Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125373 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pujisriyani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Terapi intravena (IV) sangat penting bagi pasien yang tidak mampu atau dibatasi penggunaan saluran cernanya untuk dapat memasukkan cairan, nutrisi dan obat-obatan. Meskipun terapi IV rutin dilakukan, risiko tindakan tetap ada, misalnya terjadi hematoma, infeksi, plebitis, dan ekstravasasi. Tujuan studi ini adalah mengetahui efek dari cairan saline terhadap kasus ektravasasi natrium bikarbonat.
Metoda: Studi ini mencari hubungan korelasi antara pengunaan cairan saline terhadap kasus ekstravasasi natrium bikarbonat pada tikus. Dengan memakai 2 kelompok, kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, masing-masing kelompok berjumlah 7 tikus.
Hasil : Hubungan antara cairan saline dan kematian kulit adalah bermakna (sig. 0.021). Semakin banyak cairan saline yang digunakan akan mengurangi luas kematian kulit pada kasus ekstravasasi. Kesimpulan: Dengan memakai cairan saline sebagai cairan yang dapat mendilusi efek basa pada ekstravasasi natrium bikarbonat dapat menjadi pilihan tatalaksana kasus ekstravasasi. Studi ini masih dalam tahap hewan coba sehingga diperlukan studi lanjutan untuk menganalisis peran cairan saline pada ekstravasasi yang terjadi di pasien.

ABSTRACT
Background: Intravascular (IV) therapy is essential for the administration of nutrition and medications to patients because they are unable to maintain fluid and electrolyte balance. Although routine and common, peripheral IV therapy carries risks including hematoma formation, infection, phlebitis, infiltration, and extravasation. The aim of this studi is providing information of the effect of normal saline as dilution agents using the flush-out technique in extravasation cases.
Methods: In order to analyze the correlation between the usage of normal saline to sodium bicarbonate extravasation in rats, this study was using the two groups, the control group and the treatment group, each group has 7 rats. Results: The correlation between normal saline and necrotic skin was significant (sig. 0021). The more saline that is used will reduce the area of the necrotic skin of extravasation.
Conclusion: By using saline as the fluid that can dilute alkaline effect on the extravasation of sodium bicarbonate, this might be an option for managing cases of extravasation. This study is still in the stage of experimental animals that needed further study to analyze the role of normal saline in the extravasation occurred in patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Subiyanto
"Pengaturan cairan modifikasi cara Lemone dan Burke (2008) membagi pemberian cairan berdasarkan proporsi jumlah cairan pada setiap shiftnya. Pada rentang shift pagi sebanyak 50% dari kebutuhan total cairan dalam 24 jam, 30% pada rentang shift siang dan sisanya pada shift malam. Pengaturan proporsi ini berdasarkan kebutuhan cairan secara fisiologis sesuai irama sirkardian. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran "perbedaan dampak pengaturan cairan modifikasi Lemone dan Burke dengan cara konvensional terhadap tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan dan keluran urin". Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan post test only with control group. Hipotesis yang telah dibuktikan dalam penelitian ini adalah perbedaan dampak pengaturan cairan."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Permata Sari
"Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan terjadi pada organ hati. Senyawa yang dapat mengatasi atau menginhibisi virus hepatitis B adalah andrografolida yang berasal dari tanaman Sambiloto Andrographis paniculata . Senyawa andrografolida bekerja dengan menginhibisi ?-glukosidase yang berperan dalam sekresi virus Hepatitis B. Penelitian ini bertujuan untuk membuat nanoenkapsulasi ekstrak daun sambiloto yang tersalut kitosan dan STPP guna meningkatkan bioavailabilitasnya dalam tubuh. Partikel berukuran nanometer dihasilkan pada variasi kecepatan putaran sentrifugasi 8.000 rpm dengan rasio konsentrasi kitosan : STPP 0,2 :0,1 g/mL , yaitu sebesar 68,3 nm. Kapasitas penjerapan dan efisiensi enkapsulasi pada nanopartikel tersebut masing-masing bernilai 67,20 dan 99,48 . Profil pelepsan yang dihasilkan memiliki rilis kumulatif sebesar 34,55 dengan peristiwa slow release pada kondisi pH lambung dan dilanjutkan dengan burst release pada kondisi pH usus halus.

Hepatitis B is a disease caused by a virus and occurs in the liver. Compounds that can overcome or inhibit hepatitis B virus is andrografolida which is derived from Sambiloto plants Andrographis paniculata . The andrographolide compound works by inhibiting glucosidase which plays a role in secretion of Hepatitis B virus. This study aimed to make nanoencapsulation of sambiloto leaf extracts of chitosan and STPP in order to increase its bioavailability in the body. The nanometer sized particle was produced at a variation of 8,000 rpm centrifugation speed with a chitosan concentration ratio 0.2 STPP 0.1 g mL , which was 68.3 nm. The absorption capacity and the efficiency of encapsulation on the nanoparticles were 67.20 and 99.48 respectively. The release profile has a cumulative release of 34.55 with slow release events in gastric pH conditions and followed by a burst release under pH conditions of the small intestine."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S66929
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gede Harsa Wardana
"Latar belakang: Komplikasi lokal dari terapi intravena termasuk infiltrasi, flebitis,tromboflebitis, hematoma dan bekuan pada jarum. Flebitis adalah pada lokasitusukan infus ditemukan tanda-tanda merah, seperti terbakar, bengkak, sakit biladitekan, ulkus sampai eksudat purulent atau mengeluarkan cairan bila ditekanFaktor resiko yang dapat mempengaruhi terjadinya flebitis yaitu faktor internal danfaktor eksternal. Dengan menggunakan skor VIP, angka kejadian flebitis di RumahSakit Umum Bali Royal dari Januari sampai dengan bulan Oktober 2017 masihtinggi yaitu berkisar antara rata ndash; rata 1,54.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yangmempengaruhi angka kejadian flebitis pada pasien yang terpasang kateter intravenadi ruang rawat inap RSU. Bali Royal.
Metode: Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitiankuantitatif dengan metode penelitian korelasi descriptif dengan pendekatan crosssectional. Untuk variabel perawatan luka tusukan dan kepatuhan perawat ruangrawat inap dalam menjalankan SPO pemasangan infus, menggunakan desain studiprospektif dimana akan dilakukan observasi terhadap perawat saat menjalankanSPO perawatan infus dan SPO pemasangan infus.
Hasil: Hasil pada penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara faktor umurpasien, penyakit penyerta, lokasi pemasangan infus, lama waktu pemasangan infusdan jenis cairan yang diberikan dengan angka kejadian flebitis di RS Bali Royaldengan nilai p 0,05.
Simpulan: Dari hasil yang didapatkan dapat dilihat bahwa masih terdapat faktorfaktoryang mempengaruhi angka kejadian flebitis di RSU Bali Royal dankedepannya akan dibuatkan dan dikembangkan SPO untuk mengendalikan faktorfaktorresiko tersebut.

Introduction: Local complications of intravenous therapy include infiltration,flebitis, thromboflebitis, hematoma, and clot on the needle. Flebitis is when at thelocation of the infusion puncture found red signs, such as burning, swelling, painwhen pressed, ulcers to purulent exudate or discharge fluid when pressed. Riskfactors that can affect the incidence rate of flebitis are internal and external factors.Using the VIP score, the flebitis incidence rate at the Bali Royal General Hospitalfrom January to October 2017 was still high, ranging from an average of 1.54.
Aim: This study aims to analyze the factors that affecting the incidence rate offlebitis in patients who installed intravenous catheters in hospital wards of BaliRoyal General Hospital.
Method: The design used in this study is a type of quantitative research withdescriptive correlation research method with cross sectional approach. For variablewound care and inpatient nurse compliance in running of operational standard ofinfusion installation, using prospective study design where will be observed tonurse while running operational standard of infusion installation and operationalstandard of infusion care.
Result: The results of this study showed an association between factors of patientages, comorbidity, infusion site location, duration of infusion and fluid type givenwith flebitis incidence rate at Bali Royal Hospital with p value 0,05. From the results obtained it can be seen that there are still factors affecting theflebitis incidence rate at Bali Royal General Hospital and in the future will be madeand developed a new operational standard to control the risk factors.
Conclusion: From the results obtained it can be seen that there are still factorsaffecting the flebitis incidence rate at Bali Royal General Hospital and in the futurewill be made and developed a new operational standard to control the risk factors.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50670
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henry Tandow
"Latar Belakang: Pemberian cairan intravena perioperatif, yang meliputi cairan prabedah dan cairan intrabedah, adalah salah satu persiapan pembedahan pada pasien anak. Akan tetapi, pemberian cairan intravena memiliki potensi menyebabkan gangguan dalam parameter-parameter laboratorium, seperti natrium darah, glukosa darah, hemoglobin, dan hematokrit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian berbagai jenis cairan perioperatif terhadap kadar natrium darah, glukosa darah, hemoglobin, dan hematokrit.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif. Subjek penelitian adalah pasien anak dengan usia kurang dari 5 tahun yang akan menjalani pembedahan kolorektal elektif dengan anestesia umum. Cairan prabedah diberikan diberikan oleh sejawat Ilmu Kesehatan Anak, sementara pemberian cairan intrabedah ditentukan oleh anestesiologis yang melakukan prosedur anestesia. Data laboratorium (hemoglobin, hematokrit, kadar glukosa darah, dan kadar natrium) diambil pada saat admisi, sebelum insisi, dan setelah pembedahan selesai.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 33 subjek penelitian. Terdapat penurunan hemoglobin, hematokrit, dan kadar natrium darah serta peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan (p <0,001) setelah pemberian cairan prabedah menggunakan larutan hipotonik dengan glukosa. Sementara itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar hemoglobin, hematokrit, dan kadar glukosa darah setelah pemberian cairan intrabedah menggunakan larutan isotonik (p >0,05). Terdapat peningkatan kadar natrium darah yang signifikan setelah pemberian cairan intrabedah (p = 0,024).
Kesimpulan: Pemberian berbagai cairan perioperatif memengaruhi kadar natrium, glukosa, hemoglobin dan hematokrit pasien anak yang menjalani pembedahan kolorektal dengan anestesia umum.

Background: Perioperative intravenous fluid administration, which includes preoperative fluids and intraoperative fluids, is one of the surgical preparations in surgical pediatric patients. However, intravenous fluid administration has the potential to cause disturbances in laboratory parameters, such as blood sodium, blood glucose, hemoglobin, and hematocrit. This study aims to determine the effect of various types of perioperative fluids on blood sodium, blood glucose, hemoglobin, and hematocrit levels.
Methods: This is a prospective cohort study. The research subjects were pediatric patients aged less than 5 years who were going to undergo elective colorectal surgeries under general anesthesia. Preoperative fluids were administered by pediatricians, while intraoperative fluid administration was determined by the anesthesiologist performing the anesthetic procedure. Laboratory data (hemoglobin, hematocrit, blood glucose level, and sodium level) were collected at the time of admission, before incision, and after surgery was completed.
Results: This study involved 33 research subjects. There was a significant decrease in hemoglobin, hematocrit, and blood sodium levels, as well as a significant increase in blood glucose levels (p < 0.001) after administration of preoperative fluids using hypotonic solutions with glucose. Meanwhile, there was no significant difference in hemoglobin, hematocrit, and blood glucose levels after administration of intraoperative fluids using isotonic solutions (p > 0.05). There was a significant increase in blood sodium levels after intraoperative fluid administration (p = 0.024).
Conclusions: Perioperative administration of various fluids affects sodium, glucose, hemoglobin and hematocrit levels in pediatric patients undergoing colorectal surgery under general anaesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yosi Dwi Wardhani
"Latar Belakang: Insersi kanul intravena adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan di rumah sakit. Insersi kanul intravena pada bayi, balita ataupun anak-anak cukup sulit karena kecilnya ukuran pembuluh darah vena dan lokasinya yang dalam di jaringan subkutis, sehingga sulit untuk diraba dan di lihat. Bagaimanapun, insersi kanul intravena pada pasien anak kadang merupakan proses yang sulit dan memakan banyak waktu. Kegagalan insersi kanul intravena banyak menyebabkan kerugian. Pada umumnya disisi pasien, kesalahan insersi kanul intravena sangatlah menyakitkan, belum lagi jika insersi diulang beberapa kali percobaan. Dari berbagai masalah yang telah dipaparkan tersebut maka ditemukan alat penampil vena atau visualisasi pembuluh darah perifer. Penelitian ini secara umum ingin mengetahui keberhasilan insersi kanul intravena satu kali tusuk dengan penampil vena meningkat lebih baik dibandingkan tanpa penampil vena.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tidak tersamar pada pasien yang akan insersi kanul intravena di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent sebanyak 88 subjek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Juni 2016 ndash; Agustus 2016. Pasien langsung dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok insersi kanul dengan penampil vena A dan kelompok insersi kanul tanpa penampil vena B , sesuai hasil randomisasi. Data yang diperoleh adalah keberhasilan insersi kanul intravena satu kali tusuk yang menggunakkan penampil vena dan tanpa penampil vena. Dengan menggunakan SPSS 20 dilakukan uji Uji Chi Square, Uji Fisher, Uji Mann-Whitney.
Hasil: Data karakteristik pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna secara statistik P>0.05 , sehinnga keduanya bisa dibandingkan. Usia memiliki hubungan terhadap insersi kanul intravena dengan nilai p 0,019.
Simpulan: Keberhasilan insersi kanul intravena sekali tusuk dengan menggunakan penampil vena lebih baik dibandingkan tanpa penampil vena.

Background Intravenous cannula insertion remains as the most common procedure done in the hospital. Intravenous cannula insertion in neonates, infants, or toddlers remain challenging due to the size of the vein and the location of the vein, which is in the subcutaneous tissue. Therefore, the vein is relatively difficult to identify. Failure to insert the intravenous cannula has some disadvantages, such as painful experience for the patience and repeated insertion. Hence, vein finder was invented to visualize the veins. This study aimed to measure the successfulness of one time intravenous cannula insertion by using vein finder in comparison to without using one.
Methods This was a arandomized clinical trial conducted in patients underwent intravenous cannula insertion in Cipto Mnagunkusumo Hospital Jakarta. Following ethical clearance, there were 88 subjects included by using consecutive sampling method during June August 2016. The samples were divided into two groups intravenous cannula insertion by using vein finder A and intravenous cannula insertion without vein finder B . Data were analyzed by using SPSS 20 with CHI Square test, Fisher test, and Mann Whitney test.
Result Demographic showed both groups did not differ significantly P 0.05 . Age was related to the intravenous cannula insertion P value 0.019.
Conclusion The one time intravenous cannula insertion by using vein finder was improved in comparison to without using vein finder."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Adriansyah
"ABSTRAK
Latar Belakang. Indometasin dan ibuprofen merupakan standar obat yang digunakan untuk menutup duktus arteriosus persisten dengan gangguan hemodinamik signifikan (hemodinamically significant patent ductus arteriosus, hs-PDA). Sediaan injeksi intravena dari kedua obat tersebut belum tersedia di Indonesia. Beberapa laporan kasus serial sebelumnya menunjukkan parasetamol intravena dapat menjadi alternatif pengobatan hs-PDA pada bayi prematur.
Tujuan. Untuk mengevaluasi efek parasetamol intravena dalam penutupan PDA pada bayi prematur.
Metode. Desain kuasi-eksperimental dilakukan mulai 15 Mei sampai 31 Agustus 2014 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kriteria diagnosis hs-PDA berdasarkan ekokardiografi dan diameter duktus diukur dari pandangan parasternal sumbu pendek atau pandangan suprasternal sumbu panjang. Bayi prematur usia 2-7 hari diberikan parasetamol intravena dosis 15 mg/kg tiap 6 jam diberikan selama 3-6 hari dan dipantau sampai usia kronologis 14 hari. Uji Fischer exact digunakan untuk menilai hubungan antara kelompok bayi dengan penutupan PDA. Uji t berpasangan digunakan untuk menilai perubahan diameter duktus antara sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian dinyatakan bermakna jika P<0,05.
Hasil. Sebanyak 29 bayi diikutsertakan dalam penelitian. Rerata usia gestasi 30,8 minggu dan berat lahir 1347 gram. Sembilan belas berhasil menutup, 1 reopening, 9 gagal menutup, dan tidak ditemukan intoksikasi hati. Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok bayi berdasarkan usia gestasi dan berat lahir dalam penutupan PDA. Rerata diameter duktus sebelum intervensi 3,0 mm dan saat pemantauan usia empatbelas hari 0,6 mm. Diameter duktus berkurang sebelum dan sesudah intervensi (P<0,0001).
Kesimpulan. Parasetamol intravena efektif dalam penutupan PDA pada bayi prematur.

ABSTRACT
Introduction. Indomethacin and ibuprofen are standard drugs for closing hemodynamically significant patent ductus arteriosus (hs-PDA) in premature babies. Intravenous injection for both drugs is not yet available in Indonesia. Some previous case series shown intravenous paracetamol can be used as an alternative treatment of hs-PDA in premature babies.
Objective. To evaluate intravenous paracetamol effect on closure of PDA in premature babies.
Methods. Quasi-experimental design was conducted from May 15th to August 31th 2014 in the Dr. Ciptomangunkusumo General Hospital. Echocardiographic diagnosis of PDA was measured from parasternal-short-axis-view or suprasternal-long-axis-view. The premature babies aged 2 to 7 days were administered intravenous paracetamol of 15 mg/kg every six hours for a-3 day cycle and followed up to chronological age of 14 days. Fischer exact test was used to assess the association between babies group and closure of PDA. Pair t test was used to evaluate duct diameter between before, after intervention, and a-14 day follow up. P<0.05 was considered as statistically significant.
Results. Twenty-nine babies were included. Mean of gestational age was 30.8 weeks and birth weight was 1347 gram. Nineteen (65.5%) cases were successfully closed, 1 case reopening, 8 cases failed, and no hepatic intoxication seen. No significant differences between babies group on closure of PDA. The mean of duct diameter before, after intervention, and a-14 day follow up were 3.0 mm, 0.9 mm, and 0.6 mm, respectively (P<0.0001).
Conclusion. Intravenous paracetamol is quite effective on closure of PDA in premature babies."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Metty Anggraeni
"ABSTRAK
Basis gigi tiruan selalu berkontak dengan mikroorganisme rongga mulut dan saliva
sehingga menjadi tempat tumbuhnya plak dan perkembangan mikroorganisme,
khususnya C.albicans. Diperlukan pembersihan yang dapat secara efektif menghambat
pertumbuhan C. albicans. Larutan pembersih gigi tiruan yang sering digunakan adalah
alkalin peroksida dan sodium hipoklorid. Masih terdapat kontradiksi mengenai
keefektifan alkalin peroksida dalam menghambat pertumbuhan C.albicans pada nilon
termoplastik. Sodium hipoklorid dengan konsentrasi yang tinggi dan waktu perendaman
yang lama akan menyebabkan kerusakan pada basis gigi tiruan. Tujuan penelitian ini
adalah menganalisis efektifitas sodium hipoklorid dengan konsentrasi yang rendah,
yaitu 0,125% dan pengaruh lama perendaman terhadap pertumbuhan C. albicans, juga
sodium hipoklorid 0,5% dan alkalin peroksida sebagai pembanding. Penelitian
eksperimental laboratorik menggunakan 24 spesimen, sebelumnya dilakukan uji
kekasaran permukaan pada sisi permukaan halus dan kasar pada masing-masing
spesimen. Kemudian dikontaminasi dengan C.albicans, direndam dalam 3 macam
larutan pembersih selama 5 menit dan 10 menit. Dibiakkan pada media Agar Sabouraud
Dextrose, diinkubasi selama 48 jam, koloni yang tumbuh dihitung dan dianalisis. Dari
hasil analisis data didapatkan bahwa nilai rerata larutan sodium hipoklorid 0,125% sama
dengan sodium hipoklorid 0,5% pada perendaman selama 5 menit (p=1,000) dan 10
menit (p=1,000). Nilai rerata sodium hipoklorid 0,125% lebih kecil dari pada nilai rerata
alkalin peroksida pada perendaman 5 menit (p=0,014) dan 10 menit (p=0,014). Dari
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa larutan sodium hipoklorid 0,125% sangat efektif
dalam menghambat pertumbuhan C.albicans pada nilon termoplastik dengan lama
perendaman 5 menit.

ABSTRACT
Due to constant contact between denture surface and oral environment, denture surfaces
usually act as a reservoir for microorganism, especially C. albicans. Proper cleaning
technique is needed to inhibit the growth of C. albicans. Soaking denture in a chemical
solution is known as the simplest and the most effective way to maintain a clean
denture. The widely used substances to soak the dentures are alkaline peroxide and
sodium hypochlorite. There have been numerous researches done on the effectiveness
of soaking solution against C. albicans, but there is some contradiction on the
effectiveness of alkaline peroxide as a denture cleanser especially for thermoplastic
nylon material. Soaking denture in high concentration of sodium hypochlorite during a
long period of time can deteriorate the texture and color of denture surface. The
purpose of this study is to analyzed the effectiveness of low concentration sodium
hypochlorite 0.125% in inhibiting the growth of C.albicans on thermoplastic nylon with
variables in soaking duration and different soaking solution such as 0.5% sodium
hypochlorite and alkaline peroxide. This is an experimental laboratory study. The study
is conducted using 24 thermoplastic nylon plate specimens with surface roughness test
conducted before the immersion procedure. The specimens were exposed to C. albicans
and soaked in 3 different cleaning solutions (0.125% sodium hypochlorite, 0.5% sodium
hypochlorite, and alkaline peroxide) for 5 minutes and 10 minutes. Afterwards, the
specimens were cultured in SDA medium and kept inside incubator for 48 hours, and
the colonies of C. albicans formed in the SDA medium were counted. Statistical
analysis showed there was no significancy mean differences between 0.125% sodium
hypochlorite with 0.5% sodium hypochlorite for 5 and 10 minutes soaking duration
(p=1.000). But there was a mean difference between 0.125% sodium hypochlorite and
alkaline peroxide, with smaller mean value in 0.125% sodium hypochlorite in both 5
and 10 minutes soaking duration (p=0.014). The result showed that 0.125% sodium
hypochlorite was the most effective solution in inhibiting the growth of C. albicans on
nylon thermoplastic in 5 minutes soaking duration."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T34997
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budianto
"Pielografi intravena (PIV) dianggap sebagai pemeriksaan awal yang terbaik pada pasien dengan kecurigaan batu ureter, tetapi belakangan ultrasonograpi (USG) telah dianggap sebagai salah satu altematif. Telah dilakukan suatu studi prospektif untuk melihat sekiranya pendekatan ini dapat dipergunakan untuk mendiagnosis batu ureter. Telah dilakukan penelitian terhadap 43 pasien dengan kecurigaan batu ureter yang dikirim ke bagian radiologi dalarn peri ode 7 bulan penelitian. Dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan USG dan PIV pada hari yang sarna. Hasilnya, berdasarkan PIV didapatkan 21 pasien dengan batu ureter, dengan USG didapat hanya satu kesalahan diagnosis. Evaluasi dengan menggunakan koefisien kappa menunjukkan terdapat keselarasan yang secara statistik sangat baik antara hasil USG dan PIV. Penulis mengambil kesimpulan bahwa USG dapat dipergunakan sebagai salah satu modalitasvaltematif tehadap PIV dalam mendiagnosis batu ureter."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T59022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Rusli
"Scope and Method of Study: Typhoid and paratyphoid fever are still a major problem in developing countries viewed from epidemiological, laboratory, as well as clinical aspects. Reliable laboratory diagnosis is the blood culture. However, failure of the blood culture occurs, due to the bactericidal effect of blood (phagocytes, complement, and specific and nonspecific antibodies, among others). Microbiologists are challenged to improve the blood culture by adding sodium polyanethol sulphonate (SPS) in the media. SPS is capable to inactivate the blood bactericidal effect, is an effective anticoagulant, non-toxic to most pathogens, stable to high temperature, acid and alkaline solutions, and is water-soluble.
The objective of this study is to compare bile culture plus 0.05% SPS to conventional bile culture for the growth of salmonella in blood. The result was evaluated by the rate of growth in both cultures after 1 minute, 4 hours and 12 hours (logarithmic phase). The number of organisms was calculated from growth on nutrient agar plates when the range-of growth were 30-300 colonies per 0.1 ml inoculum, and the dilution of both cultures.
Findings and Conclusions: Fifty isolates representing five species of salmonellae has been tested and showed that the number of organisms per ml in the SPS bile culture was not significantly different compared to conventional bile culture. In conclusion, the SPS bile culture is the same as conventional bile culture for the growth of S. typhi, S. pa-atyphi A, B, C, and S. typhimurium in blood from healthy humans, with a blood-broth ratio of 1: 10."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58503
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>