Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152849 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yefa Sister
"White Organic Light Emitting Diode (WOLED) merupakan teknologi baru dari divais solid state yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan divais pencahayaan dan display. Salah satu cara untuk membuat WOLED yaitu dengan menggunakan struktur hybrid multi emissive layer. Pada skripsi ini dibuat desain dan simulasi menggunakan struktur hybrid WOLED yang terdiri dari material red phosphorescent emitter, green phosphorescent emitter dan blue fluorescent emitter sebagai emissive layer pada perangkat lunak SimOLED 4.5.0. Tegangan dan ketebalan material emissive layer divariasikan untuk mendapatkan OLED warna putih. White OLED berhasil diperoleh dengan menambahkan electron blocking material yang diletakkan antara green phosphorescent emitter dan blue fluorescent emitter dan mencapai hasil optimal pada saat diberikan tegangan 2-10 Volt dengan ketebalan green phosphorescent emitter 2-4 nm. Pada setiap tegangan yang dapat menghasilkan White OLED, ketebalan red phosphorescent emitter yang diperlukan mulai dari 10 nm sementara ketebalan optimal untuk blue fluorescent emitter dan EBM adalah 6-21 nm. Semakin tebal sebuah emissive layer maka semakin dominan warna yang dihasilkan pada layer ini karena semakin banyak rekombinasi yang terjadi pada emissive layer tersebut.

White Organic Light Emitting Diode (WOLED) is a new technology of solid state devices which is developed to fulfill the demand for lighting devices and displays. One approach to make WOLED uses hybrid multi emissive layer structure. In this thesis we designed and simulated a hybrid WOLED using red phosphorescent emitter, green phosphorescent emitter and blue fluorescent emitter as emissive layer on SimOLED 4.5.0 software. Voltage and material thickness is var ied to obtain white OLED. WOLED can be achieved by using an electron blocking material between green phosphorescent emitter and blue fluorescent emitter and reach optimal result on 2-10 Volt with the thickness of green phosphorescent emitter is 2-4 nm. Each voltage that produce white OLED, need a thickness of red phosphorescent emitter start from 10 nm and the effective thickness of blue fluorescent emitter and EBM are 6-21 nm. When the thickness of an emissive layer increases, the dominant light color is emitted at this layer because the number of recombination increase at that layer.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S59504
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"A high gain optical parametric oscillator containing two crystals in series with 90% signal outcoupling after the first crystal and 100% idler outcopling after both crystals is found to give stable highly efficient operation over a wide dynamic range of pump intensity."
New York: Publications Department,
620 QUELE
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Andyta Rehulina
"OLED merupakan sebuah divais dioda pemancar cahaya yang menggunakan lapisan emisif berupa material organik. Laboratorium Nano Device Departemen Teknik Elektro Universitas Indonesia telah berhasil membuat divais OLED menggunakan bahan organik poly(9,9-dioctylfluorenyl) (PFO) dengan metode laminasi pada kondisi ruangan non-vakum. Pada teknik laminasi, divais yang sudah disusun dilaminasi menggunakan mesin laminator untuk selanjutnya dipanaskan dan diberi tekanan menggunakan pemanas listrik. Untuk meningkatkan performa dari divais yang difabrikasi, telah dilakukan penelitian terhadap material anoda, material katoda, material dielektrik, material substrat, kecepatan spincoating, suhu laminasi, waktu ultrasonic cleaning, dan tekanan laminasi. Durasi laminasi diprediksi memiliki pengaruh terhadap karakteristik OLED yang difabrikasi, namun belum dilakukan pengujian sebelumnya. Oleh sebab itu, pada skripsi kali ini akan dilakukan pengujian mengenai pengaruh durasi laminasi terhadap karakteristik OLED yang difabrikasi. Variasi durasi dari laminasi dengan pemanas listrik dilakukan untuk mengetahui pengaruh durasi laminasi terhadap karakteristik I-V dari OLED yang difabrikasi dan mencari durasi optimal. Selain itu, pada skripsi ini juga diujikan penggunaan lapisan emisif Alq3 pertama kali dengan fabrikasi teknik laminasi. Pengujian fabrikasi dilakukan dengan kecepatan spincoating lapisan emisif yang berbeda untuk mengetahui pengaruh kecepatan spincoating terhadap karakteristik OLED yang dihasilkan dan mencari kecepatan spincoating yang lebih baik. Hasil pengujian terhadap divais yang difabrikasi dengan lapisan emisif PFO menunjukkan bahwa durasi laminasi mempengaruhi besar arus yang dihasilkan oleh divais. Durasi laminasi 30 detik pada sampel dengan lapisan emisif PFO menghasilkan nilai rata-rata arus paling tinggi sebesar 26.1 µA jika dibandingkan dengan durasi laminasi 60 detik dan 90 detik. Hasil pengujian sampel dengan lapisan emisif Alq3 menunjukkan divais OLED menghasilkan rata-rata arus paling tinggi sebesar 3.4 µA jika difabrikasi dengan kecepatan spincoating lapisan emisif 1300 rpm.

OLED is a light-emitting diode with organic material as its emissive layer. Nano Device Laboratory of Electrical Engineering Department of Universitas Indonesia is successful in developing a method to fabricate OLED using organic material poly(9,9-dioctylfluorenyl) (PFO) using lamination technique in a non-vacuum room condition. In the lamination technique, device is laminated with a laminator before going through further pressing and heating process with an electric heater. To enhance the performance of the fabricated device, Nano Device Laboratory has scientifically reviewed several fabrication parameters such as the material of anode, cathode, dielectric, substrate, spincoating rate, lamination temperature, duration of ultrasonic cleaning, and lamination pressure. The duration of the lamination process is predicted to have an effect on the characteristic of the fabricated OLED device but the fact is yet to be examined further. Hence, this thesis will conduct an examination on the effect of the duration of lamination to the characteristic of the fabricated OLED device. Variation to the duration of the lamination process with a heater is given to the fabrication process of PFO OLED to analyze the effect of the duration to the resulted I-V characteristic of the fabricated OLED and find the optimum duration. Furthermore, we also tried out the fabrication of OLED with Alq3 as the emissive layer with different spincoating rotation rate to analyze the effect of spincoating rate to the resulted I-V characteristic of the fabricated OLED and find the better rotation rate. Devices with PFO as emissive layer fabricated with 30 seconds of lamination generated the highest average current of 26.1 µA compared to devices fabricated with 60 seconds and 90 seconds of lamination. Devices with Alq3 as emissive layer fabricated with spincoating rotation rate of 1300 rpm generated a higher average current of 3.4 µA compared to devices fabricated with spincoating rotation rate of 2000 rpm."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandia Rini
"Organic Light Emitting Diode (OLED) merupakan LED dimana lapisan emissive nya terbuat dari bahan organik yang dapat memancarkan cahaya ketika dialiri arus listrik. Dalam skripsi ini, dirancang struktur green OLED dengan empat struktur yang berbeda yaitu single layer green OLED (GPE), HTL+GPE, GPE+ETL, dan HTL+GPE+ETL.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa penambahan electron transport layer dapat meningkatkan nilai luminansi secara signifikan. Penambahan HTL dan ETL dapat menurunkan operating voltage. Luminansi tertinggi yaitu 997.330 cd/m2 dicapai ketika tegangan 4V pada struktur ITO/HTL/GPE/ETL/LiF-Al. Warna yang dihasilkan dari keempat struktur tersebut adalah warna hijau dengan panjang gelombang 550 nm.

An OLED (Organic Light Emitting Diode) is a LED in which the emissive electroluminescent layer is a film of organic compounds which emit light in response to an electric current. This thesis presents a design green OLED structure with four different structures, single layer green OLED (GPE), HTL+GPE, GPE+ETL and HTL+GPE+ETL.
The simulation result shows that addition of electron transport layer will significantly improve the luminance. The addition of HTL and ETL can reduce the operating voltage. The highest luminance is 997.330 cd/m2 achieved when the voltage is 4V on the structure of ITO/HTL/GPE/ETL/LiF-Al. The color of all the structures is green with a wavelength of 550 nm.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S59444
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latifah Husni
"Pengembangan Light Emitting Diode (LED) mengarah pada power dan efisiensi yang lebih tinggi. Pada beberapa tahun terakhir, muncul pula Organic Light Emitting Diodes (OLED) yaitu LED yang terbuat dari material organik. Jika dibandingkan dengan LED, OLED memiliki beberapa kelebihan, misalnya display elektroluminansinya lebih luas, mempunyai emisi yang berwarna-warni, efisiensi luminansi yang lebih tinggi, dan molekul organik yang ada tidak terbatas jumlahnya.
Ketidakstabilan mekanis material organik menyebabkan munculnya beberapa kekurangan OLED, salah satu contohnya adalah temperatur transisi glass molekul pada OLED yang rendah. Ketidakstabilan juga merupakan faktor penyebab menurunnya tingkat life time bahan. Di samping itu, mobilitas material organik yang rendah membatasi kinerja maksimum OLED.
Pada riset ini dipelajari teori dasar yang diperlukan untuk membandingkan OLED dan LED. Kemudian dibuat model-model untuk OLED dan LED. Model OLED terdiri dari lapisan Hole Transport Layer (HTL) dan Electron Transport Layer (ETL). Model LED berbasis pada material Gallium Arsenide (GaAs) yang terdiri dari lapisan p dan n.
Simulasi numerik yang membandingkan OLED dan LED pada diagram tingkat energi, rapat carrier, space charge, medan listrik, dan rapat arus mendemonstrasikan perbedaan pokok antara OLED dan LED. Hasil simulasi OLED dan LED yang telah didapat, kemudian dibandingkan dengan sel surya organik (OPV) dan sel surya anorganik (IPV).
Dari simulasi diagram tingkat energi OLED dan LED, terlihat bahwa sambungan pn yang terbentuk pada bahan anorganik (disebut juga ?junction? = 0,2000 µm) lebih lebar daripada sambungan pn bahan organik (disebut juga ?recombination region? = 0,0002 µm). Recombination region yang sangat tipis diakibatkan oleh konsentrasi doping acceptor dan donor pada HTL dan ETL yang sangat rendah, yaitu hanya 1,40 x 105 cm-3.

The progress of Light Emitting Diodes (LEDs) lead to higher power and efficiency. Nowadays, there are a lot of LEDs made of organic material, named Organic Light Emitting Diodes (OLEDs). OLEDs has some advantages compared to LEDs, namely wider electro-luminance display, colorful emission, higher luminance efficiency, and a lot of organic molecule available.
Mechanical instability of organic material makes some disadvantages appear in OLEDs, for instance: lower temperature of transition glass. Instability also causes decreasing of material lifetime. Besides that, low mobility of organic also limits the performance of OLEDs.
The basic theory that is useful to compare OLEDs and LEDs was reviewed. The models of OLEDs and LEDs were made. OLEDs model consisted of HTL (Hole Transport Layer) and ETL (Electron Transport Layer). LEDs model based on Gallium Arsenide (GaAs) consisted of p and n. Numeric simulation that compared OLEDs and LEDs in the band diagram, carrier density, space charge, electric field, and current density demonstrate the differences of those two devices. Then, the simulation result was compared to organic solar cell (OPV) and inorganic solar cell (IPV).
From the band diagram simulation of OLED and LED, it was concluded that pn junction width in inorganic material (called ?junction? = 0,2000 µm) is wider than organic (?recombination region? = 0,0002 µm). Thin recombination region of OLED is due to the doping concentration of acceptor and donor at HTL and ETL are very low, i.e. 1,40 x 105 cm-3."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
T23290
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niki Fadhliyah
"ABSTRAK
Single Electron Transistor (SET) merupakan sebuah transistor yang memanfaatkan pergerakan satu buah elektron. Salah satu aplikasi dari single elektron transistor adalah single electron memory. Pada skripsi ini, dilakukan desain memori berbasis floating dot dan difokuskan pada analisa pergerakan elektron dalam divais SEM dengan mengatur kapasitansi pada tunnel junction antara quantum dot dan floating dot. Dengan adanya elektron pada quantum dot akan mengubah level energi dari floating dot. Fenomena hysterisis diperoleh pada rentang kapasitansi antar dot C12 = 9.999 x 10-17 – 1 x 10-19 F. Efek kapasitansi antar dot juga dapat menyebabkan terjadinya fenomena elektron berpindah antar dot dengan cepat pada rentang kapasitansi antar dotnya C12 = 10-18 - 10-16 F.
ABSTRACT
Single Electron Transistor (SET) is a very sensitive device which has capability to detect single electron. One of SET’s application is a single electron memory (SEM). We design SEM based on floating dot and we analyze the impact of capacitance variation of tunnel junction between quantum dot and floating dot about the electron transfer in SEM device. The presence of electron in quantum dot will affect energy level of floating dot. The hysterisis phenomena which is one of SEM’s phenomena is obtained in the range capacitance C12 = 9.999 x 10-17 – 1 x 10-19 F. The effect of capacitance between quantum dot and floating dot occured at C12 = 10-18 - 10-16 F."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S58687
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnetta Idelia Hapsari
"Pembuatan kapal membutuhkan biaya manufaktur yang cukup tinggi, salah satu penyebab hal ini adalah tingginya biaya bahan baku material yang akan digunakan untuk pembuatan kapal tersebut. Untuk mengurangi biaya manufaktur pembuatan kapal namun tetap memertahankan fungsinya, salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah melakukan substitusi material. Pemilihan material menggunakan Metode Optimasi Algoritma Genetika, metode ini bekerja sesuai dengan Teori Evolusi Charles Darwin. Induk yang telah dikawinsilangkan akan menghasilkan individu baru yang telah mengalami proses mutasi. Dalam proses ini, besarnya angka mutasi akan memengaruhi kualitas individu baru. Setelah dilakukan substitusi material, akan dilakukan optimasi ketebalan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan biaya optimal tanpa mengurangi dari fungsi dari pelat tersebut. Pengujian dilakukan menggunakan Visual Studio C++, dengan 50 generasi variasi angka mutasi 5%; 7,5%; dan 10%. Hasil penelitian akan menampilkan pengaruh angka mutasi, jumlah generasi terhadap optimasi biaya. Pada hasil optimasi dengan mutasi 5% mampu mengurangi biaya material hingga 34%, hasil optimasi mutasi 7,5% mampu mengurangi biaya material hingga 34,5%, dan hasil optimasi mutasi 10% mampu mengurangi biaya material hingga 36%.

Shipbuilding requires a fairly-high manufacturing cost, one of the reasons for this is the high cost of raw materials used for shipbuilding. To reduce shipbuilding manufacturing costs but still maintain its function, one solution that can be done is to substitute materials. Material selection using Genetic Algorithm Optimization Method, this method works according to Charles Darwin's Theory of Evolution. The parent that has been crossed will produce a new individual that has undergone a mutation process. In this process, the number of mutations will affect the quality of new individuals. After material substitution, thickness optimization will be carried out. This study aims to obtain the optimal cost without reducing the function of the plate. Tests were carried out using Visual Studio C++, with 50 generations of variation in the 5% mutation rate; 7.5%; and 10%. The results of the study will show the effect of mutation rate, number of generations on cost optimization. The optimization results with 5% mutations can reduce material costs up to 34%, 7.5% mutation optimization results can reduce material costs up to 34.5%, and 10% mutation optimization results can reduce material costs up to 36%.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febrisa Dhewi Ramadhany
"ABSTRACT
Thalassemia merupakan salah satu penyakit kelainan sel darah merah yang diturunkan oleh orang tua sejak lahir. Thalassemia mengakibatkan protein yang ada di dalam sel darah merah rusak dan tidak mampu berfungsi dengan baik. Hingga saat ini penyakit thalassemia belum dapat disembuhkan, namun penyakit thalassemia dapat dicegah dengan melakukan deteksi dini atau tes prenatal yang dikenal dengan skrining. Pada penelitian ini deteksi dini dilakukan dengan bantuan komputer. Ada beberapa teknik yang telah digunakan untuk mengklasifikasi skrining data thalassemia, salah satu metode yang mampu mengklasifikasi penyakit thalassemia diantaranya adalah Support Vector Machines (SVM) dan Multi-Layer Perceptron (MLP). Data thalassemia yang digunakan diperoleh dari RSAB Harapan Kita, Indonesia. Data tersebut memiliki yang memiiki 10 fitur. Setelah pengujian dilakukan, klasifikasi dengan menggunakan metode SVM menunjukkan hasil akurasi lebih baik sebesar 97,47190988%  dengan rata-rata running time 0,145899875 detik. Sedangkan MLP memperoleh hasil akurasi terbaik sebesar 63,91% dengan rata-rata running time 0,009033 detik. Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan bahwa teknik klasifikasi menggunakan SVM memiliki akurasi yang  lebih baik apabila dibandingkan dengan MLP. 

ABSTRACT
Thalassaemia is a red blood cell disorder that is inherited by parents from birth. Thalassaemia results in damaged proteins in red blood cells and are unable to function properly. Until now, thalassaemia has not been cured, but thalassaemia can be prevented by early detection or prenatal testing known as screening. In this study, early detection is done with the help of a computer. There are several techniques that have been used to classify thalassaemia data screening, one method that is able to classify thalassaemia include Support Vector Machines (SVM) and Multi-Layer Perceptron (MLP). The thalassaemia data used was obtained from Harapan Kita Hospital, Indonesia. The data has 10 features. After the testing is done, the classification using the SVM method shows better accuracy results of 97.447190988% with an average running time of 0.145899875 seconds. While MLP obtained the best accuracy results of 63.91% with an average running time of 0.009033 seconds. The conclusions obtained showed that the classification technique using SVM had better accuracy compared to MLP."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryandi Marta
"Pengembangan hybrid UAV dilakukan untuk mendapatkan keunggulan dari UAV tipe fixed wing dan tipe rotorcraft dalam satu wahana terbang, sehingga wahana tersebut dapat menjalankan misi terbangnya tanpa memerlukan area khusus untuk lepas landas dan mendarat. Dari beberapa tipe konfigurasi hybrid UAV, tipe quadplane dipilih untuk dijadikan objek penelitian karena bentuknya yang sederhana dan mudah untuk dikembangkan. Secara garis besar, quadplane merupakan UAV tipe fixed wing yang diberi empat buah motor listrik sehingga mempunyai kemampuan terbang seperti quadcopter. Dalam operasional terbangnya, quadplane mempunyai tiga mode terbang yaitu: mode quadcopter, mode transisi, dan mode fixed wing. Pada penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada pengembangan model sistem mode quadcopter. Model sistem dibangun menggunakan Matlab/Simulink yang terdiri dari beberapa blok kendali dan blok persamaan gerak. Strategi kendali yang digunakan dalam model ini menggunakan pengendali Proporsional (P) dan Proporsional-Derivatif (PD). Dari hasil simulasi yang telah dilakukan diperoleh model sistem mode quadcopter yang mampu mengikuti nilai referensi yang diberikan dengan overshoot 7.3% pada arah X, overshoot 7.2 % pada arah Y, dan delay selama 2.5 detik pada arah Z.

The development of hybrid UAV is carried out to gain the advantage of fixed wing and rotorcraft type in one flying vehicle, so that the vehicle can carry out its flying missions without requiring a special area for takeoff and landing. From several types of configurations, quadplane was chosen to be the object of research because of its simple airframe and easy to develop. Simply, the quadplane is a fixed wing type UAV that is equipped with four electric motors so that it has the ability to fly like a quadcopter. In operational flight, quadplane has three flight modes, such as: quadcopter mode, transition mode, and fixed wing mode. In this study, the discussion will focus on developing a quadcopter mode system model. The system model is built using Matlab/Simulink which consists of several control blocks and equations of motion blocks. The control strategy used in this model are Proportional (P) and Proportional-Derivative (PD) controllers. From the simulation results that have been carried out, it is obtained that the quadcopter mode system model is able to follow the given reference value with 7.3% overshoot in the X direction, 7.2% overshoot in the Y direction, and a delay of 2.5 seconds in the Z direction. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristian Wahyudi
"Penggunaaan Single Electron Transistor SET merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan untuk menggantikan penggunaan transistor. Meskipun SET memiliki ukuran divais dan konsumsi daya yang lebih kecil dibanding transistor biasa, suhu operasionalnya masih sangat rendah dibawah 50 Kelvin. Keterbatasan temperatur operasional pada SET ini menjadi salah satu masalah yang masih didiskusikan secara luas dalam pengaplikasian SET secara global. Skripsi ini melaporkan hasil simulasi rangkaian SET dengan Quantum Dot yang disusun seri dan dilihat perbandingan antara temperatur maksimal dengan jumlah Quantum Dot. Hasil simulasi di perangkat lunak SIMON 2.0 menunjukkan bahwa bertambahnya jumlah Quantum Dot yang disusun seri akan meningkatkan batas temperatur operasional dari SET. Dengan menggunakan pendekatan Multiple Quantum Dot, suhu operasional dari SET dapat mencapai 120 Kelvin.

The usage of Single Electron Transistor SET is one of the alternatives to replace the usage of transistor. Although SET has a smaller size and power consumption compared to normal transistors, the operational temperature is still fairly low below 50 Kelvin . This limited operational temperature became the most controversial problem that is still being discussed before applying SET worldwide. This Undergraduate Thesis reports the result from a simulation of a SET circuit is designed with Quantum Dot connected in series and the connection between maximum operational temperature and the amount of Quantum Dot in series will be observed. The result of the simulation from SIMON 2.0 software shows that the increase in Quantum Dot aligned in series will increase the maximum operational temperature. Using the Multiple Quantum Dot approach, the operational temperature of the SET can reach up to 120 Kelvin."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S67025
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>