yang menyalahi aturan berupa rasa malu, dan adanya insentif yang diberikan kepada pengurus. Untuk pengembangan selanjutnya, sebaiknya perkumpulan ini tidak menerima bantuan dari pihak lain karena akan mengurangi kemandirian dan keleluwesan anggota dalam memikirkan dan memajukan kelembagaannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10742
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waode Siti Armini Rere
"Dengan diberlakukannya UU No 22/99 tentang Pemda, telah membawa perubahan mendasar bagi keberadaan kelembagaan pemerintah kecamatan, dari perangkat dekonsentrasi menjadi perangkat desentralisasi. Menyikapi perubahan substansi tersebut, maka kelembagaan pemerintah kecamatan harus menyesuaikan diri dengan paradigma baru tatanan pemerintahan daerah, dimana pelaksanaan otonomi daerah pada daerah kabupaten/kota merupakan suatu keharusan.
Mengingat kelembagaan kecamatan belum memiliki tugas pokok yang jelas, sementara pada saat yang sama pemerintah daerah dituntut untuk mensukseskan pelaksanaan otonomi. Kecamatan merupakan salah satu perangkat daerah harus memposisikan kedudukan dan fungsi kelembagaan pemerintah kecamatan agar dapat menjadi sebuah institusi yang kinerjanya membawa dampak bagi kemajuan daerah dan masyarakat. Kecamatan Kemang - kabupaten Bogor misalnya dari hasil penelitian lapangan data menunjukkan bahwa tugas dan fungsi kelembagaan (Perda No. 5/2001) belum mengacu pada Keputusan Bupati Bogor No. 6 Tahun 2002. sehingga perlu adanya pengembangan kelembagaan yang berorientasi pada UU No. 22/99.
Hasil analisis terhadap 4 (empat) variabel utama yang dapat mempengaruhi penyelenggaraan otonomi daerah yakni: kewenangan, kelembagaan, personil dan pembiayaan, secara konsepsi perlu adanya strategi pengembangan kelembagaan pemerintah kecamatan Kemang. Perubahan struktur kelembagaan dan fungsi merupakan yang direkomendasikan guna menyesuaikan dengan visi dan misi yang di emban oleh Pemerintah Kecamatan saat ini.
Setelah melakukan pengkajian lapangan, perubahan yang bersifat evolusioner dianggap lebih tepat dalam pengembangan kelembagaan pemerintah Kecamatan Kemang. Pendekatan struktur kelembagaan yang berbentuk lini dan staf masih dianggap relevan, oleh karenanya hal yang mendasar berubah hanyalah departementasi bidang pekerjaan dan fungsi yang harus diemban. Desain kelembagaan pemerintah Kecamatan Kemang secara struktural terdiri dari : Camat, selaku unsur top manajer, sekretaris Camat selaku unsur pimpinan staf, yang memiliki tugas memberi dukungan administratif kepada Camat. Pada level operasional, didesain 4 (empat) seksi masing-masing (1) seksi pemerintahan (2) seksi pelayanan publik; (3) seksi perekonomian; dan (4) seksi kelembagaan dan ditambah 4 unit pelaksana teknis, yakni (a) sub dinas pertanian, perikanan dan peternakan, (b) sub dinas perdagangan, perindustrian dan pariwisata (c) sub dinas bina marga, cipta karya dan pengairan, d) sub dinas tata ruang dan bangunan.
vii + 149 hal + 13 Figur
Daftar Pustaka 42 buku (Tahun 1976 - Tahun 2003)

The enactment of laws No. 22 year 1999 on local government has lead fundamentally change to the existence of kecamatan (sub district) organization, from government apparatus (deconsentration) to local apparatus (decentralization). To anticipate such substantial change, then kecamatan organization should adjust it self wit new paradigms of local government orders in which the autonomy implementation at both district and municipality levels shall be an obligation.
The kecamatan organization has not had its real main duty, meanwhile at the same time local government has been kecamatan demanded to succeed autonomy implementation by which has been one of the local apparatus. then, like or dislike, local government should reposition assignment and function kecamatan organization to be art institution which performance may bring impact for local and society progress. Sub district of Kemang, Bogor district for instance, based on field research it has indicated that the present function and task of organization has not ready wisdom Bupati Bogor No 6 year 2001 it is necessary to develop organization shall be an obligation in order to adjust of lows No.22 year 1999.
The field research it four variable to succeed autonomy implementation comprising a) authority/competence b) organization/institution c) employees d) fund, it is necessary to develop organization sub district of Kemang. Structure and function institution changes at recommendation obligation in order to adjust the vision and mission brought by kecamatan organization.
Upon completing field study, evolutionary changes is deemed more precisely for developing organization of sub district of kemang, organization structure approach in line and staff structure is still deemed relevant due the most fundamental changes is just both departmentalization of work and function should be executed. Hence, the result of organization design of sub district of kemang structurally shall contain of : Head of sub district as top manager element, secretary as staff having main duty for giving administrative support to her/his boss (Head of sub district). In operational levels it is designed four sections comprising : (1) governing section (2) public service section (3) economic section (4) institution section, added with four technical unit which are : a) sub department agriculture, fishing, and cattle raising, b) sub department trading, industry, and tourism c) sub department bina marga, cipta karya and irrigation d) sub department space and building arrangement.
Reference 42 books (year 1976 - year 2003)
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>