Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151954 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asrof Sibilli
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pertambangan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang penerapan pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana pertambangan tanpa izin. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai dasar peraturan pertambangan di Indonesia menyebut subjek hukum korporasi dengan frasa badan usaha. Dalam ketentuan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengakomodir adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang berstatus badan hukum. Namun dalam praktiknya belum pernah ada putusan pengadilan yang menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dan membebankan sanksi pidana dalam tindak pidana pertambangan tanpa izin, walaupun secara teori korporasi tersebut dapat dibebankan sanksi pidana.

ABSTRACT
This thesis discusses about corporate criminal liability in mining offences in Indonesia. The purpose of this research is to find out about corporate criminal liability implementation in mining offences without permit. The Law No. 4 Year 2009 about Minerals and Mining Coal as basic mining regulation in Indonesia mentions subject of legal entities as business entities. The provisions of the law on mining mineral coal accommodate the imposition of criminal liability for corporate with legal entity status. But practically, there have never been court verdicts that make corporation into legal subject and impose criminal sanctions in the offences of mining without permit, although theoretically, corporations can be imposed by some criminal sanctions.
"
2015
S60389
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyanto Seno Adji
"Dalam hukum pidana, khususnya tindak pidana korupsi, telah terjadi terobosan baru dimana perbuatan melawan hukum yang semula diartikan secara "formil" ("wederwettelijk") mengalami pergeseran, karena sifat dari perbuatan itu kini diartikan juga secara "materiel" yang meliputi setiap pembuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Perubahan arti menjadi "wederrechtelijk", khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana ini (ederrechtelijk) mendapat pengaruh yang kuat sekali dari pengertian secara luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.
Pembaharuan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal 2 ayat 1 maupun Penjelasan pasalnya berkaitan antara penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materiel dengan arrest Cohen-Lindenbaum. Semula dalam hukum pidana, ajaran perbuatan melawan hukum materiel dibatasi penggunaannya melalui fungsi Negatif sebagai alasan peniadaan pidana, hal ini dimaksudkan untuk menghindari pelanggaran Asas Legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang dalam hukum pidana.
Perkembangan multi-tipologi kejahatan baru yang dianggap koruptif/tercela dan merugikan Masayarakat/Negara dalam skala yang sangat besar seringkali tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan tertulis yang ada sanksi pidananya, sehingga pelaku dapat bertindak secara bebas dengan berlindung dibalik Asas Legalitas. Dari aspek /pendekatan sejrah pembentukan undang-undang, norma kemasyarakatan, yudikatif dan legislatif, terdapatlah kecenderungan pergeseran kearah fungsi positif dari perbuatan melawan hukum materil, dengan kriteria yang tegas dan limitatif serta kasuistis, yaitu apabila perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik itu. Tentunya unsur melawan hukum materiel melalui fungsi positif ini diartikan dalam konteks komprehensif secara menyeluruh terhadap unsur-unsur lainnya dalam suatu delik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
D660
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
I Ketut Hasta Dana
"Tesis ini membahas tentang penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim terhadap tindak pidana korupsi dengan menggunakan metode penelitian doktrinal (yuridis normatif), yaitu penelitian terhadap norma-norma hukum pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penjatuhan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi bertentangan dengan undang-undang, kemudian yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat terhadap tindak pidana korupsi adalah demi terciptanya keadilan, baik bagi terdakwa maupun masyarakat. Selanjutnya terhadap putusan pidana bersyarat yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana korupsi bukan merupakan yurisprudensi yang diikuti oleh peradilan-peradilan di bawahnya dan sampai saat ini belum ada satu pun putusan berupa pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi yang ditetapkan menjadi suatu yurisprudensi.

This thesis discusses the imposition of parole by a judge of the criminal offense of corruption by using the method of doctrinal studies (juridical normative), the study of criminal law norms contained in the criminal laws of Indonesia. From the results of these studies concluded that the imposition of parole in the criminal offense of corruption contrary to law, then that becomes the basis of consideration of the judge in imposing conditional punishment on corruption is for creating justice for both defendant and the public. Subsequent to a conditional punishment sentences imposed by the Supreme Court in a case of corruption is not a jurisprudence which is followed by a justice-court below and until this day there has not been a single verdict of conditional punishment on criminal offense of corruption set into a jurisprudence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31306
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ineke Indraswati
"Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan hares diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Kerusakan hutan di Indonesia terjadi karena berbagai sebab, salah satunya adalah kerusakan hutan akibat perambahan oleh manusia secara tidak benar sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan ataupun banjir. Kasus perambahan hutan di Indonesia masih kerap terjadi walaupun telah ada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kasus-kasus ini masih terjadi karena penegakkan hukum yang belum berlangsung secara maksimal. Pada tahun 2005, Kejaksaan Agung R.I. menyidik suatu kasus perambahan hutan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus di Kawasan Hutan Register 40 di Sumatera Utara. Kasus ini sudah lama akan tetapi belum berhasil dibawa ke Pengadilan oleh aparat yang berwenang. Kejaksaan Agung R.I., dalam hal ini JAMPIDSUS, milakukan penyidikan atas kasus ini dengan menyangkakan ketentuanketentuan dalam tindak pidana korupsi terhadap kasus tersebut. Penyidikan dan penuntutan atas perkara ini didasarkan pada fakta bahwa tindakan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus adalah merambah kawasan hutan yang merupakan milik negara dan menimbulkan kerugian negara sehingga terhadap Darianus Lungguk Sitorus didakwa dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan. Akan tetapi dalam putusan tingkat pertama dan tingkat kasasi, tindak pidana yang terbukti adalah tindak pidana kehutanan. Hal ini dikarenakan adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan yaitu mengenai asas lex specialis derogat legi generasi dan definisi kerugian negara itu sendiri. Dengan demikian penerapan ketentuan tindak pidana korupsi dalam kasus perambahan hutan khususnya kasus Darianus Lungguk Sitorus belum dapat digunakan.

Forest is one of the national development potential which have real benefit to Indonesia, such as ecological benefit, social cultural and economic. Therefore forest should be taking care of and organized, protected, and continuation usable to Indonesian welfare. The damage of forest in Indonesia happened because a lot of reasons, one of them is the cleared away by human that cause environmental pollution and flood. Such clear away forest cases in Indonesia still happened even though there are Law No. 41, 1999. These cases still happened because the law enforcement is not maximized. In 2005, Attorney General Office investigated a clear away forest by Darianus Lungguk Sitorus in Area 40 in North Sumatera. Its been years, yet it still can not be brought to the court. Attorney General Office investigated the case based on the accusation of anti corruption. The investigation and prosecution on this case based on facts that Darianus Lungguk Sitorus act to cleared away the forest which belong to Indonesia government impact on the lost of capital, hence it convicted with anti corruption. On the first verdict and cessation, the crime that proved is the Forest Law and not Anti Corruption. These happened because several problems faced by the Attorney General such as lex specialis derogate legi generali and the difference definitions of state lost capital. Therefore the implementation of anti corruption can not be use in the clear away forest cases especially case of Darianus Lungguk Sitorus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Pramoti
"ABSTRAK
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan sebuah nuansa baru
dalam perkembangan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi di
Indonesia yaitu dengan dikenalnya pembalikan beban pembuktian terutama
berkaitan dengan pembuktian tindak pidana gratifikasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 B ayat (1) huruf a. Permasalahannyamasih jarang ditemui perkara yang
menerapkan ketentuan tentang gratifikasi, padahal penggunaan pasal ini Penuntut
Umum akan lebih diuntungkan karena kewajiban untuk membuktikan sudah ada
pada pihak terdakwa. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana
konsekuensi dari pembalikan beban pembuktian pada perkara gratifikasi terhadap
proses pembuktian di muka persidangan oleh Penuntut Umum, penerapannya
dalam kasus Dhana Widiatmika dan Gayus Tambunan, dan hal-hal apakah yang
masih menjadi permasalahan dalam penerapannya. Hasil penelitian ini
menunjukkan penerapan pembalikan beban pembuktian perkara Gratifikasi dalam
Pasal 12 B terdapat kerancuan, karenapasal ini memuat dua unsur pasal yang
masing-masing memiliki sistem pembuktian yang berbeda yaitu unsur “pemberian
kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara” (sistem pembuktian
konvensional) dan unsur “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya” (sistem pembuktian terbalik). Dimana dalam
proses pembuktian Pasal 12 Btetap mengacu pada KUHAP, sehingga menjadikan
pembuktian terbalik mekanismenya tidak terlihat dalam pemeriksaan di
persidangan, karena dengan tetap saja pola hakim digiring pada pola
pemikirannya Jaksa Penuntut Umum.

ABSTRACT
Act No. 20 of 2001 on Amendments to Act No. 31 Year 1999 on
Eradication of Corruption gives a new nuance in the development of law
enforcement in the field of eradication of corruption in Indonesia, with the
familiar reversal of the burden of proof is primarily concerned with proving the
crime of gratification as provided for in Article 12 B of paragraph (1) letter a. The
problem is rarely encountered cases that apply the provisions of gratification,
whereas the use of this article Prosecutor will be benefited from the existing
obligation to prove the defendant. This study intends to find out how the
consequences of a reversal of the burden of proof on the graft case against the
evidence in court by prosecution , its application in the case of Gayus Tambunan
and Dhana Widiatmika, and if things are still a problem in its application. The
results of this study demonstrate the applicability of the reversal of the burden of
proof in the case of Article 12 B Gratuities are ambiguous, because this article
contains two elements, each chapter has a different system that is an element of
proof "gift to an official or state officials" (conventional verification system) and
element "associated with his position and contrary to the obligations or
duties"(reverse authentication system). Where in the process of proving Article 12
B still refer to the Criminal Code, making the reverse authentication mechanism is
not visible in the examination in the trial, because the judge still herded the
pattern of his thinking pattern Prosecution."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38999
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdy Irawan
"Fenomena pengungkapan dugaan korupsi aparatur Negara di Daerah saat ini sangat marak ditemukan. Adalah penting bagi Indonesia untuk mengambil kesempatan guna mendapatkan beberapa pembelajaran dari fakta maraknya pengungkapan kasus dugaan korupsi di tingkat Daerah: faktor apa yang mendorong pengungkapan korupsi di Provinsi Kalimantan Barat ? Siapa yang berperan penting dalam melakukan pengungkapan korupsi dan apa saja upaya yang sudah mereka lakukan ? Faktor-faktor apa yang mendukung upaya penyelesaian kasus korupsi di Provinsi Kalimantan Barat ?
Didukung oleh Instruksi Presiden (Inpres) No. 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Aksi PPK) Tahun 2015, sebagai langkah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Inpres itu merupakan penjabaran dan pelaksanaan lebih lanjut atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025.
Tujuan penelitian ini adalah menemukan strategi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi yang kerap terjadi dalam proses pembangunan daerah di Provinsi Kalimantan Barat sehingga Pembangunan Daerah dapat berjalan sesuai rencana. Mengkaji teori yang ada dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan Daerah di Provinsi Kalimantan Barat saat ini.
Menemukan penerapan supremasi penegakan hukum yang tepat sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat dalam melaksanakan pembangunan daerah yang bersih dan berkesinambungan. Mengidentifikasi modus operandi korupsi serta aksi dan strategi aktor pendorong penyelesaian kasus korupsi. Mengidentifikasi peluang keberhasilan dan kegagalan penanganan kasus korupsi.

The phenomenon of the disclosure of alleged corruption in the Indonesian Regional State apparatus is currently very widespread found. It is important for Indonesia to take the opportunity to get some learning of facts widespread disclosure of alleged corruption at the local level: what factors encourage the disclosure of corruption at the local level? Who plays an important role in the disclosure of corruption and what efforts they've done? What factors support the actors in enabling them to resolve cases of corruption?.
Powered by Presidential Instruction (Inpres) No. 7/2015 on Prevention and Combating Corruption Action (PPK Action) In 2015, as a step to realize a clean government. Instruction was a further elaboration and implementation of Government Regulation (PP) No. 55/2012 on the National Strategy for the Prevention and Combating of Corruption Long Term Year 2012-2025.
The purpose of this study is Finding strategies for the prevention and eradication of corruption that often occur in the development process in the region so that the Regional Development Leaders can be run according to plan. Reviewing theory that exist in relation to the implementation of regional development in the current West Kalimantan.
Find the application of the rule of law enforcement appropriate to the needs of local governments in implementing local development West Kalimantan clean and sustainable. Identify the modus operandi of corruption as well as the action and strategy of the actor driving the settlement of corruption cases. Identifying chances of success and failure handling of corruption cases.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Sriyanto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
D1277
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Febby Mutiara Nelson
"

 

Kajian ini membahas konsep peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang dikenal dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang belum dilaksanakan, khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi yang berfokus pada pengembalian kerugian keuangan negara. Penanganan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia belum dapat menanggulangi tindak pidana korupsi, khususnya dalam hal mengembalikan kerugian negara secara signifikan. Walaupun sudah banyak sekali ketentuan penegakan hukum dan kebijakan pemerintah terkait dengan penanganan korupsi, namun pada kenyataannya penanganan  tindak pidana korupsi tidak berjalan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penelitian ini juga mengkaji dapatkah Sistem Peradilan Pidana Indonesia mengakomodir konsep Plea Bargaining dan Deferred Prosecution Agreement (DPA) pada tindak pidana korupsi yang berorientasi pada pengembalian kerugian keuangan negara serta bagaimana model yang tepat pada tindak pidana korupsi di Indonesia. Juga, memprediksi implikasinya (keuntungan dan kerugian) jika diterapkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan mengkaji secara sistematis mengenai aturan hukum, prinsip, konsep, teori, doktrin, putusan kasus, institusi hukum, masalah hukum, isu atau pertanyaan atau sebuah kombinasi diantara semuanya. Hasil kajian menemukan bahwa saat ini  pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi dilakukan dengan mekanisme perampasan aset dengan putusan pidana terlebih dahulu kepada terdakwa dan diikuti penyitaan aset hasil korupsinya atau dikenal sebagai conviction based asset forfeiture. Selain mekanisme tersebut sudah berlaku pula perampasan aset dengan mekanisme hukum perdata yang hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus tertentu saja misalnya ketika tersangka/terdakwa meninggal dunia. Temuan dari disertasi ini Plea Bargaining dan Deferred  Prosecution Agreement merupakan bentuk kongkrit dari asas sederhana, cepat dan biaya ringan dan dapat  diterima dan diterapkan dengan sejumlah penyesuaian untuk Indonesia khususnya pada tindak pidana korupsi yang berorientasi pada pengembalian kerugian keuangan negara. Model ini juga sudah diterapkan di negara Civil Law lainnya, sebagai implikasi adanya konvergensi sistem hukum. Dari sisi tujuan pemidanaan, model yang diusulkan ini lebih sesuai dengan tujuan pemidanaan rehabilitasi bagi pelakunya dan restorasi untuk pemulihan kerugian negara.

 


 

This research explores the concept of simple, fast, and low-cost justice in Indonesian criminal justice system that has not been implemented especially in handling corruption that focuses on recover state financial losses. The handling of corruption offence in Indonesia has not yet been able to overcome the loss from corruption, specifically in terms of restoring a significant state loss. Notwithstanding with a long list of established law enforcement and government policies relating to the matter, management of corruption has not gone simple, speedy and light expenses. This research also reviews as to whether the Indonesian criminal justice system can accommodate the Plea Bargaining and Deferred Prosecution Agreement (DPA) for the corruption offences which orientated to restore the state loss and  what is the best and compatible model for Indonesia. This study also predicts their implication if applied (advantages and disadvantages). This research use a qualitative methode which systematically explores the laws, principles, concepts, theories, doctrines, judgments, law institutions, legal problems, legal issues, questions or any of its combinations. This study finds that the restoration of state loss from corruption currently being done through assets seizure mechanism post criminal judgment, which also recognised as a “conviction based asset forfeiture”. The matter becomes more complicated when the corruption actors fly abroad and has no intention to cooperate to solve the relevant corruption case. Another method regulated under UNCAC and StAR Initiative is the non-conviction based asset forfeiture (NCB) which has no legal basis in Indonesia to date. The findings of this dissertation on plea bargaining and deferred prosecution agreements are concrete forms of simple, fast and low cost principles and can be accepted and applied with a number of adjustments for Indonesia, particularly in the case of corruption that is oriented to the return of state financial losses. This model has also been applied in other Civil Law countries, as an implication of the convergence of the legal system. In terms of the purpose of punishment, the proposed model is more in line with the philosophy of rehabilitation for perpetrators and restoration of state losses.

 

"
2019
D2648
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>