Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10762 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan ultra petita adalah: (a) alasan filosofis dalam rangka menegakkan keadilan substantif dan keadilan konstitusional sebagaimana terkandung dalam UUD NRI 1945, (b) alasan teoritis berkaitan dengan kewenangan hakim untuk menggali, menemukan dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, apabila hukumnya tidak ada atau hukumnya tidak memadai lagi (usang), dan (c) alasan yuridis terkait dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 45 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa MK sebagai penyelenggara peradilan bertujuan menegakkan hukum dan keadilan sesuai alat bukti dan keyakinan hakim. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita pada dasarnya dapat diterima, sepanjang terkait dengan pokok permohonan dan mendasarkan pada pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis (yakni mengandung nilai-nilai keadilan, moral, etika, agama, asas, doktrin). Wewenang membuat putusan yang bersifat ultra petita bagi Mahkamah Konstitusi dapat saja diberikan apabila terjadi kekaburan norma hukum (vague normen) melalui metode penafsiran hukum, atau bilamana terjadi kekosongan hukum (rechts-vacuum) melalui metode penciptaan hukum (rechtschepping). Namun mengingat penafsiran hukum maupun penciptaan hukum bersifat sangat subyektif, maka dalam rangka mencegah terjadinya menyalahgunaan kekuasaan, kewenangan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan ultra petita, seharusnya dibatasi oleh prinsip–prinsip negara hukum demokratis, prinsip-prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Sifat putusan mahkamah konstitusi (MK) yang final sering dipersoalkan. Problemnya antara lain ketika para pencari keadilan meraskan adanya ketidakadilan Putusan MK. Tidak ada lain yang dapat dilakukan kecuali menerima dan melaksanakan Putusan tersebut. Kendati keadilannya dibelenggu dan dipasung oleh Putusan MK, para pencari keadilan, khususnya Pemohon tidak punya pilihan lain. Pada titik ini, persoalan pada aspek keadilan pada sifat final Putusan MK dijumpai, khususnya keadilan bagi pencari keadilan. Tulisan ini menegaskan tidak adanya persoalan pada aspek keadilan dalam sifat final Putusan MK manakala Para Pihak menyadari dan memahami sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu (1) sifat final dilekatkan pada hakikat kedudukan Konstitusi sebagai hukum tertinggi sehingga tidak ada hukum lain yang lebih tinggi darinya merupakan upaya untuk menjaga wibawa peradilan konstutusional dan kepastian hukum yang adil; (2) sifat final putusan MK merupakan upaya untuk menjaga wibawa peradilan konstitusional sehingga berbeda dengan peradilan umum; dan (3) kemungkinan Putusan MK salah tetap ada mengingat hakim konstitusi adalah manusia biasa, namun tidak ada alternatif yang lebih baik menggantikan sifat final putusan MK"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
JK 11:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Najoan, Lucille P.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S25812
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wisnu Aryo Dewanto
Surabaya: Citramedia, 2005
341 WIS m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Malang: Setara Press, 2014
342.02 YUR
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Naufal Fileindi
"Wujud dari perhatian masyarakat dunia terhadap kejahatan internasional adalah dibentuknya berbagai macam pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku kejahatan-kejahatan yang menjadi perhatian dunia. Mahkamah Pidana Internasional menjadi pengadilan pidana permanen pertama dunia dengan yurisdiksi terhadap genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi. Mahkamah memerlukan sebuah mekanisme agar dapat menjalankan kewenangannya. Karena berasal dari sebuah perjanjian internasional, Mahkamah memiliki batasan-batasan dalam menjalankan kewenangannya. Karena kewenangan Mahkamah hanya dapat dijalankan terhadap negaranegara yang meratifikasi Statuta Roma, Kewenangan Mahkamah terhadap Negara non-Pihak menjadi pertanyaan. Kemauan dari negara untuk bekerja sama dengan Mahkamah menjadi faktor yang penting bagi aplikasi kewenangan Mahkamah. Perlu mekanisme alternatif bagi Mahkamah untuk memastikan negara-negara bekerja sama dengan Mahkamah.

The epitome of the international community?s attention towards international crimes is forming an international court that tries individuals responsible for committing crimes that are of the deepest concern for international community. The International Criminal Court is the world?s first permanent criminal international court with jurisdiction over crimes of genocide, war crimes, crimes against humanity, and crimes of aggression. The Court needs some kind of trigger mechanism in order for it to exercise its authority. Since it is formed by an international treaty, the Court?s authority is limited only to those regulations stipulated inside the Statute. Hence, the Court has its statutory limitations. The Court can only exercise its authority with States that have ratified the Statute, hence its authority towards non-State Parties is questioned. States? willingness to co-operate is utmost important for the Court to exercise its authority. There should be alternative means in order to ensure States to co-operate conducted by the Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1826
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gatot Efrianto
"ICC adalah sebuah pengadilan independen permanen yang bertujuan untuk menuntut individu yang melakukan kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, yaitu seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. ICC didirikan pada tanggal 1 Juli 2002 dan bermarkas di kota Den Haag, Belanda. ICC adalah pengadilan terakhir di mana ICC tidak akan bertindak jika kasus telah atau sedang diselidiki atau dituntut oleh sistem peradilan nasional kecuali proses nasional tersebut tidak adil, misalnya jika proses formal dilakukan semata-mata untuk melindungi seseorang dari tanggung jawab pidana. Jadi, salah satu tujuan didirikannya ICC adalah untuk membantu mengakhiri kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Selain itu, ICC hanya mencoba mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan yang paling parah. Dalam setiap kegiatan, ICC mengamati standar tertinggi keadilan dan proses pengadilan. Yurisdiksi dan fungsi ICC diatur oleh Statuta Roma yang merupakan hasil konferensi internasional di Roma pada Juni 1998 (diadopsi 17 Juli 1998). Banyak kalangan menilai bahwa proses keikutsertaan (ratifikasi) Indonesia ke Statuta Roma (yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional) berjalan sangat lambat. Meskipun saat ini terdapat 119 negara yang telah menjadi Negara Pihak pada Statuta Roma, proses ratifikasi oleh Indonesia masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang direncanakan Pemerintah. Untuk itu, Penulis memandang perlu untuk menyampaikan beberapa sumbangan pemikiran yang diharapkan dapat mendorong proses ratifikasi tersebut. Sejalan dengan maksud tersebut, tulisan ini akan diawali dengan pembahasan secara ringkas manfaat dan urgensi ratifikasi Statuta Roma. Selanjutnya, tulisan ini juga akan secara khusus menganalisa beberapa mispersepsi (kesalahpahaman) yang selama ini menurut Penulis telah menghambat dan menjadi kendala proses ratifikasi di Indonesia. Kemudian di bagian akhir, selain memberikan beberapa kesimpulan, tulisan ini juga akan menyampaikan beberapa saran yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah guna mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma."
[Place of publication not identified]: The Ary Suta Center Series on Strategic Management, 2015
330 ASCSM 29 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>