Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 231061 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ignatia Sinta Murti
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kekuatan genggam tangan (KGT) merupakan metode pemeriksaan yang mudah, murah, cepat dan dapat digunakan secara bedside pada pasien yang dirawat. Data mengenai hubungan KGT dengan parameter status nutrisi lain selama perawatan di rumah sakit di Indonesia belum tersedia
Tujuan : Mengetahui hubungan KGT dengan nilai subjective global assessment (SGA), antropometri, analisis bioimpedans dan biokimia pada awal dan akhir perawatan. Metode : Ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien yang dirawat inap di ruang perawatan penyakit dalam RS. Cipto Mangunkusumo. Status nutrisi dinilai berdasar SGA. Indeks masa tubuh (IMT), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) dihitung secara antropometri. Masa otot dan masa lemak tubuh didapat dari analisis bioimpedans. Analisis statistik menggunakan uji anova, pearson dan uji T.
Hasil : Terdapat 131 pasien terdiri dari 102 laki-laki dan 29 perempuan dengan rerata umur 45,6 ± 14.2 tahun. Pada awal dan akhir perawatan didapatkan perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang maupun malnutrisi berat tetapi tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat (p<0.001). Kekuatan genggam tangan berkorelasi dengan cAMA (r=0,47 dan 0,49), masa otot tubuh (r=0,67 dan 0,55) dan albumin (r=0,23 dan 0,28). Tidak ada hubungan antara KGT dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada perbedaan KGT antara pasien yang mencapai target nutrisi berdasar SGA dan yang tidak (p=0,81).
Kesimpulan : Terdapat perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang dan antara nutrisi baik dan malnutrisi berat. Tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat. Nilai KGT berkorelasi dengan cAMA, masa otot tubuh dan albumin tetapi tidak berkorelasi dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada hubungan antara pencapaian target nutrisi berdasar SGA dengan nilai KGT

ABSTRACT
Background : Hand grip strength (HGS) is an easy, cheap and quick method and can be used bedside in hospitalized patient. Data about HGS correlation with other nutrition status parameters in hospital are not yet provided in Indonesia Objective : To find relation among HGS with the value of subjective global assessment (SGA), anthropometry, bioimpedance analysis and albumin at the beginning and end of hospitalization.
Methods : This is a cross-sectional study from hospitalized patients at medical ward Cipto Mangunkusumo Hospital. Nutritional status assessed by SGA. Body mass index (BMI), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) were calculated by anthropometry. Muscle mass and a body fat obtained from the bioimpedance analysis. Data were analyzed using ANOVA, Pearson and T test. Results : There were 131 patients consisted of 102 men and 29 women with mean age of 45.6 ± 14.2 years. At the beginning and end of the hospitalization there is significant HGS differences between good nutritional status with moderately malnourished and severely malnourished, but no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished (p <0.001). Hand grip strength was correlated with CAMA (r=0.47 and 0.49), muscle mass (r=0.67 and 0.55) and albumin (r=0.23 and 0.28) and was not correlate with AFA, body fat and BMI. There was no HGS difference between patients who achieved nutrition targets based on SGA and who did not (p=0.81).
Conclusion : There are significant HGS differences between good nutritional status and moderate malnutrition and good nutritional status and severe malnutrition. There is no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished. Hand grip strength was correlated with cAMA, muscle mass and albumin but did not correlate with the AFA, body fat and BMI. There was no corelation between nutritional achievement based on SGA with HGS value"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Agustia Rahma Putri
"Latar belakang: Kanker saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Insidensi kanker ginekologi di Indonesia masih tinggi. Aspek nutrisi merupakan salah satu aspek yang paling sering mengalami kelainan pada pasien dengan kanker. Patient Generated-Subjective Global Assessment (PG-SGA) merupakan modalitas skrining nutrisi yang mengombinasikan data kualitatif dan semi-kuantitatif. Proses inflamasi sistemik yang terjadi pada pasien kanker dapat mengakibatkan penurunan kadar albumin dan prealbumin. Namun, belum banyak penelitian sebelumnya yang mencari bagaimana korelasi kadar albumin dan prealbumin terhadap skor PG-SGA.
Tujuan: Mengetahui parameter yang paling baik dalam mendeteksi malnutrisi untuk pasien dengan onkologi ginekologi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang (cross sectional). Subjek dari penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis dengan kanker ginekologi yang berobat ke Poliklinik Onkologi Ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan direncanakan atau telah menjalani terapi pada Oktober 2020 - September 2021. Pasien dengan riwayat keganasan primer selain keganasan ginekologi, menerima terapi kortikosteroid oral atau intravena, riwayat pembedahan saluran cerna yang memengaruhi absorpsi/asupan nutrisi, dan riwayat penyakit liver akut atau kronik dan alkoholisme dieksklusi dari penelitian.
Hasil: Didapatkan sebanyak 90 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian. Secara keseluruhan, nilai rerata albumin yaitu 4,19 g/dL, rerata prealbumin yaitu 39,1 mg/dL, dan rerata skor PG-SGA yaitu 3 atau kategori A. Terdapat korelasi positif lemah antar kadar albumin dengan prealbumin (r=0,378, p=0,000), Terdapat korelasi negatif lemah antara kadar albumin terhadap skor PG-SGA (r=-0,313, p=0,003), sedangkan tidak terdapat korelasi kadar prealbumin terhadap skor PG-SGA (r=-0,145, p=0,173).
Kesimpulan: Didapatkan korelasi antara albumin terhadap skor PG-SGA, namun tidak didapatkan korelasi antara prealbumin terhadap skor PG-SGA.

Background: Cancer is still one of the major health problems in the world. The incidence of gynecological cancer in Indonesia is still high. Nutritional aspect is one of the most frequent aspects of abnormalities in patients with cancer. Patient Generated-Subjective Global Assessment (PG-SGA) is a nutritional screening modality that combines qualitative and semi-quantitative data. Systemic inflammatory process that occurs in cancer patients can result in a decrease in albumin and prealbumin levels. However, there have not been many previous studies looking at the correlation between albumin and prealbumin levels on the PG-SGA score.
Objective: Knowing the best parameters in detecting malnutrition for gynecological oncology patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Methods: This study used a cross-sectional method. The subjects of this study were diagnosed with gynecological cancer who went to the Gynecological Oncology Polyclinic of RSUPN Dr. Dr. Cipto Mangunkusumo and planned or already undergoing therapy during October 2020 - September 2021. Patients with a history of primary malignancy other than gynecological malignancy, receiving oral or intravenous corticosteroid therapy, history of gastrointestinal surgery affecting nutrient absorption/intake, and history of acute or chronic liver disease and alcoholism was excluded from the study.
Results: There were 90 subjects who were included in this study. Overall, the average level of albumin was 4.19 g/dL, the average level of prealbumin was 39.1 mg/dL, and the average of scored-PG-SGA was 3 or category A. There was a weak positive correlation between albumin and prealbumin levels (r=0.378, p=0.000). This study showed a weak negative correlation between albumin level and scored-PG-SGA (r=-0.313, p=0.003), whereas there was no correlation between prealbumin levels and scored-PG-SGA (r=-0.145, p=0.173).
Conclusion: A weak negative correlation was found between albumin and the scored-PG-SGA, but no correlation was found between prealbumin and the scored-PG-SGA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arita Murwani
Yogyakarta: Gosyen, 2011
616 ARI p (1);616 ARI p (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Darel Domu Abadi
"ABSTRAK
Perkembangan teknologi dalam bidang biomedik merupakan kemajuan
penting bagi umat manusia. Salah satu dari teknologi tersebut adalah biomaterial
mampu luruh untuk stem tulang, yang saat ini sedang dikembangkan dengan
berbasis logam Fe. Penelitian ini membahas pengaruh albumin terhadap material
Fe-Mn-C, yang difabrikasi melalui metode metalurgi serbuk, dengan
memvariasikan kadar unsur Mn dan albumin terlarut. Kemudian dilakukan
karakterisasi material Fe-Mn-C serta pengujian korosi material Fe-Mn-C dan
larutan hasil perendamannya. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa
kehadiran protein albumin dan penambahan kadar albumin pada larutan ringer
menurunkan laju korosi. Hasil produk korosi pada larutan hasil pencelupan
material Fe-Mn-C didapatkan masih pada batas aman konsumsi harian tubuh
manusia, yang menandakan material Fe-Mn-C biokompatibel untuk diterapkan
secara biomedik.

ABSTRACT
Biomaterial technology has been a very important progress of human race.
One of the most helpful biomaterial technology is biodegradable material for
human bone-stem, which currently being developed with iron-based. This thesis
discusses the effects of albumin towards Fe-Mn-C material, which has been
fabricated with metallurgy powder method, through varying levels of dissolved
Mn and albumin elements. Afterwards, Fe-Mn-C material is characterized and
examined for its corrosion, along with the marinating solutions. This research
shows result that the existence of albumin protein by adding the level of albumin
in ringer solution has decreased the corrosion rate. The corrosion result product in
the solution for marinating Fe-Mn-C material is still in a safe zone for daily
consumption of human body, which indicates Fe-Mn-C material biocompatible to
be applied in biomedical."
2016
S63467
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirta Hediyati Reksodiputro Erlangga
"Sejak dahulu manusia selalu berusaha untuk menemukan dan menjabarkan konsep tentang kriteria wajah cantik. Pemikiran tersebut terus berubah seiring dengan berjalanannya waktu, yang banyak dipengaruhi oleh faktor etnik, ras, ekonomi, agamalkeyakinan dan kebudayaan. Pada jaman Renaisance Yunani para ahli berusaha menjabarkan wajah cantik dan menarik secara estetika. Estetika berasal dart bahasa Yunani, aisthesis yang berarti keindahan/kecantikan. Bangsa Yunani menganggap konsep cantik meliputi filosofi dan penampilan fisik. Mereka menciptakan figur Venus de Milo sebagai gambaran klasik dari proporsional cantik dengan berdasarkan Classical Greek Canon namun Classical Greek Canon/Neoclassical Canon tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan pads semua ras dan etnik. Salah satu karya Leonardo da Vinci (menggunakan metode Neoclassical Canon) menghasilkan lukisan wajah perempuan yang proporsional dan ideal. Menurut Leonardo da Vinci wajah seimbang harus dapat dibagi tiga dengan perbandingan yang sama, yaitu antara garis rambut frontal dengan garis supra orbital (Trichion-Glabella), garis supra orbital dengan dasar hidung (Glabella-Subnasal), dan dasar hidung serta Ujung bawah dagu (Subnasal Menton).
Konsep menarik dan cantik telah banyak didiskusikan oleh ahli bedah namun definisi obyektif sulit dijabarkan. Pada wajah estetika, menarik meliputi kombinasi kualitas wajah, seimbang, proporsional, simetri, harmoni dan nilai budaya yang berlaku. Dewasa ini banyak diusahakan metode analisis yang lebih konsisten. Antropometri wajah adalah pengukuran terhadap setiap bagian dari wajah, meliputi nilai ukuran/proporsi secara vertikal, horizontal dan sudutlangulasi pada setiap bagian wajah. Antropometri dapat dilakukan dengan berbagai macam cara antropometri, yaitu antropometri secara langsung, antropometri dengan hasil dokumetasi (fotogrammetri), atau pun antropometri berikut radiografi wajah dan kepala (sefalometri). Perangkat tersebut dapat membantu perencanaan estetika, rinoplasti dan/atau operasi rekonstruksi. Berdasarkan pengukuran antropometri, atau pun fotogrammetri yang telah dilakukan terhadap beberapa ras menunjukkan perbedaan ukuran analisis wajah pada setiap ras dan etnik. Pembentukan kontur wajah selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor ekologi, seperti jenis makanan dan iklim tempat tinggal. Oleh karena itu dapat ditemukan ciri khas kontur wajah bagi suatu ras atau populasi pada daerah tertentu.
Analisis dan proporsional wajah telah banyak dibahas pada bangsa Kaukasia dan Afrika Amerika namun hanya sedikit data mengenai bangsa Asia. Farkas melaporkan 132 nilai pengukuran antropometri wajah pada perempuan dan laki-laki Amerika Utara (Kaukasia). Chou melaporkan 29 nilai pengukuran antropometri wajah pada orang Korea. Analisis wajah merupakan langkah pertama dalam mengevaluasi pasien yang datang, baik untuk prosedur rekonstruksi maupun kosmetika wajah. Operasi wajah demi tujuan estetika pada orang Asia akan menjadi tidak proporsional bila mengacu pada data dan ukuran Kaukasia. Lebih lanjut banyak bangsa Asia yang ingin tetap mempertahankan wajah etnik asli mereka setelah dioperasi. Tantangan bagi para ahli bedah adalah untuk tetap mempertahankan etnik bentuk wajah yang asli dan memperbaiki bagian yang tidak proporsional terhadap keseluruhan bentuk wajah.
Analisis wajah dapat menjadi lebih mudah dilakukan dengan menggunakan teknik fotogrammetri yaitu pengukuran antropometri wajah dengan menggunakan hasil dokumentasi Rhinobase Software merupakan perangkat yang dapat membantu proses fotogrammetri, dimana hasil foto akan dianalisis dengan menggunakan perangkat ini. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari Rhinobase Software. Selain berguna untuk fotogrammetri, perangkat tersebut dapat pula membantu ahli bedah dalam menyimpan keseluruhan data pasien (anamnesis, pemeriksaan fisik, fotogrammetri, rencana operasi, dan hasil operasi).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rabbinu Rangga Pribadi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Malnutrisi berdampak besar pada pasien kanker sehingga harus
dievaluasi dengan Patient-Generated Subjective Global Assessment (PG-SGA),
namun memakan waktu dan membutuhkan tenaga kesehatan terlatih. Pengukuran
kekuatan genggam tangan (KGT) memiliki keuntungan lebih singkat dan mudah
dibandingkan PG-SGA, tetapi belum ada data titik potong dan akurasi diagnostik
KGT pada pasien kanker di Indonesia.
Tujuan: Mendapatkan titik potong dan akurasi diagnostik KGT sebagai penapis
malnutrisi pasien kanker rawat jalan di RSCM.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan pada pasien 18-59 tahun di
poliklinik onkologi RSCM selama 4 Mei-1 Oktober 2015. Titik potong KGT
dianalisis menggunakan kurva ROC. Akurasi diagnostik KGT dinilai dengan
menghitung sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN, RKP, dan RKN.
Hasil: Proporsi pasien dengan status nutrisi baik, malnutrisi sedang, dan
malnutrisi berat adalah17,4%, 64,2%, dan 18,4%. Titik potong optimal KGT
pasien kanker lelaki dan perempuan berturut-turut adalah ≤ 36,5 dan ≤ 21,5 kgf
dengan sensitivitas 92,2% dan 73,9%, spesifisitas 54,6% dan 60,9%, NDP 92,2%
dan 88,3%, NDN 54,6% dan 36,8%, RKP 2 dan 1,9, serta RKN 0,1 dan 0,4.
Simpulan: Titik potong optimal KGT pasien kanker lelaki dan perempuan
berturut-turut adalah ≤ 36,5 dan ≤ 21,5 kgf. Akurasi diagnostik KGT pasien
kanker lelaki dan perempuan sebagai penapis malnutrisi berturut-turut dinilai baik dan sedang.ABSTRACT
Background: Malnutrition has a huge impact on cancer patients and therefore it
has to be evaluated using PG-SGA, but there are limitations such as the timeconsuming
nature and the need of trained health personnels. Measurement of
HGS is faster and easier, but there is no sufficient information regarding its cutoff
point
and diagnostic
accuracy
for cancer
patients
in Indonesia.
Aim:
defining cut-off point and diagnostic accuracy of HGS as a malnutrition
screening modality for outpatient cancer population at RSCM.
Method: A cross-sectional study was conducted at RSCM oncology outpatient
clinic from May 4
th
-October 1
st
, 2015. Subjects were 18-59 years old. Cut-off
point and diagnostic accuracy of HGS were analyzed to generate sensitivity,
specificity, PPV, NPV, LR+, and LR- .
Result: The proportion of well nourished, moderately malnourished, and severely
malnourished subjects were 17.4%, 64.2%, and 18.4%, respectively. The optimal
HGS cut-off point in male and female cancer patients were ≤ 36.5 and ≤ 21.5 kgf
respectively with sensitivity 92.2% and 73.9%, specificity 54.6% and 60.9%,, PPV
92.2% and 88.3%, NPV 54.6% and 36.8%, LR+ 2 and 1.9, and LR- 0.1 and 0.4.
Conclusion: The optimal HGS cut-off point in male and female cancer patients
were ≤ 36.5 and ≤ 21.5 kgf, respectively. Diagnostic accuracy of HGS as a
malnutrition screening modality in male and female cancer patients were good and moderately good.
;Background: Malnutrition has a huge impact on cancer patients and therefore it
has to be evaluated using PG-SGA, but there are limitations such as the timeconsuming
nature and the need of trained health personnels. Measurement of
HGS is faster and easier, but there is no sufficient information regarding its cutoff
point
and diagnostic
accuracy
for cancer
patients
in Indonesia.
Aim:
defining cut-off point and diagnostic accuracy of HGS as a malnutrition
screening modality for outpatient cancer population at RSCM.
Method: A cross-sectional study was conducted at RSCM oncology outpatient
clinic from May 4
th
-October 1
st
, 2015. Subjects were 18-59 years old. Cut-off
point and diagnostic accuracy of HGS were analyzed to generate sensitivity,
specificity, PPV, NPV, LR+, and LR- .
Result: The proportion of well nourished, moderately malnourished, and severely
malnourished subjects were 17.4%, 64.2%, and 18.4%, respectively. The optimal
HGS cut-off point in male and female cancer patients were ≤ 36.5 and ≤ 21.5 kgf
respectively with sensitivity 92.2% and 73.9%, specificity 54.6% and 60.9%,, PPV
92.2% and 88.3%, NPV 54.6% and 36.8%, LR+ 2 and 1.9, and LR- 0.1 and 0.4.
Conclusion: The optimal HGS cut-off point in male and female cancer patients
were ≤ 36.5 and ≤ 21.5 kgf, respectively. Diagnostic accuracy of HGS as a
malnutrition screening modality in male and female cancer patients were good and moderately good.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Background: sarcopenia contributes to the development of frailty syndrome. Frailty syndrome is potentially improved by modifying insulin resistance, inflammation, and myostatin level. This study is aimed to investigate the effect of metformin on handgrip strength, gait speed, myostatin serum level, and health related quality of life (HR-QoL) among non diabetic pre frail elderly patients.
Methods: a double blind randomized controlled trial study was conducted on non-diabetic elderly outpatients aged >60 years with pre frail status based on phenotype and/ or index criteria (Cardiovascular Health Study and/ or Frailty Index 40 items) consecutively recruited from March 2015 to June 2016 at Cipto Mangunkusumo Hospital. One hundred twenty subjects who met the research criteria were randomized and equally assigned into 3 x 500 mg metformin or placebo group. The study outcomes were measured at baseline and after 16 weeks of intervention.
Results: out of 120 subjects, 43 subjects in metformin group and 48 subjects in placebo group who completed the intervention. There was a significant improvement on the mean gait speed of metformin group by 0.39 (0.77) second or 0.13 (0.24) meter/second that remained significant after adjusting for important prognostic factors (p = 0.024). There was no significant difference on handgrip strength, myostatin serum level, and HR QoL between both groups.
Conclusion: 3 x 500 mg metformin for 16 weeks was statistically significant and clinically important in improving usual gait speed as one of the HR QoL dimensions, but did not significantly improve the EQ 5D index score, handgrip strength, nor myostatin serum level."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49: 2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Harjono Karjadi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almu Muhamad
"Pendahuluan. Congenital Talipes Equino Varus (CTEV, clubfoot) merupakan salah satu kelainan kaki bawaan yang paling sering ditemui di dunia. Jika tidak ditangani, clubfoot akan mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan. Teknik Ponseti telah diterima secara universal sebagai metode terapi dengan hasil yang sangat memuaskan.
Tujuan. Mengetahui korelasi antara parameter antropometri kaki dengan skor Dimeglio pasca Ponseti.
Metode Penelitian. Penelitian analitik observasional dilakukan dengan desain cross sectional terhadap pasien clubfoot unilateral yang datang ke RSCM 2008-2013. Selain pencatatan data dasar dan jenis tatalaksana yang dilakukan, diukur juga panjang kaki, lebar kaki dan lingkar betis kedua kaki, serta penilaian skor Dimeglio. Uji t digunakan untuk menganalisis perbedaan rerata panjang kaki, lebar kaki dan lingkar betis kaki ctev dengan kaki normal. Sedangkan Uji korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis korelasi antara selisih antropometri dengan Skor Dimeglio.
Temuan dan Diskusi Penelitian. Rerata skor Dimeglio pasca terapi adalah 4,8. Uji t satu arah ditemukan panjang kaki, lebar kaki dan lingkar betis kaki CTEV lebih kecil signifikan dari kaki normal (t0>t, CI 95%). Korelasi selisih panjang kaki dengan Skor Dimeglio 0,694. Korelasi selisih lebar kaki dengan skor Dimeglio 0,367. Korelasi selisih lingkar betis dengan skor Dimeglio 0,305. Uji Korelasi Pearson ditemukan korelasi bermakna antara selisih panjang kaki dengan skor Dimeglio (P<0,01). Sedangkan tidak ditemukan korelasi antara lebar kaki dan lingkar betis dengan skor Dimeglio (P>0,01).
Kesimpulan. Luaran metoda Ponseti dengan skor Dimeglio pada clubfoot unilateral adalah baik. Rerata panjang, lebar, dan lingkar betis kaki CTEV lebih rendah dari kaki normal. Terdapat korelasi antara selisih panjang kaki dengan skor Dimeglio pasca terapi.

Introduction. Clubfoot is one of the most common congenital foot deformity in the world which affect the quality of life. Ponseti technique has been universaly accepted as the method with a very satisfactory result.
Objective. This study aims to find any correlation between Dimeglio score post Ponseti-treated clubfoot with anthropometric parameter of the foot.
Method. This is an observational analytic study with cross sectional design. Unilateral clubfoot patients who came to Cipto Mangunkusumo Hospital from 2008 until 2013 were recruited. Measurement of foot length, foot width, and calf circumference of both feet and Dimeglio score assessment was done. T-test was used to analyze the differences of foot length, foot width, and calf circumference between both feet. Pearson correlation test was used to analyze the correlation between anthropometric differences and severity of clubfoot.
Result and Discussion. The mean of post-treatment Dimeglio score was 4.8. One-way t-test found that the foot length, foot width and calf circumference of clubfeet were significantly smaller than the normal feet (t0>t, CI 95%). The correlation of difference in foot length, foot width, and calf circumference with Dimeglio score was 0.694, 0.367 and 0.305, respectively. Pearson correlation test found significant correlation between the difference in foot length and Dimeglio score (p<0.01).
Conclusion. The outcome of Ponsetti technique for unilateral clubfoot using Dimeglio score is good. The means of foot length, foot width, and calf circumference for clubfoot were found to be less than normal foot. There were correlation between differences of foot length and post treatment Dimeglio score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Sofian Sopandi
"

Latar Belakang: Morfologi telinga bervariasi antarindividu bergantung pada berbagai faktor, di antaranya faktor geografis dan etnik. Indonesia yang dihuni beraneka ragam suku bangsa tidak memiliki data mengenai protrusi normal telinga. Studi ini bertujuan untuk menyediakan data dasar anthropometri protrusi normal telinga pada mahasiswa fakultas kedokteran subras Melayu.

Metode: Penulis melakukan sebuah studi potong lintang pada mahasiswa fakultas kedokteran Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dengan subjek duduk tegak, penulis mengukur jarak antara mastoid dan heliks pada level superaurale dan tragal. Penulis menggambarkan karakteristik protrusi telinga menggunakan statistic deskriptif.

Hasil: Kami melibatkan 409 mahasiswa fakultas kedokteran yang terdiri dari 105 laki-laki dan 304 perempuan. Dari 326 subjek Melayu, 307 merupakan keturunan Deutero Melayu, sementara 19 Proto Melayu. Protrusi superaurale rerata untuk subras Deutero Melayu adalah 16,7 mm (SD = 2,9) untuk telinga kiri dan 16,6 mm (SD = 2,9) untuk telinga kanan. Protrusi tragal adalah 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kiri dan 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kanan. Protrusi superaurale rerata untuk subras Proto Melayu adalah 15,8 mm (SD = 2,6) untuk telinga kiri dan 15,5 mm (SD = 3,6) untuk telinga kanan. Protrusi rerata level tragal adalah 20,1 mm (SD = 2,4) untuk telinga kiri dan 20,4 mm (SD = 3,3) untuk telinga kanan. Sebanyak 36 subjek merupakan subras campuran, dengan protrusi superaurale rerata 17 mm (SD = 3,4) untuk telinga kiri dan 16,9 mm (SD = 3,2) untuk telinga kanan. Protrusi tragal rerata kiri dan kanan kelompok ini adalah 22,7 mm (SD = 3,6) dan 22,9 mm (SD = 4). Sisa 47 subjek berasal dari subras lain, yaitu Cina, India, dan Arab, dengan protrusi superaurale rerata kiri 14,7 mm (SD = 2,8) dan kanan 14,1 mm (SD = 2,9). Protrusi tragal rerata kelompok ini adalah 20,2 mm (SD = 3,6) untuk telinga kiri dan 20,6 mm (SD = 3,9) untuk telinga kanan.

Diskusi dan Kesimpulan: Hasil studi penulis menunjukkan hasil serupa dengan studi Purkait pada dewasa India. Meskipun demikian, protrusi tragal rerata studi ini melebihi kriteria klasik telinga prominen Adamson dan Wright yaitu 20 mm. Studi ini memberikan data anthropometri dasar untuk protrusi telinga populasi Indonesia, khususnya subras Melayu.


Background: Ear morphology varies between individuals depending on many factors, the geographical and ethnic factors among others. While Indonesia is inhabited by diverse ethnic groups, data regarding normal ear protrusion is not available. This study aims to provide a baseline data on normal ear protrusion anthropometry among medical students of Malay subraces.

Methods: We conducted a cross-sectional study on Rumah Sakit Hasan Sadikin medical students. With the subject sitting upright, the distance between mastoid and the helix on superaurale and tragal level is measured. We depicted ear protrusion characteristics using descriptive statistics.

Result: We enrolled 409 medical students. There were 105 male and 304 female. From 326 Malay subjects, a total of 307 subjects were from Deutero Malay descent, while 19 were Proto Malay. The mean superaurale protrusion for Deutero Malay subrace was 16.7 mm (SD = 2.9) for the left ear and 16.6 mm (SD = 2.9) for the right ear. The tragal protrusion was 21.7 mm (SD = 3.5) for the left ear and 21.7 mm (SD = 3.5) for the right ear. The mean superaurale protrusion for Proto Malay subrace was 15.8 mm (SD = 2.6) for the left ear and 15.5 mm (SD = 3.6) for the right ear. Mean protrusion on the tragal level was 20.1 mm (SD = 2.4) for the left ear and 20.4 mm (SD = 3.3) for the right ear. Thirty six subjects were mixed subrace, whose mean superaurale protrusion was 17 mm (SD = 3.4) for the left ear and 16.9 mm (SD = 3.2) for the right. Their mean left and right tragal protrusion was 22.7 mm (SD = 3.6) and 22.9 mm (SD = 4). The remaining 47 subjects belonged to other subraces, i.e. Chinese, Indian, and Arabic, with the left mean superaurale protrusion 14.7 mm (SD = 2.8) and the right 14.1 mm (SD = 2.9). Their mean tragal protrusion was 20.2 mm (SD = 3.6) for the left ear and 20.6 mm (SD = 3.9) for the right.

Discussion and Conclusion: Our results showed comparable values to Purkaits similar study on Indian adults. However, our mean tragal protrusion exceeds Adamson and Wrights classic criteria of protruding ear, which is 20 mm. This study provided a baseline anthropometric data on ear protrusion of Indonesian population, especially Malay subraces.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>