Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161386 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andri Anggraeni Wibawaningsasi
"Penggunaan sudut ANB dan Wits di klinik sebagai metode pengukuran diplasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior adakalanya memberikan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya pengaruh antara lain variasi posisi Nasion dan kemiringan garis oklusi. Dengan dasar pemikiran bahwa pemakaian lebih dari dua parameter akan memberikan hasil yang lebih baik dan lebih jelas, maka sudut SGn AB yang diperkenalkan oleh Sarhan, dipakai sebagai alat bantu mendiagnosa hubungan mandibula dan maksila ke kranium dalam jurusan anteroposterior.
Penelitian yang merupakan suatu studi awal ini dilakukan pada pasien dewasa yang datang ke klinik ortodontik FKGUI dari bulan Januari 1990 sampai dengan bulan Desember 1993. Tujuannya membuktikan bahwa parameter SGn AB bersama-sama metode sudut ANB dan Wits dapat dipergunakan untuk identifikasi adanya displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior secara lebih baik.
Subjek yang diteliti berupa 70 sefalogram yang terdiri dari 45 wanita dan 25 pria berusia 19-25 tahun, bangsa Indonesia, belum pernah mendapat perawatan ortodontik. Dari setiap subjek diukur sudut SNA, sudut SNB, sudut ANB, sudut SGn AB dan Wits.
Untuk mendapatkan klsifikasi maloklusi, sudut ANB diukur memakai ukuran Steiner yaitu 2° dengan SD ± 2°. Sudut SGn AB diukur menurut norma ukuran Sarhan dan Wits diukur sesuai ukuran Jacobson yaitu 0 mm dengan SD ± 1 mm. Dilakukan pengelompokan klasifikasi maloklusi antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.Kemudian dilihat tingkat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan sudut ANB, serta antara sudut SGn AB dan Wits.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits sebesar 24.2 %, dengan kelompok klasifikasi maloklusi yang berbeda sebesar 17 sampel. Pengukuran memakai sudut SGn AB menghasilkan koreksi sudut ANB sebesar 11 sampel, Wits sebesar 6 sampel. Ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB sebesar 14 %, dan ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan Wits sebesar 10 %.Terlihat bahwa ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits adalah lebih besar dari pada ketidakselarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.
Secara umum dapat disimpulkan posisi nilai sudut SGn AB yang terletak ditengah-tengah sudut ANB dan Wits, menunjukkan bahwa sudut SGn AB dapat digunakan untuk mengoreksi sudut ANB dan Wits secara seimbang. Dengan dernikian sudut SGn AB dapat digunakan sebagai alat bantu yang menunjang keakuratan pengukuran displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior, disamping metode sudut ANB dan Wits."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1994
T10027
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Henri Winangun
"ABSTRAK
Perikoronitis merupakan salah satu komplikasi dari adanya gigi molar tiga bawah yang impaksi. Keadaan ini dapat berkembang menjadi infeksi yang berbahaya, bahkan fatal. Literatur mengatakan bahwa kejadian ini akibat adanya suatu trauma dari gigi antagonisnya, yang menyebabkan masuknya kuman ke dalam jaringan sehingga menimbulkan radang / infeksi. Kejadian tersebut dapat terjadi pada berbagai klasifikasi impaksi, berkaitan juga dengan faktor umur, jenis kelamin, dan kebersihan mulut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kejadian ini pada gigi molar 3 bawah impaksi sebagian sehubungan dengan ada atau tidaknya trauma gigi antagonisnya.
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional, pada semua pasien perikoronitis yang datang di poliklinik gigi RSCM, dari bulan Pebruari sampai dengan Juli 1994. Pasien pasien tersebut diperiksa dan dicatat pada form khusus penelitian, dalam kelompok umur, jenis kelamin, kebersihan mulut dan kiasifikasi impaksi.
Hasil penelitian menunjukkan ditemukan 67 pasien perikoronitis, dengan ratio laki-laki: perempuan = 2:3. Trauma akibat gigi antagonis sebanyak 48 kasus {72%) dari seluruh kasus perikoronitis. Jumlah kasus tertinggi terjadi pada kelompok umur 20 - 29 tahun, dengan kebersihan mulut sedang. Menurut klasifikasi gigi impaksinya menunjukkan bahwa pada kelas I dan II relatif hampir sama banyaknya, pada posisi A jauh lebih banyak dari pada posisi B, dan sumbu terbanyak adalah vertikal. Tetapi dilihat dari ada atau tidaknya trauma gigi antagonis maka belum dapat disimpulkan secara hubungan kausal terhadap kejadian perikoronitis. Kesimpulan yang dapat diambil adalah memang cukup banyak ditemukan kasus perikoronitis dengan trauma gigi antagonis."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Ratna Karaton
"Pada mukosa mulut dapat ditemukan lebih kurang 200 macam penyakit yang secara klinik memberikan gambaran yang hampir serupa satu sama lain, sehingga para klinisi memerlukan suatu informasi yang rasional untuk menetapkan diagnosisnya. Salah satu alternatif ialah dengan menggunakan teknik sitologi eksfoliatif. Penelitian ini bertujuan mempelajari berbagai gambaran sitologik dari lesi erosif/ulseratif mukosa mulut dengan harapan dapat menunjang diagnosis klinik. Bahan pemeriksaan berupa komponen epitel yang berasal dari kerokan mukosa mulut yang terlihat sebagai mukosa erosif/ulseratif yang diambil dari pasien-pasien yang datang ke klinik penyakit mulut.
RSCM/FKGUI dan prosedur laboratorik dilakukan di laboratorium sitologi RSCM/FKUI yaitu mewarnai sediaan dengan pewarnaan Papanicolaou. Sediaan yang diperiksa serta dipelajari adalah berbagai gambaran sitologik lesi erasif/ulseratif dengan menggunakan mikroskop cahaya. Dari 30 penderita dengan lesi erosif/ulseratif pada mukosa mulutnya di diagnosis sebagai stomatitis aftosa rekuren 9 kasus, 4 infeksi Herpes simplek, l infeksi Herpes zoster, 2 ulkus traumatika, 5 lichen planus erosif, 1 eritroplakia, 1 benign mucous membrane pemphigoid, 5 kandidiasis dan 2 karsinoma sel skwamosa .Pemeriksaan sitologik yang dilakukan pada lesi-lesi tersebut dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis klinik menemukan penyakit yang tidak terdiagnosis secara klinik, dapat memperkirakan faktor predisposisi timbulnya suatu penyakit dan berguna sebagai alat observasi lesi-lesi praganas. Pada infeksi virus Herpes, gambaran sitologik berupa marginasi kromatin, ballooning degeneration` dan sel raksasa berinti banyak dapat membantu menegakkan diagnosis penyakit, disamping adanya badan inklusi intranuklear yang kadang-kadang ditemukan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1993
T3422
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi S. Soebekti
"ABSTRAK
Memilih ukuran gigi anterior atas dalam pembuatan Gigi Tiruan Penuh, memerlukan ketrampilan tersendiri.
Pada penelitian ini dicari tanda-tanda anatomik di wajah yang mungkin dapat digunakan sebagai pedoman dalam menentukan ukuran gigi anterior atas. Tanda-tanda anatomik yang digunakan adalah ukuran lebar sayap hidung dan ukuran lebar Sudut mulut.
Sampel yang digunakan adalah mahasiswa FKG UI keturunan Deutero Melayu, serta memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
Hasil yang didapat menunjukkan adanya hubungan antara ukuran lebar gigi anterior atas dengan ukuran lebar sayap hidung, dan ukuran lebar sudut mulut.
Selain itu hasil pengamatan menunjukkan bahwa ukuran lebar sayap hidung mahasiswa FKG UI keturunan Deutero Melayu lebih lebar dari ukuran lebar sayap hidung mahasiswa FKG di Inggris dan populasi di Colorado. Sedang ukuran gigi anterior atas tidak menunjukkan adanya perbedaan. Sehingga pedoman yang umumnya digunakan dalam pembuatan gigi tiruan, khususnya Gigi Tiruan Penuh, bahwa garis yang ditarik dari tepi sayap hidung sejajar dengan garis tengah muka, akan melalui puncak tonjol kaninus atas, belum sepenuhnya dapat diterapkan."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1990
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Ninik Tridjaja
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Rahardjo
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
PGB 0583
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Latief Nitiprodjo
"Seberapa besar efek adrenalin yang terdapat pada obat anestesi lokal dalam konsentrasi 1:80.000 dan 1:200.000 terhadap denyut jantung dan tekanan darah belum begitu jelas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar efek kedua macam obat tersebut terhadap denyut jantung dan tekanan darah. Tiga puluh dua pasien sehat, dengan usia antara 20-40 tahun, dengan indikasi ekstraksi lebih dari satu gigi di rahang atas, merupakan subyek penelitian ini. Pada kesempatan pertama ekstraksi gigi dilakukan dengan menggunakan anestesi lokal yang mengandung adrenalin 1:80.000 dan seminggu kemudian ekstraksi gigi dilakukan dengan menggunakan anestesi lokal yang mengandung adrenalin 1:200.000. Pengamatan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, dilakukan pada saat sebelum dilakukan penyuntikan obat anestesi lokal, kemudian berturut-turut 5 menit, 10 menit, 15 menit, pada saat ekstraksi, 5 menit, 10 menit, dan 15 menit setelah ekstraksi gigi. Hasil penelitian menunjukkan adrenalin pada konsentrasi 1:80.000 sedikit meningkatkan frekuensi nadi, dan meningkatkan tekanan darah, meskipun secara statistik tidak berbeda bermakna (t=1,28 p<0,05, dan t=0,18 p<0,05). Rata-rata selisih perubahan frekuensi nadi, tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang disebabkan oleh kedua macam obat tersebut secara statistik berbeda bermakna pada 5 menit, 10 menit dan 15 menit setelah penyuntikan. Sedangkan pada saat ekstraksi gigi, kemudian 5 menit,10 menit, dan 15 menitsetelah ekstraksi gigi berbeda tidak bermakna, kecuali untuk tekanan diastolik masih terdapat perbedaan yang bermakna."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Hidayat
"ABSTRAK
Impacted mandibular molars often caused by locking of the adjacent teeth, lack of space and many other reasons. Surgical extraction used to be the first choice in treating the severely impacted molars. In this article, firstly a horizontally impacted mandibular first molar and a mandibular second molar were diagnosed radiographically. By surgical crown exposure, combined with elastic traction, the teeth can be pulled occlusally into proper position. However, a thorough observation to control the position of the impacted molars during traction is still necessary."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Widurini Djohari
"BASTRAK
Kerusakan gigi molar satu rahang atas frekuensinya Cukup tinggi dan sering disertai kelainan pulpa. Perawatan saluran akar pada gigi ini memerlukan keterampilan yang ditunjang oleh pengetahuan anatomi dan morfologi a.l. panjang gigi, bentuk penampang saluran akar, jumlah akar, jumlah saluran akar, dan letak orifis. Dalam perawatannya sering dijumpai kesulitan menentukan letak apeks, karena pedoman ukuran yang ada berdasarkan ukuran gigi orang Amerika atau Eropa. Belum ada pedoman yang berdasarkan ukuran gigi orang Indonesia.
Dari sampel 50 gigi molar satu atas yang dicabut dari klinik gigi di Jakarta, diukur panjang gigi dari masing-masing apeks akar Palatal, Mesio Bukal, Disto Pukal ke bidang oklusal dengan mikrometer. Dihitung jumlah akar, jumlah saluran akar, dan dicatat bentuk penampang saluran akar 5 mm dari apeks, dan konfigurasi letak oriifis.
Dari hasil pengukuran diperoleh panjang gigi rata-rata dari apeks akar palatal 19,47 mm, dari apeks akar mesio bukal 19,14 mm dari apeks akar disto bukal 18,41 mm. Dari hasil pengamatan, semua gigi mempunyai tiga akar, dan diperoleh lebih banyak gigi dengan tiga saluran akar (98 %). Dari gambaran konfigurasi letak orifis diperoleh bentuk "7" (60 %),lebih banyak dibanding bentuk "Y" (16 %) dan bentuk "T" (18 7.). Dari pengamatan bentuk penampang saluran akar, terbanyak diperoleh bentuk bulat pada akar disto bukal (82 7.), dan bentuk Blips pada akar palatal (36 %). Selain itu diperoleh pula bentuk ginjal pada akar disto bukal (4%), dan bentuk pipih pada akar mesio bukal (14 %).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vani Natasha
"Kebocoran mikro resin komposit proksimal seringkali terjadi pada dinding gingiva. Tujuan studi ini mengevaluasi efek komposit flowable sebagai lapisan antara untuk mengurangi kebocoran mikro pada dinding ginigva. Metode: 30 gigi premolar RA dipreparasi berbentuk boks, restorasi dilakukan pada kelompok 1 dengan resin komposit packable saja (kontrol). Kelompok 2 dengan RK flowable sebagai lapisan antara, setebal 1 mm dan komposit packable di atasnya. Kelompok 3, seperti kelompok 2 namun RK flowable sebagai lapisan antara setebal 2 mm. Setelah dilakukan siklus termal, kebocoran mikro diukur dari penetrasi zat warna metilen biru 1%. Analisis statistik dengan uji Kolmogorov-smirnov. Hasil: Kebocoran mikro pada kelompok 1 berbeda bermakna dengan kelompok 2 dan 3. Namun tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok 2 dan 3 (p<0.05). Kesimpulan : Tingkat kebocoran mikro dinding gingiva paling sedikit pada restorasi RK proksimal dengan aplikasi RK flowable pengganti dentin setebal 1 mm namun, ketebalannya tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat kebocoran mikro secara statistik.

Microleakage of composite restoration in proximal often occurs on gingival wall. The purpose of this study is to evaluate the influence of flowable composite as intermediate layer to reduce microleakage on gingival wall. Materials and Method: Thirty whole-extracted upper premolars were devided into 3 groups. Within a box-like cavities, the first group is restored with packable composite only. Group 2 were restored with flowable composite with 1 mm thickness then restored with incrementally packable composite. Group 3 were restored like group two with flowable composite thickness were 2mm. After thermocycling, the penetration of 1% methylene blue was investigated along the gingival wall. The data were analyzed with Kolmogorov-smirnov test. Results: There were significant difference between group 1 with group 2 and 3. No significant difference found between Group 2 and Group 3. Conclusion: Flowable composite as intermediate layer has influence in reducing the microleakage of gingival wall on proximal composite restoration. Nonetheless the thickness of flowable composite has no influence."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>