Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169877 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yenti Sutinawati
"Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain dan masyarakat karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula didalam suatu daftar yang khusus disediakan, terutama sebagai suatu alat bukti tertulis yang otentik dan sah. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (2) mengamanatkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaan. Pencatatan perkawinan ini tidak hanya berlaku bagi penganut agama saja melainkan juga berlaku bagi penghayat kepercayaan. Khusus bagi penghayat aliran kepercayaan yang bukan merupakan agama, TAP MPR No. IV/mpr/1978 yang dipertegas lagi dengan Surat Menteri Agama kepada Gubernur Kepala Daerah Jawa Timur tertanggal 3 Juni 1978 No.B/5943/78, menyatakan bahwa aliran kepercayaan merupakan kebudayaan dan orang yang mangikuti aliran kepercayaan tidak kehilangan agamanya, sehingga apabila penganutnya menikah, maka tata caranya tetap mengacu kepada cara agama yang dipeluknya. Suatu ketentuan yang mutlak harus dilaksanakan yaitu bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, demikian pula dengan penganut agama Khonghucu termasuk dalam hal legalisasi Negara terhadap staus perkawinannya.
Metode penelitian dalam dalam penulisan tesis ini menggunakan metode yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif yaitu dengan cara menjabarkan perkembangan Khonghucu, hingga menjadi suatu ajaran agama dan menganalisis gejala-gejala dengan didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa jaminan kemerdekaan untuk memeluk dan melakukan perkawinan yang sesuai dengan agama seperti diatur dalam pasal 2 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang pokok-pokok perkawinan yang mengatur sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan bagi tiap-tiap perkawinan dapat dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Debora M. I.
"Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yang menggunakan data sekunder sebagai sumber data, dimana dikaji secara mendalam mengenai norma-norma hukum pada hukum perkawinan, sekaligus menggali akibat hukum dari dikeluarkannya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Uji materil terhadap pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Adanya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, membawa dasar pijakan baru bagi perlindungan anak luar kawin, akan tetapi juga membawa masalah baru berkaitan dengan anak luar kawin. Anak luar kawin, yang dimaksudkan dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, adalah anak luar kawin dalam arti luas (anak hasil perkawinan yang tidak dicatatkan, anak hasil hubungan zina, anak sumbang/incest). Adanya putusan MK tersebut, berakibat adanya hubungan darah dan hukum antara anak luar kawin, bukan hanya dengan ibu dan keluarga ibunya, akan tetapi juga terhadap ayah dan keluarga ayahnya. Hal tersebut dimungkinkan, selama itu dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lainnya. Putusan tersebut jika dikaitkan dengan ketentuan KUHPerdata, tentang pengakuan dan pengesahan anak (Ps. 273 jo Ps. 49 UU Adminduk), serta ketentuan tentang larangan penyelidikan ayah seorang anak (Ps. 287 KUHPerdata), maka akan saling bertentangan, dan pada akhirnya tujuan dari putusan ini yakni untuk perlindungan anak, tidak sepenuhnya dapat terwujud sepenuhnya.
Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, putusan MK tersebut pada dasarnya tidak berkesuaian dengan ketentuan dalam KUHPerdata, dan sebagai akibatnya ada kekosongan hukum. Sehingga dengan demikian, pemerintah seharusnya membuat peraturan berkaitan dengan anak luar kawin, salah satunya dengan membuat PP berdasarkan amanat pasal 43 ayat (2) Undang-undang perkawinan, dan tetap melakukan perlindungan terhadap anak luar kawin, tidak sebatas keluarnya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Selain itu perkawinan tidak dicatatkan/nikah sirri/nikah di bawah tangan, sebagai penyebab lahirnya anak luar kawin pun sebaiknya dicegah dengan jalan penyadaran masyarakatpun akan pencatatan perkawinan, serta pertimbangan akan keikutsertaan para tokoh agama untuk membantu pencatatan perkawinan."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S43870
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wea, Klaudius Adriyanto Ligo
"Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan Undang-undang perkawinan nasional yang berlaku bagi semua golongan, suku bangsa dan agama, tetapi pada kenyataannya telah terjadi diskriminasi pada penganut agama Khonghucu yang tidak dapat dicatatkan perkawinannya karena dikatakan oleh Kantor Catatan Sipil Surabaya, Khonghucu bukan merupakan agama yang diakui oleh negara.
Permasalahan yang dianalisis dalam penulisan ini antara lain adalah apakah khonghucu merupakan agama yang diakui di Indonesia dan kedudukan khonghucu dalam pencatatan perkawinan. Dengan adanya penjelasan pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang menyatakan bahwa Khonghucu adalah salah satu agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia, maka apabila ada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Khonghucu, seterusnya perkawinan tersebut harus diakui pula keabsahannya oleh hukum Negara dengan dicatat menurut peraturan yang berlaku.
Tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat normatif dan metode deskritip analistis serta data yang digunakan adalah data sekunder. Khonghucu seharusnya dapat disebut agama dengan melihat kepada berbagai perspektif yaitu, perspektif teologik dan perspektif yuridis. Agar pemerintah lebih memperhatikan permasalahan-permasalahan yang akan timbul dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T16298
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lyna
"Perkawinan merupakan suatu fase penting bagi setiap insan manusia di dunia selain kelahiran, pendewasaan dan kematian. Perkawinan sebagai suatu peristiwa hukum dan merupakan bagian dari hak asasi serta mempunyai arti yang penting bagi mereka yang menjalaninya. Pencatatan perkawinan merupakan bukti otentik dari peristiwa hukum tersebut, sehingga setiap perkawinan harus dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya serta tiap perkawinan dicatat. Saat ini agama dan kepercayaan yang dimaksud oleh pemerintah adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Dasar agama KHONGHUCU di Indonesia adalah UU No.l/PNPS/1965 dan SE Mendagri No.477/74054 sudah dicabut. Putusan Kasasi Perkawinan KHONGHUCU hanya berlaku untuk Budi dan Lanny saja. Bagi pasangan umat KHONGHUCU lainnya, perkawinannya tidak dapat dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. UU No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan agama apa saja, seharusnya perkawinan KHONGHUCU adalah sah. Penolakan pencatatan perkawinan merugikan pasangan KHONGHUCU, yang merasakan kerugian lebih besar adalah isteri dan anak. Mereka tidak mempunyai bukti atas perkawinannya, anak yang dilahirkan menjadi anak luar kawin, tidak ada harta bersama dan tidak ada hak dan kewajiban suami isteri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T37735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triska Sastiono
"Pada saat ini, hubungan intim (sex) yang dilakukan antara perempuan dan lelaki sebelum atau tanpa adanya pernikahan adalah hal yang dianggap biasa padahal hubungan tersebut akan berakibat fatal apabila terlahir anak yang akan menyandang status anak luar kawin. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum perkawinan dan keluarga secara nasional adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang aturannya mengenai anak luar kawin cukup minim. Hal tersebut menarik untuk di perbandingkan dengan ketentuan mengenai anak luar kawin yang terdapat dalam K. U. H. Perd yang mengatur kedudukan anak luar kawin secara komprehensif. ternyata setelah melakukan perbandingan baik melalui kepustakaan maupun penelitian di lapangan, terdapat persamaan maupun perbedaan pada kedua ketentuan perundang-undangan tersebut. Perbedaan tersebut diantaranya pada UU No. 1 Tahun 1974, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya sehingga anak luar kawin berkedudukan sebagaimana anak sah terhadap ibu dan keluarga ibunya namun Undang-undang ini tidak mengatur hubungan anak luar kawin dengan bapak biologisnya sedangkan pacta K.U.H.Perd anak luar kawin tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapapun kecuali telah dilakukan pengakuan oleh ibu dan atau bapak biologisnya, pengakuan ini dapat ditingkatkan melalui pengesahan yang memberi status anak sah terhadap anak luar kawin. K.U.H.Perd dapat mengisi kekosongan hukum dalam UU No. 1 Tahun 1974 melalui pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 namun hal ini pun masih belum dapat memenuhi rasa keadilan. Salah satunya terlihat dalam putusan No. 935 K/Pdt/19 98 antara Melina G v Hendrik K yang mana Melina menuntut Hendrik untuk mengakui dan menafkahi anak luar kawin yang telah dibenihkan oleh mereka. Pada akhirnya Mahkamah Agung memutuskan agar Hendrik mengakui anak tersebut dan memberinya nafkah berupa rumah. Pada saat ini perlindungan hukum terhadap anak pada umumnya telah diatur oleh UU Perlindungan Anak, UU Kesejahteraan Anak, dan Konvensi Hak-Hak Anak yang mana dalam ketentuan-ketentuan tersebut hak anak untuk mengetahui dan dinafkahi oleh orang tuanya dijamin oleh negara serta oleh yurisprudensi yang memperhatikan kepentingan terbaik anak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S20815
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Nurul Jauhary
"Pada 1974 Indonesia memiliki undang-undang mengenai perkawinan yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai unifikasi landasan hukum perkawinan untuk bangsa Indonesia, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan paua dasarnya berasaskan monogami tetapi di dalam Pasal 3 ayat (2) terdapat suatu pengecualian sehingga asas monogami bergeser menjadi asas monogami tidak mutlak, hal ini berdampak membawa peluang bagi para pria untuk melakukan poligami. Berkaitan dengan hal tersebut maka yang menjadi pokok permasalahan adalah apakah akibat hukum dari perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? Apakah di dalam praktik izin untuk berpoligami telah sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Putusan Nomor Z/Pdt.G/2004IPAJS)? Apa akibat hukum apabila persetujuan tertulis dari isteri ternyata merupakan hasil rekayasa suami? Dan perlindungan hukum apa yang dapat diberikan kepada isteri?
Bentuk penelitian dari tesis ini adalah evaluatif-analitis-preskriptif di mana penulis akan mengevaluasi Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di dalam praktik, menganalisis pokok permasalahan yang ada, dan memberikan saran. Dengan demikian, simpulan dari tesis ini adalah akibat hukum dari perkawinan poligami yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah tidak sah karena pengadilan tidak akan mengeluarkan izin poligami dari pemohon.
Di dalam kasus putusan permohonan izin poligami Nomor Z/Pdt.G/2004/PAJS yang diajukan oleh Tuan X, pengadilan memberikan izinnya kepada Tuan X untuk berpoligami sehingga perkawinan poligami yang dilakukan Tuan X?adalah sah dan dapat dicatatkan. Akibat hukum apabila persetujuan tertulis dari istri guna mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan terbukti merupakan hasil rekayasa suami maka perkawinan poligaminya dianggap tidak sah dan diancam dengan peabatalan, dan bagi suami dapat dikenakan sanksi pidana berkaitan dengan pemalsuan surat atau dokumen.
Saran yang dapat diberikan penulis adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu mendapat revisi terutama berkaitan dengan poligami, karena pengaturan tentang poligami dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan saat ini sangat umum sehingga banvak menimbulkan penatsiran dan mengeneralisasi posisi istri yang dianggap tidak dapat menjalankan kewajibannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16488
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poerwanto
"Penulisan bertujuan untuk mengetahui pengaruh UU No 1 Tahun 1974 terharap Peraturan Perkawinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara karena bagi anggota militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) terikat dengan peraturan khusus yang terhimpun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT) dan Kitab Undang-Undang Disiplin Tentara (KUHDT). Dengan adanya Peraturan Perkawinan yang hanya berlaku bagi anggota TNI-AU, maka menimbulkan kasus-kasus yang penyelesaiannya kadang-kadang kurang adil bagi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan sedemikian ketatnya peraturan tersebut, namun dalam berbagai hal kehadiran Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 masih tetap diperlukan."
Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Yasmine
"Kasus pembatalan perkawinan terjadi hampir di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, hal ini terjadi karena masing-masing suami isteri memiliki karakter dan keinginan yang berbeda. Pembatalan perkawinan pada pengadilan agama Jakarta Selatan dan Putusan Mahkamah Agung Cimahi Bandung merupakan pembatalan yang tidak bisa dihindari. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam akibat hukum terhadap hak anak akibat pembatalan perkawinan adalah statusnya jelas merupakan anak sah. Sedangkan terhadap hubungan suami-isteri putusan pembatalan perkawinan maka perkawinan mereka dianggap tidak pernah terjadi. Putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan Agama tentang pembatalan perkawinan sudah sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya pembatalan perkawinan adalah mengoptimalkan peran KUA dalam menjalankan perannya yaitu memeriksa kelengkapan administrasi pendaftaran dan melakukan pemeriksaan status atau kebenaran data dan peran majelis hakim dapat mendamaikan suami isteri dengan mengupayakan perdamaian melalui mediasi. Kendala yang dihadapi dalam menghindari pembatalan adalah kendala administratif dan kendala psikologis.

Marriage annulment cases occur almost religious courts in Indonesia, this occurs because the husband and wife each have a different character and desire. Annulment of marriage on religious courts Kediri, South and Supreme Court decisions are unavoidable cancellation. According to Law Number 1 of 1974 concerning marriage and Islamic Law Compilation legal consequences for children's rights is due to the cancellation of marriage status is clearly a legitimate child. While the husband-wife relationship marriage annulment decision then their marriage is considered never happened. Decision of the Supreme Court and Religion of the cancellation of the marriage was in accordance with Islamic law and the Act Number 1 of 1974 On marriage. Efforts to do to avoid the cancellation of marriage is to optimize the role of KUA in their role Checking the completeness of registration and inspection status / accuracy of data and the role of judges to reconcile husband and wife with work for peace through mediation. Constraints faced in avoiding cancellation is administrative constraints and psychological constraints."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivi Rahmadani
"Perkawinan adalah suatu sendi dasar dalam aspek kehidupan manusia, karena dengan perkawinan sebuah keluarga yang merupakan sendi utama dalam masyarakat terbentuk. Semakin majunya perkembangan zaman menyebabkan semakin besar kemungkinan teijadinya perkawinan antara Warga Negara Indonesia (WNI) yang berbeda agama. Meskipun hal tersebut tidak diatur atau didukung secara tegas dan jelas oleh UU No.1/1974 tentang Perkawinan, namun tetap saja perkawinan beda agama sering teijadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan adanya perkawinan beda agama ini maka timbul permasalahan apa yang mendorong teijadinya perkawinan beda agama? Bagaimana akibat hukum yang timbul dari perkawinan beda agama dan apa akibat dari peralihan agama dalam suatu perkawinan tersebut? Bagaimana kepastian hukum perkawinan beda agama terhadap suami istri di Indonesia? Penulis malakukan penelitian dengan penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Sifat dari penelitian ini adalah eksplanatoris yaitu merupakan suatu penelitian yang bersifat menjelaskan mengenai akibat hukum yang timbul dari perkawinan beda.
Perkawinan antar suami istri yang berbeda agama paling sering teijadi di kota besar karena kemajuan teknologi. Menurut agama Islam jika perkawinan antara pria Islam dengan wanita yang bukan Islam akibat hukumnya akan menjadi sah tetapi sebaliknya, perkawinan tersebut tidak sah dan akan menimbulkan pengaruh besar terutama bagi anak-anak karena di besarkan dalam keraguan dan ketidakpastian terhadap agama. Akibat lainnya salah satu pihak dapat meninggalkan agama semula yang dianutnya. Kepastian hukum yang bersendi utama pada martabat manusia sebagai norma terpenting, harus diletakkan secara proporsional terhadap manusia yang akan melangsungkan perkawinan. Untuk menghindari kesimpangsiuran pendapat tentang perkawinan beda agama maka perlu kiranya pihak yang berwenang segera mengadakan penyempurnaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dengan tidak mengenyampingkan ketentuan hukum agama yang berlaku di Indonesia agar tercipta suatu kepastian hukum dalam perkawinan yang berbeda agama. Perkawinan beda agama antara suami istri agar tidak mengalami hambatan sebaiknya melalui pilihan hukum.

Marriage is a bottom line in every comer of human life, because with marriage, a family as a main line is formed. More further development makes more possibility marriage among Indonesian nationality with different religion. Although it is not ruled or supported with certainty and obviously by Statue number 1 Year 1974 about Marriage, but it still happened in Indonesia society life. Because of it, there are problems, what are stimulating marriages between different religions? How law impact of them and what impact of changing religion on those marriage? How certainty law of marriage between different religions on husband and wife in Indonesia? Writer did research by library research (normative juridical). Nature of from this research is ekspianatoris that is is a explanatory research about legal consequences arising from marriage of religion difference.
Marriage among husband and wife who are different on religion, is commonly happen in big city because of technology development. On Islam religion, if marriage between Muslim man with non-Muslim women, the law impact of it becomes legal but on the other hands, that marriage is non-legal and could occurring big influence especially on children because they are growing up on doubtless and uncertainty in religion. The other impact is one party could leave his or her first religion. Certainty of law that based on human dignity as an important norm, must be placed with proportionality against human being who is going to marriage. To prevent uncertainty opinions about marriage between different religion, they need the authority party to do completing on Statue number 1 Year 1974 about marriage with not to aside religion rule of law in Indonesia to make certainty of law on them. Marriage between different religion among husband and wife is not occurring delay but otherwise through choice of law."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T36947
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>