Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56349 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosilia Novianti
"[Indera pembau merupakan salah satu panca indera yang dimiliki manusia, dan sama dengan indera yang lainnya, pembau memiliki peran yang juga signifikan dalam kehidupan kita. Sayangnya, estetika sebagai ilmu pengetahuan inderawi didominasi oleh visual dan audio. Pembau, pengecap dan peraba cenderung diabaikan. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena hirarki panca indera yang telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dimana ada peringkat indera yang lebih tinggi dan rendah yang terkait dengan moralitas. Indera pembau dianggap sebagai indera yang rendah bersama pengecap dan pembau, ketiganya dianggap bersifat ketubuhan semata. Pada era kontemporer, para filsuf mulai memberi perhatian pada masalah lower sense. Salah satunya adalah Frank Sibley, yang melihat bahwa indera pembau dapat digunakan dalam apresiasi estetik. Objek bau yang dibahas bersifat abstract sense, yaitu terlepas dari masalah konsumsi karena yang dibahas adalah bau itu sendiri bukan substansinya. Sibley juga membuat distingsi particular and generic serta single and mixed yang menggambarkan bahwa bau memiliki kompleksitas yang berpotensi untuk dieksplorasi namun terhalang oleh masalah bahasa, sehingga Sibley menawarkan cara berfikir metafora menuju deskripsi yang langsung terhadap bau. Ia melihat bau memiliki nilai-nilai estetis yang harus dipertimbangkan dalam estetika., Sense of smell is one of human senses, and equal with other senses. It also has significant role in our life. Unfortunately, aesthetics as sensory science has dominated by visual and audio. Sense of smell, taste, and touch tended to be neglected. Possibly, it caused by hierarchy of senses that exist since Ancient Greek ages. They create rank about higher and lower senses related to morality. Sense of smell resides in lower rank, along with sense of taste and touch. They considered to be mere bodyness. In contemporary, philosophers give attention to lower sense problem. One of them is Frank Sibley. He argues that sense of smell applicable to aesthetic appreciation. He describes object of smell in abstract sense level. It means it is not about consumption problem anymore but about the smell itself, separated from the substance. Sibley also creates distinction about particular and generic and single and mixed to describe that smell has complexity and potency to explored more but limited by language, therefore Sibley offers metaphor to direct description. He argues that smell has aesthetic values that considerable in aesthetics.]"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S60548
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penulisan makalah adalah untuk mengetahui bahwa perilaku hukum dan moral bagian yang tidak terpisahkan dari pemantapan kultur,karena hukum merupakan dari nilai-nilai moral yang wajib direlaalisir oleh seseorang dalam sikap perilakunya....."
REHUKUM
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"At the present dimension of Indonesia crises mor or less relate to the lack of values in the daily life of Indonesian citizen.Character education was ignored...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Chainaraong Kesamoon
Pathum Thani: Thammasat University, 2019
670 STA 24:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrikus Kota Njuma
"In Thomas Aquinas’ view, every human being by nature is directed towards goodness. The goodness as the form of being (ens) is inside the human self. According to Thomas, human goodness is a participation in the highest goodness, namely, God, and thus every human being desires the perfection of the goodness by directing his or herself towards God. This natural tendency (appetitus naturalis) proves that human is directed towards an ‘end’. This goodness appears externally in the human action, and as an external action it is named actus humanus, which manifests the moral aspect of a human being. A person who actualises the goodness in his or her external action affirms his or her essence to the highest goodness. Goodness in morality depends on God as the supreme criterion of morality. It is good if it nears God and is evil if it moves away."
Bandung: Department of Philosophy, 2021
105 MEL 37:2 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Soeparno
Jakarta: Markas Besar ABRI, Lembaga Pertahanan Nasional , 1992
370.114 SOE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Magda Imanuella
"Periode1901-1914 di Inggris sering disebut juga sebagai “era Edwardian”. Pada masa ini kesenjangan sosial antara masyarakat ekonomi kelas atas dengan masyarakat ekonomi kelas bawah sangat terlihat dengan jelas. Masyarakat kelas atas dapat menginvestasikan harta yang dimiliki untuk membeli tanah yang luas dan membangun rumah mewah, sementara masyarakat kelas bawah harus bekerja keras untuk bertahan hidup. Demi bertahan hidup, tercatat lebih dari satu juta masyarakat Inggris pada era Edwardian yang memilih untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah kaum kelas menengah sampai rumah kaum kelas atas. Untuk dapat memahami kelas-kelas sosial masyarakat Inggris pada era Edwardian, penelitian ini bertujuan untuk meneliti kehidupan orang-orang yang tinggal dalam satu rumah mewah bangsawan ada pada serial TV Inggris, Downton Abbey (2010), dapat merepresentasikan kelaskelas sosial yang ada pada sosial hirerarki Inggris pada tahun 1901-1914 di Inggris. Dengan menggunakan teori representasi oleh Hall (1997) dan juga konsep sinematografi dan mise-en-scene oleh Broadwell dan Thompson (2013), penelitian ini menemukan bahwa kelas-kelas sosial Inggris dapat direpresentasikan oleh keluarga dan pembantu rumah tangga yang tinggal pada rumah mewah bangsawan di era Edwardian. Kemudian, perbedaann antara arsitektur dan interior pada rumah mewah bangsawan yanv memisahkan ruang “atas” dan ruang “bawah” mengilustrasikan kesenjangan yang kuat antara kelas-kelas sosial pada era Edwardian. Terakhir, artikel ini menemukan bahwa rumah mewah bangsawan pada era Edwardian bukan hanya tempat bagi keluarga kelas atas untuk hidup, tetapi juga berfungsi sebagai simbol kekayaan dan kekuatan politik sang pemilik rumah. Dengan demikian, keadaan kelas-kelas sosial di Inggris pada tahun 1901-1914 dapat direpresentasikan melalui kehidupan orang-orang yang tinggal pada rumah mewah bangsan pada serial TV, Downton Abbey.

The years between 1901 and 1914 in Britain, or often called the “Edwardian era,” comprise the period which is characterized by the tremendous gap between the rich and poor. The upper-class were able to invest their money on land and build a luxurious country house (s) while the lower-class struggled just to stay alive. In order to survive, more than one million people in Edwardian era England chose to work as domestic servants in the upper-middle-class’ up to the upper-class’ homes. To discern the impact of social hierarchy towards Edwardian society, this research aims to examine the lives of people from different social classes within English country houses, and how the house itself can symbolize social status in the hierarchy. This analysis will focus on the way people from different levels of the social ladder manage to live within an Edwardian country house named “Downton,” depicted in the first season of British TV series, Downton Abbey (2010). Based on Hall’s (1997) theory of representation, and also Broadwell and Thompson’s (2013) concept of cinematography and mise-en-scene, this research has found that the condition of the English social classes can be observed through the way people live in an Edwardian country house. Moreover, the differences between architecture and interior design of country house’s “upstairs” and “downstairs” area illustrate the stark social gap between social classes in the Edwardian era. Lastly, this article has found that the English country house in the Edwardian era is not merely a place for rich people to live in, but also a symbol of the upper-social status and political power. Thus, the social condition in the 1901 to 1914 England can be observed through the way people live within a country house that depicted in the TV series, Downton Abbey."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edbert Santoso
"ABSTRAK
Penerapan sistem manajemen yang berhasil dapat memberikan keuntungan
internal dan eksternal bagi organisasi atau institusi yang mengadopsinya. Dalam
proses implementasi sistem manajemen lingkungan, banyak kriteria yang harus
ditentukan agar Sistem tersebut berhasil diimplementasikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hasil pemilihan terbaik dalam
menentukan faktor kritis yang mempengaruhi adaptasi sistem manajemen
lingkungan ISO 14001.
Penelitian ini dilakukan dengan metode AHP dengan penilaian dari 3
orang ahli dalam bidang sistem manajemen lingkungan. Dari 19 kriteria alternatif
yang ada, didapatkan bobot terbesar adalah pada Konservasi Energi,
Kesiapsiagaan Darurat, Pengolahan Limbah, Komitmen Karyawan, dan Daur
Ulang Limbah. Subjek penelitian yang berbeda berpengaruh pada tingkat
kepentingan yang didapatkan

ABSTRACT
Implementation of a successful management system can provide internal
and external benefits for the organization or institution that adopts it. In the
process of implementing the environmental management system, many criteria
must be determined for the system to be successfully implemented.
This study aims to obtain the best selection results in determining the
critical factors that affect the adaptation of ISO 14001 environmental
management system.
This research was conducted by AHP method with assessment from 3
experts in the field of environmental management system. Of the 19 existing
alternative criteria, the biggest weights are on Energy Conservation, Emergency
Preparedness, Waste Treatment, Employee Commitment, and Waste Recycling.
The research subject have an absolute factor that could cause a different
importance of criteria"
2017
T47680
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Artanevia
"Ruang merupakan salah satu unsur yang dibahas dalam ilmu arkeologi. Arkeologi-ruang merupakan disiplin ilmu arkeologi yang berfokus pada sebaran dan hubungan lokasional antara benda-benda arkeologi dengan ruang, situs, maupun wilayah disekitarnya. Suatu ruang, dalam konteks religi, dapat dibagi menjadi ruang sakral dan profan. Hierarki ruang sakral dan profan, salah satunya, dapat ditemukan pada Vihara Arya Marga. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pembagian ruang sakral dan profan pada bangunan vihara. Metode penelitian yang digunakan meliputi; pengumpulan data yang dilakukan dengan observasi pada aspek-aspek struktural dan non-struktural pada Vihara Arya Marga dan studi pustaka. Analisis data yang dilakukan dengan analisis bentuk (formal analysis), analisis kontekstual (contextual analysis), dan analisis spasial (spatial analysis). Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat diidentifikasikan bahwa tedapat tiga pembagian hierarki ruang di Vihara Arya Marga, yaitu ruang sakral, semi-askral dan profan. Ruang sakral pada Vihara Arya Marga meliputi ruang utama, ruang khusus Kapitan The Liong Hwi, ruang tambahan bagian barat, dan ruang tambahan bagian timur. Ruang semi-sakral pada Vihara Arya Marga adalah pelataran dan serambi. Ruang profan pada Vihara Arya Marga yaitu halaman depan dan tempat tinggal pengurus vihara.

Space is one of the elements which is also discussed in archeology. Spatial archeology is a discipline of archeology that focuses on the distribution and locational relationships between archaeological objects and the space, site, and surrounding area. A space, in the context of religion, can be divided into sacred and profane spaces. The hierarchy of sacred and profane spaces, for example, can be found at the Arya Marga Vihara. This paper aims to determine the division of sacred and profane spaces in the monastery building. The research methods used include; Data collection was carried out by observing structural and non-structural aspects of the Arya Marga Monastery and literature studies. Data analysis was carried out by means of formal analysis, contextual analysis, and spatial analysis. Based on the results of this analysis, it can be identified that there are three hierarchical divisions of space at the Arya Marga Vihara, namely sacred, semi-askral and profane spaces. The sacred space at the Arya Marga Vihara includes the main room, the special room for Kapitan The Liong Hwi, the western additional room, and the eastern additional room. The semi-sacred space at the Arya Marga Vihara is the courtyard and porch. The profane room at the Arya Marga Vihara is the front yard and the residence of the temple administrator."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>