Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160831 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Penelitian ini berupaya menyelidiki ingatan sejarah Indonesia dan figur pemimpin pada etnis mayoritas pribumi Jawa dan etnis bukan pribumi Tionghoa. Di dalam proses sejarahnya, Indonesia telah membentuk konstruksi sosial atas dua perbedaan identitas (pribumi dan bukan pribumi) yang dapat menciptakan sentimen negatif pemimpin yang berbeda. Saat kebijakan berbau diskriminasi dicabut pasca tahun 2002, toleransi dan interaksi antar kelompok tersebut meningkat. Diduga interaksi itu turut mempengaruhi pola ingatan akan sejarah keindonesiaan dan figur pemimpin. Guna membuktikan argumen tersebut, etnis Jawa sebagai perwakilan identitas pribumi dan merupakan etnis mayoritas serta etnis Tionghoa sebagai kelompok bukan pribumi dijadikan sebagai subjek penelitian. Pertanyaan dalam bentuk asosiasi kata dan kuesioner dalam bentuk pertanyaan terbuka disebar pada 558 partisipan (Jawa= 61.5%, Tionghoa= 38.5%) berusia 15-40 tahun (M= 20.96%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut etnis Tionghoa peristiwa sejarah 17 Agustus 1945 dan G 30 S sebagai peristiwa sejarah yang paling penting. Tiga tokoh yang paling diingat menurut kedua kelompok adalah Soekarno, Gus Dur, dan Soeharto yang menjelaskan representasi sosial akan figur pemimpin secara hegemonik ada pada sosok presiden. Di pihak lain, temuan mengenai ingatan sejarah menjelaskan bahwa tidak hanya peristiwa politik, namun peristiwa traumatik juga menjadi pusat ingatan sejarah dan figur pemimpin bagi etnis Tionghoa dan etnis Jawa
"
JIPSIUG 5:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"This article tells the history of Wayang Beber performance in Pacitan, East Java. Performances Wayang Beber history in Pacitan started from a wise namely Ki Nolodarmo. He won the contest in the kingdom of Majapahit. He cured the diseases Parbu Brawijaya's daughter. In return Prabu Brawijaya presented a set of Wayang Beber. Arriving at his village Karangtalun, Ki Nolodermo began playing the puppet very good and interesting, so many are wathcing. Because wayang beber show can be one of the entertaiment for the people in the village. Overall in this wayang beber tells the trip of Dewi Sekartaji who has left the palace to search of Panji Asmoro Bangun, until their marriage."
Jakarta: Direktorat Nilai Sejarah. Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2011
905 JSE
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Zulia Djohan
"ABSTRAK
Cut Zulia Djohan, Konflik Uleebalang dan Ulama dalam Revolusi Sosial di Aceh Besar, Desember 1945-Maret 1946. Tulisan ini mengungkapkan konflik di antara dua kelompok terhormat di Aceh, yaitu kelompok uleebalang sebagai pemuka adat dan ulama selaku pemuka agama. Peristiwa sejarah, yaitu masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang serta awal kemerdekaan berpengaruh terhadap kedudukan mereka. Kadar kecurigaan bahwa masing-masing pihak lebih pantas menjalankan roda pemerintahan menjadikan keduanya semakin terpisah. Konflik akhirnya muncul kepermukaan, mengakibatkan pecahnya perang saudara yang disebut sebagai Peristiwa Cumbok. Dampak dari Peristiwa Cumbok tersebut akhirnya meluas. Kadar kecurigaan masing-masing pihak semakin tinggi, timbul isyu-isyu yang saling menjelekkan untuk mengambil simpati massa.
Tulisan ini menguraikan bahwa konflik yang ada di antara kedua kelompok di Aceh tersebut, bukan sekedar persoalan agama atau adat, karena hal yang utama dari konflik tersebut adalah faktor kedudukan, pengaruh dan kekuasaan.

"
1995
S12195
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Pkesit
050 PSIT 1 (2004)
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984
959.815 HAR s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Charles Kapile
"Penelitian mengenai sejarah kota Palu selama kurun waktu 32 tahun (1932-1964) Iebih diarahkan untuk menjelaskan tentang kajian sejarah lokal yang membahas masalah : ekonomi kota Palu, Palu sebagai pusat pemerintahan, sistem sosial ekonomi kota Palu dan sistem pendidikannya. Rentangan waktu yang dikaji dalam studi ini yakni sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1932 yang mana bermula dari adanya pembagian administrasi pemerintahan yang baru di Keresidenan Manado. Oleh sebab itu untuk menjalankan roda pemerintahannya maka Belanda menjadikan kota Palu sebagai Onderafdeeling dengan kedudukan seorang Kontrolir atau penguasa pemerintah disamping perwira angkatan darat. Demikian pla tahun 1964 yang mana terjadi pemisahan dari Pemerintah r Daerah Tingkat I Sulawesi Utara – Tengah menjadi pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dengan berkedudukan di kota Palu. Namun demikian dalam kajian ini juga dijelaskan kurun waktu sebelumnya serta zaman pendudukan Jepang. Adapun fokus kajian mengenai ekologi kota Palu Iebih diarahkan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan fisik di kota Palu dan daerah hinterlandnya. Selain itu juga dijelaskan mengenai penduduk kota Palu dan perkembangannya serta adanya istilah Toraja yang dikenakan oleh penduduk To-kaili bagi para ilmuan asing. Demikian juga masalah pemerintahan, yang mana fokus kajian Iebih diarahkan kepada bentuk dari sistem pemerintahan kolonial Belanda di kota Palu, sedangkan untuk sistem pemerintahan tradisional dijelaskan pula tentang adanya struktur pemerintahan di kerajaan Palu serta dewan adatnya sebelum kedatangan pemerintah Belanda. Kemudian pada masa pemerintah di kota Palu sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, lebih difokuskan kepada usaha-usaha pemerintah dan beberapa organisasi dalam memperjuangkan kota Palu sebagai ibu kota Propinsi Sulawesi Tengah pada tahun 1964. Kemudian mengenai sistem sosial lebih diarahkan pada perkembangan yang terjadi akibat adanya perubahan pada masa kolonial"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T38874
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Gunawan
"Flood is indeed a big problem in Jakarta as a metropolitan city. From the colonial era to present day, flood has not yet been resolved adequately. Fisiography cycles, space competition, and the management of flood seem to be significant factors affected the continuous problem of flood in Jakarta. Seeing from the perspective of fisiography which is related to geomorphology, geology, and hydrology, lowland of Jakarta formed from rivers' sedimentation thousand years ago. This in fact has formed areas below the sea level like swamp and lake areas. Sedimentation process was accelerated after the eruption of the Mount Salak in 1699, in which newly lowland has been increasing each year around 15-50 metres depending on flood and wind direction. Due to this sedimentation, Jakarta topography is flat where water could not flow smoothly. The emergence of Jakarta as settlement areas originated from the Sunda Kelapa Kingdom that developed in the Jakarta coastal area. This process of settlement has developed rapidly along with the VOC conquered Jakarta. Being a central of the colonial trading, population has increased dramatically that also extended the size of Jakarta. In 1830, the city extended toward southern part, well-know as Weltevreden. Menteng was built in 1918 after the development of Jakarta itself. The increasing number of population from 1948 _ 1950 was occurred when the capital of the country moved from Yogyakarta to Jakarta. After 1970s population booming has happened in Jakarta which consequently increasing number of buildings could not be avoided. The construction of housing complexes, trading centres, and industries have even conducted in the restricted areas for any buildings, including the environmental geology area of 1,2 and 3. The impact of these constructions could be clearly seen through the decreasing of absorbing water areas. Therefore, flooding areas have increased rapidly. From 1892 to 1930 flood had been around Weltevreden area, but in 1985 floods have reached the outskirts of Jakarta, including Bintaro, Ciputat, and Pasar Minggu. To solve the flood, structural approach has been applied since 1911. During colonial period flood, especially in 1919, the canal of Kali Malang and Manggarai water control were built. After the independence, 1970 _ 1985, floods have been managed by constructing Cengkareng drain, Cakung drain and so forth. Though government has spent a lot of funding, flood could not be stopped it. Flood is indeed a difficult homework for government of Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D1622
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
PATRA 8(1-4) 2007
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ujng Pandang : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorai Jenderal Kebudayaan. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
050 LPSNT (1995/96) (3)
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>