Ditemukan 110719 dokumen yang sesuai dengan query
Fitriyatun Ni`mah
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara perceived partner affirmation dengan forgiveness pada emerging adulthood. Sebanyak 191 responden dengan kriteria individu berusia 18 sampai 25 tahun dan sedang berpacaran minimal 6 bulan, mengisi kuesioner alat ukur partner affirmation (Partner Affirmation Scale) dan forgiveness (TRIM). Pada penelitian ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa responden memiliki perceived partner affirmation rata-rata dan forgiveness yang tinggi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara perceived partner affirmation dengan forgiveness (r = -0,208 , p < 0,05).
The aim of this research was to examine the relationship between perceived partner affirmation and forgiveness among emerging adulthood. A total of 191 respondents age 18-25 years old, currently involved in a dating relationship for minimum 6 months, complete questionnaires on partner affirmation (partner affirmation scale) and forgiveness (TRIM Inventory). In this research, the results points out that the respondents have moderate perceived partner affirmation and high motivation on forgiveness. The result of this research also indicate a positive and significant relationship between perceived partner affirmation and forgiveness (r = -0,208 , p < 0,05)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60267
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jihan Safira
"Landasan seseorang dalam melakukan pengorbanan menjadi salah satu faktor yang menarik untuk diteliti pada emerging adulthood yang berpacaran, karena ketika berpacaran, seseorang cenderung melakukan pengorbanan untuk pasangan dan hubungan tersebut, agar hubungan dengan pasangannya menjadi puas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara motif berkorban dan kepuasan hubungan pada emerging adulthood. Data yang didapat dari 2.839 individu emerging adulthood berusia 18 - 29 (M=23.19 tahun, SD=2.68) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motif berkorban mendekat (r = .297, p < .001, one tail) maupun motif menjauh (r = -.095, p <.001, one tail) dengan kepuasan hubungan. Hasil ini berarti emerging adulthood yang melakukan pengorbanan dengan motif berkorban mendekat cenderung lebih puas dengan hubungannya dan emerging adulthood yang melakukan pengorbanan dengan motif berkorban menjauh cenderung kurang puas dengan hubungannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu individu pada tahap emerging adulthood yang sedang berada dalam hubungan romantis untuk memiliki kepuasan hubungan yang tinggi.
The underlying basis for a person to make sacrifices is one of the interesting factors to study in dating emerging adulthood. When dating, a person tends to make sacrifices for their partner and relationship in hope that it will increase the relationship satisfaction. This study aimed to determine whether there is a relationship between the motive for sacrifice and relationship satisfaction in emerging adulthood. Data obtained from 2,839 emerging adulthood individuals aged 18 - 29 (M = 23.19 years, SD = 2.68) showed that there was a significant relationship between the approach motives (r = .297, p < .001, one tail) and avoidance motives ( r = -.095, p < .001, one tail) with relationship satisfaction. This result means that emerging adults who make sacrifices with the approach motives are likely to be more satisfied with their relationship, and emerging adults who make sacrifices with the avoidance motives are less likely to be satisfied with their relationship. The results of this study are expected to help individuals at the stage of emerging adulthood who are in romantic relationships to have high relationship satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Laras Sita Persitia
"Kecemasan merupakan bentuk gangguan kesehatan mental yang banyak menyerang individu pada rentang usia emerging adulthood. Di Indonesia, hasil survei menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental yang paling banyak diidap oleh dewasa awal adalah gangguan kecemasan. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan kecemasan adalah infleksibilitas psikologi. Individu yang memiliki kondisi psikologis yang tidak fleksibel cenderung kaku dan mudah merasa cemas. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan melihat pengaruh infleksibilitas psikologi terhadap kecemasan dengan moderasi self compassion. Metode penelitian ini adalah deskriptif menggunakan pendekatan kuantitatif. Responden yang terlibat di dalam penelitian ini adalah 180 individu pada masa emerging adulthood. Hasil penelitian menemukan bahwa self compassion dapat melemahkan hubungan infleksibilitas psikologis dengan kecemasan. Dapat dikatakan bahwa individu yang mampu bersikap welas diri terhadap diri sendiri maka dapat dapat menurunkan pemikiran yang cenderung kaku dan dijauhkan dari potensi kecemasan.
Anxiety is a form of mental health disorder that often attacks individuals in the emerging adulthood age range. In Indonesia, survey results show that the most common mental health disorder suffered by early adults is anxiety disorder. One factor that can cause anxiety is psychological inflexibility. Individuals who have inflexible psychological conditions tend to be rigid and easily feel anxious. This study was conducted with the aim of seeing the effect of psychological inflexibility on anxiety with self-compassion moderation. This research method is descriptive using a quantitative approach. The respondents involved in this study were 180 individuals in emerging adulthood. The results of the study found that self-compassion can weaken the relationship between psychological inflexibility and anxiety. It can be said that individuals who are able to be self-compassionate towards themselves can reduce thoughts that tend to be rigid and are kept away from potential anxiety."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rizky Mahardhika Pangestuti
"Menjalin hubungan romantis dengan orang lain merupakan salah satu pemenuhan tugas perkembangan psikososial pada tahap emerging adulthood. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara attachment styles dan self disclosure pada emerging adulthood yang menjalankan hubungan romantis jarak jauh. Partisipan penelitian (N=292) merupakan emerging adulthood yang sedang atau pernah menjalin hubungan romantis jarak jauh. Pada penelitian ini, attachment styles diukur menggunakan Experiences in Close Relationships-Revised (ECR-R) sedangkan self disclosure diukur menggunakan Self Disclosure Scale. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif signifikan antara attachment styles dan self disclosure.
Having a romantic relationships with others is one of the psychosocial developmental tasks in emerging adulthood. This study aims to invistigate a relationships between attachment styles and self disclosure in emerging adulthood whom in a long distance relationships. The participants of this research (N=292) were emerging adulthood who are currently or had previously involved in a long distance relationships. In this study, attachment styles were measured by Experiences in Close Relationships-Revised (ECR-R) meanwhile self disclosure was measured by Self Disclosure Scale. Result of this study showed a negative relationship that significant between attachment styles and self disclosure."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Anindya Dwi Maysita
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi remaja terhadap pendisiplinan oleh orangtua dan dorongan memaafkan. Partisipan penelitian berjumlah 417 remaja akhir yang tinggal di Jabodetabek. Pengukuran persepsi terhadap pendisiplinan oleh orangtua dilakukan dengan menggunakan alat ukur Teknik Penerapan Disiplin oleh Orangtua yang dibuat oleh Purwasetiawatik (2001) dengan mengacu pada teori Hoffman dan Saltzstein (1967). Alat ukur tersebut mencakup pendisiplinan power assertion, love withdrawal, dan induction. Dorongan memaafkan diukur dengan menggunakan alat ukur Transgression-Related Interpersonal Motivations (TRIM-18) yang dikembangkan oleh McCullough, Root, dan Cohen (2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya terdapat korelasi positif yang signifikan antara persepsi terhadap pendisiplinan induction dengan dorongan memaafkan (r=0,126, p<0,01). Artinya, persepsi terhadap pendisiplinan induction meningkatkan dorongan memaafkan pada remaja.
This research was conducted to find relationship between adolescent-perceived parental discipline and forgiveness. Participants of this research were 417 late adolescence in Jabodetabek. Perceived parental discipline was measured using Teknik Penerapan Disiplin oleh Orangtua who constructed by Purwasetiawatik (2001) based on Hoffman dan Saltzstein (1967) theory. The instruments include power assertion, love withdrawal, and induction. Forgiveness was measured using Transgression-Related Interpersonal Motivations (TRIM-18) who developed by McCullough, Root, and Cohen (2006). The result of this research showed that there was only a significant positive correlation between perceived induction parental discipline with forgiveness (r=0,126, p<0,01). This result means perceived induction parental discipline increased forgiveness in adolescence."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S65072
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Endah Wulandari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2669
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nadya Febrianti
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara psychological well-being dan identitas nasional pada remaja yang tinggal di kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia. Sebagai tambahan, penelitian ini juga dilakukan untuk melihat gambaran tingkat psychological well-being dan identitas nasional pada remaja di kedua negara tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Psychological well-being diukur menggunakan Ryff?s Scale of Psychological Wellbeing yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya oleh Sapto Ashardianto dkk di tahun 2012 sedangkan identitas nasional diukur menggunakan Collective Self- Esteem. Responden penelitian ini berjumlah 298 orang yang terdiri dari 149 orang Malaysia dan 149 orang Indonesia. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa psychological well-being berkorelasi secara signifikan dengan identitas nasional (r = 0.624; p = 0.000, signifikansi pada L.o.S 0.01) untuk responden Indonesia sedangkan pada Malaysia (r = 0.607; p = 0.000, signifikansi pada L.o.S 0.01). Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat psychological well-being seseorang maka menunjukkan semakin tinggi pula identitas nasionalnya.
This study was conducted to find the correlation between psychological well-being and national identity in adolescence that lives in the border area of Indonesia and Malaysia. In addition, this research also aimed to depict psychological well-being and national identity among adolescence in these countries. This research used quantitative approach. Psychological well-being was measured using the Ryff 's Scale of Psychological Well-being adopted from previous research by Sapto Ashardianto et al. in 2012, and national identity was measured using the Collective Self-Esteem. The participant of this research are 298 people consist of 149 people of Malaysia and Indonesia 149 people. The main result of this research showed that psychological well-being correlated significantly with national identity (r = 0.624; p = 0.000, significant at L.o.S 0.01) for the Indonesia participant and in Malaysia (r = 0.607; p = 0.000, significant at L.o.S 0.01) , That is, the higher psychological wellbeing of one?s own, the higher his/her national identity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S62032
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Bayu Retno Widiastuti
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1985
S2073
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jessica Rosdiana Emmanuelle L
"Kesepian merupakan fenomena yang utamanya rentan dialami oleh emerging adults karena dinamika emerging adulthood yang unik dan dipenuhi instabilitas dibandingkan tahapan perkembangan lainnya. Tidak hanya itu, pandemi COVID-19 nanti dan juga perilaku menggunakan teknologi juga mempengaruhi tingkat kesepian emerging adults. Sebagai akibatnya, ditemukan angka kesepian yang signifikan tinggi pada emerging adults. Diketahui bahwa tingkat keterampilan sosial individu dapat memengaruhi atau mengurangi tingkat kesepian pada emerging adult. Selain itu, pola respon individu dalam menghadapi pengalaman yang tidak menyenangkan (dalam konteks ini, kesepian) juga ditemukan berhubungan dengan kesepian. Psychological inflexibility merupakan pola respon yang kaku menyebabkan individu menghindari atau kabur dari pengalaman yang tidak menyenangkan. Maka dari itu, psychological inflexibility diasumsikan berperan sebagai faktor risiko yang dapat melemahkan efek keterampilan sosial terhadap kesepian pada individu. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis penelitian yaitu psychological inflexibility memoderasi hubungan negatif antara keterampilan sosial dan kesepian pada emerging adults. Penelitian ini melibatkan 433 emerging adults (17-25 tahun). Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini meliputi De Jong Gierveld Loneliness Scale (DJGLS) untuk mengukur kesepian, Social Skills Inventory (SSI) untuk mengukur keterampilan sosial, dan Acceptance and Action Questionnaire-II (AAQ-II) untuk mengukur psychological inflexibility. Hasil penelitian menunjukkan bahwa psychological inflexibility memperkuat hubungan negatif antara keterampilan sosial dan kesepian secara signifikan. Implikasi penelitian mendukung pentingnya peran psychological flexibility dalam membantu individu untuk menjadi individu yang lebih flexibel sehingga dapat melakukan cara-cara yang mendukung untuk mengurangi kesepian.
Loneliness is a phenomenon that emerging adults are particularly vulnerable to because the dynamics of emerging adulthood are unique and filled with instability compared to other developmental stages. Not only that, the COVID-19 pandemic and technology use behavior also affect the loneliness level of emerging adults. As a result, there is a significantly high rate of loneliness in emerging adults. It is known that an individual's level of social skills can influence or reduce the level of loneliness in emerging adults. In addition, individual response patterns in the face of unpleasant experiences (in this context, loneliness) were also found to be associated with loneliness. Psychological inflexibility is a rigid response pattern that causes individuals to avoid or run away from unpleasant experiences. Therefore, psychological inflexibility is assumed to act as a risk factor that can weaken the effect of social skills on loneliness in individuals. This study aims to test the research hypothesis that psychological inflexibility moderates the negative relationship between social skills and loneliness in emerging adults. This study involved 433 emerging adults (17-25 years old). The measuring instruments used in this study include the De Jong Gierveld Loneliness Scale (DJGLS) to measure loneliness, the Social Skills Inventory (SSI) to measure social skills, and the Acceptance and Action Questionnaire-II (AAQ-II) to measure psychological inflexibility. The results showed that psychological inflexibility significantly strengthened the negative relationship between social skills and loneliness. The implications of the study support the important role of psychological flexibility in helping individuals to become more flexible individuals so that they can engage in supportive ways to reduce loneliness."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sylvia Octaviani
"
ABSTRAKPenelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara perceived social support dan posttraumatic growth pada remaja. Perceived social support diukur menggunakan Social Support Questionnaire for Children (SSQC; Gordon, Thompson, Schexnaildre, & Burns 2010) dan posttraumatic growth menggunakan PTGI Revised for Children and Adolescents (PTGI-R-C; Yaskowich, 2002). Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 276 remaja di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara perceived social support dan posttraumatic growth pada remaja. Ditemukan pula hubungan positif yang signifikan antara tiap sumber dan perceived social support dengan posttraumatic growth dengan korelasi paling erat pada sumber kerabat. Mengenai tiap jenis perceived social support dengan posttraumatic growth ditemukan pula hubungan positif dan signifikan antara tiap jenis perceived social support dengan posttraumatic growth dengan korelasi paling erat berasal dari jenis informational.
ABSTRACTThe aim of this research was to examine the relationship between perceived social support and posttraumatic growth among adolescents. Perceived social support was measured using Social Support Questionnaire for Children (SSQC; Gordon, Thompson, Schexnaildre, & Burns 2010) and posttraumatic growth was measured using PTGI Revised for Children and Adolescents (PTGI-R-C; Yaskowich, 2002). The sample comprised of 276 adolescent living in Indonesia. The result show that there is a significantly positive relationship between perceived social support and posttraumatic growth. Another result show that there is significanly positive relationship between source of perceived social support and posttraumatic growth and the biggest correlation is from the relative. Another result show that there is a significantly positive relationship between form perceived social support and posttraumatic growth and the biggest correlation is informational support"
2015
S59134
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library