Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77766 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christine Natalia Budiharja
"A dan B membina suatu hubungan bersama yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Hasil hubungan tersebut melahirkan anak luar kawin bernama X. X lahir berdasarkan Akta Kelahiran Nomor 924/U/PROP/2000 dengan tertulis bahwa A dan B adalah orang tua darinya. X di dalam Akta Kelahiran tersebut seharusnya tertulis nama ibunya saja yaitu B. Selain itu juga ada Penetapan 07/Pdt.P/2003/PN.KTG yang menetapkan bahwa X adalah anak kandung dari A dan B. Bagaimana pengaturan anak luar kawin dan akta kelahiran menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia? mengapa terdapat akta kelahiran yang masih memerlukan penetapan dari Pengadilan Negeri?
Penulis mempergunakan metode penelitian hukum normatif didukung dengan wawancara. Data Penelitian yang diperoleh Penulis bahwa A dan B tidak pernah terikat dalam perkawinan yang sah. X adalah benar anak luar kawin Akta kelahiran X dikatakan tidak terdaftar di Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta. Penulis berpendapat seharusnya Akta Kelahiran X hanya tertulis nama ibunya saja berdasarkan Pasal 43 ayat (1) KUHPer. Masalah pembuktian kebenaran akta tersebut harus melalui suatu proses pembuktian di Pengadilan dan siapa yang mendalilkan dialah yang harus membuktikan ketidakbenaran akan isi akta tersebut. Bentuk perlindungan hukum yang bisa diberikan kepada X sebagai anak luar kawin adalah pengakuan anak. Kantor Catatan Sipil dan Pengadilan Negeri haruslah lebih teliti dalam melaksanakan ketentuan pengakuan anak luar kawin sesuai dengan yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

A and B building a relationship that not bound together in legal marriage. The result of these relationships childbearing outside marriage named X. X was born by a Birth Certificate number 924/U/PROP/2000 in writing that A and B are the parent of X. X in the birth certificate should be written B name. There was also 07/Pdt.P/2003/PN.KTG stipulate that X is the biological child of A and B. How to setup the child outside marriage and birth certificates according to the legislation in force in Indonesia? Why the certificate of birth still Required Determination from district court?
The writer use this issue using the method normatif of law analism and its support by interview. The data tell that A and B never been married in legal marriage and X is correct the children outside marriage. The certificate of birth of X not registered in civil registry office of DKI Jakarta. The writer assume that the parent of X in the certificate of birth is B base on Chapter 43 paragraph (1) KUHPer. The problem validating certificates must be proceed by court and the person who substantiate must be prove uncorrectly on the content of the certification. Form of legal protection that can be given to X as a child outside marriage is recognized endorsment. Civil registry Office and the District Court should be more careful in carrying out the provisition of recognition in accordance with the child outside of marriage that has been set in the legislation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43035
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Mulyo Yanuar
"ABSTRAK Perkawinan campuran adalah suatu perkawinan antara dua warganegara yang berbeda, dimana satu pihak warga negara Indonesia dan pihak lain warga negara asing. Calon suami istri sebelum atau pada waktu perkawinan atau suami istri setelah perkawinan, dapat membuat perjanjian kawin mengenai harta benda dalam perkawinan. Perjanjian kawin dalam perkawinan campuran, yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan mengenai harta kawin berupa hak atas tanah, tidak dapat berlaku surut terhadap hak atas tanah yang diperoleh sebelum adanya perjanjian kawin. Status hak atas tanah berupa hak milik, hak guna bangunan dan hak guna, usaha, tidak dapat dipunyai atau dimiliki oleh warga negara asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagaimana jika hak atas tanah berupa hak guna bangunan yang diperoleh selama perkawinan campuran, dilakukan pemisahan harta berdasarkan penetapan pengadilan. Dalam menjawab masalah tersebut, dipergunakan metode penelitian normatif, dengan mengkaji keabsahan perkawinan campuran,  subjek dan objek hak atas tanah dan waktu  hak atas tanah diperoleh, yaitu sejak atau sebelum  perkawinan campuran sah secara hukum. Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh sebelum perkawinan campuran sah, tetap merupakan milik pribadi masing masing suami istri, yang tidak dapat dijadikan objek pemisahan harta  Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh setelah perkawinan campuran sah, yang oleh undang-undang pokok agraria, dilarang dipunyai oleh warga negara asing melalui perkawinan campuran, tidak dapat dilakukan melalui pemisahan harta.

Kata Kunci: Harta Kawin, Perkawinan Campuran, Pemisahan Harta


ABSTRACT Mixed marriage is a marriage between two different citizens, where one party is an Indonesian citizen and the other is a foreign citizen. Prospective husband and wife before or at the time of marriage or husband and wife after marriage, can make a marriage agreement regarding property in marriage. Agreements for marriage in mixed marriages, which are made after the marriage takes place regarding the property of marriage in the form of land rights, cannot apply retroactively to the rights to land acquired prior to the marriage agreement. The status of land rights in the form of property rights, building use rights and usufructuary rights, business, cannot be owned or owned by foreign citizens either directly or indirectly. What if the land rights in the form of building usufructuary rights obtained during mixed marriages are carried out by the separation of assets based on court decisions. In answering the problem, normative research methods are used, by examining the validity of mixed marriages, the subject and object of land rights and when land rights are obtained, ie from or before a mixed marriage is legally legal. Marital assets in the form of land rights acquired before a mixed marriage are legal, still private property of each husband and wife, which cannot be the object of the separation of assets of married property in the form of land rights obtained after a legal mixed marriage, which is based on agrarian law, prohibited from being owned by foreign nationals through mixed marriages, cannot be done through the separation of property.

Keywords: Marriage Assets, Mixed Marriage, Property Separation

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51855
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Bianca Putri
"Perjanjian perkawinan itu sama dengan perjanjian pada umumnya, yaitu perjanjian antara dua orang calon suami dan istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan, serta disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Perjanjian kawin pada dasarnya berlaku dan mengikat suami dan istri sejak perkawinan berlangsung, sedangkan bagi pihak ketiga berlaku sejak perjanjian kawin tersebut didaftarkan. Daya laku dari akta perjanjian kawin yang didaftarkan setelah terjadinya perkawinan, adalah sah secara hukum, sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris yang memenuhi 4 syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan perjanjian kawin tersebut akan mengikat pihak ketiga apabila telah memenuhi unsur publisitas.

Marriage agreements are basically are the same as agreements in general, agreements between two prospective husbands and wives to regulate their personal assets made before marriage, and legalized by a marriage registrar employee. The marriage agreement basically applies and binds husband and wife since the marriage takes place, while for the third party is valid since the marriage agreement is registered. The power of the marriage agreement deed registered after the marriage is legal, as long as the agreement does not conflict with the applicable provisions, the agreement is made in the form of a notary deed that fulfills the 4 legal terms of the agreement as stipulated in Article 1320 of the Civil Code and the marriage agreement will bind a third party if it fulfil the publicity element.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53534
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, David Mangapul H.
"Tesis ini membahas mengenai penetapan beberapa penyimpangan terkait persatuan harta kekayaan yang disepakati oleh pasangan suami dan istri, yang dibuat dalam bentuk Perjanjian Kawin, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. dimana sebelum berlakunya Surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Kawin tertanggal 19 Mei 2017, Perjanjian Kawin hanya dapat dibuat sebelum dan pada saat Perkawinan, namun setelah keluarnya Surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri, Perjanjian Kawin dapat dibuat sebelum, pada saat, dan selama perkawinan berlangsung. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah mengenai Penetapan Pengadilan Tangerang Nomor 874/Pdt.P/2017/PN.Tng tertanggal 1 November 2017, yang diperlukan terkait permohonan pencatatan perkawinan yang dicatatkan saat perkawinan dilangsungkan; dan, status harta perkawinan sebelum dan setelah dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode yang digunakan dalam tesis ini adalah Yuridis-Normatif dengan tipologi penelitian deskriptif analitis. Adapun Analisa data dilakukan dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Analisa didasari pada fungsi dari Penetapan Pengadilan terkait pencatatan perjanjian kawin selama perkawinan dilangsungkan setelah dikeluarkannya Surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL dan akibat hukum yang mungkin akan terjadi dari pencatatan perjanjian kawin selama perkawinan berlangsung. Hasil penelitian adalah bahwa pada tanggal 19 Mei 2017, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil telah mengakui adanya pencatatan perjanjian kawin setelah perkawinan dilangsungkan dan tidak mensyaratkan perlunya penetapan dari Pengadilan Negeri, serta akibat hukum dari pencatatan perjanjian perkawinan seperti ini adalah dipenuhinya unsur publisitas menjadikan pihak ketiga ikut tunduk kedalam Perjanjian Kawin.

This thesis discussed the establishment of several deviations regarding wealth affiliation between husband and wife that defined in the Marriage agreement, stated in Article 29 Law No. 1 of 1974 about Marriage. Before the creation of General Director Letter of Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL) No: 472.2/5876/DUKCAPIL on the Report Registration of Marriage Agreement, dated Mei 19th, 2017, marriage agreement could only be created before or on the marriage itself, but after the release of General Director Letter Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL), marriage agreement could be created before the day, on the day and during the marriage ceremony. Therefore, the problem that specified in this thesis is about the stipulation of Tangerang District Court No. 874/Pdt.P/2017/PN.Tng dated November 1st, 2017, about the need for a plea in registering marriage that registered during the marriage ceremony and the status of marriage wealth before and after registered to Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL). To answer the problem, Juridical-Normative method is used with descriptive typology research. The data analysis method that is used is the statute approach and case approach. The analysis were based on the function of the establishment of court regarding the registration of marriage agreement during the marriage ceremony after the letter of General Director of Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL) No: 472.2/5876/DUKCAPIL is issued. And also the law consequences that might happened to the registration of the marriage agreement during the marriage ceremony. The result of this research is that on May 19th, 2017, Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL) is already admitted the registration of marriage agreement during the marriage ceremony and did not give any requirement from the national court. Also, the consequences of the marriage agreement like this are full of publicity that makes the third party should obey the Marriage Agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Permana
"Tesis ini membahas mengenai permasalahan perjanjian kawin yang tidak didaftarkan. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan salah satu bentuk "perikatan" antara seorang pria dengan seorang wanita. Perikatan tersebut diatur dalam suatu hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang dikenal dengan istilah "hukum perkawinan" yakni sebuah himpunan dari peraturan-peraturan yang mengatur dan memberi sanksi terhadap tingkah laku manusia dalam perkawinan. Pokok permasalahan dalam tesis ini adalah mengenai implikasi perjanjian kawin yang tidak didaftarkan terhadap pihak ketiga dan status kepemilikan properti milik WNI setelah perkawinan dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan melalui studi dokumen. Ketidaktahuan hukum dalam pembuatan perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung dan keterlambatan pendaftaran perjanjian kawin, akan menjadi pemicu masalah hukum bagi suami istri maupun pihak ketiga karena merasa dirugikan, dan dapat berakibat pada pembatalan perjanjian kawin. Pihak ketiga akan dirugikan apabila tidak dilakukan pendaftaran, karena perjanjian kawin tersebut dianggap hanya berlaku pada pihak suami dan istri saja, tidak berlaku terhadap pihak ketiga apabila tidak didaftarkan. Bagi calon pasangan perkawinan campuran yang akan mengadakan perjanjian kawin dalam perkawinannya, sudah sebaiknya mencari informasi baik melalui instansi pemerintah yakni pada Kantor Catatan Sipil maupun profesi hukum yang memiliki kompetensi atau pengetahuan berkaitan dengan pembuatan perjanjian kawin, seperti Notaris atau pengacara.

This thesis discusses the issue of marriage agreements that are not registered. Marriage is an inner and outer bond between a man and a woman, as a husband and wife with the aim of forming a happy and eternal family based on the One Godhead. Marriage is one form of "engagement" between a man and a woman. The engagement is regulated in a law that applies in society, known as "marriage law" which is a set of rules that regulate and sanction human behavior in marriage. The main problem in this thesis is about the implications of the marriage agreement that is not registered with the third party and the property ownership status of the Indonesian citizen after the marriage is held according to the applicable law in Indonesia. The author uses a normative juridical research method, the type of data used is secondary data collected through document studies. The ignorance of the law in making marriage agreements after marriage and the delay in the registration of marriage agreements, will be a trigger for legal problems for husband and wife and third parties because they feel disadvantaged, and can result in the cancellation of the marriage agreement. Third parties will be disadvantaged if registration is not carried out, because the marriage agreement is considered only valid on the part of husband and wife only, does not apply to third parties if not registered. For prospective mixed marriages who will enter into marriage agreements in their marriages, it is better to seek information through government agencies, namely the Civil Registry Office and the legal profession that has the competence or knowledge related to making marriage agreements, such as Notaries or lawyers."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T52210
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benedik
"Tanah adalah sumber daya alam yang dibutuhkan oleh banyak aspek dalam kehidupan. Sebagai salah satu landasan untuk terpenuhinya kebutuhan manusia, Tergugat I mengajukan penetapan menjadi pengampu dan ijin jual ke PN Ngawi dengan alasan untuk biaya hidup maupun perawatan. Kedua objek tanah tersebut termasuk merupakan harta warisan yang didapatkan oleh Endang Hariwarti melalui waris berdasatkan Surat Keterangan Waris tanggal 21-10-2013 atas nama Endang Hariwarti yang dibenarkan Kepala Desa Gelung Tanggal 21-10-2013 no. 1327/404.314.12/2013 dan dikuatkan Camat Paron tanggal 16-12-2013 no. 594.4/01.02/WRS/404.314/2013. Oleh karena itu permasalahan yang akan diteliti adalah keabsahan jual beli hak atas tanah bawaan oleh pegampu berdasarkan penetapan pengadilan dan bagaimana tanggung jawab PPAT terhadap Akta Jual Beli Tanah yang dibatalkan dalam hal tanah bawaan. Dengan demikian berdasarkan hasil analisis Penulis diketahui bahwa Majelis Hakim mengabulkan gugatan dari Penggugat I untuk membatalkan jual beli yang dilakukan Tergugat I dengan Tergugat II dan Tergugat III dan menyatakan sertipikat Hak Milik nomor 2201 dan Hak Milik 2202 berikut juga menyatakan jual beli yang dilakukan adalah cacat hukum. Peran aktif dari Balai Harta Peninggalan untuk memonitor pelaksanaan dari penetapan hakim yang meletakkan seseorang berada di bawah pengampuan.

Land is a natural resource that is needed by many aspects of life. As one of the foundations for the fulfillment of human needs, Defendant I submitted a determination to be a Curator and permission to sell to the Ngawi District Court on the grounds of living expenses and maintenance. The two land objects are inherited assets obtained by Endang Hariwarti through an inheritance based on a Certificate of Inheritance dated 21-10-2013 in the name of Endang Hariwarti which was confirmed by the Head of Gelung Village on 21-10-2013 no. 1327/404.314.12/2013 and strengthened by the Head of Paron District on 16-12-2013 no. 594.4/01.02/WRS/404.314/2013. Therefore, the problems that will be investigated are the legality of the sale and purchase of inherited land rights by the curator based on a court ruling and how Land Deed Official is responsible for the canceled Land Sale and Purchase Deed in the case of inherited land. Thus, based on the results of the author's analysis, it is known that the Panel of Judges granted the claim of Plaintiff I to cancel the sale and purchase carried out by Defendant I with Defendant I and Defendant II and Defendant III and stated that the certificate of Property Rights number 2201 and Property Rights number 2202 also stated that the sale and purchase carried out was legally flawed. The active role of the Heritage Hall is to monitor the implementation of judges' orders that place a person under interdiction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Adhisa Rivanda
"ABSTRACT
Sampai saat ini masih terdapat akta kelahiran yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, seperti pencantuman nama orang tua yang bukan nama orang tua kandungnya. Hal ini tentu saja berdampak pada kedudukan hukum anak dan hak warisnya. Akta kelahiran seperti ini dapat merugikan karena akta kelahiran merupakan akta otentik yang merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak, para ahli warisnya dan orang yang mendapatkan hak darinya, sehingga pembatalan akta kelahiran marak terjadi. Akta kelahiran merupakan akta Pencatatan Sipil yang pembatalannya harus dengan putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap. Berdasarkan hal tersebut, penulis sangat tertarik untuk meneliti bagaimana akibat hukum pembatalan akta kelahiran terhadap kedudukan anak dan hak waris. Penulis meneliti berdasarkan penetapan pengadilan untuk memecahkan permasalahan ini dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu dengan mengkaji perturan perundang-undangan. Namun, untuk memperkuat penelitian, dilakukan wawancara kepada para pakar terkait. Berdasarkan hasil penelitian, akibat hukum adanya Penetapan Nomor 67/Pdt.P/2014/PN.Gpr, anak tersebut menjadi bukan anak sah dari orang tuanya, sehingga anak tersebut tidak dapat mewaris dari orang tuanya. Sedangkan akibat hukum dari Penetapan Nomor 237/Pdt.P/2014/PN.Skt, status dan kedudukan anak dikembalikan kepada keadaan semula yaitu bukan anak Pemohon dan merupakan anak luar kawin antara ibunya dengan pacar ibunya, sehingga anak tersebut hanya mewaris dari ibunya. Hakim seharusnya lebih cermat dalam melihat kasus posisi pada kasus pembatalan akta kelahiran yang diajukan dan pemerintah harus mengeluarkan peraturan yang lebih jelas terkait pembatalan akta kelahiran karena tidak semua kasus pembatalan akta kelahiran mengandung sengketa.

ABSTRACT
There are still a lot of birth certificate that does not accord to the actual facts and written names in the parents element of birth certificate which those names are not their biological parents to the child is one of the example. This, of course, has legal consequences to the legal standing of the child and their inheritance rights. Birth certificate that is flawed like that would cause disadvantages because birth certificate is an authentic deed, that is a legal instrument for the written parties, the heirs and people who gets rights from and it is also a Civil Registry so the annulment of it must with the court decision. Based on that, author is eager to examine the legal consequences of the annulment of the birth certificate for childrens legal standing and their inheritance rights with Court Determination Number 67/Pdt.P/2014/PN.Gpr and Court Determination Number 237/Pdt.P/2014/PN.Skt as the reference by using a normative juridical research method, namely by reviewing the law and regulations. However, to strengthen research, interviews were also conducted with related experts. In Court Determination Number 67/Pdt.P/2014/PN.Gpr, the legal consquence for the children is their status become a not natural child of their parents and make them not having their inheritance rights from their parents while in Court Determination Number 237/Pdt.P/2014/PN.Skt, the legal standing of the child will be returned to their original status, that is not the child of the applicant and makes them to be a illegitimate child, so they will only inherit from their mothers only. The Judge should be more careful in looking at the case position of the annulment of the birth certificate and the government must issue rules more clearly related to the annulment of the birth certificate because not all cases of the annulment of the birth certificate contains the dispute. "
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Betrice Viosania
"Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama, sehingga pengaturan mengenai perkawinan beda agama menjadi multitafsir. Kondisi ini menjadi dasar isu dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. Para Pemohon yang memiliki perbedaan agama memohon agar perkawinan mereka dapat disahkan oleh Pengadilan. Atas dasar tersebut, dalam tulisan ini akan menganalisis mengenai (1) pengaturan mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, dan (2) kesesuaian pertimbangan hakim dengan peraturan perundang-undangan dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022 Pn Mak yang mengabulkan perkawinan beda agama. Untuk menjawab permasalahan yang ada, digunakan metode penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa (1) perkawinan beda agama berdasarkan peraturan di Indonesia diserahkan kembali kepada ajaran agama masing-masing calon mempelai. Dimana perkawinan beda agama tidaklah dibenarkan, sebab tidak sesuai dengan hukum dan ajaran agama-agama yang berlaku di Indonesia. Sehingga, suatu perkawinan beda agama dianggap tidak sah dan batal demi hukum. (2) berdasarkan hasil analisis dari sumber perundang-undangan yang ada, keputusan Hakim dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. yang mengabulkan permohonan perkawinan beda agama tidaklah tepat. Sebab perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum agama, sehingga seharusnya tidak dapat dicatatkan oleh lembaga negara.

Essentially, marriage law in Indonesia does not specifically regulate the marriage of couples of different religions. Thus, the regulation for interfaith marriage is multi-interpretation. This condition became the basis in Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. The Plaintiffs, who have different religions, requested that their marriage be legalized by the Court. On this basis, this paper will analyze (1) the regulation of marriage between different religions in Indonesia, and (2) the suitability of the judge's consideration with the laws and regulations in the Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022 Pn Mak which granted the interfaith marriage. To answer the existing problem, a normative juridical research method is used. The research of this study results that (1) Indonesian regulations for interfaith marriages are consigned back to the religious teachings of each prospective bride and groom. A marriage between different religions is not justified because it is not according to the laws and teachings of the religions that apply in Indonesia. Therefore, interfaith marriage is considered unauthorized and void in the sake of law. (2) based on the results of the analysis of existing statutory sources, the Judge's decision in the Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. which granted the application for interfaith marriage was not legitimate, because interfaith marriage is not valid according to the religious law. Thus, it should not have been recorded by state."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriana
"Ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa selama belum ditetapkannya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka pengusaha dan pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Adapun kewajiban yang dimaksud meliputi upah yang diberikan selama proses pemutusan hubungan kerja (upah proses). Namun, ketentuan ini dianggap belum memberikan kepastian hukum, sehingga Mahkamah Konstitusi RI memberikan penafsiran melalui Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011, bahwa upah proses tetap diberikan kepada pekerja hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pasca dijatuhkannya putusan tersebut, Mahkamah Agung RI mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015 pada tanggal 29 Desember 2015 yang bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI, karena membatasi pemberian upah proses selama 6 (enam) bulan saja. Dengan adanya ketidakharmonisan dalam ketentuan upah proses ini telah mengakibatkan penafsiran yang keliru pada hakim dalam menjatuhkan putusannya. Sebagaimana yang diputuskan dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 346/PDT.SUS-PHI.G/2018/PN.JKT.PST, Majelis Hakim telah menjatuhkan hukuman upah proses sebanyak 2 (dua) bulan upah dengan pertimbangan pekerja tidak melaksanakan pekerjaannya selama proses pemutusan hubungan kerja. Atas hal tersebut, perlu dilakukan penelitian dengan metode penelitian deskriptif yang memberikan gambaran umum mengenai penetapan upah bagi pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaan selama proses pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan penelitian ini, maka Negara perlu membentuk undang-undang yang jelas mengenai pemberian upah proses bagi pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaannya, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi hakim dalam menjatuhkan putusannya, dan memberikan keadilan bagi pekerja.

Article 155 paragraph (2) of the Law of Republic of Indonesia Number 13 of 2003 on Manpower regulates that as long as the decision of institute for the settlement of industrial relation disputes has not determined, employer and employee must keep on performing their obligations. The intended obligations include wages given during the employment termination process (process wages). However, this provision is considered not to provide legal certainty, thus the Constitutional Court provides an interpretation through the Decision Number 37/PUU-IX/2011 on 19 September 2011, that process wages is still given to employee until a decision has its permanent legal force (inkracht van gewijsde). After that, the Supreme Court then issued a Circular Letter Number 3 of 2015 on 29 December 2015 which contradicted the Decision of the Constitutional Court, because it limited the payment of process wages for 6 (six) months. With the disharmony in the regulations, it has resulted the mistaken interpretation of the judge in ruling the decision. As decided in the Industrial Relations Court Decision at the District Court of Central Jakarta Number 346/PDT.SUS-PHI.G/2018/PN.JKT. PST, the Panel of Judges has sentenced the employer to pay the process wage in the amount of 2 (two) months, with the consideration that employee does not carry out the work during the employment termination process. For this reason, research needs to be done with descriptive methods that provides an overview of the determination of wages for employee who does not carry out work during the employment termination process. Based on this research, the State needs to form a clear regulation regarding the provision of process wages for employee who does not carry out their work, thus it does not cause a different interpretation for the judge in ruling the decision, and provide a justice for employee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriel Michael Tirayo
"Perkawinan yang dilangsungkan secara agama tanpa dicatatkan, hanya akan berstatus sebagai perkawinan di bawah tangan, namun diberikan kesempatan bagi mereka untuk mengajukan pengesahan perkawinan untuk memperoleh keabsahan status perkawinannya. Namun pada kasus tertentu, pengesahan perkawinan tersebut malah akan menimbulkan akibat hukum terhadap para pihak sebagaimana dalam Penetapan nomor 52/Pdt.P/2020/PN.Pms. Penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai akibat hukum terkait pengesahan perkawinan di bawah tangan yang timbul dalam pelaksanaan pertimbangan hakim pada penetapan tersebut serta upaya hukumnya. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa hakim telah memberikan solusi hukum yang baik dan tepat pada penetapan tersebut, yaitu untuk mengesahkan perkawinan terlebih dahulu kemudian mengajukan gugatan perceraian. Namun pengesahan perkawinan tersebut justru malah akan menimbulkan akibat hukum yang merugikan para pihak dikarenakan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan adanya beberapa upaya hukum dalam rangka menghindari atau mencegah agar akibat-akibat hukum tersebut tidak timbul. Upaya hukum ini tidak hanya memerlukan peran para pihak yang terlibat dalam perkawinan tersebut, tetapi juga melibatkan peran para praktisi hukum seperti hakim dan notaris, sehingga nantinya pengesahan perkawinan dapat terlaksana tanpa menimbulkan akibat hukum dan memenuhi tujuan hukum bagi para pihak.

Marriages that are held religiously without being registered will only have the status of an underhand marriage, but there is an opportunity for them to apply for marriage legalization to obtain the validity of their marital status. However, in certain cases, the legalization of the marriage will have legal consequences for the parties as stated in the determination number 52/Pdt.P/2020/PN.Pms. This research raises the issue of the legal consequences related to the legalization of underhanded marriages that arise in the implementation of the judge's considerations on the determination number 52/Pdt.P/2020/PN.Pms as well as the legal. The research method used is normative juridical using secondary data through literature study. This research obtained the results that the judge had provided a good and appropriate legal solution to the determination number 52/Pdt.P/2020/PN.Pms, which is to legalize the marriage first and then file a divorce suit. However, the legalization of the marriage will actually cause legal consequences to the parties because they will violate the applicable laws and regulations. Therefore, it is necessary to have several legal remedies in order to avoid or prevent these legal consequences from arising. This legal effort not only requires the role of the parties involved in the marriage, but also involves the role of legal practitioners such as judges and notaries, so that later the ratification of the marriage can be carried out without causing legal consequences and fulfilling the legal objectives for the parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>