Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155883 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puri Ambar Lestari
"ABSTRAK
Pendahuluan: Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui awitan dan durasi kerja lidocaine dalam larutan one-per-mil tumescent.
Metode: Studi eksperimental dengan kontrol dan desain buta acak ganda (triple blind study) dilakukan pada 12 subjek sehat yang diinjeksikan larutan one-per-mil tumescent mengandung lidocaine 0,2% pada satu tangan atau lidocaine 2% pada tangan kontralateral. Awitan dan durasi kerja lidocaine diukur berkala dengan uji sensoris Semmes-Weinstein dan diskriminasi dua titik. Tingkat nyeri diukur dengan visual analogue scale (VAS)
Hasil: Awitan tercepat pada grup lidocaine 2% tercatat pada menit ke 1 (rentang: menit ke 1 hingga 6). Awitan rata-rata pada grup larutan one-per-mil tumescent adalah 4.67 menit (± 2.53 menit). Durasi kerja lidocaine 2% adalah 95.58 menit (± 29.82 menit), sedangkan durasi kerja larutan one-per-mil tumescent adalah 168.5 menit (± 45.1 menit) dengan uji diskriminasi dua titik dan 186.83 menit (± 44.02 menit) dengan uji sensoris Semmes-Weinstein. Terdapat perbedaan awitan dan durasi kerja yang signifikan pada kedua grup. Tidak ditemukan perubahan sensibilitas ujung jari yang signifikan pada kedua grup pada saat sebelum dan sesudah intervensi.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan awitan dan durasi kerja lidocaine dalam larutan one-per-mil tumescent adalah rata-rata 4,67 dan 168,5 menit. Lidocaine 0,2% dalam larutan one-per-mil tumescent menghasilkan awitan yang lebih lambat dan durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan dengan lidocaine 2%.

ABSTRACT
Background: We aimed to profile the onset and duration of action of the lidocaine in one-per-mil tumescent solution.
Methods: A controlled, prospective, and randomized triple blind study was conducted on both hand of 12 healthy volunteers who were injected in two consecutive days in his ring finger with either one-per-mil tumescent solution containing 0.2% lidocaine (experimental finger) in one hand or 2% lidocaine (control finger) in the contralateral hand. The onset and duration of action of lidocaine were measured over time by Semmes-Weinstein and two-point discrimination test. The level of pain was evaluated using visual analogue scale (VAS).
Results: The fastest onset of action in 2% lidocaine group was in the first minute (range, minute 1 to 6). Average onset of action of one-per-mil tumescent solution was 4.67 minutes (± 2.53 minutes). Duration of action of 2% lidocaine was 95.58 minutes (± 29.82 minutes), meanwhile the duration of one per-mil tumescent solution was 168.5 minutes (± 46.4 minutes) by 2PD test and 186.83 minutes (± 44.02 minutes) by SW test. There were significant difference of the onset and duration of action of both groups. Fingertip sensibility before and after the intervention did not change significantly in both group.
Conclusion: This study shows that the onset and duration of action of lidocaine in the one-per-mil solution injected in the finger using tumescent technique subsequently at 4.67 and 168.5 minutes in average. 0.2% lidocaine in one-per-mil tumescent solution produced slower onset and longer duration of action compared to 2% lidocaine."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jamalul Adil
"Latar belakang. Ketertarikan terhadap penggunaan analgesik tambahan nonopioid intraoperasi semakin meningkat. Salah satu obat yang mendapatkan banyak perhatian adalah penggunaan lidokain intravena. Tiroidektomi adalah prosedur bedah endokrin yang paling umum dilakukan di seluruh dunia. Pemulihan pascaanestesia umum merupakan salah satu hal yang penting untuk dinilai sebagai hasil akhir dari pelayanan anestesia dan pembedahan. Kuesioner Quality of Recovery-40 (QoR-40) merupakan alat penilaian multidimensi yang dapat diandalkan untuk mengevaluasi status pemulihan pasien pascaoperasi. Metode. Penelitian ini merupakan randomized controlled trial dengan pengambilan sampel secara consecutive sampling. Sebanyak 34 subjek yang akan menjalani operasi bedah tiroid dimasukkan ke dalam penelitian selama periode Maret – Mei 2022. Subjek penelitian akan diberikan lidokain intravena bolus 1.5 mg/kg saat induksi dilanjutkan dengan rumatan 2 mg/kg/jam hingga selesai jahit kulit (kelompok lidokain) atau diberikan NaCl 0.9% dengan volume yang sama (kelompok kontrol). Kualitas pemulihan pascaanestesia akan dinilai menggunakan kuesioner QoR-40 yang dilakukan pada praoperasi dan 24 jam pasca operasi. Hasil. Tiga puluh empat subjek, dengan 17 subjek pada tiap kelompok, mengikuti penelitian hingga selesai. Infus lidokain intravena kontinyu menghasilkan kualitas pemulihan pascaanestesia yang lebih baik pada operasi bedah tiroid sebesar 20,06 (vs kontrol 4.82, p <0,001), namun tidak signifikan secara statistik terhadap kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif yaitu 136.47 mg vs placebo 100,3 mg (p = 0.117). Tidak ada efek samping lidokain yang ditemukan selama penelitian. Simpulan. Infus lidokain intravena kontinu intraoperatif pada operasi tiroidektomi menghasilkan kualitas pemulihan yang lebih baik, diukur dengan selisih nilai QoR-40 (delta) dibandingkan dengan kelompok kontrol, namun secara statistik tidak ada perbedaan signifikan mengenai kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif antara kelompok lidokain dan kontrol.

Background. There has been a growing interest in the use of additional intraoperative non-opioid analgesics in recent years. One drug that has received a lot of attention is the use of intravenous lidocaine. Thyroidectomy is the most common endocrine surgical procedure performed worldwide. Recovery after general anesthesia is one of the important things to be assessed as the final outcome of anesthesia and surgery services. The Quality of Recovery-40 (QoR-40) questionnaire is a reliable multidimensional assessment tool to evaluate the recovery status of postoperative patients. Methods. This study is a randomized controlled trial with consecutive sampling. A total of 34 subjects who will undergo thyroid surgery were enrolled in the study during the period of March – May 2022. Subjects will be given either intravenous lidocaine bolus 1.5 mg/kg at induction followed by maintenance at 2 mg/kg/hour until skin closure (lidocaine group) or NaCl 0.9% with the same volume (control group). The quality of recovery after surgery will be assessed using the QoR-40 questionnaire conducted preoperatively and 24 hours postoperatively. Results. Thirty-four subjects, with 17 subjects in each group had completed the study. Continuous intravenous lidocaine infusion resulted in a better quality of recovery after thyroid surgery in 20.06 (vs control 4.82, p < 0.001), but not statistically significant for intraoperative fentanyl opioid requirement of 136.47 mg vs control 100.3 mg, p = 0.117. No side effects of lidocaine were found during the study. Conclusion. Continuous intravenous lidocaine infusion in thyroidectomy resulted in a better quality of recovery, measured by the difference in QoR-40 (delta) values compared to the control group, but there was no statistically significant difference in intraoperative fentanyl opioids requirement between the lidocaine and control groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Theddeus Octavianus Hari Prasetyono
"Rangkaian penelitian ini ditujukan untuk mengkaji alternatif operasi tanpa turniket melalui upaya untuk mengetahui efektivitas, keamanan, dan kemamputerapan larutan tumescent one-per-mil.
Desain penelitian merupakan penelitian eksperimental, uji acak buta ganda dan seri kasus klinis penggunaan larutan tumescent yang mengandung epinefrin 1 : 1.000.000 dan lidokain 0,2% yang dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RS Cipto Mangunkusumo selama periode Juli 2013-Desember 2017. Penelitian pada flap inguinal tikus Sprague-Dawley dilakukan untuk mengetahui kejelasan lapangan operasi, peran vasokompresi hidrostatik, dan kesintasan flap. Uji klinis dilakukan pada subjek normal melalui suntikan pada pulpa jari untuk mengetahui masa tunda optimal melalui pengukuran SpO2; serta mengenali peran vasokompresi hidrostatik. Terapan klinis operasi sadar penuh dikawal dengan uji klinis untuk mengetahui mula dan lama kerja lidokain. Kelompok seri kasus meliputi operasi tangan dan ekstremitas atas pada kelompok anak, operasi kontraktur pascaluka bakar, operasi yang melibatkan tulang dan sendi, operasi eksisi malformasi vaskular, rekonstruksi web dengan flap, serta operasi sadar penuh. Uji statistik dilakukan dengan metode Chi-square, Wilcoxon bertingkat, uji t-independen dan berpasangan, dan ANOVA. Tingkat kemaknaan ditetapkan sebagai p < 0,05.
Operasi pada flap inguinal tikus menghasilkan 63/63 lapangan operasi bebas perdarahan dengan 26/26 flap hidup walaupun diberi perlakuan iskemia sebelum disuntik. Tidak dijumpai perbedaan kesintasan flap antara teknik suntik acak dan teknik teratur. Walaupun kedua kelompok mengalami penurunan bermakna TcPO2, rerata TcPO2 pascaperlakuan iskemia kelompok tumescent lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol. Hasil uji klinis menunjukkan rerata delta SpO2 pada kelompok epinefrin lebih besar secara bermakna daripada kelompok salin normal. Epinefrin menunjukkan masa tunda optimal 13,9 (SB 5,38) menit. Mula kerja lidokain 5 (1-9) menit dengan lama kerja 186,8 (SD 44.02) menit. Seluruh operasi pada 77 subjek bedah tangan dapat dikerjakan tanpa konversi turniket. Operasi sadar penuh efektif pada 20 dari 24 kasus. Lapangan operasi bebas perdarahan dapat dicapai sebesar 38,7%, baik pada subjek dewasa maupun anak.
Epinefrin bersama-sama dengan efek vasokompresi hidrostatik efektif dalam menghasilkan lapangan operasi bebas perdarahan pada tikus. Keberhasilan hidup 100% flap yang telah diberi perlakuan iskemia sebelumnya menunjukkan keamanan larutan one-per-mil. Nilai saturasi yang menurun namun masih dalam rentang normal menunjukkan tidak terjadinya efek iskemia pada jari. Hasil studi pada tikus maupun subjek normal menunjukkan bahwa epinefrin bersama-sama dengan efek vasokompresi hidrostatik berperan dalam penurunan perfusi tanpa mengakibatkan iskemia. Masa tunda optimal efek hiperfusi selama 14 menit menjadi referensi yang relevan untuk mendukung praktik klinis masa tunggu sebelum insisi selama 7-10 menit. Selain efektif, termasuk dalam operasi sadar penuh yang berlangsung tanpa konversi turniket, hasil pengamatan teknik tumescent one-per-mil pada operasi kontraktur pascaluka bakar mematahkan paradigma bahwa operasi harus dilakukan dengan turniket. Larutan one-per-mil juga aman diterapkan pada operasi kasus pediatrik dengan tidak dijumpainya nekrosis flap maupun jari anak. Berdasarkan evaluasi luaran fungsi pada seri kasus operasi pada kontraktur luka bakar dan spaghetti wrists, teknik tumescent one-per-mil menunjukkan potensinya untuk dapat diterapkan pada kasus-kasus kompleks.
Simpulan: Larutan tumescent one-per-mil aman, efektif, dan mampu terap untuk menggantikan turniket dalam operasi bedah tangan dan ekstremitas atas. Walaupun menyebabkan hipoperfusi, larutan one-per-mil tidak menyebabkan iskemia dan kematian jari. Masa tunda optimal sebelum insisi 13,9 menit, dengan mula dan lama kerja anestesi lokal masing-masing adalah 5 dan 186,8 menit.

The study series were aimed to delineate hand and upper extremity surgery without tourniquet by studying the efficacy, safety, and applicability of the one-per-mil tumescent solution.
Studies were designed as experimental studies, randomized clinical trials and clinical case series on the use of solution containing 1 : 1,000,000 epinephrine and 0.2% lidocaine. All the studies were conducted at Faculty of Medicine Universitas Indonesia and Cipto Mangunkusumo Hospital during the periode of July 2013-December 2017. Groin flaps in Sprague-Dawley rats were elevated to study the operative field clarity, the role of hydrostatic vasocompressive effect and flap survivals. Clinical trials were performed on normal subject’s fingers to know the optimal time delay by measuring SpO2, while also to delineate the role of vasocompressive effect. The practice of fully awake hand surgery was guided by clinical study to reveal the onset and duration of anaesthetic action. Case series were including grouped surgeries for the hand and upper extremity in children, post burn hand contractures, bone and joint related problems, vascular malformation, web reconstruction using flaps, and fully awake surgeries. Statistical analysis were performed using Chi-square test, Wilcoxon sign rank test, independent and pair t-test, and ANOVA. Significance was set at p < 0.05.
Studies on animal revealed 63/63 bloodless operative fields and 26/26 flaps survived even after given ischemic insult before injection. The random pattern injection technique was not significantly different from systematic pattern technique. The epinephrine group showed significantly lower TcPO2 than control group, although both experienced significant decrease of TcPO2. The mean delta of SpO2 of the epinephrine group was significantly higher than control group in the clinical study. Epinephrine showed optimal time delay 13.9 (SD 5.38) minutes. The average onset and duration of lidocaine actions were 5 (1-9) and 186.8 (SD 44.02) minutes respectively. Surgery on 77 subjects was successfully performed without tourniquet conversion. Fully awake surgery was effective in 20 out of 24 cases. Overall, bloodless operative field was achieved in 38.7%.
Epinephrine works together with hydrostatic vasocompressive effect in creating bloodless operative field in animal tissue. The safety was proven by the fact of 100% survival rate of flaps after surviving from ischemic insult. The decrease of SpO2, which was still within normal range, is an evidence of non-ischemic fingers. Both experimental and clinical studies showed that epinephrine and hydrostatic vasocompressive effect are responsible to create hypoperfusion without causing ischemia. The 14 minutes optimal time delay is relevant to the clinical practice of 7-10 minutes waiting time before incision. Besides its efficacy, the study outcome of one-per-mil tumescent technique to facilitate surgery on burn contracture breaks the old paradigm about surgery under tourniquet. The technique is also safe to be applied in paediatric patients as it showed no evidence of flap or finger necrosis. Based on the evaluation of functional outcome, one-per-mil tumescent technique is promising to be used in complicated surgeries.
In summary, one-per-mil tumescent solution is safe, effective and clinically applicable to substitute tourniquet in surgery for the hand and upper extremity. Although causing hypoperfusion, one-per-mil solution did not cause ischemia and subsequent finger necrosis. The optimal time delay is 13.9 minutes; the onset and duration of local anaesthesia is 5 and 186.8 minutes respectively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aida Rosita Tantri
"Lidokain pada anestesia spinal dapat menimbulkan cedera saraf pasca anestesia berupa sindroma kauda equina atau neuropati lumbosakral persisten. Hipotermia ringan terapeutik adalah modalitas terapi yang dapat meningkatkan angka luaran dan kualitas hidup yang lebih baik pada pasien dengan cedera saraf. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran hipotermia ringan 35°C terhadap neurotoksisitas lidokain.
Metode
Peneiltian ini adalah penelitian eksperimental in vitro pada kultur sel neuroblastoma SH-SY5Y. Kultur sel neuroblastoma SH-SY5Y dipaparkan dengan lidokain berbagai konsentrasi pada keadaan hipotermia 35°C dan normotermia 37°C, dan dianalisis persentase viabilitas sel serta mekanisme kematian sel yang terjadi. Persentase viabilitas sel secara kuantitatif didapat dari hasil pemeriksaan MTT colorimetric assay. Image based cytometry digunakan untuk mengetahui persentase jumlah sel yang mengalami nekrosis, apoptosis dan hidup. Persentase jumlah sel dan morfologi sel yang mengalami apoptosis diamati dengan pewarnaan TUNEL. Konsentrasi Bcl-2 dan caspase 3 aktif dikuantifikasi dengan menggunakan sandwich ELISA assay.
Hasil
Lidokain mengakibatkan kematian sel yang bersifat dose dependent. Lebih dari 50% kematian sel diakibatkan oleh proses nekrosis. Persentase viabilitas sel dan konsentrasi caspase 3 aktif pada keadaan normotermia dan hipotermia tidak berbeda bermakna. Tidak dijumpai peningkatan bermakna nilai IC50 lidokain dan konsentrasi Bcl-2 pada keadaan hipotermia 35°C dibandingkan pada 37°C. Tidak dijumpai pengurangan bermakna persentase sel yang mengalami apoptosis pada keadaan hipotermia baik pada pemeriksaan image based cytometry maupun pada pewarnaan TUNEL.
Kesimpulan
Hipotermia 35°C tidak memperbaiki viabilitas dan nilai IC50 sel neuroblastoma SH-SY5Y yang diberi paparan lidokain. Hipotermia 35°C tidak menginhibisi proses apoptosis dan nekrosis pada sel neuroblastoma SH-SY5Y yang mendapat paparan lidokain. Neurotoksisitas lidokain tidak dihambat oleh hipotermia 35°C.

Lid°Caine in spinal anesthesia may cause nerve injury and has been related to increase incidence of cauda equina syndrome and persistent lumbosacral neuropathy after spinal anesthesia. Therapeutic mild hypothermia is a new treatment, which increases survival chances and quality of life in ischemic nerve injury patients. The aim of this study is to obtain information about the role of mild hypothermia (35°C) in lid°Caine-induced neurotoxicity.
Methods
In this experimental in vitro research, neuroblastoma SH-SY5Y cell culture was exposed to various lid°Caine concentrations in hypothermic 35°C and normothermic 37°C condition. Viability of cells after various concentrations of lid°Caine exposure at 37°C and 35°C was quantitatively determined by MTT colorimetric assay. Image based cytometer was also used to determine quantitatively percentage of necrotic, apoptotic and viable cells. Apoptotic cell percentage and apoptotic cell morphology was assessed with TUNEL staining. In addition, an anti apoptotic factor, Bcl-2 and apoptosis executioner active caspase 3 were assessed with sandwich ELISA assay.
Results
Lid°Caine induced cell death °Ccured in dose dependent manner. More than 50% cell death was caused by necrosis pr°Cess. Active Caspase 3 concentration and viability percentage in normothermic and hypothermic condition were not significantly different. There was no significant increase in IC50 value of lid°Caine, Bcl-2 concentration and cell viability after exposure to hypothermia 35°C compared with 37°C. There was no significant decreased in apoptotic and necrosis cells in hypothermia of 35°C compared with normothermia 37°C.
Conclusion.
Hypothermia of 35°C did not influence viability, nor inhibit apoptotic pr°Cess, nor reduce neurotoxicity induced by lid°Caine in neuroblastoma SH-SY5Y cells."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Kusumastuti
"ABSTRAK
The use of epinephrine contained tumescent solution in hand surgery, which avoid the use of tourniquet, has been widely popular, with the lowest epinephrine concentration being “one-per-mil” or 1:1,000,000. The purpose of the study is to know the characteristics of “one-per-mil” tumescent solution regarding the time delay needed to get optimal visualization of the operation field in the hand digits.
Methods
This study is a prospective, randomized, double-blind study where 12 healthy volunteers are injected simultaneously in each ring finger with either saline added with 1:1,000,000 epinephrine (study group) in one hand, or plain saline (control group) in the contralateral hand. The relative hemoglobin concentration of the underlying skin and soft tissue, which is reflected by oxygen saturation in the fingertip, was then measured over time using pulse oximetry.
Results
The lowest point of oxygen saturation in the epinephrine group was obtained at the average time of 21.7 minutes after injection. (range, 02.00 minutes to 45.37 minutes). Epinephrine injection produced significant decrease in oxygen saturation (delta = 5 points) compared to saline only. Temperature decrease in epinephrine group was also significant. Fingertip sensibility did not change significantly in both group. No side effects or complication was found.
Discussion
The optimal time delay to produce maximal vasoconstriction depicted by the lowest oxygen saturation was 21.7 minutes in average. Epinephrine in “one-per-mil” tumescent solution was effective to produce finger vasoconstriction compared to saline injection, with the same safety as the saline only injection.

ABSTRACT
Penggunaan larutan tumesen yang mengandung epinefrin untuk bedah tangan tanpa torniket telah banyak dikenal, dengan konsentrasi epinefrin terendah yang dilaporkan adalah “one-per-mil” atau 1:1,000,000. Tujuan studi ini adalah mengetahui karakteristik larutan epinefrin “one-per-mil” tersebut terutama mengenai waktu tunggu optimal untuk mendapatkan lapangan operasi yang bebas perdarahan pada jari tangan.
Metode
Penelitian ini merupakan studi prospektif, acak, tersamar ganda dimana 12 sukarelawan sehat diinjeksi pada kedua jari manisnya dengan larutan saline yang ditambah epinefrin 1:1,000,000 (kelompok studi) atau larutan saline saja (kelompok kontrol). Vasokonstriksi optimal, yang dicerminkan oleh saturasi oksigen ujung jari yang terendah, diukur kontinyu terhadap waktu dengan pulse oximeter.
Hasil
Saturasi oksigen terendah pada grup epinefrin tercatat pada rata-rata menit ke 21.7 (rentang: 02.00 menit hingga 45.37 menit). Injeksi epinefrin menghasilkan penurunan saturasi oksigen yang signifikan (delta = 5 poin) dibanding larutan saline saja. Penurunan suhu jari setelah penyuntikan epinefrin (delta = 1.3oC) juga signifikan.Tidak ditemukan perubahan sensibilitas ujung jari yang signifikan pada kedua grup. Tidak ditemukan efek samping maupun komplikasi apapun pada semua subjek.
Diskusi
Waktu tunggu yang optimal hingga mencapai vasokonstriksi maksimal yang dicerminkan oleh saturasi oksigen terendah, adalah rata-rata 21.7 menit. Epinefrin dalam larutan tumesen “one-per-mil” efektif menghasilkan vasokonstriksi jari dibandingkan injeksi saline saja; dengan kemanan yang sama dengan suntikan saline."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59139
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lissa Florencia Putri Sutrisna
"Lidokain hidroklorida (LiH) merupakan agen anestesi lokal tipe amida yang umum digunakan pada prosedur dermatologi. LiH dikategorikan sebagai BCS (biopharmaceutics classification system) kelas III, yakni memiliki kelarutan yang tinggi dan permeabilitas yang buruk. Tujuan dari penelitian ini adalah memformulasikan dan mengevaluasi sediaan dissolving microneedles (DMN) yang mengandung LiH dengan basis polimer berbeda, yaitu poli(vinil pirolidon) K30 (PVP-K30) dan asam hialuronat (AH), serta melakukan uji pelepasan obat secara in vitro dan in vivo. Evaluasi sediaan yang dilakukan adalah evaluasi fisik, karakterisasi kehilangan massa setelah pengeringan, karakteristik mekanis, simulasi penetrasi ke dalam kulit, pelarutan jarum dalam kulit, penetapan bobot teoritis, penetapan kadar menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi, dan stabilitas kimia. Kemudian, dipilih satu formula terbaik dari masing-masing kelompok polimer yang dilanjutkan dengan uji pelepasan obat secara in vitro menggunakan sel difusi Franz dan uji permeasi secara in vivo menggunakan tikus galur Sprague-Dawley. Formula terpilih berdasarkan evaluasi sediaan adalah F3 (AH 10%) dan F5 (PVP-K30 25%). Berdasarkan uji pelepasan obat secara in vitro, jumlah obat terpermeasi dan terdeposisi di dalam kulit pada F3 adalah 247,1 ± 41,85 dan 98,35 ± 12,86 µg. Sedangkan, jumlah obat terpermeasi dan terdeposisi di dalam kulit pada F5 adalah 277,7 ± 55,88 µg dan 59,46 ± 9,25 µg. Berdasarkan uji permeasi obat secara in vivo, hanya satu tikus dari kelompok polimer PVP-K30 dengan konsentrasi 150,32 ng/mL terdeteksi pada plasma tikus. Oleh karena itu, LiH dapat diformulasikan ke dalam sediaan DMN dan mampu terdeposisi ke dalam kulit dengan kadar terpermeasi obat ke dalam sirkulasi sistemik yang masih tergolong aman.

Lidocaine hydrochloride (LiH) is an amide-type local anesthetic agent commonly used in dermatological procedures. LiH is categorized as BCS (biopharmaceutical classification system) class III, which has high solubility and poor permeability. This study aimed to formulate and evaluate lidocaine hydrochloride-loaded dissolving microneedles (LiH-DMN) with different polymers bases, namely poly(vinyl pyrrolidone) K30 (PVP-K30) and hyaluronic acid (HA), as well as conducting drug release test in vitro and in vivo. The evaluations consist of physical evaluation, characterization of loss on drying, mechanical strength characteristics, penetration into the skin, in-skin dissolution, determination of theoretical drug content, determination of drug content using high performance liquid chromatography, and chemical stability. Furthermore, the best formula was selected from each polymer group, followed by in vitro drug release using Franz diffusion cells and in vivo permeation test using Sprague-Dawley rats. The formulas selected based on the evaluation were F3 (HA 10%) and F5 (PVP-K30 25%). Based on the in vitro study, the amount of drug permeated and deposited in the skin at F3 was 247.1 ± 41.85 and 98.35 ± 12.86 µg, respectively. Meanwhile, the amount of drug permeated and deposited in the skin at F5 was 277.7 ± 55.88 and 59.46 ± 9.25 µg. In vivo drug permeation study showed that only one rat from PVP-K30 polymer group with a concentration of 150.32 ng/mL was detected on rat plasma. Therefore, LiH can be formulated into DMN and able to be deposited in the skin with a safe concentration of drug permeated into the systemic circulation."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Iwan Kusuma
"Latar Belakang: Angka POST pascainsersi LMA masih tetap tinggi. Pemberian lidokain secara inhalasi akan memberikan efek analgetik dan mengurangi respon inflamasi terutama pada saluran napas dan dapat menjadi alternatif baru untuk menurunkan kekerapan POST pascainsersi LMA. Sebagai kelompok kontrol digunakan deksametason intravena.
Tujuan : Membandingkan kekerapan POST pascainsersi LMA pada pemberian inhalasi lidokain 1,5 mg/kgbb dengan deksametason 10 mg intravena sebelum pemasangan LMA.
Metode : Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar tunggal. Seratus dua puluh delapan pasien yang akan menjalani operasi mata dengan anestesia umum dan insersi LMA dibagi kedalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok inhalasi lidokain dan kelompok deksametason intravena. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun, ASA 1 atau 2, mallampati class I atau II, tidak terdapat nyeri tenggorokan sebelum operasi, posisi operasi terlentang, Bersedia menjadi peserta penelitian dan menandatangani informed consent. Inhalasi lidokain atau deksametason intravena diberikan 10 menit sebelum insersi LMA. Insersi LMA dengan cara baku, dan penilaian POST dilakukan 2 jam pascaoperasi. Data yang terkumpul akan diverifikasi dan diolah menggunakan program SPSS dengan uji analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan.
Hasil : Uji analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan dengan chi-square, kelompok inhalasi lidokain didapatkan 10,9 pasien mengalami POST pasca insersi LMA sedangkan pada kelompok deksametason intravena didapatkan 9,4 pasien mengalami POST p>0,05 . Skala nyeri kelompok inhalasi lidokain dengan nilai median 0 0-1 dan deksametason intravena dengan nilai median 0 0-3 juga tidak berbeda bermakna. Penelitian ini tidak mendapatkan adanya efek samping pada kedua kelompok.
Simpulan : Pemberian inhalasi lidokain sebanding dengan pemberian deksametason 10 mg intravena dalam mengurangi kekerapan POST pascainsersi LMA"
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frank Sapta
"Latar belakang : Hipotensi merupakan salah satu komplikasi akibat anestesia subarakhnoid pada seksio sesarea yang berpotensi membahayakan ibu dan janin. Kejadian hipotensi pada seksio sesarea dengan dosis bupivakain 8 - 12,5 mg berkisar antara 25 - 60%. Mengkombinasikan anestetika lokal dosis rendah dengan opioid lipofilik dan modifikasi posisi saat injeksi subarakhnoid mungkin dapat lebih menurunkan kejadian hipotensi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas posisi Oxford dalam menurunkan kejadian hipotensi dibanding posisi lateral dengan regimen bupivakain 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg.
Metode : Setelah lolos kaji etik dan mendapatkan persetujuan klinik 180 pasien yang akan menjalani seksio sesarea elektif dirandomisasi blok ke dalam kelompok posisi Oxford atau posisi lateral. Semua pasien mendapatkan dosis intratekal bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg. Coloading kristaloid diberikan 10 ml/ kgBB. Efedrin intravena diberikan sesuai standar. Kondisi hemodinamik dan profil blok sensorimotor dicatat. Penggunaan efedrin, efek samping dan nilai APGAR juga didokumentasikan.
Hasil : Terdapat perbedaan yang secara statistik tidak bermakna pada kejadian hipotensi diantara kedua kelompok (p=0,121). Total jumlah penggunaan efedrin intravena diantara kedua kelompok berbeda dan dapat diperbandingkan. Profil blok sensorimotor diantara kedua kelompok dapat diperbandingkan.
Kesimpulan : Modifikasi posisi Oxford pada anestesia subarakhnoid dengan dosis bupivakain 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg tidak memberikan hasil yang bermakna dalam menurunkan kejadian hipotensi.

Background : Hypotension was one of the complications of subarachnoid anesthesia in caesarean section that potentially detrimental to the mother and baby. The insidens of hypotension in caesarean section with bupivacaine 8 - 12,5 mg were between 25 and 60%. Combining low dose of local anesthetics with lipofilic opioid and modification of position during subarachnoid injection might be more in lowering the hypotension insidens. The study was conducted to prove the effectiveness of Oxford position in lowering the hypotension insidens with regimen 7,5 mg bupivacaine added with 25 mcg fentanyl.
Methods : After ethical clearance and receive informed consent 180 elective caesarean section patient were randomized into Oxford group or lateral group. All the patient were receive the same dose of intrathecal 7,5 mg 0,5% hyperbaric bupivacaine added with 25 mcg fentanyl. Coloading of 10 ml/ kgBW with cristaloid was given. Intravenous ephedrine was given according to a standard. Hemodynamic changes and sensorimotor block profile were documented. Epedhrine consumption, side effect and APGAR score were also documented.
Result : There is a difference that statistically not significant in hypotension insidens between two groups (p=0,121). The total intravenous ephedrine consumption between two groups was different and comparable. The profile of sensorimotor block between two groups could be compared.
Conclusion : Modification of Oxford position in subarachnoid anesthesia with 7,5 mg bupivacaine added with 25 mcg fentanyl was not more effective in lowering insidens of hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Prakoso Wreksoatmodjo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raymond
"Latar Belakang: Tindakan pembedahan dengan invasi minimal seperti laparoskopi abdomen seringkali menjadi modalitas terpilih dengan perkembangan teknologi. Selama pembedahan, digunakan teknik anestesi umum pada pasien. Teknik anestesi yang ideal adalah teknik yang dapat menjaga kestabilan kardiovaskular dan respirasi, mengurangi kejadial mual muntah pascabedah, serta dapat mengurangi derajat nyeri pascabedah. Namun, prosedur laparoskopi menyebabkan perubahan fisiologis akibat kondisi pneumoperitoneum yang disebabkan oleh insuflasi gas karbon dioksida selama pembedahan, yang merupakan sebuah tantangan tambahan dalam pemberian anestesi yang ideal. Maka, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas penggunaan kombinasi anestesi umum dan spinal dengan anestesi umum saja dalam pembedahan laparoskopi abdomen.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak terkendali tanpa penyamaran pada pasien laparoskopi abdomen di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemberian anestesi umum menggunakan lidokain, fentanyl, propofol, dan rocuronium. Pemberian anestesi spinal menggunakan bupivakain 10 mg. Luaran yang dinilai berupa kebutuhan opioid intraoperatif, kestabilan MAP, nyeri pascabedah, dan kejadian post-operative nausea and vomiting (PONV).
Hasil: Kombinasi anestesi umum dan spinal menyebabkan penurunan kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif (p<0.001), kestabilan MAP yang lebih baik (p<0.009), dan penurunan nyeri pascabedah secara signifikan dibandingkan kelompok anestesi umum. Tidak terdapat perbedaan signifikan dari tingkat kejadian PONV. Simpulan: Kelompok anestesi umum dan spinal menunjukan penurunan kebutuhan opioid intraoperatif dan MAP yang lebih stabil pada tindakan laparaskopi dibandingkan dengan kelompok anestesi umum.

Background: Minimally invasive surgical procedures such as laparoscopic abdominal surgery have often become the preferred modality with technological advancements. During surgery, general anesthesia techniques are employed in patients. The ideal anesthesia technique is one that can maintain cardiovascular and respiratory stability, reduce postoperative nausea and vomiting, and alleviate postoperative pain. However, laparoscopic procedures induce physiological changes due to pneumoperitoneum conditions caused by the insufflation of carbon dioxide gas during surgery, posing an additional challenge in achieving ideal anesthesia. Therefore, this study aims to compare the effectiveness of using a combination of general and spinal anesthesia with general anesthesia alone in laparoscopic abdominal surgery.
Methods: This research is a controlled randomized clinical trial without masking on patients undergoing laparoscopic abdominal surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital. General anesthesia is administered using lidocaine, fentanyl, propofol, and rocuronium, while spinal anesthesia is administered using bupivacaine. The assessed outcomes include intraoperative opioid requirements, MAP stability, postoperative pain, and the incidence of postoperative nausea and vomiting (PONV).
Results: The combination of general and spinal anesthesia resulted in a significant reduction in intraoperative fentanyl opioid requirements (p<0.001), better MAP stability (p<0.009), and a significant decrease in postoperative pain compared to the general anesthesia group. There was no significant difference in the incidence of PONV .
Conclusion: The combination of general and spinal anesthesia group showed decreased intraoperative opioid requirements and more stable in mean arterial pressure (MAP) during laparoscopic procedures compared to general anesthesia group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>