Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90959 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Penguasaan Malaka oleh Bangsa Portugis pada tahun 1511 mernbuka pintu gerbang penyebaran pengaruh Portugis di Nusantara. Bangsa Portugis awalnya melakukan perluasan dalam usaha untuk penyebaran agama dan mencari rempah-rempah untuk menguasai perdagangan dan perekonomian dunia. Dalam perjalanannya menelusuri lautan dan menyinggahi bandar-bandar perdagangan bangsa Ponugis senantiasa menyebarkan pengaruhnya terhadap budaya-budaya masyarakat Iokal. Di nusantara peninggalan Bangsa Poxtugis sangat terlihat di Indonesia Bagian Timur, peninggaIan-peninggalan ini baik berupa peninggalan fisik (Benteng Penahanan), bahasa, dan tradisi (yang berbau keagamaan). Tulisan ini dengan menggunakan pendekatan sejarah berusaha untuk menelusuri keberadaan dari peninggalan-peninggalan bangsa Portugis baik yang berupa peninggalan fisik, bahasa, maupun tradisi keagamaan yang sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat di Larantuka (Flores Timur). Peninggalan pengaruh Portugis ini banyak yang menjadi bagian atau unsur-unsur kebudayaan dari masyarakat Larantuka di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur."
JPSNT 20:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Suku bangsa Lamaholot merupakan suku bangsa yang mendiami wilayah Flores secara umum dan salah satu wilayah yang didiami secara dominan adalah Larantuka. Suku Bangsa Lamaholot ini memiliki ciri budaya tersendiri yang membedakannya dengan suku bangsa-suku bangsa lain di daerah lainnya di Indonesia. Unsur budaya suku bangsa Lamahoiot ini sendiri terbentuk dari beragam unsur budaya yang ada di Indonesia, diantaranya unsur budaya Melayu, budaya Bajo, budaya Jawa, budaya Portugis, dan lain sebagainya. Unsur- unsur budaya ini membaur dalam kesatuan dan membentuk budaya Lamaholot yang sangat kuat berakar dalam masyarakat Lamaholot di Larantuka. Dalam penelitian ini dengan menggunakan pendekatan antropologi dan menggunakan metode penelitian kualitatif akan diusahakan untuk mengungkap wujud budaya Suku Lamaholot di Larantuka Flores Timur, dan untuk mengetahui kebertahanan unsur-unsur kebudayaan Suku Lamaholot di era globalisasi,"
JPSNT 20:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Larantuka merupakan wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Flores Timur yang merukan kota dari Kabupaten Flores Timur. Kecamatan Larantuka merupakan Kecamatan yang terdapat di pinggir pantai dengan pemandangan alam yang cukup indah. Di samping alam pantai yang indah Larantuka juga merupakan wilayah yang terdapat di kaki sebuan gunung yang disebut dengan Gunung Ile Mandiri. Lingkungan alam yang terdapat di Kabupaten Flores Timur dengan kotanya Larantuka memiliki daya tarik yang luar biasa, terutama pada saat Perayaan Pekan Suci Samana Santa yang dilaksanakan setiap tahunnya dengan suasana yang sangat ramai dengan kedatangan para peziarah yang datang dari seluruh wilayah yang ada di Indonesiarnaupun dari manca negara. Dengan adanya kegiatan budaya tersebut menyebabkan Larantuka terkenal di
seluruh dunia."
JPSNT 20:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Nilai merupakan inti dari setiap kebudayaan. Nilai-nilal moral adalah sarana pengaruh dari kehidupan bersama, sangat menentukan dalam setiap kebudayaan. Terlebih lagi di tengah kemerosotan moral bangsa kita, sehingga dibutuhkan bangkitnya kembali upaya pelestarian dan pendidikan karakter yang menekankan pada dimensi etis religius. Sejalan dengan hal tersebut, Larantuka sebagai ibu kota Flores Timur yang kini juga telah berhadapan dengan zaman modern yang serba terbuka, dapat mempertahankan nilai-nilai moral adat-istiadat dengan dimulai dari tingkat keluarga untuk menghindari kekosongan moral, kemudian di tingkat pergaulan muda-mudi untuk menghindari hllangnya pegangan dan keteladan dalam meniru kelakuan-kelakuan etis, dan terakhir pergaulan di tingkat masyarakat adat demi lestari dan bangkitnya kembali nilai-nilai etik yang kini terkesan mulai diterlantarkan."
JPSNT 20:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Pradjoko
"Disertasi ini menunjukkan dinamika politik lokal di Kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor dan Timor Barat sebagai akibat dari kebijakan politik kolonial Belanda antara 1851-1915. Fokus kajian disertasi ini adalah menganalisis sikap Kerajaan Larantuka terhadap kebijakan politik kolonial Belanda, Misi Katolik Belanda, penduduk negeri pegunungan, dan kerajaan lokal sekitarnya.Kerajaan Larantuka yang dipimpin oleh raja-rajanya melakukan strategi politik sekutu dan seteru dalam mempertahankan kedaulatannya menghadapi kekuatan-kekuatan yang mengancamnya. Selama Abad ke-17 hingga abad ke-18, Kerajaan Larantuka bersekutu dengan Portugis dan para Kapiten Mayor dari keluarga Portugis Hitam, keluarga da Hornay dan da Costa untuk menghadapi kekuatan Belanda VOC dan Kerajaan Muslim Lima Pantai Solor Watan Lema. Pada abad ke-19, Kerajaan Larantuka dipaksa menerima hasil perjanjian Portugal dan Belanda yang dimulai sejak 1851 dan disetujui pada 20 April 1859. Perjanjian tersebut berisi penyerahan wilayah Flores dan Kepulauan Solor-Alor kepada Belanda. Sejak saat itu, Kerajaan Larantuka menjadi kerajaan bawahan Pemerintah Hindia Belanda. Belanda kemudian mengikat kontrak dengan Kerajaan Larantuka pada 28 Juni 1861, namun Korte Verklaring tersebut masih memberikan keleluasaan Kerajaan Larantuka untuk menjalankan pemerintahan secara otonom/zelfbesturende.Raja-raja Larantuka sejak 1851 melakukan perubahan strategi politik sekutu dan seterunya sebagai upaya tetap mempertahankan kedaulatannya. Perubahan kebijakan politik sekutu dan seteru yang dilakukan oleh Kerajaan Larantuka itu berbeda dengan periode pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Kerajaan Larantuka pada periode 1851-1915, menjalankan politik sekutu dan seterunya dengan tidak menetap. Kerajaan Larantuka bersekutu dengan penguasa lokal Belanda, dengan meminta bantuan Residen Timor dan daerah Taklukannya untuk menghadapi seterunya, yaitu Kerajaan Lima Pantai. Kebijakan bersekutu dengan Belanda juga dilakukan oleh Kerajaan Larantuka ketika menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya di pegunungan yang mengancam wilayah inti kerajaan di sekitar Larantuka. Dalam beberapa kasus yang lain Kerajaan Larantuka justru bersekutu dengan Kerajaan Muslim Lima Pantai untuk menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya sendiri, di Solor dan Adonara. Dalam menghadapi kebijakan politik kolonial Belanda yang menjadi seteru karena masalah intervensi Residen dan pejabat sipil Belanda di Larantuka, Raja Larantuka bersekutu dan bekerjasama dengan pihak misi Katolik Belanda di Larantuka, meskipun dalam kasus lain Raja dan pihak misi Katolik berseteru terutama tentang masalah poligami raja dan perilaku raja yang masih menjalankan kepercayaan-kepercayaan nenek moyang yang dianggap lsquo;kafir rsquo; oleh misi Katolik Larantuka. Secara umum persekutuan antara raja Larantuka dan para pastor Katolik Belanda pada akhirnya menunjukkan persekutuan yang lsquo;abadi rsquo; sampai diasingkannya Raja Don Lorenzo II DVG pada tahun 1904, yang dianggap membangkang terhadap kebijakan kolonial Belanda. Strategi sekutu dan seteru juga dipengaruhi oleh mitos konflik Demon-Paji, konflik dua bersaudara di jaman dahulu akibat bermacam sebab, tetapi terutama karena konflik memperebutkan istri, sehingga muncul istilah ldquo;Perang Tikar Bantal rdquo;. Demon menurunkan penduduk Kerajaan Larantuka yang beragama Katolik sedangkan Paji menurunkan penduduk Kerajaan Lima Pantai yang beragama Islam. Kedaulatan kerajaan-kerajaan di kawasan Flores dan Kepulauan Solor berakhir dengan adanya penataan wilayah yang dilakukan Belanda dengan mengintegrasikannya ke dalam Keresidenan Timor dan daerah Taklukannya pada tahun 1915.

The dissertation discusses the dynamic of local politics in East Flores region, Solor Islands and West Timor as a result of Dutch Colonial political policies between 1851 1915. The focus of dissertation is to analyze the response of Larantuka Kingdom about the policy of Dutch colonial politics, Dutch Catholic Mission, the people of Mountain country and surrounding local kingdom.The Kingdom of Larantuka that led by several kings conducted allied and enemy political strategy to defense the kingdom in fighting againts other powers that threatened their sovereignty. During the 17th until 18th century, the Kingdom of Larantuka allied with Portuguese and a couple of local commanders from black Portuguese family, da Hornay and da Costa to fight againts the VOC and Kingdom of Lima Pantai Solor Watan Lema. In 19th century, Kingdom of Larantuka was forced to accept the result of Portuguese and Dutch agreement which was started since 1851 and was ratified on April 20, 1859. The agreement was about the transfer of Flores region and Solor Alor Islands from Portuguese to the Dutch. Since the ratification of the agreement, the Kingdom of Larantuka became one of Dutch colonial government conquered areas. Subsequently, the colonial government binded a political contract with the Kingdom of Larantuka on June 28, 1861, however, the contract or Korte Verklaring still provided discretion to the kingdom to run autonomous administration or zelfbesturende. Since 1851, the Kings of Larantuka Kingdom conducted some changes of their allied and enemy political strategy as efforts to maintain the kingdom sovereignty. The change of the strategy was different with the policies which were taken by the kingdom in 17th and 18th centuries. During 1851 1915, the Kingdom of Larantuka applied temporary allied and enemy political strategy. The Kingdom of Larantuka allied with local Dutch rulers and asked for Resident of Timor and with their conqured areas to fight againts their enemies, Kingdoms of Lima Pantai. The allied policy with the Dutch was also conducted with the Kingdom of Larantuka when they overcame the rebellion of their vassals in mountain that threatened the center of the kingdom area around Larantuka. However, later in some cases, precisely the Kingdom of Larantuka allied with Kingdoms of Lima Pantai to fight against the rebellion of their vassals in Solor and Adonara. To response the Dutch colonial political policies that became the enemy because of Resident and Dutch civil officers intervention in Larantuka, the King of Larantuka allied and cooperated with Dutch Catholic Mission party in Larantuka although in other case the king and Catholic Mission had different opinion especially about the king poligamy and the king behavior who still practised their achestor beliefs that were considered lsquo heathen rsquo by Larantuka Catholic Mission. In general, the ally between the King of Larantuka and Dutch Catholic priests finally showed forever ally until the excile of the King Don Lorenzo II DVG in 1904 who was considered to resist to Dutch colonial policy. The strategy of allied and enemy was also influenced by myth of Demon Paji conflict. The conflict was about the two brothers in ancient time because of various causes, especially the rivalry to get wife that rose the term of lsquo the war of sleeping met and pillow rsquo. Demon desecended Catholic people of Larantuka Kingdom and Paji descended Islamic people of the Lima Pantai Kingdoms. The sovereignty of kingdoms in Flores region and Solor Islands came to end with the existence of the region structuring that was conducted by the Dutch colonial government by integrating the areas into the Residency of Timor and its conqured areas in 1915.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2355
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paramita R. Abdurachman
Jakarta: LIPI, 2008
959.803 PAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Paramita R. Abdurachman
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008
946.9 PAR b (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Badriyah Haji Salleh
Malaysia: Utusan publications dan distributors Sdn Bhd, 2009
R 338.959 5 BAD j (1)
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Emilianus Yakob Sese Tolo
"Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan persoalan kemiskinan di Flores dari perspektif
ekonomi politik. Melalui penelitian kualitatif dengan tinjauan kepustakaan, tulisan
ini berargumen bahwa kemiskinan di Flores disebabkan oleh akumulasi melalui
perampasan yang berkaitan dengan tiga hal pokok, yakni sejarah penjajahan yang
panjang, ketimpangan agraria, dan depolitisasi massa rakyat. Penjajahan yang panjang
telah menyebabkan perubahan struktur pemerintahan dan agraria demi akumulasi
melalui perampasan. Ketimpangan agraria mempermudah proses akumulasi melalui
perampasan. Dengan hanya mengandalkan perlawanan spontan yang tak terorganisasi,
proses akumulasi melalui perampasan tak terbendung dan terus mengeskalasi hingga
saat ini.
This article aims to explain the poverty in Flores by using a political economy
perspective. Through qualitative research method by literature review, this article argues
that poverty in the region is caused by the accumulation by dispossession through
three main areas, namely the long colonial history, agrarian inequality, and the depoliticization
of the masses. The long history of colonization has led to the change of
the system of administration and the agrarian structure for the sake of the accumulation
by dispossession. The agrarian inequalities facilitate the process of accumulation by
dispossession. Just by relying on unorganized spontaneous resistances, the accumulation
by dispossession is unstoppable and keeps escalating until today."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Depri Yanra
"Penelitian ini dilakukan untuk memberikan data penunjang dalam pembangunan jembatan mengenai persebaran litologi bawah permukaan, Jenis litologi yang berpotensi sebagai lapisan batuan keras (bedrock), dan kedalaman bedrock di Kecamatan Larantuka. Terdapat 7 lintasan pengukuran menggunakan alat geolistrik ARES multi channel. Metode resistivitas digunakan untuk identifikasi jenis litologi batuan. Pengambilan data bor pada lintasan A1 dilakukan untuk mengetahui jenis litologi batuan sekaligus memperoleh data Standard Penetration Test (SPT). Data bor pada lintasan A1 digunakan sebagai acuan interpretasi litologi batuan untuk semua lintasan. Adapun lapisan bawah permukaan yang teridentifikasi dari hasil pemboran, yaitu batuan lanau basah hingga lanau pasiran sebagai lapisan penutup, lanau pasiran kompak adalah lapisan dibawah lapisan penutup dengan kekerasannya berubah menjadi lebih kompak dan nilai SPT naik lebih dari 40, dan lapisan paling bawah adalah lempung pasiran dengan kondisi litologi menjadi lebih keras dan sangat kompak serta nilai SPT diatas 80. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan metode inversi dua dimensi dan pemodelan tiga dimensi dengan data hasil gridding. Berdasarkan hasil pengolahan, Tanah keras atau bedrock pada lokasi penelitian adalah lempung pasiran karena memiliki susunan yang kompak, nilai SPT diatas 80, dan ketebalan yang cukup tebal berkisar ±20-30 meter merupakan lapisan ketiga atau paling bawah dari interpretasi penampang litologi dengan nilai resistivitas diatas 150 Ωm.

This research was conducted to provide supporting data for the construction of bridges regarding the distribution of subsurface lithology, types of lithology that have the potential to act as hard rock layers (bedrock), and depth of bedrock in Larantuka. There are 7 measurement paths using the ARES multi-channel geoelectric. The resistivity method is used to identify rock lithology types based on resistivity values. Drill data collection on line A1 was carried out to determine the type of rock lithology as well as to obtain Standard Penetration Test (SPT). Drill data on line A1 is used as a reference for rock lithology interpretation for all line. The subsurface layer identified from the drilling results, namely wet silt rock to sandy silt as a cover layer, compact sandy silt is the layer below the cover layer with its hardness changing to become more compact and the SPT value rises to more than 40, and the bottom layer is sandy clay. with lithology conditions becoming harder and very compact and SPT values above 80. Data processing in this study was carried out using the two-dimensional inversion method and three-dimensional modeling with gridding data. Based on the processing results, the hard soil or bedrock at the study site is sandy clay because it has a compact structure, the SPT value is above 80, and the thickness is quite thick ranging from ±20 - 30 meters, which is the third layer or the lowest layer from the interpretation of the lithology cross-section with a resistivity value of above 150 Ωm."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>