Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37760 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mufidah Fathi Dini
"[Anak autistik memiliki gangguan sensorik yang membuatnya beranggapan
bahwa ruang di luar dirinya memiliki stimulan sensorik berlebihan yang
membuatnya tidak nyaman saat berada dalam suatu ruang, akibat rasa tidak
nyaman tersebut anak cenderung menarik diri dari ruang tempat ia berkegiatan.
Padahal ruang, dalam konteks belajar, menentukan kualitas belajar seorang anak.
Oleh karena itu, anak harus dilatih agar gangguan sensoriknya dapat berkurang
sehingga kualitas belajar anak dapat meningkat.
Sekolah alam menyediakan dua ruang belajar bagi anak autistik yaitu ruang
belajar di dalam ruangan dan di alam. Ruang belajar di dalam ruangan memiliki
intensitas stimulan sensorik yang sedikit sehingga dapat digunakan anak untuk
kegiatan belajar yang membutuhkan fokus yang tinggi. Ruang belajar di alam
memiliki intensitas stimulan sensorik yang lebih besar dan digunakan untuk
kegiatan belajar yang dominan bergerak aktif. Kedua ruang yang berbeda ini
dapat memfasilitasi gangguan sensorik anak autistik sehingga anak dapat
berkegiatan dengan nyaman sekaligus melatih respon sensoriknya agar terus
berkembang ke arah yang lebih baik., Autistic children have sensory difficulties that make children think that the
space outside him had exaggerated sensory stimulants that make them feel
uncomfortable when doing activities in a space, because of this inconvenience,
children tend to withdraw from the space where they perform activities. Whereas
space, in the context of learning, determine the quality of a child's learning.
Therefore, children should be trained to reduced their sensory diffculties, so that
the quality of children's learning can be increased
Nature school provides two learning space for autistic children that is
learning space in the room and in nature. Learning space in the room has a
sensory stimulant intensity slightly so that it can be used for learning activities
which require high focus. Learning space in nature has an intensity greater
sensory stimulant and used for learning that require active movements. Both of
these different spaces can facilitate sensory difficulties in autistic children so that
the children can do activities with ease at once, trained sensory response in order
to continue to be better.]"
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S58910
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feoda Inayah
"Skripsi ini membahas mengenai pemberian dukungan sosial terhadap anak autis. Penelitian ini menggambarkan bagaimana dukungan sosial yang diberikan oleh orang tua maupun sekolah terhadap anak autis. Anak autis yang diteliti ialah siswa di SD Khusus Talenta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus.
Hasil dari penelitian ini yaitu adanya berbagai macam bentuk dukungan sosial yang diberikan kepada anak autis baik dari orang tua maupun sekolah. Menggambarkan bahwa ada keterlibatan dari lingkungan sekitar anak autis yaitu orang tua serta sekolah dalam memberikan dukungan sosial.

This thesis deals with the granting of social support to autistic children. This research describes how social support given by parents and schools to an autistic children. Autistic children are examined are students in Special Talent Elementary School. This research used the qualitative approach with this type of case study research.
The results of this research, namely the existence of various forms of social support provided to autistic children from both the parents and the school. Describe that there are involvement of the environment around the autistic children namely parents and schools in providing social support."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56426
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghianina Yasira Armand
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk memahami dan mengeksplorasi secara mendalam persepsi orang tua terhadap hubungan anak Gangguan Spektrum Autisme (GSA) dengan saudara kandung tipikal, serta upaya mereka dalam mengelola hubungan tersebut. Penelitian ini melibatkan enam partisipan orang tua yang setidaknya memiliki satu anak kandung terdiagnosa GSA dan setidaknya satu anak kandung dengan perkembangan tipikal di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, data dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur yang berlangsung selama 60-90 menit untuk menggali pengalaman pribadi dan sudut pandang partisipan mengenai interaksi sehari-hari anak tipikal dengan saudara kandungnya yang memiliki GSA. Analisis tematik digunakan untuk menganalisis temuan wawancara yang mengungkapkan lima tema utama: pengalaman pasca diagnosis saudara kandung, hubungan saudara kandung, dampak kondisi GSA terhadap saudara kandung, dukungan orang tua, dan harapan dan ekspektasi orang tua di masa depan. Hasil dari penelitian ini menghasilkan implikasi klinis yang menekankan pentingnya program intervensi anak GSA yang melibatkan saudara kandung, serta ketersediaan dukungan psikologis untuk saudara kandung dan orang tua dari anak GSA.

The aim of this research is to understand and explore in depth parents' perceptions of the quality of their children's relationships with Autism Spectrum Disorders (ASD) with typical siblings, as well as their efforts in managing these relationships. This research involved six parent participants who had at least one biological child diagnosed with GSA and at least one biological child with typical development in Indonesia. Using a qualitative methodology approach, data was collected through semi-structured interviews lasting 60-90 minutes, exploring participants' personal experiences and perspectives regarding the daily interactions of typical children with their autistic siblings. Thematic analysis was used to analyze the interview findings, revealing five main themes: post-diagnosis experiences, quality of sibling relationships, impact of ASD towards siblings, parental support for siblings, and parental hopes for the future. The results of this study reveal clinical implications that assert the importance of interventions for children with ASD that involve siblings, as well as the availability of psychological support for siblings and parents of children with ASD.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmine Nur Edwina
"ABSTRAK
Dengan menggunakan desain penelitian mixed-method, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara interaksi ibu-anak dan kemampuan joint attention (JA) pada anak dengan autism spectrum disorder (ASD), khususnya anak dengan ASD usia sekolah yang memiliki kemampuan verbal minim. Metode observasi terstruktur adalah metode pengambilan data utama yang digunakan dalam penelitian. Alat ukur Marschak Interaction Method Rating System (MIMRS) digunakan untuk mengukur kualitas interaksi ibu-anak, sedangkan alat ukur Early Social Communication Scale digunakan untuk mengukur kemampuan JA. Tujuh pasang partisipan ibu dan anak dengan ASD usia sekolah yang memiliki kemampuan verbal minim ikut serta dalam penelitian. Berdasarkan hasil analisis data secara kuantitatif dan kualitatif, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hasil yang tidak sejalan terkait hubungan antara interaksi ibu-anak dan kemampuan JA pada anak dengan ASD usia sekolah yang memiliki kemampuan verbal minim. Berdasarkan hasil analisis kuantitatif dengan menggunakan uji non-parametrik Korelasi Spearman, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara interaksi ibu-anak dan kedua kemampuan JA, yaitu kemampuan responding joint attention (RJA), rs = -.060, dan kemampuan initiating joint attention (IJA), rs = .082 (seluruh p > 0.5) pada anak dengan ASD usia sekolah yang memiliki kemampuan verbal minim. Sementara itu, hasil analisis data secara kualitatif menunjukkan bahwa perilaku dan afek dari dimensi engagement terlihat dapat memunculkan kemampuan RJA dan IJA pada anak ASD usia sekolah yang memiliki kemampuan verbal minim.

ABSTRACT
Using a mixed method research design, this study aims to explore the correlation between mother-child interaction and joint attention skill in children with autism spectrum disorder (ASD), specifically minimally verbal school-aged children with ASD. This study used structured observation method in collecting the data. The Marschak Interaction Method Rating System (MIMRS) is used to measure quality of mother-child interaction, as The Early Social Communication Scale is used to quantify joint attention skill. Seven couples of mothers and children with ASD participated in this study. The result shows there is a differences between the quantitative and qualitative analysis of correlation of mother-child interaction and joint attention skill in minimally verbal school-aged children with ASD. Based on quantitative analysis, using a non-parametric Spearman Correlation, result shows that there is no significant correlation between mother-child interaction and both of types of JA, which is responding joint attention (RJA) and initiating joint attention (IJA), rs = .082 (seluruh p > 0.5), in minimally verbal school-aged children with ASD. Meanwhile, result from content analysis shows that mother's affect and behaviors in engagement dimension are able to elicit RJA dan IJA in minimally verbal school-aged children with ASD."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T52614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Perubahan harus dimulai dari mitra komunikasi (dalam hal ini keluarga), bagaimana mitra komunikasi memodifikasi gaya komunikasi atau perilakunya dapat secara signifikan mempengaruhi perilaku anak (komunikasi personal, 2000). Oleh karena itu keluarga sebagai lingkungan anak yang terdekat, dan sistem pendukung yang sangat penting dalam proses penyembuhan anak autisme harus bisa menerapkan pola komunikasi yang sehat yaitu pola komunikasi fungsional. Sesuai dengan hal tersebut maka peneliti ingin mengetahui pola komunikasi yang digunakan oleh keluarga anak autisme. Penelitian dilakukan di Yamet, Avanti, dan SLB Halim dengan sampel sebanyak 20 orang dan menggunakan desain deskriptif sederhana. Hasil penelitian menunjukan perbandingan penggunaan pola komunikasi yang seimbang pada keluarga anak autisme, yaitu 50% menggunakan pola komunikasi fungsional dan 50% yang lainnya menggunakan pola komunikasi disfungsional."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5394
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Churniatun
"Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah mengetahui bagaimana komunikasi dan penanganan konflik yang terjadi antara suami dan isteri khususnya dari sisi atribusi yang diberikan suami/isteri terhadap pasangannya dalam upaya peningkatan hubungan antar pribadi ketika mengetahui anak mereka menderita autis. Autis sendiri merupakan suatu penyakit yang belum dapat diketahui secara pasti penyebabnya.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dengan paradigma konstruktivis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.
Komunikasi dan konflik tidak dapat dilepaskan dan segala aspek kehidupan rumah tangga. Perkawinan yang bahagia tidak ditentukan oleh ada tidaknya konflik, melainkan pada bagaimana mereka menangani konflik tersebut. Dalam suatu peristiwa yang tidak diinginkan orang seringkali berusaha mencari penyebab dari terjadinya peristiwa tersebut. Disisi lain proses atribusi yang diberikan sate pihak kepada pihak lain sangat menentukan strategi penyelesaian masalah yang dihadapi. Hasil dan penyelesaian konflik tersebut sangat mempengaruhi tingkat kepuasan yang dicapai oleh suami isteri dan selanjutnya tingkat kepuasan akan memperkuat komitmen dan meningkatkan hubungan menjadi lebih erat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasangan informan dalam penelitian ini memiliki beberapa daya tarik sehingga mereka makin yakin dalam menjalani hubungan perkawinan yang terjadi. Pasangan informan juga mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menjaga keutuhan hubungan perkawinan tersebut. Kehadiran anak autis menimbulkan konflik yang lebih bersifat karena keadaan yang tidak diinginkan oleh masing-masing informan. Pertentangan antara harapan dan kenyataan ini menimbulkan bermacam reaksi. Sebagaimana diketahui penyebab autis sangat beragam dan tidak dapat ditentukan secara pasti sehingga masing-masing informan menentukan atribusi yang beragam pula. Atribusi ini diberikan baik pada penyebab antis maupun pada perilaku, baik perilaku diri sendiri maupun perilaku pasangannya. Proses ini sangat menentukan strategi penyelesaian konflik yang digunakan oleh masing-masing informan.
Dari penelitian ini didapat beberapa kesimpulan, yaitu usaha peningkatan hubungan antar pribadi terkait dengan keefektifan komunikasi yang terjadi, dimana usaha tersebut makin mudah dilakukan apabila komunikasi dapat berjalan efektf karena komunikasi yang efektif memungkinkan mereka melakukan keterbukaan, saling berempati dan bersikap positif. Pemberian atribusi yang positif juga akan mendukung strategi penyelesaian konflik yang bersifat win win solution. Kemampuan suami/isteri untuk bertahan pada tuduhan yang tidak benar dan tidak adil (negative assertion) sangat membantu pasangan suami isteri dalam menghadapi konflik. Kekuatan komitmen suami/istri terhadap perkawinan juga menentukan keberhasilan pasangan suami istri dalarn mempertahankan dan meningkatkan hubungan antar pribadi diantara mereka."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafika Mauldina
"Penelitian ini mengenai peran guru pembimbing khusus (GPK) dalam mengembangkan interaksi sosial anak autis di Sekolah Inklusi yang dibahas dari disipilin ilmu kesejahteraan sosial. Umumnya, anak autis memiliki kesulitan untuk melakukan interaksi sosial. Beberapa penelitian terdahulu mengemukakan bahwa interaksi sosial penting untuk dikembangkan pada anak berkebutuhan khusus, khususnya pada anak autis. GPK merupakan salah satu significant other yang membersamai perkembangan anak autis di sekolah. Lebih lanjut, GPK memiliki peran signifikan dalam mengembangkan pola interaksi sosial anak autis, khususnya di sekolah inklusi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran GPK dalam mengembangkan pola interaksi anak autis di suatu sekolah inklusi yaitu Sekolah Semut-Semut The Natural School. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Data penelitian didapatkan melalui depth interview bersama 5 narasumber di Sekolah Semut-Semut The Natural School, yaitu 3 GPK, 1 guru kelas, dan 1 guru bidang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa GPK memiliki peran penting dalam mengembangkan interaksi sosial. Peran yang diberikan oleh GPK adalah membimbing anak autis dengan antusias, meningkatkan kepercayaan diri anak autis di sekolah, membimbing dalam kegiatan serta mengingatkan jika salah, sehingga anak autis dapat berinteraksi dan dapat mengikuti pembelajaran menjadi lebih baik. Selain itu, GPK juga melakukan penyelarasan murid autis dengan murid regular di sekolah dengan cara memotivasi anak autis untuk aktif berinteraksi, memberikan edukasi untuk menerima semua teman, melakukan penanganan jika anak tantrum.

This study discusses the role of special guidance teachers (GPK) in developing autistic children's social interactions in the School of Inclusion discussed from the discipline of social welfare. Generally, autistic children have difficulty in social interaction. Some previous studies suggested that social interaction is important for development in children with special needs, especially in autistic children. The GPK is one of the significant others that brings together the development of autistic children in schools. Furthermore, GPK has a significant role in developing patterns of autistic children's social interaction, especially in inclusion schools. The study aims to describe the role of GPK in developing patterns of autistic child interaction in an inclusion school, the Ant-Semut School of The Natural School. This study uses a qualitative approach and a descriptive research type. The research data were obtained through a depth interview with 5 sources at Ant-Semut School The Natural School, namely 3 GPK, 1 class teacher, and 1 field teacher. The results of this study show that GPK plays an important role in developing social interactions. The role given by the GPK is to guide autistic children enthusiastically, increase the confidence of autistic children in school, guide in activities and remind them that they are wrong, so that autistic children can interact and be able to follow learning for the better. In addition, the GPK also harmonizes autistic students with regular students at school by motivating autistic children to actively interact, providing education to accept all friends, handling if children are tantrums."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dam Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Calista Pradnyadevi
"Artikel ini membahas tentang edukasi efektif dan strategi pengajaran yang tepat untuk sekolah di Indonesia terkait pendampingan siswa penyandang Autistic Spectrum Disorder (ASD). ASD adalah bentuk kecacatan otak yang biasanya didiagnosa pada usia dini. Orang dengan ASD diketahui memiliki cara berbeda untuk berinteraksi dengan orang lain. Mereka juga kesulitan menggunakan dan memahami komunikasi nonverbal, seperti kontak mata, gerak tubuh, dan ekspresi wajah. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan kemampuan komunikasi sejak dini dari pihak sekolah, sehingga anak ASD dapat memperoleh pendidikan yang layak dan terlibat dalam interaksi sosial. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan, analisis terhadap 136 tanggapan kuesioner dari guru dan terapis pendidikan menunjukkan bahwa meskipun hanya sebagian kecil yang mengetahui, atau telah dilatih dalam intervensi autisme yang mapan, anak-anak dengan autisme diajar di sekolah-sekolah Indonesia (Budiyanto et al. ., 2020) . Ini berarti bahwa sebagian besar sekolah dengan siswa ASD kurang mengembangkan keterampilan komunikasi sejak dini yang dapat mempengaruhi cara mereka berkomunikasi lebih jauh di masa mendatang. Teori motivasi sosial menyebutkan bahwa tingkat motivasi individu dipengaruhi oleh faktor perilaku, biologis, dan evolusi (Chavallier, 2012). Hipotesis motivasi sosial berpendapat bahwa individu dengan gangguan spektrum autisme (ASD) menganggap rangsangan sosial kurang bermanfaat daripada orang dengan aktivitas neurotypical, itulah sebabnya siswa dengan ASD membutuhkan dorongan dari lingkungan, terutama guru, untuk mengembangkan interaksi sosial mereka. Artikel ini bertujuan untuk menyoroti kurangnya pelatihan yang tepat bagi guru di Indonesia untuk menangani siswa ASD dan untuk membahas betapa pentingnya bagi para guru untuk mengembangkan keterampilan komunikasi mereka.
This article discusses the incapacity of schools in Indonesia regarding assisting students with Autistic Spectrum Disorder (ASD). ASD is a form of disability of the brain which is usually diagnosed at an early age. People with ASD are known to have different ways to interact with other people. They also have trouble using and understanding nonverbal communication, like eye contact, gestures and facial expressions. Therefore, early development in communication skills is needed from the school, so that students with ASD can receive proper education and engage in social interaction. Based on previous research conducted, an analysis of 136 questionnaire responses from teachers and educational therapists indicated that although only a minority was aware of, or had been trained in, established autism interventions, children with autism are being taught within Indonesian schools ( Budiyanto et al., 2020). This means that most schools with ASD students lack early development in communication skills which can impact their way of communicating further in the future. The social motivation theory mentions that individuals' levels of motivation are influenced by behavioural, biological, and evolutionary factors ( Chavallier, 2012). The social motivation hypothesis posits that individuals with autism spectrum disorder (ASD) find social stimuli less rewarding than do people with neurotypical activity, which is why students with ASD need encouragement from their surroundings, particularly teachers, to develop their social interaction. This article aims to highlight the lack of proper training for teachers in Indonesia to handle ASD students and to discuss how critical it is for teachers to develop their communication skills."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dyan Asthira Pitaloka
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Program Penggunaan PECS fase 1 dapat meningkatkan kemampuan meminta objek yang diinginkan pada anak dengan spektrum autistik dan faktor-faktor apa saja yang berperan. Salah satu karakteristik dari anak-anak dengan spektrum autistik adalah adanya gangguan komunikasi. Secara verbal, ritme, intonasi, dan kata-katanya tidak sesuai konteks, tidak biasa/aneh. Secara non-verbal, penyandang autisme tidak menunjukkan ekspresi wajah, ekspresi vokal, dan tidak melakukan komunikasi untuk mengekspresikan kebutuhan, minat, dan perasaan mereka. Kemampuan meminta sering dianggap sebagai keterampilan komunikasi yang vital bagi kemandirian individu dengan keterampilan komunikasi fungsional yang terbatas seperti pada anak-anak dengan autisme ini. Desain penelitian yang digunakan adalah single-subject research. Intervensi yang dilakukan berupa pelatihan PECS fase 1, dimana anak diajari untuk memulai komunikasi dengan cara menukarkan kartu untuk mendapat objek yang ia mau. Tahapan yang harus dilakukan adalah mengambil kartu, menjangkau trainer, dan meletakkan kartu ditangan trainer. Hasil yang diperoleh dari program intervensi ini menunjukkan adanya perbedaan perilaku sebelum dan sesudah intervensi, hasil tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti karakteristik anak, motivasi dan reinforcement, serta konsistensi dan kesinambungan. Hal itu menunjukkan bahwa penggunaan PECS dapat membantu meningkatkan kemampuan meminta pada anak dengan spektrum autistik meski waktu yang dibutuhkan untuk menguasai satu tahapan berbeda-beda untuk tiap anak demikian pula dengan tingkat keberhasilannya.

The purpose of this research is to investigate the PECS (Picture Exchange Communication System) training in developing requesting skill for children with autism spectrum disorder (ASD) and what the influential factors are. One of the most commonly observed characteristic in children with ASD is communication and language deficits, in which they are not able to make an appropriate and understandable request. Requesting is a behavior often cited as a communication skill vital to the independence of individuals with little to no functional communication skills. A single-subject research design is used in this study to see if there is any behavior improvement before and after treatment. First phase of PECS is introduced to the children, where they have to exchange picture with desired objects. In details, children will pick up a picture of the item, reach toward the communicative partner (trainer), and release the picture into the trainer's hand. Result indicate that there is a slight improvement behavior before and after treatment; and the improvement depends on children characteristic; motivation and reinforcement; and consistency and continuity. These findings suggest that PECS training has impact in developing requesting skill for children with ASD. However, time needed for each subject is different and so is the percentage of independent exchange."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afia Fitriani
"Komunikasi pada Anak yang Mengalami Autistic Disorder Anak yang mengalami Autistic Disorder memiliki hambatan dalam tiga ranah utama yaitu, interaksi sosial timbal balik, komunikasi, dan pola tingkah Iaku repelitif (Ginanjar, 200_8). Tanpa kemampuan berkomunikasi yang baik anak autis al-can mudah Bustrasi dan menunjukkan gangguan perilaku karena kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi (Mangunsong, 2009). Picture Exchange Communication .Slystam (PECS) rnerupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengajarkan cara berkomunikasi yang praktis kepada individu gang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dengan menggunakan kartu-ka11u bergambar (Bondy & Frost, 2001).
Program intervensi dalam tugns akhir ini diberikan pada D, anak laki-Iaki dcngan Autistic Disorder yang berusia 7 tahun. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan komunikasi D me-lalui modilikasi perilaku dengan metode Pictu:-e lnlwlzange Cotmuunication System (PECS) sampai fase kedua dari enam fase PECS. I-lasil menunjukkan bahwa berdasarkan perbandingan data dasar dan evaluasi, kemampuan komunikasi D dengan menggunakan PECS menunjukkan peningkatan kcberhasilan sebesar 30%. Hasil ini didukung oleh prosedur intervensi yang terstruktur, jelas, dilaksanakan secara intensifl serta pembexian prompt yang membantu pemahaman instruksi. Kcndala pelaksanaan program antara lain, pilihan benda yang digunakan dalam intervensi, keadaan ruangan, kondisi D yang belum pcrnah mendapatkan intervensi, serta usia D. Sccara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa program intervensi ini cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi D.

Children with Autistic Disorder have deficits in three major domains, which are social interaction reciprocity, communication, and repetitive and stereotyped patterns of behavior (Ginanjar, 2008). Without fine communication skills, autistic children may easily frustrated and then show disturbing behavior because their needs are not understood (Mangunsong, 2009). Picture Exchange Communication System (PECS) is an alternative method using picture cards to teach a practical way to communicate for individuals with speech and language limitations (Bondy & Frost, 2001).
Intervention program in this final project is given to D, a 7 years old child with Autistic Disorder. The purpose is to improve D’s communication skills by behavior mcdilication using Picture Exchange Communication System (PECS) method up to the second phase from total six phase. Results shows that based on the comparision between baseline and evaluation data, D’s communication skills using PECS indicates 30% increase of success. Supportive factors of this result were clear and structured intervention procedure, carried out intensively, and additional prompt to aid instruction understandings Unfortunately, choices of items used in the intervention, room settings, D’s age and not ever received any intervention before became the hindrance factors. Overall, this intervention program is quite effective to improve D’s communication skills.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34137
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>