Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41675 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyu Noor Ichwan
"ABSTRAK
Inversi data magnetotellurik merupakan suatu proses mengubah data
magnetotellurik menjadi penampang resistivitas. Salah satu metode inversi yang digunakan adalah inversi 3D. Inversi 3D magnetotellurik mengasumsikan bahwa bumi memiliki variasi resistivitas baik arah vertikal maupun lateral. Inversi tersebut menghasilkan model yang paling mendekati keadaan lapisan bumi yang sebenarnya. Akan tetapi, inversi 3D dimensi membutuhkan memori serta waktu yang lama dalam prosesnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan variasi
model awal sebagai pengontrol proses inversi. Model awal yang dapat digunakan adalah resistivitas hasil inversi 1D dimana hasil inversi tersebut memiliki kemiripan dengan hasil inversi 3D. Pada penelitian ini, penulis melakukan inversi data riil magnetotellurik dengan memvariasikan beberapa model awal. Variasi 'inversi dengan menggunakan model awal 1D menunjukkan bahwa model awal
1D mampu mengontrol proses inversi 3D dilihat dari kesesuaian hasil inversi 3D dengan model awal yang digunakan. Selain itu, hasil inversi dengan menggunakan model awal data inversi 1D menunjukkan hasil yang lebih baik pada model yang menggunakan lebih banyak mesh grid. Hal tersebut dapat dilihat dari RMS error model terhadap data observasi.
ABSTRACT
Inversion of Magnetotelluric data is a process to obtain resistivity variation from magnetotelluric data. 3D Inversion of magnetotelluric data is a method that usually used. Those method assume that earth has resistivity variation along vertical and lateral direction. It can produce the most similliar earth resistivity model to the real earth. However, 3D inversion method need high amount of CPU memory and calculation time. In order to cover that weakness, initial model is
used to control the inversion process. The initial model used is resistivity variation from 1D inversion of magnetotelluric data. Resistivity variation of 1D inversion has simmiliar pattern with resistivity variation of 3D inversion. 3D inversion is done on real magnetotelluric data with variation of initial model. The variabels
which are used initial model are resistivity variation and number of mesh grid blocks. The results of 3D inversion using 1D resistivity initial model show that initial model can control the inversion process. The result of 3D inversion have similiar pattern with the inisial model which is used. The results of 3D inversion using 1D resistivity initial model show better result than 3D inversion using homogenous resistivity initial model on larger number of mesh grid, it can be proven by its RMS errors."
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Noor Ichwan
"ABSTRAK
Inversi data magnetotellurik merupakan suatu proses mengubah data magnetotellurik menjadi penampang resistivitas. Salah satu metode inversi yang digunakan adalah inversi 3D. Inversi 3D magnetotellurik mengasumsikan bahwa bumi memiliki variasi resistivitas baik arah vertikal maupun lateral. Inversi tersebut menghasilkan model yang paling mendekati keadaan lapisan bumi yang sebenarnya. Akan tetapi, inversi 3D dimensi membutuhkan memori serta waktu yang lama dalam prosesnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan variasi model awal sebagai pengontrol proses inversi. Model awal yang dapat digunakan adalah resistivitas hasil inversi 1D dimana hasil inversi tersebut memiliki kemiripan dengan hasil inversi 3D. Pada penelitian ini, penulis melakukan inversi data riil magnetotellurik dengan memvariasikan beberapa model awal. Variasi 'inversi dengan menggunakan model awal 1D menunjukkan bahwa model awal 1D mampu mengontrol proses inversi 3D dilihat dari kesesuaian hasil inversi 3D dengan model awal yang digunakan. Selain itu, hasil inversi dengan menggunakan model awal data inversi 1D menunjukkan hasil yang lebih baik pada model yang menggunakan lebih banyak mesh grid. Hal tersebut dapat dilihat dari RMS error model terhadap data observasi.

ABSTRACT
Inversion of Magnetotelluric data is a process to obtain resistivity variation from magnetotelluric data. 3D Inversion of magnetotelluric data is a method that usually used. Those method assume that earth has resistivity variation along vertical and lateral direction. It can produce the most similliar earth resistivity model to the real earth. However, 3D inversion method need high amount of CPU memory and calculation time. In order to cover that weakness, initial model is used to control the inversion process. The initial model used is resistivity variation from 1D inversion of magnetotelluric data. Resistivity variation of 1D inversion has simmiliar pattern with resistivity variation of 3D inversion. 3D inversion is done on real magnetotelluric data with variation of initial model. The variabels which are used initial model are resistivity variation and number of mesh grid blocks. The results of 3D inversion using 1D resistivity initial model show that initial model can control the inversion process. The result of 3D inversion have similiar pattern with the inisial model which is used. The results of 3D inversion using 1D resistivity initial model show better result than 3D inversion using homogenous resistivity initial model on larger number of mesh grid, it can be proven by its RMS errors."
2015
S58259
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliastuti
"Dalam rangka diversifikasi penggunaan energi, opsi energi nuklir telah masuk
dalam peta bauran energi tahun 2025. Penentuan dan persiapan lokasi (atau sering
disebut tapak) PLTN menjadi salah satu infrastruktur penting yang mempengaruhi
perkembangan implementasi program PLTN. Daerah yang akan dikaji dalam
penelitian ini terletak dalam wilayah Provinsi Banten. Daerah penelitian dapat
dikatakan merupakan daerah yang relatif aktif secara kegempaan baik yang
berhubungan dengan pensesaran maupun aktivitas vulkanik. Oleh karena itu,
analisis pensesaran permukaan yang mencakup identifikasi dan karakterisasi sesar
kapabel menjadi hal yang krusial untuk dikaji. Identifikasi sesar kapabel diperoleh
melalui analisis komprehensif dari data citra satelit SPOT-5, data observasi
geologi langsung dan data geofisika berupa data gravity, geolistrik dan
magnetotellurik. Berdasarkan hasil analisis morfostruktural citra satelit dan
observasi geologi langsung, di daerah penelitian terdapat sesar-sesar dengan
karakteristik dan kronologi dari tua ke muda yaitu sesar mendatar dekstral berarah
N1680E/860 dan mengindikasikan bahwa beberapa bidang sesarnya telah
teraktifkan kembali menjadi sesar normal berarah N1780E/680; sesar normal
berarah N3500 E/680; sesar normal berarah N2520E/700; dan sesar mendatar
sinistral berarah N130-1400 E/720-820. Keberadaan sesar-sesar tersebut secara
meyakinkan dikonfirmasi oleh hasil pemodelan dan inversi 2-dimensi gravity dan
geolistrik. Berdasarkan hasil inversi 2-dimensi data magnetotellurik, keberadaan
basement yang berumur Pre-Tersier berada pada kedalaman lebih dari 700 meter.
Sesar-sesar yang telah teridentifikasi, ditinjau dari umur batuan yang dipotongnya
yaitu lebih muda dari Middle Pliestocene, maka termasuk kategori sesar kapabel.

Abstract
In term of energy utilization diversification, nuclear energy has become an option
in energy mix of 2025. Nuclear power plant site preparation is one of the primary
issues in the development of nuclear energy program. The area of study is located
in Banten Province which is seismically active either related to faulting or
volcanic activity. Therefore, analysis of surface faulting which covered
identification and characterization of capable faults were crucial to investigate
further. Capable faults identification has been acquired through comprehensive
analysis of SPOT-5 satellite imagery, geological field observation data and
geophysical data which include gravity, geoelectric and magnetotelluric data.
Based on morfostructural analysis of satellite imagery and geological field
observation, it has been identified faults with characteristics and chronology
namely dextral strike-slip faults N1680E/860 indicating a reactivation into normal
faults N1780E/680; normal faults N3500 E/680; normal faults N2520E/700; and
sinistral strike-slip faults N130-1400 E/720-820. The existence of these faults has
been confirmed using 2-dimensional gravity and resistivity model and inversion.
Besides that, based on 2-dimensional magnetotelluric data inversion the presence
of Pre-Tertiary basement rock is indicated at depth of more than 700 meters. In
term of the rock ages, the identified faults were younger than Middle Pleistocene.
Accordingly, all the identified faults were categorized as capable faults."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2012
T30981
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrima Wahyu
"Telah dilakukan penelitian guna delineasi zona prospek sistem panasbumi daerah ldquo;Z rdquo; menggunakan permodelan tiga Dimensi magnrtotellurik didukung data terpadu berupa geologi dan geokimia serta terintegrasi data gravitasi. Daerah panasbumi ldquo;Z rdquo; dalam tatanan tektoniknya termasuk pada jalur backarc Sumatera, tepat pada salah satu segmen sesar Sumatera bagian selatan, disusun oleh batuan vulkanik dan sedimen klastik yang berumur Tersier hingga Kuarter Andesit-Basalt . Gejala adanya sistem panasbumi pada daerah penelitian ditandai dengan kemunculan manifestasi permukaan berupa alterasi dan lima mata air panas bersuhu 44,4 - 92,5 oC, pH 8,19 - 9,43 dan bertipe bikarbonat, sulfat-bikarbonat, serta sulfat-klorida. Pembentukan sistem panasbumi dipengaruhi oleh aktivitas tektonik menyerong oblique antara lempeng Samudera India dan Lempeng Kontinen Eurasia searah dengan pola sesar Sumatera.
Berdasarkan analisis air panasbumi temperatur reservoir diambil melalui perhitungan geothermomether SiO2 Fournier 1977 , Na-K Giggenbach 1988 , Na-K-Ca, diagram Na-K-Mg serta diagram Enthalphy - Cloride Mixing Model berkisar 145 - 155oC, termasuk dalam sistem panas bumi bertemperatur sedang. Berdasarkan inversi tiga dimensi data MT didapatkan kedalaman Top of Reservoar TOR sistem panasbumi daerah ldquo;Z rdquo; sekitar 400 m elevasi 50 mdpl sedangkan berdasarkan forward modeling data gravitasi lintasan 2 dimensi diperkirakan sumber panas berupa cooling instrusion diperkirakan batuan gabro ; resistivitas ge; 450 ?m ; densitas 2,95 - 3,15 gr/cc dan reservoar berupa batupasir resistivitas 50 - 250 ?m ; densitas 2,60 gr/cc . Sistem panasbumi daerah penelitian termasuk jenis tektonik fracture zone dengan temperatur sedang dengan luas daerah prospek sekitar 7,5 km2.

A study for delineating geothermal system of prospect area ldquo Z rdquo has been done by using tree dimension modeling of magnetotelluric supported unified data just like geological and goechemical and integrated gravity data. Geothermal area ldquo Z rdquo in tectonic setting included in Sumatra volcanic backarc, right on one of the southern part of Sumatra fault segment. Compodes by volcanic and clastic sendimentary rock are Tertiary to Quarternary Andesite Basalt. The existance of goethermal system in this area is indicated by the presence of thermal manifestation in form of alteration and five hot springs temperature in the ranges 44.4 ndash 92.5 oC, and pH 8.19 ndash 9.43 and type of fluida are bicarbonate, sulphate bicarbonate, and sulfate chloride. The development of geothermal system is affected by tectonic oblique between the Indian Ocean plate and the Eurasian Contenent Plate direction of the Sumatra fault patterns.
Based on the analysis of geothermal water reservoir temperature are taken through the calculation geothermometer SiO2 Fournier 1977, Na K Giggenbach 1988 , Na K Ca, Na K Mg diagram and Enthalpi Mixing Cloride Model range 145 ndash 155 oC, classified as intermediate temperature. Base on a three dimensional inversion of the magnetotelluric data obtained depth Top of Reservoir TOR geothermal system area ldquo Z rdquo about 400 m elevation 50 meters above sea leavel , while based on the two dimensional of the gravity data predicted heat sources such as cooling instrusion estimated gabbro density 2,95 ndash 3,15 gr cc and reservoar such as sandstone resistivity 50 ndash 250 m density 2,60 gr cc . The Geothermal systems of research area classified as the type of intermediate temperature tectonic fracture zone with prospect area about 7,5 km2.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T46881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar
"Lapangan geotermal X berada di area gunung A yangmana berdasarkan data geologi ditemukan adanya manifestasi berupa hot spring dan fumarole. Pengukuran MT dilakukan untuk mengetahui persebaran resistivity batuan di bawah permukaan. Pengolahan data MT dilakukan dari analisis time series dan filtering noise kemudian dilakukan Transformasi Fourier dan Robust Processing. Setelah itu baru dilakukan crosspower untuk menyeleksi data sehingga output dari proses ini berupa kurva MT. Setelah didapatkan kurva MT dilakukan koreksi statik dikarenakan kurva TE dan TM terjadi shifting. Untuk proses akhirnya baru dilakukan inversi 2D dan inversi 3D. setelah itu dilakukan perbandingan antara 2D dan 3D. Wilayah interest lapangan X berada di lintasan AA dan lintasan AB. Berdasarkan analisis 3D diidentifikasi bahwa zona alterasi menipis di wilayah upflow dan menebal ke arah outflow yangmana sesuai dengan teori. Wilayah upflow dapat diketahui dengan melihat manifestasi berupa fumarole.

The geothermal field X is located in the area of Mount A which based on geological data found the presence of hot spring and fumarole manifestations. MT measurements were carried out to determine the distribution of rock resistivity in the subsurface. MT data processing is starts from time series analysis and noise filtering then Fourier Transform and Robust Processing are performed. After that, crosspower is done to select data so that the output of this process is an MT curve. After got the MT curve then a static correction is done because the TE and TM curves are shifting. For the final process are 2D inversion and 3D inversion. After that make a comparison between 2D and 3D. The area of interest in field X is on the line AA and line AB. Based on the 3D analysis, it was identified that alteration zones thinned in the upflow region and thickened towards the outflow which is make sense with the theory."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Gidson Andriano
"Lapangan "X" merupakan salah satu lapangan panas bumi di Indonesia yang terbentuk pada lingkungan magma basaltik. Fluida panas satu fasa bertemperatur tinggi terbentuk pada zona resevoir yang memiliki permeabilitas tinggi sebagai fasa cair. Fluida ini dapat tersimpan dengan baik di reservoir dikarenakan ditutupi lapisan penudung berupa batuan ubahan yang bersifat inpermeable. Zona upflow terbentuk di dalam kaldera komplek Telong tepatnya di puncak Gunung Telong seperti batuan alterasi. Sedangkan zona outflow terbentuk di daerah sekitar manifestasi air panas Mapane, Masaingi dan Buayana bertipe klorida-bikarbonat dan berada pada zona immature water dengan suhu berkisar antara 35-36 °C. Inversi 3-D dari data magnetotellurik dilakukan untuk mengetahui distribusi resitivitas bawah permukaan. Inversi 3-D ini dilakukan dengan menggunakan initial model yang berbeda, yaitu initial model heterogen (inversi 2-D) dan initial model homogen (100 Ωm).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inversi 3-D dengan model awal heterogen mampu menggambarkan distribusi resistivitas bawah permukaan dengan lebih baik dibandingkan dengan inversi 3-D dengan model awal homogen. Zona clay cap dengan nilai resistivitas <10 Ωm memiliki ketebalan hingga 1,5 km dari permukaan. Zona reservoir yang berada di bawah clay cap dengan range nilai resistivitas 30-60 Ωm berada pada kedalaman 1,5-2,5 km dari permukaan. Sumber panas bumi (heat source) yang ditandai dengan nilai resistivitas tinggi >100 Ωm berada pada kedalaman >2,5 km.

Field "X" is one of the Indonesia geothermal field that formed in basaltic magma environment. Single phase high temperature thermal fluids formed in the resevoir zone that has a high permeability as liquid phase. This fluid can be stored in the reservoir due to the covering of alteration as cap rocks. Upflow zone formed within the caldera of Telong complex, exactly at the top of Mount Telong such as altered rock. While its outflow zone formed at around of the manifestations of Mapane, Masaingi and Buayana that categorized as chloride-bicarbonate type and include on immature water zone with temperature range between 35 - 36 °C. The 3-D inversion of magnetotelluric data was performed to determine the subsurface resistivity distribution. The 3-D inversion using different initial model, a model compiled from 2-D inversion and a homogeneous earth of resistivity 100 Ωm.
The results of inversion show that 3-D inversion with a model compiled from 2-D inversion can delineate subsurface resistivity distribution more clearly than 3-D inversion with 100 Ωm homogeneous initial model. Clay cap zone with resistivity value <10 Ωm has a thickness of about 1500 m b.s.l. Reservoir zone is discovered below the clay cap has resistivity value about 30 - 60 Ωm at elevation 1500 - 2500 m b.s.l. And heat source with high resistivity (>100 Ωm) seen at >2500 m b.s.l.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54793
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Isa Marianto Suryo Putro
"Daerah “D” merupakan salah satu daerah prospek panasbumi di Indonesia. Daerah ini di dominasi oleh batuan produk vulkanik yang terdiri dari aliran lava dan kubah-kubah vulkanik. Manifestasi di daerah ini terdiri dari kelompok mata air panas D dengan temperatur sebesar 95 – 97oC dan kelompok mata air panas M dengan temperatur sebesar 60,9 – 84,0oC. Kedua kelompok mata air panas tersebut memiliki tipe klorida. Selain itu, terdapat batuan ubahan di sekitar manifestasi yang mengandung mineral ubahan yang di dominasi oleh mineral silika. Untuk mendelineasi sistem panasbumi tersebut, maka dilakukan inversi 3-D data magnetotellurik, baik dengan full impedance tensor maupun dengan off-diagonal element dengan menggunakan software MT3Dinv-X. Hasil dari inversi 3-D dengan full impedance tensor menggambarkan kondisi bawah permukaan lebih baik dibandingkan dengan off diagonal element. Lapisan konduktif (<15 ohm-m) dengan ketebalan 200 m – 1 km diindikasikan sebagai caprock. Lapisan dibawah caprock (15 – 158 ohm-m) diindikasikan sebagai reservoar. Sedangkan body dengan resistivitas >1.000 ohm-m diindikasikan sebagai heat source yang merupakan intrusi dari batuan beku muda. Selanjutnya, hasil inversi 3-D tersebut diintegrasikan dengan data gravitasi untuk membuat model konseptual dari sistem panasbumi “D”. Dimana sistem panasbumi “D” merupakan jenis sistem panasbumi intermediate temperature dengan temperatur reservoar sebesar 190oC berdasarkan geotermometer Na/K."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54869
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Sekar Arifianti
"Daerah “CB’ merupakan salah satu daerah prospek geotermal di Indonesia. Indikasi adanya potensi sistem geotermal daerah “CB” ditandai dengan kemunculan manifestasi permukaan berupa kelompok mata air panas yang bertemperatur 68 – 74.8oC dengan pH antara 6.35 – 68.4. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model konseptual terintegrasi dari data magnetotellurik, gravitasi satelit GGMPlus, geologi, dan geokimia. Hasil dari pemodelan inversi 3-D magnetotellurik menunjukkan adanya sebaran clay cap dengan variasi ketebalan 1 - 2 km, yang ditandai dengan nilai resistivitas 1 – 15 Ωm. Lapisan reservoir diduga mempunyai resistivitas 20 – 60 Ωm dengan puncak reservoir yang berada pada kedalaman ≤ 1000 meter di bawah permukaan. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan geotermometer Na/K Giggenbach, rata-rata temperatur reservoir relatif cukup tinggi yaitu sekitar 220 - 250 ºC. Sumber panas pada sistem geotermal “CB” ini diperkirakan berasal dari plutonik body yang berasosiasi dengan aktivitas sesar. Dalam penelitian ini juga diperoleh indikasi adanya struktur graben berarah barat laut - tenggara dan beberapa struktur patahan lainnya berdasarkan hasil analisis turunan berupa First Horizontal Derivative (FHD) dan Second Vertical Derivative (SVD) dari gravitasi satelit GGMPlus. Sistem geotermal “CB” ini diduga termasuk ke dalam klasifikasi fault-controlled geothermal system.reynor Ratio, and Jensen's Alpha with CAPM based on data collected from refinitv, eikon, IDX, Yahoo Finance for the period 2016 – 2021. The results show that in the period of crisis SSRI outperforms ISSI and SRI Kehati and in general SSRI could compete with ISSI and SRI Kehati. These results indicate that incorporating ESG screening into sharia investment decisions does not have a negative impact on returns and risks, so that it can be used as an option for portfolio diversification. In addition SSRI will increase the impact and positive contribution to reducing the financing gap for SDGs, as well as gain a wider investor base.

Daerah “CB’ merupakan salah satu daerah prospek geotermal di Indonesia. Indikasi adanya potensi sistem geotermal daerah “CB” ditandai dengan kemunculan manifestasi permukaan berupa kelompok mata air panas yang bertemperatur 68 – 74.8oC dengan pH antara 6.35 – 68.4. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model konseptual terintegrasi dari data magnetotellurik, gravitasi satelit GGMPlus, geologi, dan geokimia. Hasil dari pemodelan inversi 3-D magnetotellurik menunjukkan adanya sebaran clay cap dengan variasi ketebalan 1 - 2 km, yang ditandai dengan nilai resistivitas 1 – 15 Ωm. Lapisan reservoir diduga mempunyai resistivitas 20 – 60 Ωm dengan puncak reservoir yang berada pada kedalaman ≤ 1000 meter di bawah permukaan. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan geotermometer Na/K Giggenbach, rata-rata temperatur reservoir relatif cukup tinggi yaitu sekitar 220 - 250 ºC. Sumber panas pada sistem geotermal “CB” ini diperkirakan berasal dari plutonik body yang berasosiasi dengan aktivitas sesar. Dalam penelitian ini juga diperoleh indikasi adanya struktur graben berarah barat laut - tenggara dan beberapa struktur patahan lainnya berdasarkan hasil analisis turunan berupa First Horizontal Derivative (FHD) dan Second Vertical Derivative (SVD) dari gravitasi satelit GGMPlus. Sistem geotermal “CB” ini diduga termasuk ke dalam klasifikasi fault-controlled geothermal system."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Solehudin
"Dalam beberapa dekade, akuisisi MT biasanya dilakukan dalam bentuk profil lintasan 2D. Namun pemodelan inversi 2D memiliki kekurangan terutama terkait dengan keberadaan struktur yang lebih kompleks 3D strike . Ambiguitas ini termasuk dalam pemilihan mode yang digunakan TE atau TM . Ambiguitas ini dapat menyebabkan kesalahan dalam interpretasi. Ambiguitas data seperti yang terjadi pada inversi 2D dapat diatasi dengan menggunakan program inversi 3D.Inversi MT 3D dilakukan dengan menggunakan dengan menggunakan perangkat lunak Mod3DEM dengan algoritma NLCG Non Linear Conjugate Gradient dan sudah memasukkan faktor topografi. Data input yang digunakan dalam inversi 3D adalah sebanyak 92 titik, dengan range frekuensi 320 ndash; 0.01 Hz. Pengolahan data menggunakan rotasi principal axis dan koreksi statik menggunakan data TDEM. Selain itu, data pendukung lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah data geokimia dan data geologi.
Berdasarkan hasil inversi 3D MT, Karakteristik sistem geothermal lapangan ldquo;INARA rdquo; terlihat dengan batuan penudung memiliki resestivitas rendah 80 ohm-m. Top of reservoir berada di ketinggian 500 meter dari MSL dengan heat source berada di bawah puncak gunung WL. Dari hasil perhitungan geothermometer silika dan diagram entalphy-Cloride mixing, diperoleh temperatur reservoir daerah prospek panas bumi ldquo;INARA rdquo; adalah 200 oC. Sedangkan berdasarkan geothermometer CO2, temperatur reservoir daerah prospek panas bumi ldquo;INARA rdquo; adalah 260 oC dan masuk dalam kategori high temperature >225 oC.

Within a few decades, MT acquisition is used to be done in a 2D track profile. However 2D inversion modeling has its drawbacks mainly related to the existence of the existence of complex structures 3D strike . This will bring ambiguity that can lead to errors in interpretation. Data ambiguity as occurs in 2D inversion can be overcome by using 3D inversion program.The software used in MT 3D Inversion is Mod3DEM with NLCG Non Linear Conjugate Gradient algorithm and has included topography factor. The input data used in 3D inversion is 92 points, with frequency range 320 0.01 Hz. The data processing used principal axis rotation and static corrected by TDEM data. The other supporting data used in this study are geochemical data and geological data.
Based on the 3D MT inversion results, the characteristics of the INARA geothermal field system are seen with low residence rocks 80 ohm m. Top of the reservoir is at an altitude of 500 meters from MSL with the heat source is under the peak of WL mountain. From the calculation of silica geothermometer and entalphy cloride mixing diagram, it is known the reservoir temperature of geothermal prospect region INARA is 200 oC. While based on CO2 geothermometer, the reservoir temperature of geothermal prospect region INARA is 260 oC and included in high temperature 225 oC.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T48702
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chevy Iskandar
"Dalam beberapa tahun terakhir, pembahasan mengenai inversi 3-dimensi (3-D) untuk pemodelan data magnetotelurik menjadi pembahasan yang menarik untuk dibahas oleh para ilmuwan geofisika. Hal ini disebabkan hasil pengolahan data lapangan yang dikorelasikan dengan data geologi dan geokimia masih terdapat ambiguitas dalam interpretasi hasil inversi 2-dimensi (2-D) dibandingkan hasil pemodelan dengan inversi 3-D. Salah satu faktor penyebabnya adalah bumi yang memiliki model tiga dimensi, maka model 2-D terkadang kurang bisa digunakan untuk menjelaskan kondisi bumi yang kompleks secara 3-D. Untuk mempermudah pemahaman lebih lanjut mengenai hal tersebut, dilakukan pembuatan model sintetik 3-D dengan menggunakan software WinGlink dan MT3DFor-X. Model sintetik 3-D dibentuk dari model yang sederhana untuk melihat pengaruh efek anomali 3-D bawah permukaan, sampai dengan model yang kompleks yaitu sistem geotermal. Model sintetik yang dibuat kemudian diinversi 2-D dan 3-D dan dibandingkan hasilnya. Pemodelan dengan inversi 2-D dan 3-D secara berturut-turut dilakukan dengan menggunakan software WinGlink dan MT3DInv-X. Hasil dari kedua inversi tersebut kemudian diinterpretasi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan inversi yang digunakan dalam pengolahan data magnetotellurik ataupun sebagai bahan pertimbangan saat pengambilan data magnetotelurik di lapangan. Selain itu, variasi ukuran grid terhadap pemodelan 3-D dibahas juga pada penelitian ini, sehingga nantinya dapat digunakan juga sebagai acuan dalam pemodelan data 3-D dengan menggunakan data lapangan.

In few recent years, the discussion about 3-dimensional (3-D) inversion for magnetotelluric (MT) data modeling has become the interesting topic for geophysicists. It is caused by the the ambiguity of 2-D inversion result compared with 3-D inversion result of field data processing when it is correlated with geological and geochemistry data. One of the contributing factor is that the Earth is in 3-D shape, so the 2-D model often less describes the complex 3-D Earth model. For further understanding about this topic, a synthetic 3-D model was made using WinGLink and MT3Dfor-X software. 3-D synthetic model is formed from the simple one, to see the effect of the 3-D subsurface anomali towards both inversion results, to the complex one such as geothermal system. The synthetic model is then inversed in 2-D and 3-D approaches to compare the result. 2-D inversion model is conducted using WinGLink and 3-D inversion model is conducted using MT3Dinv-X. Both results can be used as reference of choosing which inversion process is used for modeling magnetotelluric data and can be used to consider the field survey design. Furthermore, the number of grid variation in 3-D modeling is also discussed in this work as the consideration of 3-D modeling of field data."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S52956
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>