Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123310 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Pendahuluan: Blok perifer yang digunakan saat pasien teranestesi akan mengurangi kebutuhan anestesia dan analgesia selama pembedahan. Berkurangnya pemakaian opioid intraoperatif juga akan mengurangi morbiditas pascaoperatif yang berkaitan dengan opioid. Tujuan: Penelitian dilakukan untuk mengetahui peran Blok Pleksus Servikal Superfisialis (BPSS) dalam mengurangi konsumsi fentanil intraoperatif, menstabilkan hemodinamik intraoperatif, dan mempercepat waktu pulih pada timpanomastoidektomi dalam anestesia umum. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal yang dilakukan di RSCM selama bulan September-November 2013 pada 32 pasien usia 19-65 tahun, ASA I-III dengan berat badan 35-80 kg yang dibagi menjadi dua kelompok. Hasil: Pada kelompok BPSS, dilakukan BPSS sebelum induksi menggunakan bupivakain 0,5%, sedangkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan. Anestesia dipertahankan dengan FGF 0,8-1,6 lpm, compress air: O2 (konsentrasi 40%); isofluran ±1 MAC dan atrakurium 0,25 mg/kgBB setiap 30 menit untuk menjaga nilai BIS 45-60. Fentanil diberikan setiap ada peningkatan tekanan darah sistolik atau frekuensi nadi ≥20% dari nilai 5 menit sebelumnya. Saat 30 menit sebelum operasi selesai diberikan parasetamol 1 gram iv dan ondansetron 4 mg iv. Rerata konsumsi fentanil intraoperatif, tekanan darah sistolik, dan frekuensi nadi kelompok BPSS lebih rendah dan bermakna secara statistik dibandingkan kelompok kontrol: 150 mcg vs 262,5 mcg, p<0,001; 104 (90-112) vs 120 (110-130), p<0,001 dan 68 (62-86) vs 80 (68-100), p<0,001. Kesimpulan: Pemberian blok pleksus servikal superfisialis sebelum induksi mengurangi konsumsi fentanil intraoperatif, menekan respon hemodinamik terhadap insisi kulit, dan mempercepat waktu pulih pada timpanomastoidektomi dalam anestesia umum."
ORLI 45:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Evelin Margaretha
"Latar belakang : Blok perifer yang digunakan saat pasien teranestesi akan mengurangi kebutuhan anestesia dan analgesia selama pembedahan, dan mengurangi kebutuhan opioid sebagai analgetik pasca operatif. Berkurangnya pemakaian opioid intraoperatif akan mengurangi morbiditas pasca operatif yang berkaitan dengan opioid. Penelitian dilakukan untuk mengetahui peran BPSS menggunakan bupivakain 0,5% dalam mengurangi konsumsi fentanil intraoperatif, stabilitas hemodinamik intraoperatif, dan kecepatan waktu pulih pada timpanomastoidektomi dalam anestesia umum.
Metode : Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal pada 32 pasien usia 19-65 tahun, ASA I-III dengan berat badan 35-80 kg, yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok BPSS dan kelompok kontrol. Pada kelompok BPSS dilakukan BPSS sebelum induksi menggunakan bupivakain 0,5%. Pada kelompok kontrol dilakukan anestesia umum tanpa BPSS. Anestesia dipertahankan dengan FGF 0,8-1,6 lpm, compress air:O2 (konsentrasi O2 40%); isofluran ± 1 MAC dan atrakurium 0,25 mg/kgBB setiap 30 menit untuk menjaga nilai BIS 45-60. Fentanil diberikan setiap ada peningkatan tekanan darah sistolik atau frekuensi nadi ≥ 20% dari nilai 5 menit sebelumnya. 30 menit sebelum operasi selesai diberikan parasetamol 1 gram iv dan ondansetron 4 mg iv.
Hasil : Dari hasil penelitian didapatkan median konsumsi fentanil intraoperatif kelompok BPSS lebih rendah bermakna secara statistik dibandingkan kelompok kontrol {(150 mcg vs 262,5 mcg), p<0,001)}. Perbedaan median TDS antara kelompok BPSS dan kelompok kontrol bermakna secara statistik psaat insisi { 104 (90-112) vs 120 (110-130), p<0,001}, dan median frekuensi nadi kelompok BPSS lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol {68 (62-86) vs 80 (68-100); p<0,001}.
Simpulan : BPSS menggunakan bupivakain 0,5% sebelum induksi mengurangi konsumsi fentanil intraoperatif, menekan respon hemodinamik terhadap insisi kulit, dan mempercepat waktu pulih.

Background : The peripheral nerve block which is used in combination with general anesthesia will reduce anesthesia and analgesia requirement intraoperatively. The reduction in opioid consumption will reduce pasca operative morbidity which is related to opioid. The aim of this study was to assess the role of superficial cervical plexus block (SCPB) using bupivakain 0,5% before induction in reducing fentanyl consumption, stabilized intraoperative hemodynamic, and reach early emergence in tympanomastoidectomy under general anesthesia.
Methods : The design of this study is single blind randomized clinical trial. The study was done to 32 consenting ASA I-III patients, 13-65 years old, with body weight 35-85 kg which were randomized to be SCPB group and control group. SCPB was done in block SCPB before induction using bupivacaine 0,5%. General anesthesia without SCPB was done in control group. Anesthesia was maintained with FGF 0,8-1,6 lpm, compress air:O2 with O2 consentration 40%, isoflurane ± 1 MAC, and atracurium 0,5 mg/kgBW every 30 minutes to keep BIS level 45-60. Fentanyl intermittent was given intraoperative due to 20% increased in SBP or heart rate from the data 5 minutes earlier. Paracetamol 1 g iv and ondansetron 4 mg iv were given 30 minutes before the end of the surgery.
Results : During surgery the median fentanyl consumption were significantly reduced in SCPB group compared with control group {(150 mcg vs 262,5 mcg), p<0,001)}, and during skin incision, the median SBP and the median heart rate were significantly reduced in SCPB group compared with control group { 104 (90-112) vs 120 (110-130), p<0,001} and {68 (62-86) vs 80 (68-100); p<0,001}. The median emergence time were also significantly reduced in SCPB group compared with control group {(10 minutes vs 20 minutes), p<0,001)}.
Conclusion : SCBP using bupivacaine 0,5% before induction reduced the fentanyl consumption intraoperative, more stabilized hemodynamic in response to skin incision and provided more rapid awakening.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sandhi Prabowo
"LATAR BELAKANG: Anestesia umum yang merupakan teknik standar pembiusan pada timpanomastoidektomi memiliki beberapa kelemahan. Nyeri post operatif dan efek samping mual-muntah (Post Operative Nausea Vomiting (PONV)) yang kerap terjadi pada operasi ini dapat meningkatkan morbiditas pasca operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penambahan blok pleksus servikal superfisialis dengan bupivakain 0.5% sebagai analgesia postoperatif pada timpanomastoidektomi.
METODE : Tiga puluh dua pasien yang akan menjalani timpanomastoidektomi dibagi secara acak menjadi dua kelompok dengan jumlah yang sama. Kelompok pertama (Grup BPSS+IV-PCT, n=16) menerima blok pleksus servikal superfisialis sebelum induksi. Kelompok kedua (Grup IV-PCT, n=16) tidak menerima blok pleksus servikal superfisialis. Sebelum operasi berakhir, kedua grup diberikan paracetamol 1 gram intravena (IV). Setelah ekstubasi, di ruang pemulihan dipasang Patient Controlled Analgesia (PCA) yang dipertahankan selama 24 jam di ruang perawatan dihitung sejak operasi dimulai. PCA berisi fentanil, dengan pengaturan demand dose (bolus) 1mcg/kgBB. Waktu pertama kali pasien menekan tombol PCA (T1), total fentanil PCA yang digunakan (mcg/kgBB), dan insidens PONV dicatat.
HASIL: Permintaan analgesia pertama pada Grup BPSS+IV-PCT lebih lama (1437.5 ± 10 minutes) dibandingkan dengan Grup IV-PCT (1310.63 ± 268.49 minutes). Pemakaian fentanil total pada Grup BPSS+IV-PCT lebih sedikit (0.06 ± 0.25mcg/kg) dibandingkan dengan Grup IV-PCT (0.31 ± 0.48 mcg/kg). Namun dari perhitungan statistik menunjukkan hampir tetapi tidak berhasil mencapai nilai p yang dianggap signifikan (p=0.056 and p=0.086). Di lain pihak insidens PONV menurun secara signifikan pada Grup BPSS+IV-PCT (P<0.001).
KESIMPULAN : Blok pleksus servikal superfisialis dengan bupivakain 0.5% sebagai analgesia postoperatif tidak lebih efektif bila dibandingkan dengan anestesia umum tanpa penambahan blok pada timpanomastoidektomi. Anestesia umum yang dikombinasi dengan blok pleksus servikal superfisialis secara signifikan berhasil menurunkan insidens PONV pada timpanomastoidektomi.

BACKGROUND: General anesthesia as a standard technique of anesthesia on tympanomastoidectomy has some disadvantages. Postoperative pain and side effects of nausea-vomiting (Post Operative Nausea Vomiting (PONV)) that often occurs in this operation may increase postoperative morbidity and length of treatment in the ward. This study aims to determine the effectiveness of the addition of the superficial cervical plexus block with 0.5% bupivacaine as post operative analgesia in tympanomastoidectomy.
METHOD: Thirty two randomly selected patients presenting for elective tympanomastoidectomy were divided equally into two groups to receive either a cervical superficial plexus block with bupivacaine 0.5% (Group BPSS+IV-PCT, n=16) or general anesthesia alone without block (Group IV-PCT, n=16) as a control. Before surgery was ended, both group received paracetamol 1 gram intravenous (IV). After extubation in the recovery room, Patient Controlled Analgesia (PCA) was installed for 24 hours counted since the surgery was started. PCA was contained with fentanyl, with setting of demand dose (bolus) 1mcg/kgBW. First time analgesia request (T1), total fentanyl PCA consumption (mcg/kgBW), and PONV incidence were recorded.
RESULTS: First time analgesia request was longer (1437.5 ± 10 minutes) in Group BPSS+IV-PCT compared with Group IV-PCT (1310.63 ± 268.49 minutes). Total fentanyl PCA consumption was lower in Group BPSS+IV-PCT (0.06 ± 0.25mcg/kg) compared with Group IV-PCT (0.31 ± 0.48 mcg/kg). However, they approaches but fails to achieve a customary level of statistical significance (p=0.056 and p=0.086). In the other hand PONV incidence decreased significantly (P<0.01) in group BPSS+IV-PCT.
CONCLUSION: Cervical superficial plexus block with bupivacaine 0.5% as post operative analgesia was not more effective than general anesthesia alone without block in tympanomastoidectomy. General anesthesia combined with cervical superficial plexus block significantly resulted in less PONV compared with general anesthesia alone for tympanomastoidectomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Garditya,author
"Anestesia umum dengan intubasi endotrakeal menggunakan pipa endotrakeal sering digunakan untuk memberikan ventilasi tekanan positif dan mencegah aspirasi. Namun, penggunaan alat ini dapat menimbulkan komplikasi atau keluhan pasca bedah seperti nyeri tenggorok. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan keefektifan profilaksis deksametason intravena dengan triamsinolon asetonid topikal dalam mengurangi nyeri tenggorok pasca bedah.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis prospektif yang diacak dan tersamar ganda. Sebanyak 121 pasien yang dijadwalkan menjalani pembedahan dalam anestesia umum menggunakan pipa endotrakeal dimasukkan ke dalam dua kelompok secara acak; Grup A 61 orang dan grup B 60 orang. Sebelum induksi, pasien dalam grup A diberikan 10 mg deksametason intravena dan pasta plasebo dioleskan pada kaf pipa endotrakeal. Pasien dalam grup B diberikan 2 mL NaCl 0,9% dan pasta triamsinolon asetonid dioleskan pada kaf pipa endotrakeal. Skor nyeri tenggorok pasca bedah dievaluasi 3 kali; sesaat setelah pembedahan berakhir, 2 jam pasca bedah dan 24 jam pasca bedah. Insidens dan derajat nyeri tenggorok pasca bedah dicatat.
Hasil: Tidak didapatkan perbedaan bermakna di kedua kelompok pada insidens nyeri tenggorok pasca bedah sesaat setelah pembedahan berakhir (27,9% pada kelompok A dan 18,3% pada kelompok B, p = 0,214). Derajat nyeri tenggorok pasca bedah tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok.
Simpulan: Triamsinolon asetonid topikal memiliki keefektifan yang sama dengan profilaksis deksametason intravena dalam mengurangi insidens nyeri tenggorok pasca bedah.

Tracheal intubation for general anesthesia is often used to give positive-pressure ventilation and prevent aspiration during anesthesia. However, the use of this airway device can cause complications and complains about postoperative sore throat (POST). This study was undertaken to compare the effectiveness of prophylactic intravenous dexamethasone to triamcinolone acetonide paste in reducing POST.
Methods : This was a prospective, randomized, double-blind clinical trial. A total of 121 patients scheduled for surgery under general anesthesia using endotracheal tube were randomly allocated into two groups; 61 (group A) and 60 (group B). Before induction, group A receives 10 mg of intravenous dexamethasone and placebo paste applied over the endotracheal tube cuff. Group B receives 2mL of intravenous normal saline and triamcinolone acetonide paste applied over the endotracheal tube cuff. POST scores were evaluated 3 times; immediately after the operation, 2-hours, and 24-hours after the operation. The incidence and severity of POST were recorded.
Results: There were no significant differences in the incidence of POST immediately after the operation between the two groups (27,9 % in group A vs 18,3% in group B, p = 0,214).The severity scores of POST were not significantly different between the two groups.
Conclusion: Topical triamcinolone acetonide was equally effective compared to prophylactic intravenous dexamethasone in reducing the incidence of POST."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006
617.96 BAR c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dobson, Michael B. author
Jakarta: EGC, 1994
617.96 DOB at
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006
617.96 CLI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Prakoso Wreksoatmodjo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhardi Muhiman
Jakarta: UI-Press, 1990
PGB 0239
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Made Wahyuni
"Latar belakang : Rasa kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi tindakan medis atau operasi pada anak lebih besar dibandingkan pada orang dewasa. Sebaiknya saat anak masuk masuk kamar bedah sudah diberikan obat premedikasi. Premedikasi melalui tetes hidung mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan melalui jalur lainnya. Obat premedikasi yang umum diberikan melalui fetes hidung adalah midazolam dan ketamin.
Metode : Penelitian ini dilakukan pada 30 subyek penelitian yang akan menjalani tindakan medis elektif, ASA I atau II dengan uji klinis tersamar ganda. Subyek penelitian dibagi dua kelompok ; Kelompok Midazoiam yaitu premedikasi tetes hidung midazolam dosis 0,2 mglkgbb dan kelompok Ketamin yaitu premedikasi tetes hidung ketamin dosis 4 mglkgbb. Dilihat dan dicatat skor tingkat sedasi dan kecemasan awal sebelum diberikan premedikasi, dan 20 menit setelah diberikan premedikasi. Efek samping pasta premedikasi juga dilihat dan dicatat.
Hasil : Tingkat sedasi yang efektif didapatkan pada 86,7% anak pada kelompok midazolam, sedangkan hanya 46,7% yang mencapai tingkat sedasi efektif pada kelompok ketamin, dengan p>0,005. Berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif dicapai oleh 93,3% anak dari kelompok yang mendapat midazolam, dibandingkan dengan kelompok ketamin yang hanya menunjukkan berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif pada 46,7% anak, dengan p<0,05. Efek samping yang terjadi adalah hipersalivasi yang terjadi pada 3 anak yang mendapat ketamin, dan muntah pada 1 anak dari kelompok ketamin.
Kesimpulan : Premedikasi tetes hidung midazolam menunjukkan tingkat sedasi dan mengurangi kecemasan yang lebih baik dibandingkan dengan ketamin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>