Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113128 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Parlindungan, Jobby Cresna
"Restrukturisasi Utang adalah sebuah keniscayaan dalam hal Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Kreditur tetapi di lain sisi Debitur masih memiliki itikadi baik dan prospek untuk menjalankan usahanya. Peraturan perundang-undangan tidak memberikan pengaturan yang pasti dalam hal Restrukturisasi Utang sehingga Debitur dan Kreditur diberikan kebebasan sepenuhnya untuk mencapai kesepakatan dalam mekanisme Restrukturisasi Utang tersebut. Hal tersebut mengartikan bahwa mendirikan sebuah badan usaha baru juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk Restrukturisasi Utang. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dampak dan kedudukan hukum pihak-pihak dalam Restrukturisasi Utang melalui skema pembentukan Perseroan Terbatas sebagai Debitur baru. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan studi pustaka yang didasarkan pada studi kasus. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa badan hukum bertanggung jawab dalam hal tindakan sah yang dilakukan oleh organ atau telah disetujui oleh organ yang lebih tinggi. Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa kedudukan hukum yang terpisah diantara para pihak mengakibatkan perbedaan hak dan kewajiban sebelum dan setelah dilakukan Restrukturisasi Utang.

Debt restructuring is a necessity in terms of Debtor can not meet its obligations to Creditors, but on the other side of the Debtor still has a good faith and prospects for business. Regulation does not provide definitive arrangement in Debt Restructuring so Creditor and Debtor given that complete freedom to reach agreement in the Debt Restructuring mechanism. This means that setting up a new business entity can also be used as a means for Debt Restructuring. This study aims to explain the impact and the legal position of the parties to the Debt Restructuring scheme as a Limited Liability Company formation as a new Debtor. The method used is juridical-normative based on case studies. Results of the study revealed that the legal entity responsible for the unlawful act committed by the organ or organs that have been approved by the higher. The results also revealed that a separate legal position between the parties resulted in differences in the rights and obligations before and after the Debt Restructuring.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58707
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Novia Anggita
"Adakalanya jalan restrukturisasi utang menjadi suatu tindakan yang perlu diambil apabila debitor mengalami kesulitan dalam pembayaran utang. Hal ini pada dasarnya merupakan salah satu upaya contingency plan perseroan untuk menyelamatkan perseroan dari kebangkrutan maupun menghindari perseroan dilikuidasi atau dipailitkan. Halmana debitor yang akan dipailitkan oleh kreditornya sesungguhnya masih memiliki prospek usaha yang baik dan dapat kembali menjadi perusahaan yang sehat apabila diberikan beberapa keringanan terhadap utang-utangnya, maka langkah restrukturisasi utang seringkali menjadi solusi pilihan bagi debitor maupun kreditor. Restrukturisasi utang dilakukan sepanjang utang-utang debitor layak untuk direstrukturisasi karena perseroan debitor masih memiliki prospek usaha yang baik untuk mampu melunasi utang dan akan menjadi perseroan yang sehat untuk dapat melanjutkan kegiatan usahanya apabila diberi penundaan jangka waktu pelunasan dalam jangka waktu yang wajar, baik dengan atau tanpa diberi keringanan terhadap persyaratan utangnya, juga baik restrukturisasi utang itu dilakukan dengan atau tanpa disertai upaya untuk menyehatkan perseroan yang bersangkutan. Untuk itu, peraturan perundang-undangan di Indonesia memberikan kesempatan kepada para debitor yang kesulitan dalam membayar utang-utangnya untuk dapat menunda pembayaran utangnya dalam jangka waktu tertentu, dan memungkinkan untuk mengajukan proposal restrukturisasi utang kepada kreditornya dalam rangka Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini akan memberikan pandangan mengenai restrukturisasi utang dalam rangka Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang secara khusus akan membahas mengenai studi kasus PT Bakrie Telecom, Tbk.

Sometimes the debt restructuring might be an action that needs to be taken when the debtor experiencing difficulties in payment of debts. It basically is an effort as the company's contingency plan to save the company from insolvency and to avoid the company from being liquidated or bankrupted. Whereas the debtor who will be liquidated by their creditors still has good business prospects, and is able to recover from a financial distress when given some relief on its debt, hence the debt restructuring shall be the win-win solution for both debtor and creditor. The debt restructuring may only occur when the debts of the debtor eligible to be restructured, provided that there is still light at the end of the tunnel. In the case of the company might be able to continue its operation if given a delay of the term of repayment within a reasonable time, either with or without the debt remissions, the debt restructuring shall occur. Therefore, the legislation in Indonesia provides the opportunity for debtors who have difficulty in paying its debts in order to delay payment of the debt within a certain period, and allow for debt restructuring proposal to its creditors in terms of the Suspension of Debt Repayment (SDR). This study will provide the framework of debt restructuring in terms of the Suspension of Debt Repayment, which particularly discuss the case study of PT Bakrie Telecom, Tbk.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T44766
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waheed Prajadisastra
"The motivation behind this research is rather a glance of the true purpose behind the meaning of suspension of payment obligations and the clear solution it's commonly faced with. Ever since man conceived of commerce, all entities concerned with trading are faced with the threat of a downfall, of lack of capital and/or resources to further its own end, thus is term bankruptcy. Since also the time of when the first corporations were set up in ancient Rome, the idea of a mechanism of a share or an ownership in which these primal system of trading were initiated, entities divide the ownership of these companies by means of a share or a stock. Thereby, those possessing capital may become investors in which they partake an involvement in the trading activity of the company they invested in through capital contributions. While it is the most acknowledged and upstanding of concept in the business world, shares were specifically and are legally set up in order for it to perform in a much more refined and adoptable way throughout time.
As the cornerstone of commercial activity and/or early forms of corporate finance, shares are regarded as a payment obligation that a corporation must fulfill to their holders. Hence, the concept of shares are closely linked with that of bankruptcy. This research proposes a clear solution to the challenges that many businesses today are faced with in terms of bankruptcy. Whether or not it is worth converting debts into shares, of course, lies in the decision that were made between the conflicting parties. However, the fact that such action truly present a solution to their problem remain specifically and objectively to the benefits that each party obtains.
This research approaches the problem through the case study of suspension of payment obligation to prevent the bankruptcy of P.T. Bakrie Telecom Tbk. that was presented by P.T. Netwave Multi Media and were decided that the debts be converted into shares. In a long run, the decisions that were made seem solid, as if all debts were to be fulfilled on specified time. However, there are assumptions as well as the probability whereby such time extension may prove to be quite risky and are frivolous in nature. This research thus seeks to enlighten the fact that the court of law fully supports the legality and the solidity of the conversion of debts into shares and how suspension of payment obligation may well benefit both parties, the debtor as well as the creditor, in the long run."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64788
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Evatania
"Penundaan kewajiban pembayaran utang dapat dipilih oleh debitor atau kreditor sebagai jalan keluar penyelesaian permasalahan utang piutang. Setelah debitor dinyatakan berada dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang, debitor berhak mengajukan suatu rencana perdamaian yang berisi mekanisme pembayaran utang yang baru guna melunasi kewajibannya. Rencana perdamaian tersebut dapat disahkan oleh Pengadilan Niaga setelah disetujui. Setelah disahkan, perdamaian tersebut dapat dibatalkan dengan syarat bahwa debitor telah lalai dalam memenuhi isi perdamaian. Skripsi ini membahas bagaimana pengaturan syarat pembatalan perdamaian dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan proses pembuktian pembatalan perdamaian dalam forum penundaan kewajiban pembayaran utang PT Harmas Jalesveva. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian hukum yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa PT Harmas Jalesveva terbukti lalai dalam memenuhi perjanjian perdamaian karena tidak memperhatikan ketentuan undang-undang yang harus dipatuhinya sebagai developer apartemen dan tindakan kreditor yang menolak untuk menandatangani Berita Acara Serah Terima karena Sertifikat Laik Fungsi yang belum terbit dapat dibenarkan. Saran yang dapat diberikan adalah bahwa sebaiknya terdapat peraturan pelaksana yang dapat mengatur secara lebih lanjut mengenai kondisi-kondisi yang dapat menilai kelalaian debitor, PT Harmas Jalesveva harus mengatur secara rinci mengenai cara penyerahan unit apartemen dalam suatu surat resmi yang mengikat.

Suspension of debt payment could be chosen by debtor or creditor as a way to solve debt problems. After a debtor is in the condition of suspension of debt payment, a debtor has the right to propose a settlement proposal consisting of the new payment scheme to fulfill its obligations. The settlement proposal would be ratified by the Commercial Court after being approved. After the ratification, the settlement agreement could be cancelled on a condition of the debtor’s failure to implement the settlement agreement. This thesis discusses the regulation of cancellation of settlement agreement requirement in Law Number 37 Year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment and the proof of annulment of settlement agreement in suspension of debt payment forum PT Harmas Jalesveva. This research is conducted using a normative juridical legal research form and descriptive research typology. This research concludes that PT Harmas Jalesveva is proven failed in implementing the settlement agreement as a result of not implementing the regulation it has to obey as an apartment developer and the creditor’s act of rejecting to sign the Minutes of the Handover Meeting with the reason of Certificate of Worthiness (Sertifikat Laik Fungsi) that has not been published could be justified. The recommendations in this research are that there should be an implementing regulation which regulates the conditions to assess the debtor’s negligence and PT Harmas Jalesveva should regulate the details regarding the handover of the apartment unit in a form of a binding official letter."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafia Rizky Hanifah
"Skripsi ini membahas mengenai penolakan pengesahan atau homologasi rencana perdamaian dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dialami oleh PT Korea World Center Indonesia (PT KWCI) yang berakhir pada kepailitan. Penulis melakukan tinjauan hukum mengenai isu tersebut mulai dari segi utang yang dimiliki Debitur sebagai syarat mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga hingga segi imbalan jasa Pengurus yang tidak dibayarkan atau tidak dijamin pembayarannya yang menyebabkan Debitur jatuh pailit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan dari pengertian utang menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 sebagai syarat permohonan PKPU dan mengetahui apakah Bilyet Giro dapat dianggap sebagai alat pembayaran maupun jaminan pembayaran bagi imbalan jasa Pengurus dalam perkara PKPU. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian yang bersifat kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif, di mana Penulis menggunakan sumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dari penelitian ini diketahui bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) mendefinisikan utang secara luas, sehingga ganti kerugian materil atas putusan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht) dapat dikatakan sebagai utang sebagai syarat permohonan PKPU. Selain itu, diketahui pula bahwa Bilyet Giro dapat dianggap sebagai alat pembayaran maupun jaminan pembayaran bagi imbalan jasa Pengurus dalam perkara PKPU apabila penerbitan, pengunjukan, dan pemrosesannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

This thesis discusses the rejection of the ratification or homologation of the composition plan in the case of Suspension of Debt Payment Obligations Process (PKPU) experienced by PT Korea World Center Indonesia (PT KWCI) which ended in bankruptcy. The author conducts a legal review of this issue, starting from the aspect of debt owned by the Debtor as a condition for submitting a PKPU application to the Commercial Court to the aspect of Management fees that are not paid or the payment is not guaranteed which causes the Debtor to go bankrupt. The purpose of this study is to determine the application of the definition of debt according to Law No. 37 of 2004 as a requirement for PKPU application and to find out whether the Bilyet Giro can be considered as a means of payment or as a guarantee of payment for the Management's services in a PKPU case. The research method used in this research is a qualitative research method, namely research that produces data that is descriptive and analytical. This research is included in normative legal research, where the author uses sources from primary, secondary, and tertiary legal materials. From this research it is known that Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations Process (UUK-PKPU) broadly defines debt, so that material compensation for the decision on Unlawful Acts (PMH) which has permanent legal force (in kracht) can be said to be debt as a requirement for PKPU application. In addition, it is also known that Bilyet Giro can be considered as a means of payment as well as a guarantee of payment for Management's compensation in a PKPU case if the issuance, appointment and processing are in accordance with the prevailing laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Octavia Karlita
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S23846
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Leony
"Rencana Perdamaian dalam PKPU merupakan suatu penawaran yang diajukan oleh Debitor melalui suatu dokumen hukum yang meliputi pembayaran utang-utangnya kepada Para Kreditor, dengan mekanisme yang telah terlebih dahulu disepakati oleh Debitor dengan Para Kreditornya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) UUK PKPU, namun dalam praktek, ternyata permasalahan pada proses pemungutan suara (voting) atas rencana perdamaian tersebut dapat terjadi. Sebagaimana dalam Putusan Nomor 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Smg. Bahwa dalam putusan PKPU tersebut, setelah dilakukan proses pemeriksaan terhadap kelengkapan dokumen kreditor, tim pengurus menyatakan bahwa terdapat dua kreditor yang tidak dapat memberikan suaranya terhadap rencana perdamaian padahal Kreditor tersebut telah ditetapkan dalam suatu Daftar Piutang Tetap. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis mengenai dikesampingkannya hak pemungutan suara (voting) kreditor dalam proses persetujuan rencana perdamaian PKPU, serta pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan pada Putusan Nomor 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Smg. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa ditetapkannya Kreditor dalam suatu Daftar Piutang Tetap menandakan bahwa Para Kreditor telah melewati tahap verifikasi legalitas Para Kreditor; status tagihan, dan jumlah hak suara yang dimiliki. Sehingga tidak terdapat kualifikasi maupun faktor apapun yang memungkinkan Hakim untuk mengesampingkan / meniadakan hak suara Kreditor untuk melakukan voting atas Rencana Perdamaian. Akibat hukum dikesampingkannya hak suara Kreditor tidak serta merta menghilangkan status sebagai Kreditor dan hak tagihnya hilang, melainkan tetap ada sebagaimana dalam Daftar Piutang Tetap dan setelah perdamaian disahkan maka akan mengikat seluruh Kreditor Konkuren, kecuali Kreditor Separatis sebagaimana dalam Pasal 281 ayat (2) UUK PKPU, kemudian upaya hukum yang dapat dilakukan adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya, terkait dengan analisis putusan, maka Hakim telah melanggar Pasal 281 ayat (1) UUK PKPU.

The Reconciliation Plan in PKPU is an offer submitted by the Debtor through a legal document covering payment of his debts to Creditors, with a mechanism that has been previously agreed upon by the Debtor and his Creditors as stipulated in Article 281 paragraph (1) UUK PKPU, but in practice, it turns out that problems in the voting process for the Reconciliation Plan can occur. As in Decision Number 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Smg. Whereas in the PKPU decision, after an examination of the completeness of creditor documents, the management team stated that there were two creditors who were unable to vote on the reconciliation plan even though the creditors had been determined in a List of Fixed Receivables. By using normative-juridical research methods, this article aims to analyze the exclusion of creditors' voting rights in the approval process for the PKPU Reconciliation Plan, as well as the considerations of the Panel of Judges in passing a decision on Decision Number 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Smg. The results of this study are that the determination of Creditors in a Register of Receivables indicates that the Creditors have passed the legality verification stage of the Creditors; the status of the invoice, and the number of voting rights held. So that there are no qualifications or any factors that allow the Judge to set aside / cancel the Creditors' voting rights to vote on the Reconciliation Plan. The legal consequence of setting aside the Creditor's voting rights does not necessarily eliminate the status as a Creditor and the rights to collect are lost, but remain as in the List of Fixed Receivables and after the settlement is ratified, it will bind all Creditors except Separatist Creditors as in Article 281 paragraph (2) UUK PKPU, then legal remedy that can be done is cassation to the Supreme Court. Furthermore, related to the analysis of the decision, the Judge has violated Article 281 paragraph (1) of the PKPU Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Martha Silvia Mewengkang
"PKPU merupakan pemberian kesempatan kepada debitor untuk merestrukturisasi hutang – hutangnya kepada kreditor dengan cara, debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran untuk melaksanakan pembayaran utang baik secara keseluruhan ataupun sebagian utangnya kepada para kreditor. Rencana perdamaian yang telah disepakati oleh mayoritas kreditor wajib disahkan oleh pengadilan. Namun didalam Pasal 285 Ayat (2) Huruf b UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwasannya pengadilan dapat menolak suatu rencana perdamaian apabila pelaksanaan perdamaiannya tidak cukup terjamin. Oleh karena itu, tesis ini bertujuan untuk menganalisis kriteria rencana perdamaian yang pelaksanaannya dapat dinyatakan cukup terjamin dalam proses PKPU dan menganalisis implementasi kriteria rencana perdamaian yang pelaksanaannya cukup terjamin di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur mengenai kriteria dalam membuat suatu rencana perdamaian yang pelaksanaannya dapat dinyatakan cukup terjamin. Hal ini berbeda dengan Amerika dan Singapura yang mengatur mengenai kriteria dalam membuat suatu rencana perdamaian. Walaupun tidak adanya pengaturan mengenai kriteria rencana perdamaian di Indonesia, namun terdapat kasus dimana debitor sudah menerapkan kriteria rencana perdamaian dalam PKPU sebagaimana yang terdapat di Amerika dan Singapura

PKPU is an opportunity for debtors to restructure their debts to creditors by means of the debtor's proposed accord plan which includes an offer to pay off debts in whole or in part of their debts to creditors. An accord plan that has been agreed by creditors must be approved by the court. However, in Article 285 (2) Letter b of UU No 37/2004, the court can reject an accord plan that is not adequately assured. Therefore, this thesis aims to analyze of proposal accord plan criteria that adequate assured in PKPU process and to analyze the implementation of the criteria in Indonesia. The results of this study indicate that in Act No. 37/2004 there is no criteria in making an accord plan whose implementation can be declared adequately assured. This is different from America and Singapore which are contained the criteria of an accord plan in their regulation. Although there is no regulation regarding the criteria for an accord plan in Indonesia, there have been cases where the debtor has applied the PKPU accord plan criteria as in America and Singapore."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mewengkang, Belinda Martha Silvia
"PKPU merupakan pemberian kesempatan kepada debitor untuk merestrukturisasi hutang – hutangnya kepada kreditor dengan cara, debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran untuk melaksanakan pembayaran utang baik secara keseluruhan ataupun sebagian utangnya kepada para kreditor. Rencana perdamaian yang telah disepakati oleh mayoritas kreditor wajib disahkan oleh pengadilan. Namun didalam Pasal 285 Ayat (2) Huruf b UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwasannya pengadilan dapat menolak suatu rencana perdamaian apabila pelaksanaan perdamaiannya tidak cukup terjamin. Oleh karena itu, tesis ini bertujuan untuk menganalisis kriteria rencana perdamaian yang pelaksanaannya dapat dinyatakan cukup terjamin dalam proses PKPU dan menganalisis implementasi kriteria rencana perdamaian yang pelaksanaannya cukup terjamin di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur mengenai kriteria dalam membuat suatu rencana perdamaian yang pelaksanaannya dapat dinyatakan cukup terjamin. Hal ini berbeda dengan Amerika dan Singapura yang mengatur mengenai kriteria dalam membuat suatu rencana perdamaian. Walaupun tidak adanya pengaturan mengenai kriteria rencana perdamaian di Indonesia, namun terdapat kasus dimana debitor sudah menerapkan kriteria rencana perdamaian dalam PKPU sebagaimana yang terdapat di Amerika dan Singapura.

PKPU is an opportunity for debtors to restructure their debts to creditors by means of the debtor's proposed accord plan which includes an offer to pay off debts in whole or in part of their debts to creditors. An accord plan that has been agreed by creditors must be approved by the court. However, in Article 285 (2) Letter b of UU No 37/2004, the court can reject an accord plan that is not adequately assured. Therefore, this thesis aims to analyze of proposal accord plan criteria that adequate assured in PKPU process and to analyze the implementation of the criteria in Indonesia. The results of this study indicate that in Act No. 37/2004 there is no criteria in making an accord plan whose implementation can be declared adequately assured. This is different from America and Singapore which are contained the criteria of an accord plan in their regulation. Although there is no regulation regarding the criteria for an accord plan in Indonesia, there have been cases where the debtor has applied the PKPU accord plan criteria as in America and Singapore."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kemal Azhardhia Ghiffary
"Fokus dari penelitian ini adalah pada penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), khususnya yang berkaitan dengan perjanjian perdamaian. Dalam kenyataannya, ada cacat tersembunyi pada perjanjian perdamaian sebagaimana kasus yang ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1131/K/Pdt.Sus-Pailit/2021. Berdasarkan Pasal 285 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perjanjian perdamaian yang diperoleh dari adanya persekongkolan dan tidak dapat menjamin hak dan kewajiban debitur seharusnya tidak dapat disahkan. Namun putusan a quo menyatakan bahwa perjanjian perdamaian disahkan dan mengikat bagi kreditur dan debitur meski dalam kasusnya ada unsur cacat tersembunyi. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang status perjanjian perdamaian yang mengandung unsur cacat tersembunyi dan akibat hukumnya. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan (dokumen). Adapun analisis datanya dilakukan secara kualitatif. Dari hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa putusan quo yang menyatakan perjanjian perdamaian dalam kasus tersebut sebagai sah adalah tidak tepat karena seharusnya perjanjian perdamaian yang mengandung unsur cacat tersembunyi tidak dapat disahkan karena tidak menjamin hak-hak berkaitan dengan pembayaran dari debitur terhadap kreditur (sebagaimana ketentuan pada pasal a quo jo. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Selain itu, akibat hukum dari perjanjian perdamaian yang mengandung unsur cacat tersembunyi berdampak pada status kepailitan bagi debitur (Pasal 171 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

The focus of this research is on the suspension of debt payment obligations (PKPU), especially those related to the reconciliation agreement. In fact, there are hidden defects in the reconciliation agreement as is the case found in the Supreme Court Decision Number 1131/K/Pdt.Sus-Pailit/2021. Based on Article 285 paragraph (2) of Law Number 34 of 2007 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations, a reconciliation agreement obtained from a conspiracy and cannot guarantee the rights and obligations of the debtor should not be ratified. However, the a quo decision stated that the peace agreement was legalized and binding on creditors and debtors even though in this case there were elements of hidden defects. Therefore, the problem raised in this study is regarding the status of the reconciliation agreement which contains hidden defects element and legal consequences. This normative juridical research uses secondary data obtained through literature (document) studies. The data analysis was carried out qualitatively. From the results of the analysis, it can be stated that the a quo decision stating that the peace agreement in this case is valid is not appropriate due to the peace agreement which contains hidden defects element cannot be ratified because it does not guarantee rights related to payments from debtors to creditors (as stipulated in the provisions of in article a quo jo. Article 1320 of the Indonesian Civil Code). In addition, the legal consequences of the recomcoliation agreement containing hidden defects elements have an impact on the bankruptcy status of the debtor (Article 171 of Law Number 34 of 2007 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>